Gerry van Klinken
Hutan itu tidak sepi, tetapi penuh dengan roh-roh jujur yang sama baiknya dengan diriku - bukanlah ruang kosong, tempat kimia dibiarkan bekerja sendiri, melainkan rumah terhuni.
(Pelopor lingkungan Amerika Henry David Thoreau. Ia belajar pengetahuan ekologis Indian Amerika ini dari Joe Polis, pemandu Penobscotnya, di Hutan Maine, 1857 (Lynch 1997))
Masyarakat adat telah direndahkan dan dilecehkan di seluruh dunia pada zaman modern. Namun, kerusakan ekologis saat ini membuat orang modern berpikir ulang. Di balik ledakan minat terhadap pengetahuan ekologis masyarakat adat beberapa tahun terakhir, terdapat perasaan bahwa mungkin mereka mengetahui sesuatu yang kita butuhkan. Sebagian merasa terpesona karena sisi praktisnya, seperti tanaman berkhasiat, ketahanan masyarakatnya dalam menghadapi perubahan iklim, dan perilakunya yang berkelanjutan. Minat kita di sini adalah pada pertanyaan yang lebih mendasar lagi. Di dalam masyarakat adat, hubungan seperti apa yang mereka alami sehari-hari antara manusia dengan non-manusia? Pasti sebuah hubungan etis. Kita, masyarakat modern, kekurangan inspirasi etis. Apakah mungkin, kita akan menemukan kembali etika dalam pengetahuan ekologis masyarakat adat, seperti Henry David Thoreau?
![](/images/bacaan_bumi/GvK%201%20BB6.jpg)
Dalam bab ini kita memang menemukan etika, tetapi tidak dalam bentuk tertulis, sebagai peraturan boleh/ tidak boleh. Untuk memahaminya, kita harus menyelami dunia mereka, seperti seorang antropolog. Etika mereka dibangun dalam lanskap adat, di mana unsur manusiawi dan non-manusiawi terikat satu sama lain melalui praktek kepedulian ‘sosial.’ Ritual mengungkapkan rasa hormat dan khidmat di dalam dunia yang ‘penuh pesona.’ Ritual bertujuan untuk memelihara hubungan, sehingga tetap bermanfaat bagi kita dan mereka, sambil mencoba memastikan bahwa hubungan tersebut tidak merugikan kita. Inti dari pengetahuan ekologis adat adalah etika relasional timbal balik - memberi dan menerima - mirip dengan apa yang diharapkan dalam komunitas manusia mana pun.
Pengetahuan ekologis adat adalah kearifan yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Literatur ilmiah internasional menyebutnya ‘traditional ecological knowledge‘ (TEK) (Casi, Guttorm, and Virtanen 2021). Namun, ini tidak berarti pengetahuan tersebut diturunkan secara pasif dari masa lampau. Dalam kenyataan pengetahuan tersebut terus berubah dan diperbarui.
Pengetahuan tersebut juga terhubung dengan tempat tertentu. Ia berakar dalam lingkungannya. Karena itu, di Indonesia lebih sering disebut ‘kearifan ekologis lokal.’
Bentang alam adat ternyata penuh dengan makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia, yang semuanya terhubung satu sama lain. Sementara orang modern biasanya menganggap ikatan kekerabatan murni menghubungkan manusia satu sama lain, masyarakat adat memperluas gagasan tersebut ke hewan, pohon, dan tanaman lain, bahkan ke sungai dan gunung.
Kita tidak dapat mempelajari pengetahuan ekologis adat dari buku. Ini adalah pengetahuan empiris dan praktis, yang dibangun melalui pengamatan jangka panjang. Namun, pengetahuan tersebut lebih dari sekadar seperangkat pengetahuan praktis. Seperti yang dikatakan seseorang, pengetahuan tersebut adalah ‘cara hidup, sebuah hubungan yang menuntut perbuatan.’ Dan ia bersifat ‘holistik:’ sangat praktis dan sekaligus sangat emosional, bahkan spiritual.
Gagasan Keterhubungan mengaitkan pengetahuan adat dengan ekologi. Yang terakhir adalah cabang biologi modern yang mempelajari hubungan antara organisme hidup dengan lingkungan fisiknya. Ekologi telah menjadi inti bagi banyak ilmu praktis, dari pelestarian alam, melalui pengelolaan sumber daya alam, hingga perencanaan kota. Ketika krisis ekologis memaksa kita untuk lebih banyak berpikir tentang alam, maka kita ‘orang modern’ juga menjadi semakin tertarik dengan pengetahuan adat.
Butir-butir awal di atas akan dikembangkan di sisa bab ini. Tiga pertanyaan membingkai diskusi berikut.
- Apa arti ‘belajar’ bagi kita di sini?Apakah mungkin mempelajari pengetahuan ekologis masyarakat adat sambil tinggal di apartemen kota modern (mengingat bahwa pengetahuan tersebut seharusnya dipelajari sambil ‘berbuat’)?Gagasan tentang ‘jembatan’ akan menjadi kunci jawabannya.
- Apa pandangan dunia yang mendasari budaya yang memelihara pengetahuan ekologi masyarakat adat?Sejalan dengan keinginan untuk menembus ke inti yang radikal dan fundamental di seluruh buku ini, kita ingin menggali materi ini secara lebih mendalam, hingga benar-benar mengerti jiwa dari pengetahuan masyarakat adat.Ini adalah pertanyaan bagi para antropolog.Sebuah buku berwibawa karya Marshall Sahlins (2022) akan menjadi panduan kita.Buku ini mengungkapkan bahwa cara orang ‘tradisional’ atau ‘masyarakat adat’ mengalami kosmos ternyata hampir sama di seluruh dunia sepanjang sejarah.‘Antropologi sebagian besar umat manusia’ adalah subjudul buku tersebut.
- Apakah pengetahuan ekologis masyarakat adat selaras dengan perspektif filsafat alam yang telah kita jelajahi di tempat lain dalam buku ini?Bila jawabannya adalah ‘ya’ – dan memang demikian – maka hal itu akan memperkuat keyakinan bahwa kita berada di jalur yang benar dalam upaya untuk mengubah cara kita, manusia modern, berpikir tentang tempat manusia dalam tatanan alam.
Jembatan
Henry David Thoreau (1817 – 1862) kini dikenal sebagai ‘anarkis hijau’ pertama di Amerika. Walden (2018 [asli Inggeris 1854], 1854) adalah memoar spiritual tentang kehidupan sederhana selama dua tahun di gubuk yang ia bangun dengan tangannya sendiri, mengamati Danau Walden secara sangat rinci dan penuh kasih sementara musim berganti-ganti. Dalam buku lainnya, The Maine Woods, ia menggambarkan perjalanan melalui hutan di dekatnya yang ia anggap sebagai hutan belantara, ditemani oleh seorang Indian Amerika bernama Joe Polis. Thoreau terkejut saat mengetahui Polis tinggal di rumah putih dua lantai yang sebagus rumah mana pun di New England, terletak di sebuah pulau di Sungai Penobscot. Polis adalah perantara yang sempurna antara dunia pendatang Eropa Thoreau dan dunia orang-orang Penobscot-nya sendiri. Ia melek huruf dalam budaya kulit putih dan telah mewakili sukunya di hadapan pemerintahan kulit putih di Washington, DC. Pada saat yang sama, dan tanpa sepengetahuan Thoreau, ia adalah seorang dukun dalam sukunya sendiri. Ia hanya mengatakan kepada Thoreau bahwa ia adalah seorang ‘dokter’ yang tahu tentang tanaman penyembuh (Lynch 1997). Tanpa memahami sepenuhnya dunia Polis, Thoreau merasa tertantang dalam prasangkanya sendiri tentang ciri ‘buas’ orang Indian. Interaksi antara kedua insan ini tidak sempurna. Namun, hal itu membuat Thoreau sadar bahwa hutan ‘bukanlah ruang kosong, tempat kimia dibiarkan bekerja sendiri, melainkan rumah terhuni.’
Semua dukun dan filsuf Indian Amerika yang kini terkenal, yang kata-kata mutiaranya kini muncul di poster penggalangan dana untuk proyek pelestarian alam – Chief Seattle, Black Elk, Chief Joseph – mereka semua adalah perantara terampil yang mampu menjangkau kedua dunia, seperti Joe Polis. Mereka berbicara dengan meyakinkan kepada para pendatang. Warisan mereka terus berlanjut hingga kini.
Deborah Bird Rose adalah antropolog barat pertama di antara orang-orang Yarralin di Wilayah Utara Australia. Dalam disertasinya yang berjudul Dingo makes us human (1984, 2009 [1992]), ia menggambarkan apa yang ia dapatkan dari mereka. Ia menyadari bahwa apa yang ia tulis bukanlah apa yang akan ditulis oleh orang Yarralin sendiri. Ia mengatakan bahwa karyanya adalah sebuah tafsiran, sebuah ‘jembatan’ antara dua budaya yang sangat berbeda. Ia merasa terinspirasi oleh seorang antropolog sebelumnya bernama W.E.H. Stanner, yang menulis sebagai berikut tentang pria Aborigin yang menjadi pemandu utamanya dalam interpretasi: ‘Saya yakin ia sangat tergerak untuk hidup sesuai dengan aturan adatnya....Ia adalah orang yang utuh, yang, entah bagaimana, dapat menjembatani dua dunia dan, meskipun lebih menyukai yang satu, hidup dengan dua dunia.’
Dalam karya selanjutnya Deborah Rose berbicara tentang dialog: ‘Saya bertujuan untuk menghasilkan dialog lebih lanjut, yang akan memungkinkan orang memahami apa yang ada dalam hati masyarakat adat perihal ekologi; hingga kita dapat menemukan landasan untuk bercakap dan bertindak di tengah perdebatan keadilan lingkungan dunia saat ini’ (Deborah Bird Rose 1999). Dan lagi: ‘Dapatkah pengetahuan ekologi masyarakat adat berkontribusi pada perdebatan utama dalam ilmu alam dan filsafat Barat? Saya berpendapat bahwa pengetahuan ini menawarkan ‘ekologi filosofis’ yang bekerja secara sinergis dengan eko-filsafat Barat dan beberapa aliran ilmu alam ekologi’ (Deborah Rose 2005). Dengan kata lain, tujuannya bukanlah untuk menjadi anggota kelompok Yarralin, tetapi untuk belajar dari mereka tentang cara yang lebih baik untuk menangani masalah ekologis kita saat ini. Itulah juga tujuan dari bab ini.
Pengetahuan ekologis Aborigin jenis dialogis ini semakin penting dalam politik lingkungan Australia. Pada tahun 2022, sebuah peradilan di Queensland melarang pembukaan tambang batu bara besar baru milik taipan pertambangan Clive Palmer. Alasannya (untuk sebagian): membuka tambang baru akan melanggar hak asasi manusia masyarakat adat yang tinggal di sana. Para penggugat berpendapat bahwa ‘bagi masyarakat Pribumi (First Nations), perubahan iklim memutus hubungan kami dengan Tanah (Country) dan merampas budaya kami yang berakar pada hubungan kami dengan tanah air. Perubahan iklim akan mencegah kami mendidik generasi muda tentang tanggung jawab mereka untuk melindungi Tanah dan mengingkari hak kelahiran mereka atas budaya, hukum, tanah, dan air mereka.’ Pengadilan setuju dengan argumen ini.
Mungkin tujuan akhir dialog ini adalah untuk menemukan bagaimana kita dapat menghadapi krisis eksistensial yang kita semua hadapi: bertahan hidup semata (Deborah Bird Rose and Robin 2004). Kita manusia, sebagai organisme, saat ini sedang melakukan bunuh diri dengan merusak lingkungan kita. Jika kita menyatukan gagasan asli tentang Keterhubungan (konektivitas) dengan gagasan ekologi ilmiah, kita mungkin dapat menciptakan keharusan etika baru. Unit bertahan hidup bukanlah individu. Bahkan bukan spesies. Melainkan organisme dalam lingkungannya.
Kekecilan manusia
Sejumlah besar penelitian antropologi telah dijalankan mengenai budaya pribumi di seluruh dunia selama kira-kira seabad terakhir.[1] Ternyata mereka menunjukkan banyak kesamaan. Ini luar biasa, sebab semuanya adalah budaya lokal yang tidak berkomunikasi satu sama lain. Dari Kutub Utara di Finlandia hingga ‘Red Heart’ Australia, dari Amazon hingga Nigeria, dari Kalimantan hingga Kepulauan Pasifik, dari Siberia hingga Pegunungan Andes, dan bahkan kembali ke sejarah Babilonia dan kekaisaran Sumeria, orang hidup di alam semesta ‘sosial’ yang hidup, saling berhubungan, dan bermakna. Marshall Sahlins telah meneliti semua karya klasik di bidang ini, dari seluruh dunia, dan menulis sebuah buku yang menafsirkan kesamaan-kesamaan tersebut. Kalimat terakhirnya mengatakan bahwa ia menulisnya agar kita dapat belajar untuk ‘menanggapi dengan serius praktek-praktek budaya lain’ (Sahlins 2022: 176). Tanpa mengatakannya secara eksplisit, kita sebagai pembacanya mungkin juga mulai mempertanyakan praktek kita sendiri. Kita bertanya-tanya apakah ada jembatan yang harus kita seberangi.
Setiap praktek masyarakat adat berawal dengan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk kecil di dunia yang besar. Masyarakat adat berpikir seperti filsuf Skotlandia David Hume, yang pernah menulis: ‘Kita ditempatkan di dunia ini, seperti di panggung besar, di mana sumber dan penyebab sebenarnya dari setiap peristiwa sepenuhnya tersembunyi dari kita’ (dikutip pada hlm. 18; semua nomor halaman kosong mulai dari sini merujuk ke Sahlins 2022). Manusia terkadang memiliki nasib baik, dan di saat lain nasib buruk, dan kita tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasinya.
Gagasan bahwa manusia mungkin dapat ‘menguasai’ alam melalui sains dan teknologi tidak terlintas dalam benak masyarakat adat. Dan memang, jika kita jujur pada diri sendiri, krisis ekologi saat ini menunjukkan bahwa gagasan ini keliru secara mendasar. Tindakan kita telah menghasilkan kerusakan ekologi global yang tak terkendali. Tak beda, kita juga harus tunduk pada nasib. Namun, para pemimpin bisnis dan politik kita tidak memiliki wawasan yang dapat membantu mereka melihat konsekuensi dari kecongkakan tersebut. Tidak ada kebijaksanaan untuk mengubah orientasi hingga merasa diri makhluk yang kecil.
Bukannya masyarakat adat tidak mengetahui hal-hal teknis tentang cara kerja alam. Misalnya, mereka tahu betul cara menanam ubi jalar. Namun, mereka juga filsuf atau teolog – keduanya tidak dibedakan dalam budaya masyarakat adat. Mereka ingin tahu mengapa ubi jalar tumbuh. ‘Agama’ mereka, tulis seorang antropolog, ‘menjawab pertanyaan yang berbeda: mengapa ubi jalar tumbuh dengan sukses, dan kepada siapa penghargaan sosial dan politik patut dilimpahkan’ (hlm. 21). Ini bukanlah spekulasi filosofis yang sia-sia, melainkan kebijaksanaan praktis yang menentukan beda antara hidup atau mati dalam kehidupan sehari-hari.
Di dunia adat, setiap tindakan manusia, seperti menanam dan merawat umbi ubi kayu, ‘diberdayakan’ oleh kekuatan spiritual. Kekuatan ini dapat dipanggil melalui ritual. Bukan berarti ritual memanggil ‘mukjizat’ – tidak ada dunia supernatural dalam budaya adat. Namun, di balik atau di bawah setiap tindakan manusia terdapat tindakan kekuatan spiritual dalam bentuk tertentu. Manusia merasa dirinya sebagai makhluk yang lebih rendah daripada para leluhur, yang menciptakan dunia sebagaimana manusia mengetahuinya, dan yang masih hidup di dunia ini. Dalam bahasa Aborigin, cara hidup yang ditetapkan oleh para leluhur adalah ‘hukum’ (hlm. 31).
Perbedaan besar antara dunia modern dan ‘sebagian besar umat manusia’ adalah bahwa orang modern telah mengasingkan keilahian ke wilayahnya sendiri, yang kita sebut ‘supernatural’ (atau adikodrati, atau gaib). Dalam bahasa Sahlins, kita adalah kaum ‘transendentalis,’ yakni orang yang mengasingkan para dewa ke wilayah di luar alam semesta material, di mana mereka tidak tunduk pada hukum Alam.[2] Hanya bumi fisik yang sehari-hari telah diserahkan kepada manusia. Transendentalisme agama memiliki sejarah yang panjang, tetapi agama Kristen adalah alasan utama bagi dominasinya di dunia barat (sementara tidak melupakan peran serupa yang dimainkan oleh Islam dan Yudaisme). Juga di antara orang modern yang telah banyak meninggalkan agama tradisional, transendentalisme tetap menjadi kekuatan yang berarti dalam pemikirannya.
Untuk mencoba memahami dunia, kaum transendentalis merasa harus membagi dunia menjadi serangkaian hal yang saling berlawanan secara kuat (dikotomi). Orang transendentalis menganggap jiwa dan tubuh sebagai dua hal yang terpisah: jiwa dapat terbang sendiri di luar tubuh. Mereka memisahkan yang keramat dan yang tidak suci ke dalam waktu dan tempat yang berbeda. Mereka menganggap yang spiritual dan yang fisik, yang gaib dan yang alami, sebagai dua dunia yang terpisah, yang dipelajari oleh disiplin akademis yang berbeda pula. Seluruh sistem pengetahuan modern, dan juga etika yang modern, dibangun di atas dikotomi semacam ini. Akibatnya, para ‘imam’ budaya modern adalah insinyur seperti Elon Musk, yang sepenuhnya memahami dunia fisik tetapi memiliki kedalaman spiritual/ etis seperti balita yang narsis. Sementara itu, para spesialis dalam masalah ‘spiritual’, seringkali menjalani kehidupan yang terasing dari bumi.
Sebaliknya, kata Marshall Sahlins, penduduk asli adalah penganut ‘imanentisme.’ Ini terdengar seabstrak seperti transendentalisme, tetapi perbedaannya sangat penting. Penganut imanentisme berpendapat bahwa yang ilahi ada di mana-mana dalam dunia sehari-hari. Tanpa merasakan perbedaan antara yang alami dan yang gaib, seluruh dunia ‘dihidupkan’ oleh pelaku-pelaku yang menyerupai pribadi. Thoreau dalam kutipan di awal bab ini menyebut mereka ‘roh,’ dan begitu pula banyak antropolog. Sahlins sendiri tidak begitu menyukai istilah ‘roh.’ Ia menganggapnya sebagai kata transendentalis Kristen; ia lebih suka istilah buatan sendiri yakni ‘meta-person’ (dari ‘meta,’ yaitu ‘di samping’ atau ‘lebih dari’), yang mungkin dapat diterjemahkan ‘meta-manusia.’ Pelaku-pelaku metapersonal ada di mana-mana dalam sistem pengetahuan masyarakat adat.
Filsuf pribumi Nigeria Kwasi Wiredu pernah berkata bahwa gagasan tentang ‘supernatural’ tidak memiliki tempat di dunianya. Alasannya, katanya, adalah bahwa tidak ada apa pun dalam pengalaman manusia yang bisa menunjukkan bahwa supernatural itu nyata (hlm. 38). Seseorang tidak akan pernah dapat berargumen atas dasar empiris hingga akhirnya mendarat di tempat di luar dunia ini. Sebaliknya, ia lanjutkan, dunia roh dan dunia fisik bertepatan. Hal ini berlaku bagi semua orang dan segala sesuatu di kosmos. ‘Manusia pada hakikatnya adalah makhluk roh, sebagaimana roh pada hakikatnya bersifat manusiawi’ (hal. 44). Kosmos ternyata penuh dengan makhluk roh seperti itu. Semuanya adalah ‘orang-orang’ yang terstruktur persis seperti manusia. Justru karena manusia sangat kecil, jumlah makhluk roh yang kuat ini sangat banyak.
Salah seorang antropolog barat yang pertama kali menghargai kenyataan ini (ketimbang meremehkannya sebagai takhayul) adalah Irving Hallowell. Pada tahun 1960, ia menulis sebagai berikut tentang suku Ojibwa di Amerika Utara yang ia amati: ‘Berbicara sebagai seorang Ojibwa, seseorang mungkin berkata: semua ‘orang’ lain—manusia atau selain manusia—terstruktur sama seperti saya. . . . Semua ‘orang’ lain juga memiliki atribut seperti kesadaran diri dan pemahaman. Saya dapat berbicara dengan mereka. Seperti saya, mereka memiliki identitas pribadi, otonomi, dan kemauan’ (hlm. 45).
Mereka dapat dialami dalam mimpi dan saat kesurupan, tetapi kita tidak pernah bisa yakin di mana dan kapan mereka muncul atau apa niat mereka. Alam semesta ‘penuh pesona:’ Tumbuhan, hewan, dan bahkan batu dan sungai memiliki penampilan alami, tetapi juga memiliki kekuatan batin yang membuatnya hidup. Dari situlah muncul kesehatan mereka, pertumbuhan, perkembang-biakan, dan kematian mereka. Kekuatan inilah yang oleh masyarakat adat dianggap sebagai ‘jiwa’ yang bersemayam dalam makhluk non-manusia (hal. 55).
Kata ‘jiwa’ – yang sering digunakan oleh kaum antropolog karena mereka tak dapat memikirkan kata yang lebih tepat – sebenarnya terlalu Kristen. Maknanya di antara masyarakat adat sebenarnya lebih dekat dengan apa yang dimaksud Aristoteles dengan kata Yunani psyche. Aristoteles secara eksplisit menolak gagasan tentang ‘jiwa’ yang bergerak sendiri, ‘seolah-olah mungkin bagi sembarang jiwa …. untuk masuk ke dalam tubuh mana pun.’ Sarjana yang mengutip kalimat ini kemudian menjelaskan gagasan Aristoteles tentang psyche sebagai berikut: ‘Psyche adalah kekuatan untuk hidup dan mengetahui… Jelas bukan benda, seperti organisme atau tubuh yang hidup, melainkan aktivitas atau fungsi organisme yang hidup’ (Randall 1960: 64). Maka apa yang oleh antropolog sering dinamakan jiwa atau roh dalam pengertian masyarakat adat lebih dekat dengan konsep kita yaitu ‘pikiran,’ yang melibatkan kapasitas seperti kesadaran, kesengajaan (intensionalitas), kemampuan berkomunikasi serta berkemauan (hlm. 75).
Tumbuhan, misalnya, bernyawa, terutama yang bermanfaat bagi manusia. ‘Mereka ingin membantu kita,’ tulis seseorang menulis tentang praktek masyarakat adat. Dan ‘ayah’ yang tinggal di pohon itu bisa marah apabila diperlakukan buruk: ‘Para ayah akan melihatnya dan menjadi marah; ia berkata kepada diri mereka sendiri, mengapa ia merusak pohon itu? Itu bukan sekadar pohon, itu adalah manusia. Ia memiliki nama, dan seorang ayah, seorang ibu dan seorang paman, dan buah-buahnya adalah anak-anaknya. . . . Para ayah akan memanggil nama [rahasia] pohon itu, dan menyuruhnya berhenti berbuah’ (hlm. 80).
Nah, bertentangan dengan gambaran Thoreau yang agak romantis tentang hutan yang ‘penuh dengan roh-roh jujur yang sama baiknya dengan diriku,’ sebagian besar meta-person yang diceritakan para antropolog adalah jahat. Bagi sekelompok Inuit Kanada Utara tertentu, misalnya, udara, laut, dan bumi ‘penuh dengan roh, kebanyakan roh jahat, sangat jarang yang baik. Semua makhluk tak kasat mata ini adalah orang mati atau hewan yang dibunuh yang, karena beberapa pelanggaran tabu, tidak memperoleh kedamaian setelah mati’ (hlm. 88). ‘Kami tidak percaya,’ kata orang Inuit ini kepada antropolog Greenland yang terkenal, Knud Rasmussen, ‘kami takut’ (hlm. 147). Mereka mengatakan ini, cukup menarik, dengan senyum ceria di wajah mereka.
Setan di Papua Nugini dianggap berada ‘di luar tatanan moral. Mustahil untuk memiliki hubungan yang setara dan saling menguntungkan dengan mereka berdasarkan 'kepentingan' dan 'kepedulian,' karena satu-satunya tujuan mereka adalah untuk menghancurkan, membunuh, melukai, atau menyebabkan penyakit. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah mengusir mereka atau menjauhi mereka’ (hlm. 90). Para leluhur juga sering kali dianggap bukan sebagai teladan moralitas, melainkan memiliki karakter ‘orang tua yang selalu curiga, yang merasa kesal karena tidak mendapatkan rasa hormat atau perhatian’ (hlm. 101).
Suku Yarralin di Wilayah Utara Australia berbicara dengan penuh ketakutan tentang Kaiya – meta-person yang biasanya mereka sebut devil (‘setan’) dalam bahasa Inggris. Deborah Bird Rose menggambarkan mereka sebagai ‘penjaga kematian… berbentuk seperti manusia hanya saja tidak memiliki daging, cuma tulang. Mereka tinggal di gua-gua tempat mereka menjaga tulang-belulang yang telah tersimpan di sana selama bertahun-tahun.... Dalam pengertian ini, mereka terlihat lebih kuat bahkan daripada Naga Pelangi, yang terbang di langit di atas awan tetapi tidak dapat membuat jalannya sendiri sesuka hati.... Kaiya ditakuti karena mereka mencuri yang hidup selain mengambil yang mati.... Saya tidak pernah mendengar orang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kaiya salah secara moral, mereka hanya mengatakan hal itu menakutkan’ (Deborah Bird Rose 1984: 281-283, 302).
Di Indonesia terdapat banyak sekali makhluk halus yang umumnya ditakuti, seperti genderuwo, kuntilanak, pocong, dan sebagainya.
Sementara orang-orang modern mungkin bereaksi dengan rasa tidak nyaman terhadap kosmos yang dipenuhi makhluk-makhluk jahat ini, dan diam-diam berharap dapat mencerahkan penganutnya dengan ilmu alam modern atau agama Abrahamik, saya tidak dapat menahan perasaan lain: teror yang ditimbulkan oleh kerusakan ekologis yang kini muncul dalam benak terutama kaum muda modern (Kurth and Pihkala 2022) mungkin tidak jauh berbeda dengan ketakutan masyarakat adat terhadap setan. (Tetapi lihat Herakleitos tentang kultus, di bawah).
Kisaran meta-person yang dikenal oleh masyarakat adat tidak berhenti pada makhluk lokal yang familiar ini. Ya, makhluk lokal ini memiliki pengaruh paling langsung pada kehidupan sehari-hari, tetapi masing-masing dari mereka memiliki ‘tuan’ sendiri, lebih kuat tetapi juga lebih jauh dari kehidupan sehari-hari. Setiap jenis meta-person, dan setiap habitat, memiliki tuannya sendiri. Mereka mungkin pada gilirannya memiliki tuan sendiri, dan seterusnya hingga ke ujung kosmos yang jauh. Alam semesta bersifat hierarkis, juga dalam budaya masyarakat adat yang mempraktekkan egalitarianisme. Di puncak hierarki selalu ada apa yang disebut antropolog sebagai ‘dewa-dewa tertinggi’ - biasanya lebih dari satu. Semua meta-person lokal pada akhirnya memperoleh kekuatan mereka dari para dewa tinggi ini. Kekuatan kosmik yang mencakup dan mengatur nasib manusia memiliki sumber utamanya di sana. Mereka biasanya tidak dibagi menjadi dewa yang ‘baik’ dan yang ‘jahat.’ Sebaliknya, tulis Sahlins, ‘mereka adalah pencipta dan penghancur serbaguna. Mereka pada dasarnya amoral, membantu manusia yang tunduk kepada mereka, tetapi juga sumber, secara langsung atau tidak langsung, dari seluruh kesusahaan manusia’ (hlm. 113).
Sejumlah manusia dengan bakat tertentu mungkin saja memiliki pengaruh terhadap kekuatan kosmik ini. Berbagai teknik memungkinkan mereka untuk memperoleh sebagian potensi tatanan kosmik non-manusia. Banyak antropolog menyebut kekuatan ini mana, sebutan penduduk Kepulauan Pasifik untuknya. Namun, ada banyak nama lain. Suku Warlpiri di Australia Tengah menyebutnya guruwari. Bahkan agama-agama Abrahamik mengetahuinya. Umat Muslim menyebutnya barakah (sejenis kekuatan berkat yang datang dari Tuhan dan mengalir melalui manusia yang dekat dengan-Nya). Umat Kristen menyebutnya karisma (artinya inspirasi ilahi). Di dunia adat, mereka yang memiliki mana dapat ‘memanfaatkan kemampuan ilahi untuk menumbuhkan kebun; hujan, ikan, dan hewan buruan muncul; musuh mati; wanita subur; orang kaya; penyihir binasa; penyakit epidemik berakhir… Mana dalam hal ini adalah kualitas pribadi keilahian yang secara selektif diturunkan kepada manusia’ (hlm. 120-121).
Politik kosmik
Pengetahuan ekologis masyarakat adat mengalami seluruh kosmos sebagai masyarakat penuh ‘pribadi,’ di mana manusia hanya merupakan sebagian kecil saja. Antropolog Inggris terkenal Alfred Radcliffe-Brown menulis bahwa cara Aborigin Australia mengalami spesies dan gejala alam ‘memungkinkan alam untuk dipikirkan seolah-olah itu adalah masyarakat manusiawi, dan karenanya menjadikannya tatanan sosial atau moral.’ Antropolog lain menulis bahwa di Asia Utara, ‘ranah sosial tidak berakhir dengan manusia; sebaliknya, ia tidak mengenal akhir. Jadi, untuk mengatakannya dengan lebih sederhana, alih-alih memandang satu kodrat yang mencakup banyak masyarakat manusia, kita dihadapkan dengan satu masyarakat manusia dan non-manusia yang mencakup, seolah-olah, banyak kodrat.’ Yang lain lagi menulis bahwa di Asia Tenggara ‘kosmologi yang bersifat animis mengasumsikan sebuah kosmos ‘sosial’ yang dihuni oleh manusia dan non-manusia (hewan dan tumbuhan), yang semuanya berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain sebagai subjek otonom dalam bidang hubungan intersubjektif’ (hlm. 125). Manusia-burung hibrida yang disebut kinnara yang muncul di bawah pohon kalpataru di Candi Prambanan di Jawa pada abad ke-9 (Figure 1) menggambarkan hal yang sama dengan indah.
Agar dapat hidup dengan baik dalam tatanan sosial kosmik ini, manusia harus mematuhi banyak sekali aturan. Aturan-aturan ini dulunya disebut ‘pantangan’ atau ‘tabu,’ yang merujuk pada praktek-praktek yang dilarang karena takut akan memicu hal buruk seperti kecelakaan, penyakit, atau kematian. Namun, aturan ini juga mencakup banyak perintah positif. Karena itu, Rasmussen menyebutnya ‘aturan hidup’ (hlm. 142). Kita mungkin berharap aturan-aturan ini terlihat ‘rasional’ – misalnya, aturan yang akan mendorong hidup sehat dengan melarang tanaman beracun. Namun, hal ini jarang terjadi. Salah satu daftar dalam buku Sahlins yang memperlihatkan cirinya yang acak-acak berasal dari suku Inuit Kanada, yang diteliti Rasmussen. Daftar tersebut mencakup hal-hal berikut (hlm. 143):
- Seorang pria yang kehilangan istrinya tidak boleh menyuruh atau memukul anjingnya selama setahun setelahnya.
- Tulang sumsum hewan yang dibunuh oleh anak sulung tidak boleh dimakan dengan pisau, tetapi harus dihancurkan dengan batu.
- Jika seorang wanita melihat ikan paus, ia harus menunjuknya dengan jari tengahnya.
- Para janda tidak diperbolehkan mencabuti bulu burung.
Tujuan akhir dari semua aturan, ilmu sihir, dan ritual ini – yang dijalankan dengan rasa hormat yang dicampuri kehati-hatian dan kecurigaan – adalah untuk mencapai kebahagiaan. Suku Yarralin menyebutnya punyu: ‘keadaan sehat, bahagia, kuat, bertanggung jawab, berpengetahuan, dan sebagainya’ (Deborah Bird Rose 1984: 474). Bagi suku Ojibwa dalam pengamatan Irving Hallowell, hal itu adalah pimadaziwin: ‘hidup dalam arti yang sepenuhnya, hidup dalam arti umur panjang, sehat, dan bebas dari kemalangan. Tujuan ini tidak dapat dicapai tanpa bantuan efektif dari ‘orang’ manusia dan yang bukan manusia, serta dengan usaha sendiri’ (Hallowell 1960: 44).
Filsafat
Pembaca perkotaan dapat memperoleh manfaat dari menyeberangi ‘jembatan’ menuju pengetahuan ekologis adat dengan dua cara. Keduanya sama-sama penting. Yang pertama menyentuh politik dan budaya sehari-hari, yang kedua mendalami filsafat yang mendasarinya.
Di bidang budaya, pengetahuan adat memainkan peran yang semakin penting dalam kesadaran ekologis populer. Gerakan ‘ekoterapi’ yang ditawarkan di Bali menggapai kesejahteraan holistik (Harvey 2017). Gerakan sejenis menonjolkan ritual adat lebih daripada kepercayaan, komunitas lebih daripada individualisme, perayaan lebih daripada kecemasan antroposentris.
Namun, pentingnya pengetahuan adat jauh melampaui spiritualitas alam yang menyenangkan tetapi tidak membahayakan. Pengetahuan adat juga merupakan pesan politik perlawanan yang menuntut keadilan. Di dunia yang terkoyak oleh ketidakadilan sosial dan ekologis, suara dari pinggiran membahana lebih meyakinkan daripada suara dari pusat. Suku Indian Amerika yang mendidik para pecinta lingkungan pertama Amerika tidak menawarkan informasi tetapi kritik, yang bersumber dari pengalaman langsung mereka perihal penindasan kolonial. Pengetahuan ekologis adat berusaha ‘untuk mewujudkan bentuk-bentuk hubungan dan tanggung jawab yang tidak mendominasi, yang peka terhadap konteks, sementara pada saat yang sama menghasilkan wawasan kritis tentang bentuk-bentuk penindasan yang menghancurkan kemungkinan-kemungkinan untuk hidup’ (Deborah Bird Rose 1999: 181-182). Dengan cara ini, pengetahuan adat berfungsi seperti gerakan ekologis lainnya, dari Ekologi Dalam hingga Eko-Feminisme dan Eko-Sosialisme. Pernyataan ‘Ibu Bumi adalah insan yang hidup,’ yang membuka Deklarasi Universal demi Hak-Hak Ibu Bumi, berasal dari pengetahuan ekologis adat. Begitu pula komitmen dalam Piagam Kaum Hijau Sedunia (Global Green Charter), yang ditandatangi semua partai hijau, untuk ‘menyadari hak-hak masyarakat adat dan kontribusi mereka terhadap warisan bersama.’
Pada tingkat yang lebih mendasar, jembatan yang kini dibangun antara kedua budaya tersebut memiliki dimensi filosofis, seperti yang ditunjukkan Deborah Bird Rose di atas (2005). Waktu sudah berlalu di mana ilmuwan alam mengabaikan pengetahuan adat sebagai takhayul yang terbelakang. Berbagai ‘misi memperadabkan‘ (atau mission sivilisatrice), ‘modernisasi,’ dan seterusnya selama beberapa ratus tahun terakhir kini diakui berciri kolonial. Alinea-alinea berikut membuka sejumlah titik kontak, di mana filsafat ilmu alam masa kini mulai terhubung kembali dengan pola pemikiran yang dulunya hampir universal.
Frasa ‘sebagian besar umat manusia’ dalam subjudul buku Sahlins mungkin menyiratkan subjek etnografis yang kini tinggal di rumah panjang di tepi sungai, dan terkadang peradaban seperti bangsa Sumeria yang kini tidak lagi tersisa jejaknya. Bagi orang Indonesia, subjek etnografis tersebut adalah orang Dayak dan Papua, Orang Rimba atau Baduy, yang masih tinggal di hutan. Bagi orang Australia, mereka adalah suku Aborigin dan hubungannya dengan Tanah yang telah berusia 65.000 tahun. Namun, bagi ‘masyarakat modern’ di kedua negara, masyarakat adat ini masih terlihat agak terpencil secara budaya. Mungkin lebih terpencil bagi masyarakat Australia modern daripada orang Indonesia modern, yang neneknya seringkali masih mempraktekkan ritual animisme adat seperti sesajen. Namun, jika kita jujur pada diri sendiri, praktek semacam itu tetap terlihat agak ‘pra-ilmiah.’
Namun bagaimanapun, sedikit pemikiran akan menyadarkan kita bahwa ‘sebagian besar umat manusia’ a la Sahlins mungkin juga mencakup para filsuf Yunani yang pertama kali menguraikan bentuk dasar pemikiran ilmiah modern. Nama-nama seperti Herakleitos dan Aristoteles muncul dalam benak. Dan bahkan mencakup beberapa filsuf sains modern, dari Spinoza hingga A. N. Whitehead, yang menentang transendentalisme rekan-rekan mereka, dan yang menemukan bahwa imanentisme kuno masih menghasilkan wawasan yang lebih besar.
Herakleitos hidup sekitar tahun 500 BCE. Saat ini kita hanya memiliki fragmen dari satu-satunya buku yang pernah ditulisnya (Kahn 1979). Buku itu sangat berpengaruh pada masanya. Aristoteles memiliki salinannya dan membahasnya. Begitu pula dengan kaisar Romawi Markus Aurelius yang meninggalkan kita buku hariannya. Herakleitos saat ini dianggap pendiri metafisika, cabang filsafat paling mendasar, yang membahas hakikat realitas. Sahlins pasti akan menyebut Herakleitos sebagai seorang imanentis. Para filsuf menyebutnya seorang ‘monis’ – yang praktis berarti hal yang sama. (Demikian pula, apa yang disebut oleh para antropolog sebagai transendentalisme oleh para filsuf disebut ‘dualisme.’) Para penganut monisme memahami segala sesuatu yang ada sebagai satu kesatuan (satu ‘substansi,’ istilah teknisnya). Mereka menolak dikotomi antara yang rohani dan jasmani yang menjadi ciri khas dualisme/ transendentalisme. Mereka memang tidak dapat memahami dualisme. Para penganut monisme awal yang mengikuti jejak Herakleitos bahkan tidak pernah menyerang dualisme hingga masa setelah Plato. Plato hidup lebih dari seratus tahun kemudian dan dapat dikatakan adalah dualis barat pertama. Bagi kaum monis, kosmos tidak hanya bersifat ‘material’ tetapi juga (seperti yang dikatakan oleh orang-orang modern) ‘spiritual.’ Kosmos dipenuhi dengan pikiran, dengan akal budi (‘jiwa’ – lihat di atas), kecerdasan, kesadaran, dengan kehidupan, dan bahkan, ya betul, penuh dengan kepribadian. Dalam hal ini pemikiran mereka sepenuhnya segaris dengan pemikiran masyarakat adat.
Herakleitos dikenal karena ucapannya yang penuh teka-teki. Seperti ucapan-ucapan bijak Tiongkok Daodejing, atau epigram Nietzsche, ucapan-ucapan ini dapat memiliki banyak makna. Salah satu yang paling terkenal adalah: ‘Berpikir adalah hal yang umum’ (Fragmen 31 dalam Kahn). Ini dapat dibaca hanya berlaku untuk manusia: ‘Berpikir adalah hal yang umum bagi semua orang’ – yaitu, kita semua memiliki kemampuan yang sama untuk berpikir dan mengamati, untuk memahami dunia, yaitu, untuk melakukan sains. Namun kita dapat juga membacanya dengan cara yang jauh lebih kuat, sehingga berlaku untuk segala sesuatu: ‘Berpikir adalah hal yang umum bagi segala sesuatu.’ Yaitu, segala sesuatu di alam semesta memiliki semacam ciri untuk bisa berpikir. Sarjana Herakleitos yang terkenal, Charles Kahn, yakin bahwa makna ganda ini memang disengaja.
Hubungan antara filsafat Yunani kuno dan pengetahuan ekologis pribumi tidak berhenti pada metafisika abstrak. Bagi keduanya, adanya elemen-elemen penuh hidup di mana-mana di alam semesta membawa implikasi etis. Dalam kalimat yang terkait dengan kalimat sebelumnya, Herakleitos menulis: ‘Berpikir dengan baik (sophronein) adalah keunggulan dan kebijaksanaan terbesar: bertindak dan mengatakan apa yang benar, memahami segala sesuatu sesuai dengan kodratnya (physis)’ (Fragmen 32 dalam Kahn). ‘Berpikir dengan baik’ bukan sekadar masalah fisika yang akurat, tetapi juga etika yang unggul. Ini menyangkut hidup dengan cara baik, menjadi ‘sadar’ (atau ‘terbangun,’ seperti yang ia katakan di tempat lain), memahami kehidupan dan kematian. ‘Mengenallah dirimu sendiri’ adalah perintah etika tertinggi dalam pemikiran Yunani. Bagi Herakleitos, ini persis sama dengan ‘berpikir dengan sehat’ dan ‘bertindak sesuai dengan alam’ (lihat juga (Carone 2001)). ‘Saya pergi mencari diri saya sendiri,’ kata Herakleitos dalam fragmen lain (28). Hubungan antara pencarian jati diri secara batin dan pemahaman lahiriah tentang dunia tidak bisa lebih dekat lagi. Karena, pada akhirnya, ‘segala sesuatu adalah satu’ (Fragmen 36), hen panta einai. Charles Kahn mengatakan ini adalah ‘pernyataan monisme sistematis paling awal yang masih ada, dan mungkin pernyataan pertama yang pernah dibuat di Yunani.’
Ada satu hal di mana para filsuf kuno memang tidak setuju dengan masyarakat adat. Herakleitos sama sekali tidak menyukai ‘ritual.’ Dalam hal ini yang ia maksud adalah kultus ‘misteri’ Yunani kuno. Fragmen 95 dalam Kahn berbunyi: ‘Misteri yang ada di antara manusia membuat mereka menjadi tidak beriman.’ Barangkali yang tidak ia sukai adalah janji yang disebarkan melalui kultus bahwa manusia setelah mati akan lahir kembali secara individu. Ini melanggar hukum alam, menurut Herakleitos. Keadilan kosmik tidak dapat diubah. Takdir akhir seseorang dalam kehidupan ini dan setelahnya terkait dengan perilaku sehari-hari seseorang, bukan angan-angannya. Dan hal ini tidak dapat dihindari.
Tanpa mengklaim bahwa ritual adat di seluruh dunia menyerupai kultus Yunani, saya akan mengatakan: filsafat tetap merupakan kegiatan yang berharga. Marshall Sahlins (2022: 174-175) dengan bijak menyimpulkan studinya dengan pengamatan berikut yang menghubungkan adat dengan pemikiran filosofis Barat:
Manusia tidak membayangkan dewa-dewi, mereka hanya mengobjektifkan, atau lebih tepatnya, mensubjektifkan, kekuatan-kekuatan ekstra-manusiawi yang membuat mereka hidup dan mati. Kekuatan-kekuatan itu sudah ada di sana. Kekuatan itu tidak dibayangkan. Mereka itu adalah pemberi kehidupan dan pembawa kematian yang sifatnya nyata, empiris. Manusia hanya memberi mereka kualitas-kualitas substantif yang membuat mereka dapat diajak bernegosiasi, atau setidaknya dapat dipahami…
Keharusan etis yang muncul dari pengalaman menjadi ‘sadar’ terhadap cara kerja kosmos tetap menjadi inti bagi karya ilmiah dan budaya selama ribuan tahun setelah Herakleitos. Hubungan erat antara pengetahuan dan etika ini baru diputus oleh para pemikir Pencerahan (yang Moderat) pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sekarang tampak jelas bahwa pengabaian etika oleh ilmu pengetahuan alam modern disebabkan oleh transendentalisme yang tersisa dalam pemikiran modern setelah Pencerahan. Ingatlah bahwa transendentalisme Kristen mengusir ‘jiwa’ yang pernah menghuni seluruh kosmos ke alam supernatural yang dipelajari oleh para teolog, sementara dunia alam yang dipelajari oleh fisikawan tidak aktif secara spiritual. Bahkan setelah fisikawan abad ke-19 berhenti percaya pada hal-hal gaib, mereka terus berpegang pada dunia alam yang ‘tidak spiritual.’
Akan tetapi, sejumlah kecil filsuf modern tetap menganut monisme yang dikumandangkan Herakleitos dan pemikir Yunani kuno lainnya. Baruch Spinoza (1632-1677), yang dibahas beberapa kali dalam buku ini, adalah salah satunya. Namun, ada yang lain, termasuk Albert Einstein (Skrbina 2017). Monisme mereka menuntun mereka semua untuk menemukan kembali alam semesta yang ‘penuh pesona,’ yang membangkitkan rasa hormat dan penghargaan – seperti di dunia masyarakat adat.
Dan ada paralel yang lebih mendalam lagi antara pemikiran pra-Sokratik dan imanentisme pribumi. Ia melampaui ‘substansi’ kosmos yang pada dasarnya terpadu, hingga mencapai ke dinamisme yang melekat di dalam kosmos sendiri. Ucapan Herakleitos yang terkenal lainnya adalah: ‘Seseorang tidak dapat melangkah dua kali masuk ke sungai yang sama, juga tidak dapat memahami substansi fana apa pun dalam kondisi stabil, tetapi dengan intensitas dan kecepatan perubahan, ia menyebar dan berkumpul lagi’ (Fragmen 51 dalam Kahn). Bukan stabilitas yang mendefinisikan kosmos, tetapi perubahan, kehidupan (vitalitas), gerakan (dalam bentuk siklus), dan hubungan dinamis yang menghubungkan segala sesuatu dengan segala sesuatu yang lain.
Hal ini membawa para filsuf kuno pada apa yang kita anggap sebagai pandangan ekologis tentang dunia. Seperti yang dikatakan oleh sarjana Aristoteles, John Randall (1960: 127):
Bagi Aristoteles, dunia adalah tontonan dan panorama proses yang hebat, penuh dengan hal-hal yang memiliki kekuatan, dynameis, yang menggunakan kekuatan tersebut untuk bekerja, energeia—dalam bahasa Latin, untuk ‘beroperasi’—beralih dari sekadar kekuatan ke kerja, pengoperasian kekuatan tersebut, dari potensi ke aktualitas. Segala sesuatu di dunia memiliki kekuatan untuk beroperasi dengan cara yang khas dan sesuai kodratnya, cara yang cocok dengan jenis benda itu sendiri. Dan segala sesuatu juga memiliki dorongan, impuls, kecenderungan—Aristoteles menyebutnya horme—untuk menggunakan kekuatannya agar beroperasi, horme yang ‘ditanamkan’ pada setiap benda untuk menjadi jenis benda yang dapat ditujunya.
Pemahaman tentang kekuatan dinamis yang menggerakkan alam semesta ini menyentuh hati filsuf lingkungan modern Baird Callicott hingga mendesak kita agar mengambil pendekatan ‘perbaikan diri’ ketika membaca pemikiran kuno (2017). Pemikiran seperti itu juga tidak jauh dari keyakinan masyarakat adat tentang dewa-dewa agung, ‘pencipta dan penghancur serbaguna.’ Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa satu-satunya cara kita dapat belajar tentang alam semesta yang hidup ini adalah dengan menjadi hidup sendiri. Kita tidak bisa duduk di luarnya dan mengamati. Kita harus berada di tempat-tempat di mana semua itu terjadi, dan kita harus mendiskusikannya dengan makhluk hidup lainnya. Ini adalah cara berbasis tempat, dialogis, etis, dan penuh hormat yang selalu digunakan masyarakat adat untuk membentuk pengetahuan mereka tentang kosmos.
Untuk penelitian lebih jauh
- Di Australia, pengetahuan ekologis asli disebut ‘Filsafat Australia‘; di Indonesia disebut Filsafat Nusantara. Diskusikan dengan sekelompok kecil teman: bagaimana pendapat Anda tentang gagasan ini? Apa implikasinya buat perdebatan publik di kedua negeri ini jika dianggap serius?
Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.
[Modifikasi terakhir: 11/01/2025]
Acuan
Callicott, J. Baird. 2017. ‘Worldview remediation in the first century of the new millennnium.’ In Environmental humanities: voices from the Anthropocene, edited by Serpil Oppermann and Serenella Iovino, 133–154. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Carone, Gabriela R. 2001. ‘The classical Greek tradition.’ In A companion to environmental philosophy, edited by Dale Jamieson, 67-80. Malden, MA: Blackwell.
Casi, Corinna, Hanna Ellen Guttorm, and Pirjo Kristiina Virtanen. 2021. ‘Traditional Ecological Knowledge.’ In Situating Sustainability: A Handbook of Contexts and Concepts, edited by C. Parker Krieg and Reetta Toivanen, 181-195. Helsinki: Helsinki University Press.
Hallowell, A. Irving 1960. ‘Ojibwa ontology, behavior, and world view.’ In Culture in history: essays in honor of Paul Radin, edited by C. Diamond, 19–52. New York: Columbia University Press.
Harvey, Graham. 2017. ‘Paganism and Animism.’ In Routledge Handbook of Religion and Ecology, edited by Willis Jenkins, Mary Evelyn Tucker and John Grim, 211-9. London and New York: Routledge.
Kahn, Charles H. 1979. The art and thought of Heraclitus. Cambridge: C.U.P.
Kurth, Charlie, and Panu Pihkala. 2022. ‘Eco-anxiety: What it is and why it matters.’ Frontiers in Psychology 13 (981814). doi: 10.3389/fpsyg.2022.981814.
Lynch, Tom. 1997. ‘The ‘domestic air’ of wilderness: Henry Thoreau and Joe Polis in the Maine Woods.’ Weber Studies 14 (3):38-48.
Randall, John Herman. 1960. Aristotle. New York: Columbia University Press.
Rose, Deborah. 2005. ‘An indigenous philosophical ecology: situating the human.’ The Australian Journal of Anthropology 16 (3):294-305.
Rose, Deborah Bird. 1984. ‘Dingo makes us human: being and purpose in Australian aboriginal culture.’ PhD Dissertation, Bryn Mawr College.
Rose, Deborah Bird. 1999. ‘Indigenous ecologies and an ethic of connection.’ In Global ethics and environment, edited by Nicholas Low, 175-187. London: Routledge.
Rose, Deborah Bird. 2009 [1992]. Dingo makes us human: life and land in an Australian Aboriginal culture. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Rose, Deborah Bird, and Libby Robin. 2004. ‘The ecological humanities in action: an invitation.’ Australian Humanities Review 31-32.
Sahlins, Marshall. 2022. The new science of the enchanted universe: an anthropology of most of humanity. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Skrbina, David. 2017. Panpsychism in the West. rev ed. Cambridge, MA: MIT Press.
Thoreau, Henry David. 1854. Walden. Boston: Ticknor and Fields.
Thoreau, Henry David, and (terj Ratih Dwi Astuti). 2018 [asli Inggeris 1854]. Walden. Bantul, Yogyakarta: Basabasi.
Tuck, Eve, and K. Wayne Yang. 2012. ‘Decolonization is not a metaphor.’ Decolonization: Indigeneity, Education & Society 1 (1):1‐40.
Catatan
[1] Istilah ‘masyarakat adat’ tidak memiliki definisi standar, dan ada alternatif seperti ‘masyarakat pribumi‘ (first nation), orang asli, atau ‘aborigin.’ Dalam masyarakat yang didominasi pendatang Eropa seperti Australia dan AS, istilah ini merujuk pada mereka yang dijajah oleh pendatang. Di sebagian besar Afrika dan Asia pascakolonial, tanpa pendatang Eropa yang signifikan, istilah yang sama dapat mencakup seluruh penduduk negeri, tetapi dalam prakteknya dibatasi pada sebuah minoritas yang beridentifikasi diri sebagai kaum adat, dan yang secara resmi diklasifikasi sebagai, misalnya, ‘suku terasing’ di Indonesia. Di mana-mana, istilah ini menyiratkan kedekatan khusus dengan tempat: ‘Masyarakat adat adalah mereka yang memiliki kisah penciptaan, bukan kisah penjajahan, tentang bagaimana kita/ mereka sampai berada di suatu tempat tertentu – bahkan bagaimana kita/ mereka sampai menjadi suatu tempat. Hubungan kita/ mereka dengan tanah meliputi epistemologi, ontologi, dan kosmologi kita/ mereka’ (Tuck and Yang 2012).
[2] Penjelasan konsep ‘transenden‘ dalam Wikipedia Indonesia, menurut saya, terlalu singkat sehingga berpeluang menciptakan kesan keliru. Demikian pula penjelasan Wikipedia Indonesia tentang ‘imanentisme‘ (lihat bawah).