English version
Joni Lariat
Bagi kebanyakan orang Indonesia, ponsel pintar dan media sosial adalah representasi konektivitas, ekspresi diri, dan akses informasi. Di Aceh, keduanya melambangkan lebih dari itu. Sejak kriminalisasi perilaku seksual sesama jenis dan di luar perkawinan di tahun 2014, kedua teknologi ini digunakan untuk mengatur seksualitas. Warga Aceh secara tidak sadar turut berperan atas hilangnya privasi mereka sendiri dengan merekam dan menyebarkan foto-foto penghukuman warga lain di ruang publik.
Hukum Syariah di Aceh
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki kerangka hukum berdasarkan prinsip-prinsip agama yaitu Syariah, yang secara tradisional menjadi pedoman bagi penganutnya dalam semua aspek kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa tahun terakhir, penafsiran Syariah menjadi semakin konservatif. Qanun Jinayat (hukum pidana) memasukkan pencambukan di depan umum sebagai hukuman bagi serangkaian perilaku yang dianggap melanggar ajaran Islam.
Meskipun Indonesia adalah negara sekuler, ketegangan politiklah yang mengakibatkan sistem hukum yang berlaku sekarang di Aceh. Dari tahun 1976 hingga 2004, terjadi konflik sipil antara Aceh dan pemerintah Indonesia. Gerakan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang untuk terlepas dari sistem nasional yang mengeruk sumberdaya alam dari Aceh namun tidak memberikan apa-apa sebagai imbalan.
Tahun 2001, pemerintah Indonesia meratifikasi undang-undang yang memberikan status daerah istimewa bagi Aceh. Kebijakan ini secara simbolis menjawab tuntutan GAM yaitu menformalkan nama Nanggroe Aceh Darussalam dan memberikan otoritas untuk mengembangkan sistem hukum berbasis agama. Banyak akademisi Aceh dan Indonesia menafsirkan bahwa ini merupakan upaya untuk menciptakan ketidakstabilan politik dan perpecahan internal di Aceh.
Tahun 2004, gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh dan membuat kekuatan GAM melemah secara drastis. Dalam upaya menerima bantuan luar negeri, persetujuan damai dicapai. Konservatisme agama mendapatkan lahan subur dalam konteks pasca-konflik dan pasca-bencana ini
Pada tahun 2014 hukum pidana direvisi. Tindak kriminal seperti liwath (tindakan homoseksual sesama laki-laki) dan musahaqah (tindakan homoseksual sesama perempuan), khalwat (berdekatan secara fisik antara perempuan dan laki-laki yang belum menikah dan tidak berkerabat) dan zina (hubungan seksual di luar perkawinan) didefinisikan dan hukumannya adalah dicambuk hingga maksimum 100 kali.
Tahun 2015, hukuman cambuk di muka umum adalah hal yang biasa di Banda Aceh. Pencambukan dilakukan di halaman masjid di atas panggung untuk menarik orang datang berkerumun. Banyak penonton yang merekam proses hukuman cambuk itu dan mengunggahnya di media sosial.
Bulan April 2018, gubernur Irwandi Yusuf mencoba untuk menghapus pencambukan di depan publik. Namun, kelompok-kelompok keagamaan yang kuat seperti Front Pembela Islam (FPI) menentangnya dengan berargumen bahwa pencambukan di muka umum adalah cara paling efektif untuk memaksakan kepatuhan. Karena penolakan itu, pencambukan di muka umum tetap berlangsung.
Penyebaran gambar-gambar pencambukan mengakibatkan dampak yang merugikan atas keamanan dan kehidupan kelompok minoritas seksual dan gender, dan juga perempuan yang dituduh asusila. Hal ini juga mengubah cara orang berhubungan satu sama lain.
Gambar-gambar dan imaji
Bagaimana gambar pencambukan di muka umum mempengaruhi rasa malu yang dialami? Ini pertanyaan yang diajukan oleh banyak laporan jurnalistik tentang pencambukan di muka umum. (Sebagai contoh, foto oleh Heri Juanda yang diterbitkan oleh banyak portal berita nasional dan internasional).
Tidak seperti dalam kerumunan, melihat foto Heri Juanda tentu tidak sama dengan melihat wajah perempuan yang berlutut dengan kepala tertunduk di depan algojo. Kita hanya dapat membayangkan emosi pada wajahnya ketika ia menantikan cambuk rotan melecut tubuhnya. Kita mesti mencari bayangan emosi itu justru pada wajah-wajah yang menonton pencambukan. Namun apa yang kita dapatkan bukanlah ekspresi terkejut atau empati tetapi lautan ponsel pintar yang mengarah kepada si perempuan, dan kepada kita, pemirsa foto.
Dokumentasi oleh jurnalis, aktivis HAM dan fotografer penting untuk menarik perhatian pada dampak hukuman Syariah. Alih-alih memfokuskan pada korban, gambar-gambar seperti ini memposisikan pemirsa untuk menyoroti kekerasan negara dan dukungan kerumunan.
Sayangnya, bukan hanya gambar tentang kejadian tersebut, tetapi video dan gambar yang dibuat penonton juga mengungkapkan identitas korban dan disebarkan tanpa memikirkan akibatnya.
Malu
Rasa malu mempunyai fungsi sosial di Aceh. Hukuman publik telah lama dipraktikkan dalam hukum adat yang membolehkan masyarakat untuk mengatur pelanggaran sekaligus memastikan reintegrasi para pelanggar aturan. Tuduhan diikuti dengan hukuman. Tertuduh diperbolehkan untuk mengakui kesalahannya, yang diikuti dengan kembalinya keanggotaan tertuduh dalam komunitas. Dalam proses ini, reintegrasi dapat terjadi karena hukuman bersifat final dan disaksikan komunitas.
Di Aceh, rasa malu dialami secara kolektif: individu, keluarga dan komunitas yang lebih luas. Oleh karena itu, menjadi kepentingan setiap orang bahwa proses ini dilakukan secara cepat dan efektif sehingga kohesi dan persatuan sosial dapat pulih kembali.
Ponsel pintar dan teknologi jaringan sosial mengganggu keseimbangan sosial ini. Seperti kita lihat dari foto Heri Juanda, ratusan rekaman dibuat selama satu kejadian pencambukan; ‘kerumunan’ menyebar dalam ruang virtual ketika gambar-gambar disebarluaskan melalui siaran langsung dan posting media sosial. Kemungkinan gambar-gambar ini muncul lain di lain waktu berarti malu tidak berakhir, sehingga sulit bagi keluarga dan komunitas untuk melakukan proses tradisional yang mengutamakan reintegrasi.
Merekam penggrebekan dan penghinaan publik
Bukan hanya mereka yang berada dalam kerumunan pada saat pencambukan di muka umum yang membuat dan menyebarkan gambar-gambar. Polisi dan Wilayatul Hisbah (polisi Syariah) secara berkala merekam penggrebekan yang dilakukan dan membaginya ke media. Tindakan ini melegitimasi dan mendorong vigilantisme atau main hakim sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir ada beberapa contoh penggunaan teknologi untuk memantau dan menangkap individu-individu yang dicurigai berperilaku asusila.
Pada Januari 2018, 12 waria ditangkap dalam Operasi Penyakit Masyarakat di Aceh Utara. Salon rambut di mana mereka bekerja digerebek dan mereka ditahan. Proses penangkapan direkam dengan ponsel dan disiarkan oleh media utama. Polisi memfilemkan tindakan penghinaan yang dilakukan terhadap waria seperti memotong rambut, memaksa mereka mengenakan pakaian maskulin dan menyuruh mereka berguling-guling di rumput sambal mengucapkan slogan-slogan nasionalis yang macho. Gambar dan video penggerebekan disiarkan secara luas di Aceh dan Indonesia.
Tindakan seperti ini memperlihatkan bahwa mengatur seksualitas adalah tugas moral setiap orang. Pengawasan dalam komunitas, kecurigaan, dan menyusup ke ruang privat individu dilaporkan secara luas. Memanggil polisi untuk menangani kasus-kasus lokal adalah hal yang lazim, meskipun ada tradisi untuk menolak campurtangan dari luar dalam masalah-masalah lokal.
Minoritas seksual dan gender adalah yang paling rentan akan kekerasan main hakim sendiri. Tahun 2017, sepasang gay ditangkap dan dipukuli oleh vigilante ketetanggaan yang mendobrak kamar di mana pasangan tersebut melakukan hubungan seksual. Pasangan laki-laki muda ini kemudian diserahkan kepada polisi Syariah dan dijatuhi hukuman 80 kali cambukan. Video penggerebekan dan pencambukan disebarluaskan.
Dampak tindakan seperti itu atas pasangan laki-laki muda dan juga kelompok LGBT Aceh tidak dapat diabaikan. Ancaman pelanggaran HAM yang serius sekarang merupakan realitas yang menakutkan, mengarah pada efek negatif kesehatan dan kesejahteraan mental. LGBT menghadapi pilihan yang sulit apakah menyembunyikan identitas mereka atau pergi meninggalkan Aceh. Banyak dari mereka meninggalkan Aceh bukan pilihan sehingga mereka harus mengambil peluang-peluang di tengah masyarakat yang semakin tidak bersahabat.
Peranan saksi
Tidak seorangpun terbebas dari posisi sebagai saksi. Kerumunan yang terlihat dalam foto Heri Juanda memainkan peran bagaimana malu bekerja di Aceh. Mereka yang menonton dari jauh juga dapat mempengaruhi situasi yang dihadapi kelompok paling rentan di Aceh.
Arti seorang saksi tergantung pada bagaimana kita menggunakan dalam cerita-cerita dan gambar-gambar yang disebarluaskan dari Aceh. Kita punya pilihan apakah terpancing oleh click-bait yang mempermalukan korban-korban hukum Syariah atau tidak sama sekali.
Jika kita mencermati lebih jauh foto Heri Juanda, maka akan terlihat seorang perempuan berpakaian kuning yang berdiri di baris terdepan. Tidak seperti penonton di sekitarnya, ia tidak merekam peristiwa pencambukan itu. Dia menyandarkan diri pada barikade dan melihat peristiwa di depannya. Ekspresinya sukar ditebak. Dia tidak terlihat tegang untuk mengantisipasi cambuk melecut tubuh perempuan, tidak juga ia terlihat ragu-ragu untuk melihatnya.
Merekam rasa malu orang lain secara efektif membuat jarak dengan pembuat gambar. “Saya bukan dia dan malunya dia bukanlah malunya saya”. Bagaimanapun, ketika menonton, tanpa mediasi, perempuan berpakaian kuning berhadapan dengan kemungkinan bertukar posisi dengan perempuan yang berada di panggung.
Adalah empati dan perenungan yang kita perlu lakukan untuk memutus lingkaran kesaksian pasif yang memantik rasa malu dan menyebarkannya. Melihat tanpa teralih perhatiannya, menyaksikan dengan empati dan tanpa penghakiman adalah langkah pertama untuk menolak keterlibatan kita dalam diskriminasi atas mereka yang secara tidak adil menjadi target dari penerapan hukuman Syariah yang moralistis di Aceh.
Joni Lariat (joni.lariat@curtin.edu.au) meraih gelar doktor dari Universitas Curtin di Australia Barat.