Cara manusia Sumatera menghormatinya harimau
Jaka Hendra Baittri
Read English version
Orang-orang Sumatera punya panggilan khusus untuk harimau. Berbeda daerah beda pula panggilannya. Selain panggilan, mereka punya cara sendiri untuk menunjukkan penghormatan atau toleransinya. Izinkanlah saya bercerita tentang dua tempat di pantai barat yang bergunung, dan satu di pantai timur.
‘Ngegah Imau’ di Taman Nasional Kerinci
Pada sebuah hari di tahun 2016, keriuhan terjadi di halaman Kantor Bahasa Jambi. Anak muda perempuan dan lelaki berteriak histeris, sambil berguling-guling atau pun berlutut. Jemari mereka menjadi keras dan merupa seperti kaki. Mereka kesurupan ruh harimau.
Peristiwa yang dikelilingi asap bakaran kemenyan itu tak berjalan sampai lima menit. Oktora Karim sebagai pawang dari upacara bernama Ngegah Imau ini langsung mengusaikan tarian-tarian mistik itu. Saya bertemu dengan beliau, dan saya bertanya: Bagaimana asal mulanya?
‘Dulu sekali, manusia dan harimau membuat perjanjian saling menjaga. Sehingga kalau ada harimau yang mati, kami mengadakan ritual penghormatan,’ katanya.
Relasi mistik ini terdapat di Pulau Tengah (kota kecil, bukan pulau), terletak di Kabupaten Kerinci yang bergunung, Provinsi Jambi. Perjanjian tersebut mewujud pada ritual yang lekat dengan ingatan masyarakat Pulau Tengah akan perjanjian nenek moyang mereka dengan imau - sebutan Harimau Sumatra oleh masyarakat Kerinci.
Awalnya Ngegah Imau adalah sebuah bentuk pencak silat. ‘Baru tiga puluh tahun belakangan ada musik dan tari yang dikreasikan Harun Nahri, maestro dari Kerinci,’ katanya.
Maka setiap kali diadakan Ngegah Imau, selalu ada yang kerasukan. Baik dari penari atau pun penonton. ‘Tapi hanya penonton yang mempunyai darah Kerinci atau keturunan dari Pulau Tengah yang bisa kerasukan. Lainnya tidak,’ katanya.
Ada tiga harimau yang disebut dalam ritual ini. Pemangku Gunung Rayo, Hulubalang Tigo, dan Rintik Hujan Panas. Mereka punya peran sendiri-sendiri di alam.
Pemangku Gunung Rayo berperan sebagai penunjuk penjaga hutan atau rimba. Hulubalang Tigo ke Aek jadi Buaya, artinya hulubalang ketiga turun ke air jadi buaya. Sementara itu Rintik Hujan Panas sebagai penunggu ladang yang kalau dipanggil juga cepat datangnya.
Ritual ini biasanya dilakukan ketika ada harimau mati. Diketahui terakhir sekitar tahun 1970-an ada harimau besar masuk kampung dan memakan kambing warga. Masyarakat menghalau harimau hingga kembali ke hutan. Selepas diusir, beberapa hari kemudian seorang warga menemukan harimau itu mati. Tubuhnya tercabik-cabik seperti dicakar harimau lain. Itu disebabkan harimau tersebut sudah melanggar perjanjian dan membuat harimau penjaga Pulau Tengah marah.
Oktora mengatakan ritual ini dilakukan seperti utang lepas, tanda kembali dan tiada lagi sengketa antara manusia dan harimau. Karena itu pegiat Ngegah Imau menyiapkan tiga helai kain sebagai simbol belang harimau, keris telanjang pengganti taring, tombak pengganti ekor, kaca atau benda berkilat sebagai pengganti mata, dan gong sebagai pengganti suara. Kemudian dibakarlah kemenyan serta dibacakan mantra-mantra sebagai tanda Ngegah Imau dimulai.
Hubungan-hubungan mistik seperti ini membentuk peraturan adat tak tertulis. Seperti jangan menyebut datuk atau harimau di hutan dan semacamnya yang seolah-olah menantang harimau.
Berbagi dengan harimau bakau di pantai timur
Taman Nasional Berbak-Sembilan yang luas terletak di pantai timur Sumatra, daerah penuh rawa dan bakau. Saat kebakaran hutan melanda wilayah ini, beberapa harimau keluar dari hutan. Mereka berupaya menyelamatkan diri dari amukan api, antara lain ada yang masuk ke pemukiman. Warga Dusun Sungai Palas menerima dan tak mengganggu harimau, begitu pula harimau tak mengganggu warga.
Yunus, Kepala Dusun Sungai Palas, yang bersebelahan dengan Taman Nasional Berbak-Sembilang mengatakan, baru periode 2015-2019 dia melihat harimau keluar dari taman nasional.
Dia yakin, gerombolan raja hutan yang keluar dari sarang tak akan mengganggu warga. Dia berani menjamin itu karena sejak mereka keluar sarang mendekati permukiman, tak ada satupun ternak warga hilang atau dimakan harimau.
Sepanjang 2015-2019, katanya, ada sekitar sembilan harimau keluar Taman Nasional Berbak-Sembilang. Tak hanya di tepi dusun, harimau juga melenggang ke permukiman.
‘Kita ngeri juga, tapi harus mengerti juga karena habitatnya kan terbakar. Jadi, kita imbau masyarakat baik yang pendatang ataupun yang tinggal di sini jangan ganggu,’ katanya.
Dia tak berani jamin, kalau ada warga nekat mengabaikan nasehat itu. Namun dia menilai, sikap tenang masyarakat bisa berbanding lurus dengan keamanan mereka dan hewan ternak. ‘Bahkan saat menyiram kebakaran malam-malam kabarnya ada warga melihat harimau itu ikut mandi di air yang disemprotkan untuk memadamkan api di gambut.’
Kini, setelah kebakaran hutan dan lahan berlalu, harimau tak lagi menampakkan diri, termasuk mampir ke permukiman mereka.
Soal konflik harimau dengan manusia, sejumlah lembaga yang peduli dengan perlindungan raja hutan ini punya data beragam. Dari berbagai data mengenai jumlah, mereka berkesimpulan kalau laju deforestasi di Taman Nasional Berbak-Sembilang jadi pemicu utama konflik harimau dengan manusia.
Catatan Sumatran Tiger Project, selama 2015, laju deforestasi di Taman Nasional Berbak mencapai 3,947,85 hektar atau 4,08 persen dari luas hutan primer. Deforestasi 5,142,60 hektar (65,98 persen) terjadi di hutan sekunder.
Dusun Sungai Palas berada di bawah administrasi Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dusun ini sudah berdiri jauh sebelum pemerintah membentuk taman nasional. Hal ini terbukti dengan adanya masjid tua yang masih berdiri dan benteng milik Pangeran Wirokusumo yang sudah roboh ke sungai karena abrasi. Madjid ini diduga telah ada sejak 1817.
Selain itu ada pula temuan gerabah kuno yang oleh Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Busaya (BPCB) Jambi Ario Nugroho disebut dari abad 10 dan 11; sejak zaman Hindu-Budha.
‘Desa ini berdiri sesuai izin sekitar 1964 atau 1965, tapi sebelum dapat perizinan desa ini sudah ada juga. Jadi, jauh dari tahun itu sudah ada,’ kata Abdul Razak, Ketua Masyarakat Peduli Api Dusun Sungai Palas.
Hubungan warga dengan harimau tidak saling menaklukkan. Warga dan harimau punya hubungan khas, bisa terlihat dari tradisi berbagi daging untuk si raja hutan.
‘Kalau masyarakat ada yang memotong hewan berkaki empat seperti kambing, sapi atau kerbau harus ada bagian dari lidah, kuping, daging dan hati untuk diberikan pada harimau,’ katanya.
Setelah mereka pisahkan, daging lalu diantarkan ke satu lokasi. Masyarakat yang menyembelih hewan ternak, menaruh daging-daging di tengah-tengah antara desa dan hutan. ‘Tidak pasti tempat meletakkannya. Saran dari mendiang kakek lokasi harus berhimpitan dengan hutan.’
Kalau harimau masuk ke kebun dan ada bekas tapak sebagai tanda kehadiran mereka, warga diam saja. ‘Kami wajib menutupi agar jangan diketahui. Karena kan bahaya, yang memburu juga banyak.’
Menurut dia, ada hubungan saling menguntungkan kalau warga dan harimau saling menjaga. ‘Mereka tidak mengancam kami. Kami tidak mengancam mereka. Ketika ada hama babi kami mohon ia datang,’ katanya.
Mengenai konflik warga Dusun Sungai Palas dengan harimau minim, katanya, tidak terbangun dengan instan. Sejarah mereka terbentuk secara natural, dan saling menguntungkan. Masyarakat memberi daging, harimau pun menjaga kebun mereka dan tak mengganggu.
Yunus, Kepala Dusun Sungai Palas mengatakan, masyarakat rutin memberikan daging pada harimau ketika sedekah bumi atau selepas panen raya. Hal itu, katanya, bentuk ungkapan syukur masyarakat yang digelar sekali setahun.
‘Selamatan parit istilahnya, sedekah bumi setiap tahun mengadakan doa selamat, Jadi, setiap kali ada acara itu, istilahnya datuk (harimau) ini kita hormati juga,’ katanya.
Mereka memisahkan daging yang dipotong untuk syukuran. ‘Setidaknya ada kaki, hati dikit, daging, terus kuping lagi, kemudian dibawa ke tempat habitatnya itu. Di pinggir hutan,’ kata Yunus.
Makin ke sini, tradisi ini tak hanya saat sedekah bumi. Kalau ada yang selamatan dengan memotong hewan ternak kapan pun akan berbagi.
Konflik manusia-harimau
Konservasi dan relasi mistik banyak terjadi di Sumatera. Namun dinamika konflik antara populasi manusia dan harimau tercatat tidak selalu berlangsung damai. Salah satu konflik itu dicatat oleh Aaltensche Courant pada 1927. Judul berita dalam koran Belanda zaman kolonial berbunyi Een tijger gevangen, artinya seekor harimau ditangkap. Mereka mengutip koran lokal Padangsche Sumatra-Bode, di mana seorang wanita Melayu di dekat Bungus dimakan harimau. Lokasinya pas ke selatan dari Padang. Penduduk Bungus dan Teluk Kabung membuat tiga perangkap. Ketika harimau masuk perangkap semua orang seperti ingin melihat harimau yang disebut koran itu sebagai pendosa.
Penulis berita itu mengatakan bagaimana caranya masyarakat tahu kalau harimau itu yang memakan warga. Lantas warga mendekat dan bertanya apakah dia yang memakan tetangganya, dan harimau menjawab dengan auman. Mereka menangkapnya jawaban itu berarti ‘saya’.
Lantas penduduk kampung memberi penghormatan terakhir pada harimau itu. Tiga hari tiga malam mereka mengadakan acara yang disebut ilau disekitar kandang harimau. Selanjutnya menyanyikan lagu-lagu. Dalam artikel itu ditulis hal ini berhubungan dengan kepercayaan lama yang mengatakan harimau dianggap sebagai binatang buas yang memiliki jiwa seseorang yang telah meninggal. Sebab itu ketika orang membicarakan harimau mereka menyebutnya bersama gelar inyiak atau dalam ejaan Belanda ditulis injik– gelar kehormatan untuk orang tua atau yang terhormat). Setelah itu hukuman mati harimau dilaksanakan. Maka penangkapan dan hukuman mati untuk harimau itu dimaknai sebagai penebusan dosa. Sebab harimau dianggap mengganggu ketentraman manusia.
Dua tahun kemudian Nieuwe Haarlemsche Courant pada 23 Juli 1929 mengutip lagi koran Sumatra Bode dan membikin judul Tijgerplaag– wabah harimau. Koran itu menyebut di daerah Painan waktu itu mengalami banyak masalah dengan harimau. Seperti di Kecamatan Asam Kumbang, seorang wanita dicabik-cabik oleh seekor harimau. Empat hari kemudian harimau itu membunuh dua pria, seminggu kemudian di kampung Teluk Sirih, seekor kerbau dibunuhnya. Terakhir perkebunan Ampoe Gadang milik Koloniale Bank di distrik Ophir (kini disebut wilayah Gunung Talamau) seekor harimau ditembak mati oleh Tuan Van Vliet dan Jhr Snouck Hurgronje, saat si belang itu sembunyi di semak-semak bambu. Tidak disebut adanya komunikasi mistik sebelum penembak Belanda mengangkat senapannya.
Kini jumlah harimau yang tersisa di hutan tidak mencukupi untuk mencetuskan ‘wabah harimau.’ Namun peristiwa-peristiwa tetap terjadi. Saya berbincang dengan Erlinda C Kartika, doktor lulusan Wageningen University yang fokus riset Harimau Sumatera lebih dari 10 tahun. Dia mengatakan angka-angka konflik manusia harimau tak selalu segaris-sejalan dengan turunnya toleransi masyarakat terhadap kucing besar ini. Terkadang masyarakat, menurutnya, masih memaklumi adanya harimau memakan ternak, rejeki harimau, kata warga.
‘Harimau punya kedudukan tersendiri di kalangan orang Sumatra,’ katanya.
Dia menyebut di Jambi disebut datuk, Sumatera Barat menyebut inyiak, Mandailing menyebut babiat dan Aceh menyebut rimueng. Masing-masing nama ada sejarahnya. ‘Cerita-cerita itu ada dan punya kedudukan sendiri dalam masyarakat,’ katanya.
Jaka HB (jakahb.89@gmail.com) adalah seorang jurnalis yang banyak menulis soal lingkungan hidup. Ia sering menulis untuk Mongabay Indonesia, situs berita pelestarian alam dan pengetahuan ekologis.