Masyarakat adat lama dicemoohkan sebagai suku 'terasing' yang belum maju. Kini di tengah krisis ekologis muncul rasa lain. Kita tak lagi secongkak dulu, setelah menyadari aspek negatif dalam pembangunan. Mungkinkah, mereka menghimpun semacam kearifan yang dilupakan orang “modern”?
Gilang Mahadika, antropolog UGM yang sekaligus sejarawan, mengunjungi masyarakat Dayak Benuaq di pedalaman Kalimantan. Ia mengamati secara seksama cara mereka mengelola kebun di tengah hutan. Mereka tidak terasing: sudah lama mengenal pohon karet dan sawit. Namun, mereka tetap menjaga subsisten, tak lupa menghidupi dirinya dari tanah sendiri. Sawitpun mereka tanam diselingi tanaman pangan. Tanpa dicampuri perusahaan global. Sepertinya, model 'agroforestri' mereka justru lebih berkelanjutan.
Gerry van Klinken membuka perspektif global. Ia membaca buku terakhir dari antropolog terkenal Marshall Sahlins (belum lama almarhum) mengenai budaya-budaya masyarakat adat di seluruh dunia. Dari Kalimantan hingga Alaska, ternyata banyak kesamaan di antaranya. Semuanya mengalami spiritualitas di dalam alam semesta. Tanpa merasakan perbedaan antara yang alami dan yang gaib, seluruh dunia "dihidupkan" oleh pelaku-pelaku yang menyerupai pribadi (biasanya disebut “roh”). Manusia jadi hati-hati. Gagasan bahwa ia dapat "menguasai" alam melalui teknologi tidak terlintas dalam benak masyarakat adat.
Simaklah Bacaan Bumi edisi ini! Kirimlah tanggapan ke editor@insideindonesia.org.
Gerry van Klinken, Editor