English version
Patresia Kirnandita
Di banyak negara termasuk Indonesia, kebebasan berekspresi di dunia digital memiliki batasan, terlebih lagi yang berkaitan dengan ekspresi seksualitas. Ada sejumlah aturan yang membuatnya dilarang ditunjukkan di ranah publik.
Sejak 2015, saya telah menggunakan Instagram dan mengunggah beberapa gambar bertema erotis dengan membubuhi tagar #eroticart dan #eroticdrawing. Saat membuat post-post tersebut, saya juga menelusuri gambar-gambar sejenis.
Pada 2016, saya menemukan sebuah gambar erotis di Instagram yang menarik. Gambar tersebut diunggah oleh seorang perempuan bernama Candrika. Dalam caption, ia bercerita tentang pengalamannya saat datang ke sebuah copy center, meminta layanan petugas untuk memindai gambar erotisnya. Alih-alih dilayani dengan baik, ia malah menerima penolakan. Kata si petugas, “Perempuan kok gambarnya cabul begitu? Maaf, nggak bisa [scan gambar di sini].”
Kisah Candrika mendorong saya untuk mengeksplorasi tagar #eroticart lebih lanjut, berikut ekspresi-ekspresi seksualitas ilustrator perempuan Indonesia di Instagram. Dalam penelusuran saya menemukan lagi sederet erotic art yang diunggah beberapa perempuan berbeda; Farah, Tamy, Ayu, Yuli, dan Lulu. Kemudian, saya pun mengirim pesan via direct message kepada Candrika dan lima perempuan ini, lalu menanyakan apakah mereka bersedia membicarakan soal gambar-gambarnya. Ternyata, cerita di balik karya mereka begitu menarik.
Beberapa dari ilustrator perempuan yang saya kontak tersebut memakai nama samaran, contohnya Farah, yang memilih nama pengguna @laviaminora (dari kata labia minora). Farah merasa nama tersebut merepresentasikan niatnya untuk mengusung isu seksualitas perempuan. Agenda ini juga ditemukan dalam penjelasan Candrika saat saya menanyainya sehubungan tujuan mengunggah gambar-gambar erotis. Ia memaparkan, “Membicarakan soal seksualitas perempuan di publik membantu meningkatkan pemahaman perempuan-perempuan lain yang mulanya tidak tahu apa-apa soal hal tersebut atau soal hak seksualnya. Selain itu, dengan membicarakan seksualitas perempuan, kita juga membantu mengedukasi laki-laki untuk memperlakukan partner mereka bukan sekadar sebagai objek.”
Menghadapi kendala
Ketika para ilustrator ini mengekspresikan seksualitasnya, ada sejumlah kendala yang mereka harus hadapi.
Pertama, Instagram bisa menghapus unggahan apa pun yang dilaporkan pengguna lain karena melanggar Panduan Komunitas; hal ini terjadi pada Candrika. Di dalam panduan tersebut dinyatakan, platform media sosial ini tidak menoleransi pengguna mana pun yang mengunggah materi visual yang memperlihatkan sebagian atau seutuhnya ketelanjangan atau hubungan seksual. Lebih jauh lagi, Instagram juga membatasi beberapa tagar seperti #porn, #sexart, #sexual, #masturbate, dan #orgasm. Walau demikian, Instagram membolehkan penggunanya memakai tagar yang masih berhubungan dengan seksualitas semacam #sexualart, #sexualexpression, #pornart, #eroticart, dan #femaleorgasm. Di satu sisi, di samping tagar-tagar yang dibatasi tadi, Instagram juga membatasi pemakaian sejumlah kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang berhubungan dengan seksualitas semisal #memek [vagina], #ngewe [hubungan seksual], dan #bokep [porno]. Namun, unggahan dengan tagar-tagar yang dimodifikasi seperti #memekbasah, #ngeweperawan, dan #bokepindonesian masih bisa ditemukan.
Pembatasan pemuatan gambar dengan tagar-tagar tertentu seperti yang disebutkan tadi masih mungkin berubah di kemudian hari. Hal ini mengindikasikan adanya ambiguitas penerapan kebijakan Instagram. Lebih lanjut, selagi beberapa unggahan para ilustrator yang saya wawancarai tadi dihapus oleh platform media sosial ini, masih banyak post lain yang eksplisit secara seksual berseliweran dan gampang diakses di Instagram.
Kendala kedua terkait ekspresi seksualitas ilustrator perempuan Indonesia ialah norma susila yang berakar dari nilai religi dan budaya. Norma inilah yang mengekang kebebasan mengekspresikan seksualitas orang-orang. Kebanyakan orang Indonesia percaya bahwa seksualitas bukanlah hal yang patut dibicarakan di ranah publik. Khususnya untuk perempuan, jika ia melakukan hal tersebut, ia akan dilabeli sebagai perempuan nakal atau pelacur. Pelabelan ini termanifestasikan pada kasus Farah, yakni ketika ia dihujat dan dikatakan sebagai perempuan tak bermoral. Ia juga menerima gambar-gambar penis serta ajakan berhubungan seks dari orang-orang tidak dikenal via direct message.
Ketiga, ada aturan-aturan negara seperti UU no.44/2008 tentang Pornografi (pasal 4) dan UU no.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE (pasal 27) yang membatasi ekspresi seksual warga. Dengan adanya kedua UU ini, sebenarnya para ilustrator rentan dikriminalisasi setelah mengunggah karya-karya erotisnya. Baik pihak penegak hukum maupun masyarakat umum bisa saja melaporkan karya tersebut sebagai karya pornografis alih-alih karya seni.
Benarkah tidak ada perbedaan antara materi pornografi dan karya seni erotis?
Menurut para ilustrator ini, ada bedanya. Candrika berpendapat, “Karya ini [gambar erotis] lebih memperlihatkan rasa penghargaan pada tubuh manusia, terutama perempuan, sementara pornografi malah lebih sering mendegradasinya dan bersifat lebih eksploitatif.”
Ilustrator lainnya punya opini senada; ada yang memandang karya erotis sebagai suatu cara seseorang mengungkapkan rasa syukurnya dan perasaannya kepada sang pasangan; ada yang berpikir seksualitas yang tergambar di karya erotis merupakan hal yang sakral alih-alih nafsu badaniah semata. Lebih lanjut, menurut Ayu, erotisisme tidak melulu berkaitan dengan hubungan seks yang tergambar gamblang. Beberapa gestur dan pose tertentu bisa juga terlihat erotis.
Aneka kendala yang ada di depan mata mendorong para ilustrator ini menggunakan strategi-strategi tertentu untuk menghindarinya. Salah satunya ialah dengan melakukan swasensor gambar seperti mengaburkan bagian vagina di karya mereka. Ada lagi cara lain, yaitu dengan memakai metafora untuk genitalia perempuan semisal buah atau bunga. Untuk menekankan aspek estetika pada karya mereka, beberapa ilustrator juga membubuhi caption berbentuk fiksi pendek atau puisi.
Seni erotis dan artivisme
Karya seni erotis yang diunggah para ilustrator ini tidak hanya memuat aspek emosional dan estetika dari seksualitas, tetapi juga mengandung ‘artivisme’—sebuah terminologi yang memadukan kata art atau seni dan aktivisme. Dalam unggahan Candrika yang memperlihatkan empat perempuan sedang menstimulasi genitalia mereka, ia berbicara tentang masturbasi perempuan yang jarang sekali dibahas apalagi dinormalisasi. Hal ini dipandang lebih tabu dibanding masturbasi yang dilakukan laki-laki. Di samping isu masturbasi perempuan, Candrika juga menyisipkan isu body positivity dan seks konsensual. Sementara itu, Farah memperbincangkan isu edukasi seks dalam salah satu unggahannya.
Artivisme di Instagram bisa berjalan efektif karena beberapa faktor. Pertama, popularitas Instagram dan sejumlah fasilitas yang tersedia dalam platform itu—seperti adanya fitur tagar #eroticart—meningkatkan potensi menyebarnya pesan artivisme di kalangan para pengguna. Kedua, penggunaan gambar atau cerita yang berelasi dengan pengalaman pengguna-pengguna lain membuat para pengguna tersebut lebih mudah mencerna pesan yang disampaikan ilustrator. Ketiga, artivisme yang merebak di Instagram juga disokong oleh adanya akun-akun media sosial yang mempromosikan sex positivity, tidak cuma dari Indonesia, tetapi juga mancanegara.
Berkaca dari kisah-kisah para ilustrator perempuan ini, kita dapat melihat bahwa ada kekaburan batasan antara ranah privat dan publik dan apa yang dirasa layak dan tidak layak ditayangkan di dunia cyber. Peluang untuk mengadvokasi seksualitas perempuan bisa saja meningkat di ranah digital, tetapi hal ini selalu diiringi oleh beragam tantangan. Pasalnya, akan terus ada pengawasan nonstop tak disadari dari warganet dan sanksi yang bisa saja dijatuhkan tiba-tiba kepada siapa pun yang mengekspresikan seksualitasnya di internet.
Patresia Kirnandita (pputri1989@gmail.com, Instagram @kirnantresia) adalah penulis dan peneliti di Indonesia.