Dec 03, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

3b. Binatang bermoral

Published: May 27, 2024

Kita tidak saja menyerupai binatang; kita adalah binatang. Perbedaan-perbedaan kita dengan spesies lain tampak mencolok, tetapi perbandingan dengan mereka sejak dulu, dan seharusnya, penting sekali untuk menentukan pandangan kita terhadap diri kita.

(Midgley 1995 [1978])

Gerry van Klinken

Demikianlah pembukaan buku Mary Midgley yang klasik (1995 [1978]) berjudul Beast and Man (Binatang dan Manusia). Kalimat itu juga menjadi program kita dalam bab ini. Pemahaman tentang kemiripan manusia dengan binatang lain akan mencerahkan manusia.

Seirama dengan meningkatnya kesadaran lingkungan belakangan ini, minat terhadap kehidupan binatang juga naik. Untuk sebagian, minat itu tergerak kasihan karena binatang jelas menghadapi ancaman dari manusia, seperti kepunahan akibat kerusakan habitat dan kekejaman dari praktek peternakan skala industrial. Sebagian karena kehidupan di kota membuat kita rindu pada kedekatan orang kampung dengan tumbuhan dan hewan. Sebagian lagi karena impian akan masa depan yang lebih ekologis membuat kita merasa ingin lebih akrab dengan alam. Setiap bertemu dengan seekor binatang membuat kita merasa ada semacam kekerabatan yang sulit dijelaskan. Siapakah binatang itu? Mengapa ia mampu menggelitik hati secara misterius?

Bab ini mengangkat tiga pertanyaan kunci. Pertama: Bagaimana, sebenarnya, kita ketahui kesamaan manusia dengan binatang lain? Ini menyangkut cabang biologi yang bernama etologi, yaitu studi terhadap perilaku binatang. Sebuah cabang disiplin itu, yang dinamakan etologi kognitif, ingin mengetahui proses-proses mental berkaitan dengan perilaku binatang. Etologi mengalami “revolusi” selama 3-4 dasawarsa terakhir ini. Filsuf binatang asal Perancis, Dominique Lestel, menyetarakan pentingnya revolusi etologis dengan revolusi kuantum di bidang fisika awal abad ke-20, dan dengan revolusi molekul-DNA dalam bidang biologi pada paruh kedua abad yang sama (Chrulew, Bussolini, and Buchanan 2018: 1-3). Alasannya, karena kaum antropolog mulai mendalami juga perilaku binatang (lain selain manusia). Pertanyaan tentang pengetahuan ini akan menyita kebanyakan ruang bab ini. Sejumlah contoh akan disebut secara agak mendetil, termasuk contoh pola perilaku “moral” yang diamati di antara binatang, seperti kerjasama, empati, dan keadilan.

Pertanyaan kedua: Mengapa revolusi etologis ini tidak berlangsung jauh hari sebelumnya? Mengapa kita harus menunggu begitu lama, padahal ilmuwan telah mengamati perilaku binatang sejak lama sekali? Jawabannya akan membawa kita pada pemikiran kritis tentang batas-batas spesialisasi yang memisahkan biologi dari humaniora. Revolusi etologis yang sedang berlangsung terjadi justru pada saat batas-batas itu mulai didobrak.

Pertanyaan ketiga: Apa manfaatnya dalam kehidupan kita sehari-hari apabila benar pengamatan di atas tentang kesamaan antara manusia dan binatang lain? Jawabannya akan membawa kita pada persoalan etis yang sangat mendasar. Filsuf dan etolog Dominique Lestel menarik sebuah kesimpulan yang pasti menyentuh hati pembaca: “Kita berhutang budi kepada mereka pada tingkat ontologis (menyangkut keberadaan) – sebuah hutang tak terhingga. Kita adalah manusia melalui apa yang diberikan kepada kita oleh binatang” (Chrulew, Bussolini, and Buchanan 2018: 171-181). Hutang tak terhingga besar itu sebenarnya tak pernah akan terbayarkan, dan sekaligus menyuntik semangat baru pada usaha penelitian ke depan.

Revolusi etologis

Para filsuf sudah sejak ribuan tahun mencari tahu dalam hal apa manusia berbeda dengan makhluk lain. Banyak di antaranya yakin bahwa keunikan tersebut bersifat agak abstrak, yaitu terletak di dalam jiwa, nalar, atau konsep Diri. Ada yang berkata keunikan manusia terletak dalam penggunaan bahasa, ada lain yang menemukannya di dalam pemakaian dan pembuatan alat. Kadang pencarian filsafati ini menjurus kepada upaya untuk mengeluarkan manusia dari hukum-hukum alam, seolah manusia tidak perlu tunduk kepada realitas fisik karena ia memiliki hubungan istimewa kepada yang rohani yang tidak berbadan. Namun, satu per satu ciri-ciri manusia yang “unik” itu terbukti tidak unik juga (Hughes 2009: 17). Dalam bukunya The Descent of Man (1871: 46) Charles Darwin sudah berkesimpulan: “Sedikit sekali orang kini membantah bahwa binatang memiliki daya nalar tertentu.”

Pada tahun 1960 Jane Goodall, peneliti lapangan Inggeris yang waktu itu baru berumur 26 tahun, mengamati seekor simpanse tua yang ia namakan David Greybeard sedang memanipulasi sebatang ranting tipis. Greybeard melepaskan dedaunan lalu menusuk ranting itu ke dalam lubang di tanah. Ia memancing rayap, yang kemudian dimakan. Jane Goodall ditugaskan ke lokasi penelitian di hutan rimba Tanzania oleh arkeolog termasyur Louis Leakey. Leakey sebelumnya telah menemukan kerangka manusia purba di Afrika, yang membuktikan asal-usul leluhur manusia modern di sana. Ia lalu menyusun penelitian tentang perilaku simpanse – spesies terdekat dengan manusia. Ia berharap pengamatan pada simpanse akan memungkinkan spekulasi lebih bermakna tentang perilaku manusia purba. Setelah Goodall ceritakan temuannya kepada Leakey, Leakey mengeluarkan pernyataan yang terkenal: “Kini kita harus mendefinisikan kembali ‘alat,’ mendefinisikan kembali ‘manusia,’ atau kita harus menerima simpanse sebagai manusia.”

Ciri manusia yang paling khas adalah kemajuan moralnya. Charles Darwin menulis (1871: 70): “Saya sepenuhnya setuju dengan penilaian penulis-penulis yang menegaskan bahwa dari seluruh perbedaan antara manusia dengan binatang lebih rendah, yang jelas-jelas paling penting adalah perasaan moral atau hati nurani.” Darwin tidak mengklaim bahwa hati nurani itu unik bagi manusia. Ia sangat tertarik dengan perilaku moral binatang seperti kuda dan anjing. Orang kebanyakan, sebaliknya, sering menganggap binatang belum bermoral. Dalam bahasa sehari-hari orang menyamakan perilaku kejam musuhnya dengan “binatang buas.” “Perikemanusiaan” adalah standar moral yang bertentangan dengan perilaku binatang yang hanya mencari keenakan sendiri. Ejekan tentang berbagai macam dosa sering mengumpamakannya sebagai perilaku binatang (kumpul-kebo, anjing lu!, dst). Maka temuan etologis yang paling mencengangkan untuk publik luas menyangkut perilaku binatang sosial yang patut dianggap moral.

Dalam bukunya Wild justice: the moral lives of animals (“Keadilan liar: kehidupan moral dari binatang”), Marc Bekoff dan Jessica Pierce (2017: xi) tidak segan-segan menggunakan istilah “moral” untuk menerangkan perilaku binatang yang diamati oleh kaum etolog:

Kami yakin tidak ada celah moral antara manusia dan binatang lain. Bila ada orang menyatakan bahwa “pola-pola perilaku yang ditunjukkan serigala atau simpanse hanya menjadi batu-batu bangunan moralitas manusia” maka pernyataan sejenis tidak membantu menyelesaikan persoalan. Pada titik tertentu perbedaan kuantitatif (yaitu perbedaan derajad) tidak lagi bermakna sama sekali, dan setiap spesies mampu melakukan “hal yang sesungguhnya”. Biologi yang baik menjurus kepada kesimpulan ini. Moralitas adalah ciri yang lahir secara evolusioner dan “mereka” (binatang lain) memilikinya persis seperti kita memilikinya.

Bekoff dan Pierce memberikan banyak contoh moralitas binatang dalam bukunya. Ketika seekor gajah betina muda yang kakinya pas sakit ditabrak gajah jantan muda hingga jatuh, seekor gajah tua terlihat mengusir yang jantan. Ia kemudian berbalik dan menunjukkan belas-kasihan kepada korban dengan menyentuhkan belalainya pada kaki yang luka. Seekor monyet diana (Cercopithecus diana) yang jantan telah mengetahui bagaimana ia dapat memperoleh makanan dengan cara memasukkan cakram kecil dalam sebuah mesin. Ia melihat monyet betina di sampingnya (mereka sama-sama terkurung) yang tak paham triknya. Ia lalu memasukkan cakram lain ke dalam mesin. Daripada memakan sendiri makanan yang keluar, ia menunggu hingga betina memakannya. Ia mengulangnya beberapa kali hingga betina itu juga memahami prosedurnya. Sekelompok simpanse di dalam kebun binatang di Belanda memarahi simpanse lain yang telat hadir saat makan malam, sebab menurut aturan yang berlaku di antara mereka, tak ada yang boleh makan hingga semuanya telah hadir. Ini semua harus digolongkan sebagai perilaku moral.

Bekoff dan Pierce (2017: 7) merumuskan makna moralitas sebagai berikut:

Kami mendefinisikan moralitas sebagai suatu paket perilaku yang saling terkait, yang mempertimbangkan “yang lain” (a suite of interrelated other-regarding behaviors), dan yang semuanya menumbuhkan dan menata interaksi-interaksi kompleks di dalam kelompok sosial.

Mereka membedakan tiga macam perilaku moral: kerjasama, empati, dan keadilan.

Kerjasama. Orang telah mendapat kesan dari teori Darwin bahwa binatang selalu bersaing satu sama lain. Pengamat intelektual abad ke-19 mengutip kalimat poetis ini untuk menggambarkan kekejaman yang tersirat dalam teori evolusi: “Alam, merah pada gigi dan cakar” (Nature red in tooth and claw, dari sebuah syair Tennyson). Dalam kenyataan, hampir semua interaksi antara binatang yang diamati oleh kaum etolog bersikap bersahabat (Bekoff and Pierce 2017: Bab 3). Mirkat atau surikata adalah mamalia sebesar kucing yang hidup secara sosial di padang gurun Afrika. Sementara mayoritas sibuk makan, beberapa ekor mirkat selalu akan memindai lingkungan, jangan sampai rombongan dikejutkan pemangsa. Pemindai tidak harus berhubungan famili. Banyak jenis burung juga membagi kerja antara makan dan memindai – di mana pemindai tidak makan dulu walaupun barangkali lapar. Pola-pola kerjasama yang lain termasuk membentuk persekutuan, mengasuh keperawatan pada yang kecil, dan saling membersihkan (grooming). Daripada darah, pengamat akan jauh lebih sering melihat kerjasama yang damai. Kerjasama adalah lem yang mengikat kehidupan binatang satu dengan yang lain. Kerjasama lebih sering terjadi, bahkan dalam situasi di mana persaingan dan cek-cok mudah diduga muncul, seperti misalnya ketika sejumlah binatang harus membagi makanan yang enak.

Intelektual Rusia yang anarkis Pyotr Kropotkin, dalam sebuah buku terkenal tahun 1902 berjudul Mutual Aid (“Saling Bantu”), mengusulkan bahwa bukanlah persaingan belaka, melainkan juga kerjasama lebih tepat menggambarkan perilaku binatang di alam bebas. Andaikata saran Kropotkin ini diambil serius oleh para biolog, sejarah intelektual teori evolusi akan tampak sangat berbeda.

Pengamatan seperti diterangkan di atas membuat seseorang mencatat secara ironis (Bekoff and Pierce 2017: i): “Sangat mungkin masih ada sejumlah laki-laki dan perempuan cerdas yang belum sadar akan kenyataan bahwa satwa liar memiliki kode moral, dan bahwa pada umumnya mereka (satwa itu) lebih menaatinya daripada manusia menaati kodenya sendiri.”

Empati dan simpati adalah dua konsep yang berdekatan dan sering dicampur-aduk. Empati, menurut kaum psikolog, adalah “berperasaan bersama dengan”, sedangkan simpati adalah “berperasaan untuk.” Orang yang merasa simpati bagi orang lain memahami situasinya (walaupun belum tentu mengalami emosi yang sama dengan orang lain itu). Orang yang merasi empati bagi orang lain akan mengalami emosi yang sama (walaupun belum tentu memahami situasinya secara intelektual). Simpati bersifat agak intelektual, sedangkan empati bersifat emosional.

Terdapat bukti yang solid (Bekoff and Pierce 2017: Bab 4) bahwa banyak binatang mampu merasakan empati. Empati adalah penata kehidupan sosial yang penting bagi beberapa spesies. Salah satu contoh: sambil menyaksikan secara seksama raut muka serigala atau koyote, kaum etolog dapat mendeteksi empati di situ. Contoh lain: seekor tikus dalam kandang laboratorium diajak menekan tuas untuk mendapatkan makanan. Namun, tiap kali ia menekan tuas, seekor tikus lain mendapat kejutan listrik. Ketika tikus yang pertama menyaksikan tikus kedua bereaksi kesakitan, ia menolak untuk terus-terusan menekan tuasnya, meskipun pasti lapar. Yang lain lagi: Darwin bercerita tentang seekor burung pelikan yang buta yang ia lihat di alam bebas tak jauh dari rumahnya. Walaupun buta dan tidak bisa mencari makan sendiri, ia tetap gemuk, karena diberi makan oleh sesamanya. Cerita sejenis dapat dilipatgandakan. Kaum etolog melalui pengamatannya telah membenarkan sesuatu yang sesungguhnya telah diketahui orang biasa sejak lama, yaitu binatang adalah makhluk empatik. Mereka memiliki kemampuan yang besar untuk menyingkap rasa persaudaraan. Perilaku mereka mengungkapkan keterikatan sosial yang dapat bertahan lama.

Yang lebih mengejutkan lagi: empati adalah dasar moralitas. Pada saat seorang manusia merasa apa yang dirasakan seorang lain, di situlah pula timbul tindakan penyayang. Ia bermaksud menghindari rasa sakit atau penderitaan pada yang lain. Empati adalah emosi yang melatari keinginan untuk memperbaiki kesejahteraan orang-orang di sekeliling kita. Di mana binatang betul-betul merasakan empati, maka mereka juga memiliki dasar untuk sebuah moralitas yang nyata. Paling tidak banyak spesies dalam ordo Primata menunjukkan perilaku moral – terutama kera besar seperti orang utan, tetapi juga sejumlah monyet. Juga karnivor yang bersifat sosial – yang paling intensif dipelajari adalah serigala, koyote, dan hiena. Juga lumba-lumba dan ikan paus (ordo Cetacea), gajah, dan sejumlah macam tikus (Bekoff and Pierce 2017: Bab 1). Mungkinkah manusia mewarisi moralitas dari binatang lewat evolusi?

Temuan kunci yang lain adalah bahwa empati bukanlah gejala rohani murni melainkan memiliki dasar fisiologis. Penelitian yang masih di tahap awal memfokus pada dua jenis saraf. Yang pertama disebut spindle cells (mungkin dapat diterjemahkan sel gelendong? Istilah lain adalah Von Economo neurons). Jenis saraf ini sudah lama dikenal dalam otak manusia, tetapi belakangan juga ditemukan di dalam otak ikan paus, gajah, dan sejumlah monyet – yaitu binatang yang semuanya menunjukkan perilaku moral. Rupanya saraf ini memainkan peran penting dalam membuahkan rasa empati. Ia memungkinkan pembawanya dengan cepat menentukan situasi emosional sesama makhluk. Apabila sesama itu sedang dalam keadaan sakit, dapat segera ditolong. “[Temuan] ini sesuai dengan bukti yang jumlahnya bertumbuh terus bahwa terdapat kesamaan antara kaum Cetacea dan kaum Primata dalam hal kemampuan kognitif, perilaku, serta ekologi sosial,” tulis seorang pakar yang dikutip Bekoff dan Pierce (2017: Bab 2). Ikan paus dan Cetacean yang lain yang memiliki saraf Von Economo ini memang menunjukkan empati yang radikal. Mereka akan menemani sesama yang telah cedera bahkan sampai meninggal. Gajah akan berduka secara terbuka ketika salah seekor di antaranya meninggal. Gajah juga akan membantu anggota kelompok yang kurang fit terhadap agresi anak mudanya, seperti diceritakan di atas. Empati itu tidak terbatas hanya pada anggota keluarga langsung – banyak binatang diamati telah berempati dengan makhluk yang bukan kerabatnya.

Jenis saraf lain yang belakangan diketahui memainkan peran dalam menciptakan rasa empati disebut neuron cermin (mirror cell). Saraf ini di-trigger ketika seekor binatang sedang berbuat sesuatu dan ia melihat binatang lain berbuat hal yang sama. Maka tindakan yang satu “dicerminkan” dalam tindakan yang lain. Banyak binatang memiliki jenis saraf ini. Rupanya ia memainkan peran dalam penularan emosi dalam kelompok. Dalam psikologi kerumunan manusia, misalnya, penularan emosional dapat diamati apabila seseorang meneriak “api!” dalam bioskop gelap, yang kemudian membuat rasa panik cepat sekali menyebar. Penularan emosional bersifat adaptif dalam evolusi, karena membantu sekelompok binatang untuk menyelamatkan diri pada saat kritis. Seorang pakar ilmu saraf bernama V. S. Ramachadran dikutip berkata: “Neuron cermin akan bermakna bagi psikologi sebagaimana DNA bermakna bagi biologi.” Alasannya, neuron ini memberikan kerangka yang dapat menyatukan banyak sekali kemampuan mental yang berbeda-beda (Bekoff and Pierce 2017: Bab 2).

Keadilan adalah ekspektasi mengenai apa yang seharusnya kita terima dan bagaimana seseorang harus diperlakukan. Keadilan adalah perilaku yang paling tinggi kompleksitasnya. Untuk mencapainya akan diperlukan juga kerjasama dan empati. Di kalangan manusia, rasa keadilan itu universal. Seorang bayi yang belum dapat bicara sudah mampu membedakan antara orang yang bermaksud “baik” dan “tidak baik” kepada dia. “Keadilan mengandaikan perhatian pribadi pada pihak lain,” tulis seorang filsuf bernama Robert Solomon (Bekoff and Pierce 2017: Bab 5). “Keadilan adalah pertama sekali sebuah perasaan, bukanlah sebuah konstruksi rasional atau sosial, dan menurut saya perasaan ini bersifat alamiah dalam arti yang penting.”

Selama ini belum banyak penelitian mengenai perilaku keadilan di antara binatang. Bahkan istilah “keadilan” selama ini tak pernah dipakai oleh kaum biolog. Namun, menurut Bekoff dan Pierce, keadilan dapat dikenal dalam perilaku yang memperlihatkan hasrat akan kesetaraan, dan kemampuan untuk berbagi-bagi. Sejumlah binatang dapat bereaksi secara negatif apabila rasa keadilannya dilanggar. Tindakan ini kadang bersifat menghukum, marah, atau juga mengampuni. Dan mereka bereaksi secara positif apabila rasa keadilannya dipenuhi: mereka akan menunjukkan emosi kesenangan, berterima kasih, dan percaya. Etolog bernama Jonatah Balcombe berkata bahwa kesenangan adalah “salah satu berkat dari proses evolusi.” Alam menghargai perilaku adaptif dengan menciptakan rasa senang. Moralitas dan kesenangan bukanlah lawan.

Contoh nyata yang paling kaya di mana perilaku keadilan terlihat, menurut Bekoff dan Pierce, adalah permainan! Mereka secara intensif mengamati permainan antara sejumlah anjing piaraan. Ada anjing kecil, dan anjing besar. Kesimpulannya diringkas sebagai berikut (Bekoff and Pierce 2017: Bab 5):

Kami ingin menggarisbawahi bahwa permainan sosial secara kuat berdasar pada keadilan. Permainan hanya dapat berlangsung apabila, selama bermain, pihak-pihak yang berpartisipasi tidak memiliki agenda lain selain bermain. Para partisipan menyisihkan atau menetralisir setiap macam ketidaksetaraan misalnya dalam besar fisik atau peringkat sosial. Sebagaimana akan kita lihat, binatang besar dan kecil dapat bermain bersama, dan insan berperingkat tinggi dengan insan berperingkat rendah dapat bermain bersama, tetapi hal itu tidak mungkin apabila salah satu di antaranya memanfaatkan peluang untuk memperalat kekuatan atau statusnya yang unggul…. Binatang sungguh berusaha untuk mengurangi ketidaksetaraan dalam hal besar fisik, kekuatan, peringkat sosial, dan juga sampai sejauh mana setiap insan memahami permainannya. Permainan tak dapat terjadi apabila partisipan di dalamnya memilih untuk tidak terjun ke dalam kegiatan ini, dan kesetaraan serta keadilan yang dibutuhkan agar permainan dapat berlangsung membuat permainan beda dari kegiatan kooperatif lain (seperti perburuan atau perawatan). Permainan bersifat egalitarian sampai derajad yang barangkali unik.

Anjing yang sedang bermain pasti menikmatinya. Mereka dapat ketawa dengan cara sendiri. Dan mereka dapat saling mengampuni dan meminta maaf. Apabila salah seekor anjing misalnya menggigit temannya secara terlalu keras hingga permainan berhenti sejenak, anjing yang menggigit akan membungkuk, dan itu adalah isyarat bahwa ia tidak sengaja mengiggit sekeras itu. Ia telah meminta ampun dengan cara memohon maaf.

Tiap kali rasa keadilan dipenuhi, tumbuhlah saling percaya antara pihak terkait. Hal itu membantu memperkuat hubungan emosional di dalam rombongan. Kepercayaan mutlak perlu untuk mengikat rombongan secara sosial. Sebaliknya, ketidakadilan merusak kepercayaan. Sejarah politik manusia membuktikan bahwa ketidakadilan menyebabkan hilangnya saling percaya, dan itu pada gilirannya bermuara pada ketidakstabilan sosial.

Mengapa baru sekarang?

Boleh dikatakan, “revolusi etologis” dipicu ketika Jane Goodall memasuki lingkaran penelitian dari luar bidang biologi. Goodall (lahir 1934) dididik sebagai sekretaris kantor. Ia tertarik dengan Afrika karena suka membaca novel petualangan. Louis Leakey mengangkatnya karena Goodall sangat pintar, dan karena ia tahu Goodall belum terinfeksi prasangka kaku biologis mengenai perilaku binatang. Goodall baru memasuki program S3 di Cambridge setelah penelitiannya dengan simpanse melejit di seluruh dunia. Karya selanjutnya dianggap lebih dekat dengan antropologi (tepatnya posthumanist anthropology) daripada dengan biologi klasik. Ketika pertama memasang tendanya di hutan Tanzania, ia mendekati simpanse sebagai calon sahabat pribadi. Ia berikan mereka nama seperti David Greybeard, Flint dan Flo, di mana pakar biologi menganjurkan cukup memakai nomor saja. Ia merasa terikat secara emosional, di mana pakar biologi justru menganjurkan untuk menghindari ikatan sejenis karena akan menciptakan “bias antropomorfis.”

Dominique Lestel (lahir 1961) adalah seorang filsuf, belajar di Sorbonne, dan sekaligus etolog. Antara 2006-2012 ia memimpin sekelompok peneliti bidang etologi kognitif di Museum Nasional Sejarah Alam (Muséum National d’Histoire Naturelle). Buku-bukunya mengenai berbagai aspek kebinatangan (animality) banyak diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Kerjasama filsafat dan etologi juga terlihat dalam pasangan penulis Bekoff dan Pierce di atas. Bekoff adalah etolog, Pierce filsuf. Baik bagi Pierce maupun bagi Lestel, filsafat menawarkan pertanyaan segar yang belum terpikirkan oleh spesialis ilmiah di bidang biologi klasik.

Ilmu kebinatangan yang konventional sudah tidak laik pakai, menurut Lestel. Ilmu ini perlu di-dekonstruksi dan kemudian dibangun kembali – dengan bantuan filsuf. Lestel tanpa lelah mengkritik persepsi klasik tentang binatang yang melihatnya sebagai mesin melulu. Filsuf Perancis René Descartes dulu (1596-1650) menganggap binatang tidak memiliki jiwa. Alasannya ditarik dari teologi Kristen, yang membedakan secara prinsipiil antara “roh” dan “materi.” Tuhan di surga adalah roh tanpa materi. Manusia, pilihan Tuhan, memiliki roh (roh itu duduk secara kurang nyaman dalam tubuhnya yang material). Binatang, bukan pilihan Tuhan (maka tak akan ke surga setelah mati), tidak memiliki roh. Teologi Descartes disebut “dualis,” karena membayangkan roh dan materi sebagai dua jenis bahan yang berbeda secara radikal. Kebanyakan filsuf kini menganggap konsep dualisme itu keliru. Namun pengaruhnya tetap besar, bahkan di antara ilmuwan yang tak lagi percaya pada Tuhan di surga. Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20, ilmu biologi klasik tetap menganggap binatang tidak memiliki kehidupan emosional. Binatang dilihat tergerak murni oleh instink dan oleh hormon yang diproduksi secara tidak sengaja.

Temuan-temuan Jane Goodall dan kaum etolog kognitif membuktikan kebalikannya, yaitu bahwa binatang memiliki kehidupan psikis yang kaya dan penuh perasaan. Lestel terus menerus menekankan hal yang bagi dia paling kunci: Binatang adalah subyek yang berbudaya (Chrulew, Bussolini, and Buchanan 2018: 17-44). Mereka dapat berkomunikasi – tidak dengan “bahasa” sebagaimana biasa kita membayangkannya, tetapi lewat simbol-simbol yang mengungkapkan makna sosial. Ruang tak mencukupi untuk mendalami komunikasi antara binatang (termasuk lintas-spesies), tetapi dobrak yang paling penting dalam pemahamannya dikaitkan dengan nama Gregory Bateson (Harries-Jones 1995).

Lestel menyebut temuan ini sebagai “luka” dalam persepsi diri manusia yang narsis. Narsisme (atau narsisisme) adalah persepsi yang terlalu mencintai dirinya sendiri. Dalam sejarah Barat, ilmu sudah berkali-kali melukai narsisme manusia itu. Pertama lewat Kopernikus, yang menunjukkan bahwa manusia tidak hidup dalam kosmos yang berpusat pada bumi ini. Kedua lewat Darwin, yang memperlihatkan bahwa manusia adalah binatang. Ketiga lewat Freud, yang membuktikan bahwa manusia bukanlah tuhan di wilayah psikis tak-sadar. Dan inilah luka yang keempat: manusia bukanlah satu-satunya subyek dalam kosmos ini.

Satu-satunya perbedaan prinsipiil antara manusia dan binatang, kata Lestel (hanya setengah bergurau), adalah dualisme teologis manusia, yaitu kepercayaan bahwa manusia diciptakan secara khusus oleh Tuhan yang rohani. Kepercayaan itu tidak hanya salah, lanjut Lestel, tetapi merupakan penghinaan terhadap binatang. Sisa-sisa kepercayaan itu masih ada di mana-mana, misalnya dalam model otak binatang yang menyamakannya dengan komputer. Mengapa temuan a la Goodall tidak lebih dahulu dibuat oleh ahli biologi? Karena mereka masih terperangkap dalam sisa persepsi yang pertama dirumuskan oleh Descartes, di mana binatang adalah mesin dan bukan subyek. Eksperimen-eksperimen yang dijalankan pada binatang di laboratorium sengaja ditata demikian rupa sehingga hanya aspek-aspek yang menyerupai mesin dapat terlihat. Peneliti secara eksplisit dilarang untuk berhubungan secara emosional dengan binatang dalam laboratoriumnya, karena dikhawatirkan peneliti manusia nanti akan “memproyeksikan” ciri-ciri kemanusiaan ke dunia kebinatangan. Pendekatan ini menurut Lestel mencerminkan ketulian manusia yang sengaja kita pasang pada diri kita sendiri; bahkan mencerminkan kebencian manusia di dunia Barat terhadap binatang. “Pertanyaan kunci bukanlah yang sederhana ini: Apakah binatang cerdas?,” tulis Lestel, “melainkan yang ini: Apakah kecerdasan kita mencukupi untuk memahami kecerdasan binatang?” Di sini Lestel sebenarnya mengutip judul buku seorang etolog yang lain, Frans de Waal (1948-2024): “Are we smart enough to know how smart animals are?” (Waal 2016). De Waal dididik sebagai biolog, tetapi di dalam komunitas simpanse yang ia amati di kebun binatang di Belanda ia menemukan perilaku yang sangat mirip dengan perilaku politik manusia. Ia menuliskan pengamatannya dalam Chimpanzee Politics (Waal 2007 [1982]). "Apa yang saya saksikan di antara simpanse tidak saya baca dalam buku pelajaran biologi,” kata De Waal. “Saya bermuara di bidang ilmu politik dan ilmu sosial. Biasanya seorang biolog tak akan pernah ke sana, tetapi itulah satu-satunya cara untuk memahami apa yang terjadi. Demikianlah saya akhirnya membangun hubungan antara filsafat, psikologi, dan biologi.”

Selanjutnya etologi harus sepenuhnya menjadi ilmu sosial, kata Lestel. Etologi harus menjadi ilmu yang secara sengaja dan sadar menyatukan keberadaan manusia dan binatang di dalam satu komunitas. Manusia hidup di dalam “komunitas hibrid” dengan binatang. Manusia berbagi-bagi makna, kepentingan, dan emosi dengan binatang lain. Persahabatan yang sungguh-sungguh terjadi baik di dalam spesies non-manusiawi, maupun lintas spesies. Persahabatan lintas spesies dapat dilihat dalam banyak sekali video online, misalnya yang ini antara manusia dan burung murai, atau yang ini antara spesies non-manusia. Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam penelitian etologi seyogyanya tidak lagi terarah kepada mekanisme sebab-dan-akibat, melainkan ke arah makna.

Untuk merekonstruksi bidang etologi agar tak lagi tuli, Lestel menganjurkan sejumlah inovasi yang cukup radikal. Pertama, praktek-praktek yang dulu dilarang karena dianggap menunjang antropomorfisme agar direhabilitasi. Dalam kenyataan, kesamaan antara manusia dan binatang lain dapat saja terjadi. Kita memang memiliki sejarah evolusi yang sama dengan mereka. Sejarah budaya manusia dan binatang lain juga menunjukkan banyak kesamaan.

Pendekatan baru ini banyak meminjam dari disiplin yang dulu sama sekali tidak memikirkan binatang, yaitu antropologi. Antropolog John Hartigan (2021) menyelidiki agenda ini, yang ia namakan “multispecies ethnography”. Apabila binatang selain manusia juga berbudaya, maka budaya itu cocok sekali diinvestigasi oleh etnografer seperti Hartigan, karena perbandingan budayalah bidangnya. Tantangan intelektual jelas ada. Kaum antropolog harus mengembangkan konsep-konsep baru yang juga cocok untuk perilaku binatang seperti kuda liar (topik penelitian Hartigan). Antropologi tidak boleh memaksakan konsep dasar yang pertama dirumuskan khusus untuk masyarakat manusiawi.

Kembali ke upaya Lestel untuk merekonstruksi bidang etologi. Ia menganjurkan, kedua, cerita lepas berupa anekdot, yang dulu dilarang di dunia ilmiah karena tidak memenuhi standar keterandalan laboratorium, agar dirangkul oleh kaum peneliti sebagai bahan bukti menarik. Pengalaman orang di luar ilmu seperti pengasuh di kebun binatang, pecinta binatang piaraan, petani, pemburu, atau fotografer satwa liar semuanya ikut menambah cahaya pengetahuan yang bernilai.

Bahkan, ketiga, Lestel menganjurkan agar pendekatan non-Barat kepada dunia kebinatangan seperti animisme perlu didengar. Masyarakat adat memelihara hubungan dengan binatang yang bersifat pribadi. Asal-usul kepribadian manusia dalam kisah tradisional seringkali dikaitkan dengan kepribadian non-manusiawi di lingkungan mereka [lihat Bab lain dalam buku ini mengenai pengetahuan tradisional].

Lestel mengatakan hal yang senada ketika berbicara tentang keyakinan kuno bahwa segala sesuatu memiliki kemampuan berpikir. Keyakinan itu secara teknis dikenal dengan nama panpsikisme [lihat Bab lain buku ini tentang Panpsikisme]. Ia tak terbatas pada masa lampau: sebagian filsuf modern juga menganutnya. Keyakinan bahwa pemikiran ada di mana-mana dalam kosmos ini dulu ditemukan secara luas baik di kalangan religius maupun yang ilmiah. Ia baru hilang setelah ilmu alam a la Descartes menilainya keliru.

Di manakah bedanya?

Implikasi etis dari temuan-temuan di bidang etologi kognitif yang baru ini sangat signifikan. Ternyata kesinambungan antara manusia dan binatang lain jauh lebih bermakna daripada diduga ilmuwan biologi selama ini. Moralitas pun, yang lama dianggap sebagai ciri khas manusia, ternyata dipraktekkan juga oleh banyak binatang. Bahkan ada indikasi awal bahwa moralitas yang umum itu lahir dari struktur fisiologis tubuh binatang dengan sejarah evolusioner yang lama. Lebih daripada persaingan yang kejam, moralitas di dunia kebinatangan dicirikan kerjasama, empati, dan rasa keadilan, yang semuanya berfungsi untuk mengikat anggota komunitas satu dengan yang lain.

Pelajaran bagi kita manusia jauh melebihi seruan untuk lebih mengasihi binatang yang kesakitan. Kita dikelilingi, kata Lestel, bukan lagi oleh binatang berupa mesin (biarpun mesin yang canggih), melainkan oleh subyek-subyek yang jumlahnya banyak dan macamnya beragam. Mereka ada yang berbudaya, ada yang memakai peralatan, ada yang suka bernyanyi dan bermain, ada yang suka bercanda. Lumba-lumba suka memperkenalkan diri lewat syulan-syulan unik. Kambing dan burung merpati suka minum tumbuhan yang mengandung obat bius (psikotropik) hingga menjadi pemabuk bahagia. Banyak di antaranya bermoral. Mereka semua membuat kita manusia berpikir tentang diri kita: Siapakah Saya di antara mereka?

Lama-lama muncullah kesadaran baru: kita telah berhutang budi kepada binatang lain. Tidak betul kita tumbuh hingga akhirnya “keluar” dari kebinatangan, sebagaimana lama sekali ditegaskan oleh penganut teori kepengecualian manusia (human exceptionalism). Kita adalah binatang yang paling binatang (“the most animal of animals”). Seluruh cara kita berpikir dibentuk melalui sejarah evolusioner manusia di dunia kebinatangan.

Lestel menulis secara mengharukan mengenai hutang budi tak terhingga besar pada binatang lain yang ada di pundak kita. Kutipan ini sekaligus cocok sekedar penutup bab ini (Chrulew, Bussolini, and Buchanan 2018: 171-181):

Kita berhutang kepada mereka pada tingkat ontologis (menyangkut keberadaan) – sebuah hutang tak terhingga. Kita adalah manusia melalui apa yang diberikan kepada kita oleh binatang. Pemikiran filsafati mengenai hutang telah diperbarui secara radikal di Perancis oleh Marcel Mauss dan Jacques Derrida. Namun, mereka dua-duanya tidak menerapkannya kepada binatang, meskipun Derrida tertarik dengan binatang. Hutang manusia kepada binatang bersifat tak terhingga karena tiga alasan. Pertama, karena hutang ini tercelup dalam masa lampau manusia yang tak terhitung lama; kemudian, karena hutang ini berlanjut sampai pada masa depan manusia yang paling jauh; terakhir, karena hutang itu bersifat begitu mendalam hingga dasarnya tak akan tercapai. Hutang tak terhingga ini ditanggung oleh sebuah spesies (Homo sapiens) kepada spesies lain (semua spesies binatang yang lain), tetapi ditanggung juga oleh saya pribadi kepada binatang-binatang yang berdiam di lingkungan hidup saya – sebuah lingkungan yang konsepnya jauh melampaui apa yang dimaksud oleh kaum ekolog dengan istilah ekosistem.

Untuk penelitian lebih jauh

  • Undanglah seorang pakar filsafat etis atau studi keagamaan untuk menonton bersama lalu mengomentari video Youtube dari Frans de Waal berjudul Moral behavior in animals.
  • Carilah seorang peneliti aktif di Fakultas Biologi yang bersedia bekerjasama dengan Anda untuk menyusun proposal penelitian lintas-disipliner di bidang etologis kognitif atau “multispecies ethnography”. Pilihlah sejenis binatang sosial tertentu yang praktis (terkurung atau di alam bebas); sejauh waktu memungkinkan jalankanlah penelitian kecil sekedar proyek perintis. Di manakah peluang untuk mengembangkannya ke depan?

Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (imil: bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.

Acuan

Bekoff, Marc, and Jessica Pierce. 2017. Wild justice: the moral lives of animals. Boston, Massachusetts: Beacon Press.

Chrulew, Matthew, Jeffrey Bussolini, and Brett Buchanan, eds. 2018. The philosophical ethology of Dominique Lestel, Angelaki: new work in the theoretical humanities. London: Routledge.

Darwin, Charles. 1871. The descent of man, and selection in relation to sex. 2 vols. London: John Murray.

Harries-Jones, Peter. 1995. A recursive vision: ecological understanding and Gregory Bateson. Toronto: University of Toronto Press.

Hartigan, John. 2021. "Knowing animals: multispecies ethnography and the scope of anthropology." American Anthropologist 123 (4):846–860. doi: 0.1111/aman.13631.

Hughes, J. Donald. 2009. An environmental history of the world: humankind’s changing role in the community of life. 2 ed. London: Routledge.

Midgley, Mary. 1995 [1978]. Beast and man. 2 ed. London: Routledge.

Waal, Frans de. 2007 [1982]. Chimpanzee politics: power and sex among apes. rev ed. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Waal, Frans de. 2016. Are we smart enough to know how smart animals are? New York: W.W. Norton & Company.

Download artikel pdf ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.