English version
Dinar Lubis, Sari Andajani, dan Cath Conn
Kondom gratis yang disebarkan oleh organisasi pegiat HIV di Bali kurang popular dibandingkan dengan kondom komersial karena kualitasnya yang rendah. Seringkali kondom gratis ini menjadi bahan lelucon. Hal ini merupakan salah satu masalah dalam penyediaan layanan pencegahan HIV pada kelompok-kelompok beresiko di Bali. LSL adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, terjemahan dari istilah men who have sex with men (MSM).
HIV masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Menurut UNAIDS, , Indonesia merupakan salah satu negara dengan epidemi pertumbuhan tercepat di kawasan Asia Pasifik. Diperkirakan terdapat 630.000 orang hidup dengan HIV di Indonesia pada tahun 2017 dengan prevalensi HIV dalam populasi umum masih rendah, yaitu 0,5 persen. Namun hasil Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Indonesia tahun 2015 memperlihatkan prevalensi HIV di antara populasi beresiko tinggi memrihatinkan yaitu pekerja seks perempuan sekitar 8%, pada waria 25%, LSL 25%, dan pengguna narkoba suntik berada pada kisaran 28%. Untuk kota Denpasar, dilaporkan prevalensi HIV di kalangan LSL sebesar 36%.
Sayangnya laporan STBP 2015 tidak membagi prevalensi HIV berdasarkan umur. Namun dapat dipastikan bahwa prevalensi HIV di kalangan LSL muda tidak akan jauh berbeda dari prevalensi LSL dewasa. LSL muda, adalah salah satu kelompok rentan terhadap HIV karena mereka lebih aktif secara sosial dan seksual dibandingkan kelompok dewasa. Selain itu, LSL muda sering dimarjinalkan oleh keluarganya, teman teman dan masyarakat. Beberapa waktu belakangan ini, media-media di Indonesia sering memberitakan LSL sebagai penyimpangan nilai tradisional dan ajaran agama. Saat ini ada 22 kabupaten/kota mempunyai peraturan daerah yang membatasi perilaku homoseksual dan transgender karena dianggap sebagai penyakit masyarakat. Pemerintah Indonesia melarang penggunaan emoji pasangan sesama jenis pada aplikasi smart phone dan mencegah individu transgender muncul dalam acara-acara TV. Lebih jauh, pemerintah menyensor situs-situs gay dan aplikasi kencan sesama jenis seperti Grindr, Hornet dan Tumblr. Situasi seperti ini memperkuat stigma sosial terhadap komunitas LGBTQ dan secara serius menghambat upaya untuk mengeliminasi epidemi HIV di tahun 2030.
Program pencegahan HIV yang membosankan
Ada kebutuhan pendekatan yang sesuai dengan LSL muda dan sekaligus mengatasi stigma dan penolakan oleh masyarakat. Saat ini program pencegahan HIV membosankan dan tidak menarik karena tidak menyentuh gaya hidup dan minat LSL muda. Budi (nama samaran), seorang pekerja LSM di Bali, menggambarkannya sebagai berikut: “Saat ini, program pencegahan HIV untuk LSL muda terasa membosankan dan tidak menarik, sehingga kami tidak melaksanakan praktik pencegahan HIV yang dianjurkan.”Kondom yang dibagikan oleh organisasi penggiat HIV di Bali berkualitas rendah sehingga LSL muda sering menjadi bahan lelucon dan tidak tertarik untuk menggunakannya. Titik lemah lainnya adalah pendistribusian informasi HIV melalui brosur-brosur di bar-bar gay dekat wilayah turis. Reza, seorang sukarelawan mengatakan bahwa pengunjung bar mengabaikan brosur-brosur tersebut. Penyebaran selebaran HIV pada jam sibuk di bar merupakan strategi yang buruk.
Metode yang digunakan untuk menyebarkan informasi kepada LSL muda sudah ketinggalan zaman. Apalagi jika usia pendidik sebaya yang menjangkau mereka lebih tua maka kesenjangan usia menjadi penghalang.
"Banyak LSL muda yang melihat pendidik sebaya berusia lebih tua kurang menarik dan kurang nyambung sehingga mereka enggan menceritakan permasalahannya," kata Budi. Komang, salah satu pekerja LSM, berpendapat bahwa aplikasi gay yang inklusif, aman, informatif, atraktif dan mutakhir dapat digunakan untuk menyampaikan pesan tentang pencegahan HIV.
Pencegahan HIV online yang interaktif
Dengan keterbatasan upaya pencegahan HIV untuk LSL muda di Bali, apa yang dapat dilakukan? Komunikasi dan advokasi kesehatan secara daring, termasuk pencegahan HIV, sedang berkembang pesat. Internet dapat menjadi alat yang kuat karena mudah mengirimkan pesan kepada kelompok besar, memudahkan interaksi antara pengguna dan pemberi layanan melalui beragam fitur yang ada. Pencegahan HIV melalui daring amat potensial karena banyaknya LSL muda di Bali yang pengguna aktif internet. Namun adanya informasi di internet tidak berarti selalu menarik pengguna. Made dan Doni, dua LSL muda berkomentar,’Websitenya tidak pernah diupdate – informasinya selalu sama. Informasinya ketinggalan dan tidak menarik.’. Mereka mengamati bahwa tidak banyak teman mereka yang mencari informasi tentang HIV secara daring.
Merancang program pencegahan HIV secara daring dapat dilakukan dengan partisipasi LSL muda. Keuntungan strategi daring dalam konteks Indonesia adalah perlindungan privasi karena portal komunikasi daring relatif cukup aman, khususnya ketika membahas masalah-masalah yang penuh stigma seperti seksualitas dan pencegahan HIV. Bagaimanapun, stigma dan resiko masih menjadi tantangan ketika mengembangkan dan melakukan pencegahan HIV secara daring. Baru-baru ini, sebuah penelitian tentang upaya pencegahan HIV berbasis internet yang melibatkan sembilan LSL muda dilakukan di Bali. Penelitian ini merupakan penelitian aksi partisipatif untuk mengembangkan ide-ide mereka dalam upaya pencegahan HIV di internet.
Mereka mengkritik program pencegahan HIV yang ada yang dipandang tidak sesuai dengan dunia kehidupan mereka. Komang dan Made, dua dari 9 LSL muda tersebut, berpendapat bahwa program harus ,’Kita banget. Sesuatu yang menunjukkan identitas dan siapa kita.’ Gagasan tentang ‘kita banget’ artinya menyenangkan, kreatif, gaul, kekinian dan trendi. Semua atribut ini penting bagi LSL muda. Mereka mengusulkan kampanye pencegahan HIV disebarluaskan melalui blog, website lain, media sosial atau chat room. Pesan-pesan atau kegiatan termasuk pencegahan HIV, konseling dan testing, informasi seks yang aman dan berita terkini tentang komunitas LSL muda. Partisipan riset yakin bahwa portal dapat menjadi perantara untuk mengajak LSL muda lain agar bergabung dalam suatu ruang di mana mereka dengan aman dapat berbagi cerita, berhubungan dan menikmati ‘meet and greet’ di dunia maya dengan anggota-anggota lainnya. Intinya, dalam membuat program daring baru perlu menggunakan cara yang sesuai dengan kehidupan LSL muda.
Sejauh ini, kelompok LSL muda telah berefleksi tentang penggunaan internet dan peran mereka sebagai agen perubahan agar pencegahan HIV relevan bagi mereka. Mereka merasa bahwa berpartisipasi dalam upaya ini berguna dan membuat semangat karena setiap anggota dipandang sebagai pakar serta ekspresi bersama dapat disalurkan. Cerita dan pengetahuan yang dibagi di antara anggota kelompok dirasa mencerahkan dan dapat membangun hubungan yang bermanfaat.
Penggunaan internet untuk penanggulangan HIV di Bali, dan Indonesia secara umum, relative masih baru. Masih banyak gagasan yang perlu dikembangkan untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan bagi LSL muda. Di berbagai belahan dunia pencegahan HIV secara daring tidak terkendala seperti halnya di Indonesia. Namun banyak pula negara di mana LSL muda menghadapi stigma dan dapat memperoleh manfaat dari kemajuan yang sedang terjadi di Bali. Di Indonesia tentu akan bermanfaat menggunakan pendekatan di atas untuk pencegahan HIV meskipun perlu dilakukan secara hati-hati mengingat meningkatnya sikap homofobik dalam masyarakat.
Dinar Lubis (goarhudinar@yahoo.com, @ Dinar_lubis38) berasal dari Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Preventif, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali. Sari Andajani (sari.andajani@aut.ac.nz) berasal dari Pogram Studi Kesehatan Masyarakat dan Studi Psikososial, Universitas Teknologi Auckland. Cath Conn (cath.conn@aut.ac.nz) berasal dari Sekolah Kesehatan Masyarakat dan Studi Psikososial, Universitas Teknologi Auckland.