English version
Made Diah Pitaloka Negara Puteri & Firdhan Aria Wijaya
Pada suatu santap siang di kantin kampus, sebuah percakapan menyita perhatian kami. Tak jauh dari tempat duduk kami, dua mahasiswa beradu sudut pandang mengenai LGBT*.
Tampak gusar, lelaki berkacamata hitam berujar, “LGBT itu berbahaya. Mereka kan ngelakuin dosa dan gue kira sih itu semacam penyakit. Gue takut itu nular. Semenjak banyak pemberitaan LGBT muncul di media, temen-temen gue semakin berani ngaku kalo mereka itu gay. Jijik gue lihatnya! Mereka harusnya enggak boleh ngeekspresiin diri kaya gitu, kan?”
Kemudian, temannya menimpali dengan nada yang lebih tenang, ‘Ya, gue sih ngerasa kasian sama orang-orang LGBT. Sebagian dari mereka kan enggak milih buat dilahirin kaya gitu. Gue liat itu sebagai suatu yang cacat tapi gue juga agak setuju sih sama pendapat loe. Gue mikirnya pemerintah perlu mempertimbangkan pemisahan antara orang-orang yang normal dan LGBT.”
Cuplikan percakapan antara dua mahasiswa tersebut menggambarkan sebuah pembentukan “iklim ketakutan” yang ditujukan pada komunitas LGBT. Berkaca pada percakapan mereka, kami mencoba untuk menghubungkan narasi paranoia dan kebencian serta peran kemunculan Islam yang konservatif yang telah memantik proses internalisasi ketidakpercayaan dan ketakutan masyarakat terhadap LGBT di Indonesia.
Membingkai LGBT sebagai dosa
Sejak 2016, narasi anti-LGBT telah memicu rasa takut masyarakat terhadap komunitas LGBT di seluruh Indonesia. Interpretasi Islam seringkali dimunculkan untuk mendukung atau bahkan memperkuat ketakutan tersebut. Misalkan, peminjaman istilah ‘maksiat’ dari bahasa Arab yang berarti pelanggaran serius, dosa besar, perbuatan salah atau tercela; sering dilekatkan untuk menarasikan individu-individu LGBT.
Meskipun para cendekia Islam masih memperdebatkan penggolongan LGBT sebagai maksiat, media massa kerap mengasosiasikan LGBT dengan maksiat dalam publikasi mereka. Sebagai contoh, media menyiarkan opini seorang dosen Universitas Pasundan yang meyakini bahwa segala bentuk aktivitas LGBT adalah maksiat. Media juga menyiarkan pernyataan Wali Kota Padang yang berkomitmen untuk ‘membersihkan’ kotanya dari maksiat LGBT dan pernyataan Wakil Bupati Garut yang menghimbau pemerintah untuk melarang LGBT karena dianggap maksiat.
Penggunaan kata maksiat menciptakan jurang pemisah antara LGBT dan masyarakat pada umumnya. Hal tersebut membingkai LGBT sebagai liyan yang ‘bukan bagian’ dari masyarakat dan seolah membahayakan keberlangsungan “kita” (masyarakat itu sendiri). Dengan memakai maksiat sebagai alat pemberi stigma, LGBT ditampilkan sebagai musuh yang mengerikan yang perlu untuk diperangi atau lebih parah lagi dihancurkan. Dalam kontestasi tersebut pula, segala institusi sosial didesak untuk melarang LGBT ada dalam tatanan sosial-bermasyarakat. Otoritas terminologi maksiat membuktikan ketangguhan moralitas Islam yang menjadi wajah Indonesia saat ini.
Melegitimasi persekusi LGBT
Dengan mengatasnamakan ajaran Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia mempercayai ketika seseorang berlaku maksiat maka konsekuensinya seseorang tersebut dikenakan hukuman yang digambarkan dalam kata azab. Kata tersebut merupakan kata serapan dalam bahasa Arab yang berarti kesengsaraan, kesulitan, penderitaan, penganiayaan, atau siksaan.
Beberapa cendekia Islam berpendapat pelaku maksiat akan diberikan azab di akhirat kelak sementara yang lain mengemukakan azab dapat diturunkan langsung ketika manusia menjalani kehidupannya. Keyakinan tersebut menjadi landasan berpikir sebagian besar masyarakat Indonesia yang percaya bahwa peristiwa bencana alam disebabkan oleh kehadiran LGBT. Dengan demikian, meniadakan LGBT dipandang sebagai langkah preventif untuk menghentikan runtutan bencana alam. Hal ini terekam dalam harian Republika yang menyatakan bahwa bencana alam adalah cara Tuhan menghukum Indonesia karena membiarkan kehadiran LGBT.
Mengganti rasa takut dengan penerimaan
Menurut Aan Anshori, Koordinator Jaringan Anti-Diskriminasi Muslim Jawa Timur, salah satu cara untuk mengurangi “iklim ketakutan” terhadap LGBT di Indonesia adalah dengan mendorong penerimaan LGBT. Penerimaan dapat dibangun melalui pemahaman yang tepat tentang kisah-kisah keagamaan.
Kisah yang sering digunakan untuk menstigmatisasi LGBT adalah kisah Luth. Kaum Luth diwahyukan mendapat azab dari Tuhan akibat perilaku homoseksual. Namun, Anshori menekankan bahwa bukan homoseksualitas yang dihukum melainkan pemaksaan seksual. Dalam konteks budaya Arab kuno, sodomi adalah bentuk pemaksaan seksual yang digunakan untuk menurunkan martabat seseorang. Sodomi juga merupakan salah satu metode penaklukan, khususnya digunakan untuk menaklukkan lelaki dan anak lelaki. Anshori menambahkan, bukan perilaku homoseksual yang dikecam dan menuai hukuman Tuhan, tetapi pemaksaan dan penaklukan seksual itu. Bagi Anshori, membaca kembali kisah Luth tersebut dapat membantu Indonesia merangkul komunitas LGBT.
Indonesia diharapkan mampu mengakui dan menghormati LGBT sebagai bagian dari keberagaman, serta menghentikan penyebaran ketakutan dan kebencian untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran. Bagaimana cita-cita bangsa akan 'harmoni dalam keberagaman’ bisa terwujud jika kita tidak mampu merangkul perbedaan?
Made Diah Pitaloka Negara Puteri (made.diah.negara@gmail.com) adalah seorang peneliti independen yang berfokus pada kajian gender, seksualitas, ekofeminisme, dan kajian budaya. Firdhan Aria Wijaya (firdhanariawijaya@gmail.com) adalah seorang peneliti independen yang berfokus pada persimpangan teori queer dan ekologi. Saat ini, dia aktif terlibat dalam sebuah inisiasi bernama Panggung Minoritas di Bandung.
*Istilah 'LGBT' digunakan sebagai kata benda dalam bahasa Indonesia, dan dalam artikel ini, berarti komunitas, identitas dan/atau topik yang lebih luas dari makna yang telah disebutkan.