English version
Jumisih & Andi Cipta Asmawaty
Tidak sedikit perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019, dari 3528 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, terdapat 2670 atau sebesar 76 persen kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja. Salah satu perempuan pekerja, Nani berkata: ““Ada [operator] obras, tukang jahit, yang suka iseng. Anggap cuma bercanda. Nyolek, cubit pipi.” Nani bekerja di salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia, bernama KBN Cakung (Kawasan Berikat Nusantara Cakung). Para perempuan seperti Nani hamper tidak memiliki kuasa di tempat mereka bekerja karena mereka tunduk pada atasan mereka, dan mereka tunduk pada laki-laki.
Kegagalan untuk mengatasi kekerasan seksual
Serikat pekerja telah berupaya mewujudkan tempat kerja yang lebih baik bagi perempuan, tetapi upaya-upaya ini sudah seharusnya didukung oleh pemerintah. Pemerintah semestinya mengambil tindakan untuk melindungi perempuan pekerja dari kekerasan seksual.
Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan menjadikan RUU PKS menjadi UU, yang tertunda hampir empat tahun lamanya. Aliansi serikat pekerja seperti Komite Buruh Perempuan dan organisasi perempuan seperti Komnas Perempuan berjuang tanpa lelah untuk mendorong agar RUU ini disahkan.
Statistik yang mengkhawatirkan
Kekerasan seksual adalah bagian menyakitkan dari kehidupan keseharian banyak perempuan pekerja. Pada 2017, Perempuan Mahardhika melaporkan bahwa dari 773 perempuan pekerja di KBN Cakung, 437 perempuan pekerja mengalami kekerasan seksual. Dari 437 perempuan penyintas kekerasan seksual, beberapa di antaranya mengalami pelecehan seksual secara verbal, yang lainnya mengalami pelecehan seksual fisik, dan 252 perempuan di antaranya mengalami dua kekerasan tersecut. Laporan ini juga menjelaskan bahwa 66 persen (atau 290 perempuan) telah menerima kontak seksual yang tidak diinginkan dan 32 persen (atau 139 perempuan) diraba-raba tubuhnya oleh supervisor mereka. Terdapat perempuan pekerja yang juga dipeluk tanpa persetujuan mereka.
Kajian yang dilakukan oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 2016 mengidentifikasi berbagai bentuk kekerasan seksual terjadi pada perempuan pekerja. Bentuk kekerasan pertama adalah diraba/disentuh bagian punggung, bahu, lengan, paha, dan anggota tubuh lainnya termasuk organ genital, seperti pantat dan payudara.
Bentuk kekerasan yang kedua adalah voyeurisme. Modus yang sering dilakukan adalah laki-laki pekerja sengaja menjatuhkan alat seperti obeng saat membetulkan mesin jahit yang rusak, agar bisa mengintip pakaian dalam perempuan. Perempuan Mahardhika juga menemukan bahwa komentar-komentar yang mengandung pelecehan seksual, mengintip payudara, mengintip perempuan di kamar mandi dan pandangan-tatapan lain yang tidak diinginkan biasanya dialami oleh perempuan pekerja.
Bentuk kekerasan seksual yang ketiga adalah berbasis online. Kasus yang terjadi adalah perempuan pekerja menerima gambar atau teks “mesum” melalui Whatsapp atau platform digital/media sosial lainnya.
Kekerasan seksual yang keempat adalah kencan paksa. Dengan modus ini, biasanya para atasan mengajak perempuan tersebut untuk kencan makan malam, kemudian berujung meminta perempuan untuk berhubungan seks setengah paksa, dengan iming-iming akan dinikahi. Ketika perempuan tersebut hamil, pelakunya menolak atau menghindar dari tanggung jawab.
Perempuan yang mengalami kekerasan seksual enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya karena pelaku kekerasannya adalah atasannya sendiri, yang jika dilaporkan, perempuan pekerja akan dapat diberhentikan. Hal inilah yang membuat perempuan sangat rentan terhadap kekerasan seksual di tempat kerja.
Beberapa perempuan melawan para pelaku pelecehan, dengan memiliki posisi tawar dan dukungan dari serikat pekerja. Beberapa perempuan dapat dengan mudah bekerja di pabrik lain setelah melaporkan kasus tersebut dan memilih keluar. Tetapi pilihan ini tidak tersedia bagi semua perempuan pekerja.
Apa yang harus dilakukan
Pabrik sebagai tempat kerja sudah semestinya menjadi lingkungan yang bersahabat bagi perempuan pekerja. Perusahaan dapat mendukung perempuan untuk berorganisasi dan bergabung pada serikat pekerja. Dengan upaya ini, perempuan kemudian dapat bersatu dan melawan pelecehan seksual di tempat kerja. Serikat pekerja yang kuat dapat memastikan perusahaan mengadopsi kode etik atau pedoman perilaku yang tidak toleran terhadap pelecehan seksual serta mengembangkan kebijakan pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja. Serikat pekerja dapat mendesak perusahaan memiliki prosedur yang jelas untuk menangani keluhan/laporan/kasus, mengakses nasihat hukum, memberikan ganti rugi bagi para penyintas, dan memastikan bahwa semua pekerja mengetahui hak-hak mereka.
Sayangnya, banyak tempat kerja yang enggan mendukung perempuan pekerja. Fair Wear Foundation (2016) menemukan bahwa banyak pengusaha, khususnya di industri garmen di Indonesia, tidak ingin mengembangkan kebijakan karena hal ini berkonsekuensi pada biaya perusahaan. FBLP menemukan alasan keengganan perusahaan juga diakibatkan pelecehan seksual bukanlah masalah yang penting. FBLP juga menemukan bahwa memecat perempuan yang mengalami kekerasan seksual dianggap lebih mudah dan lebih murah daripada memecat seorang manajer yang bertindak tidak patut.
Karenanya, dukungan pemerintah sangat penting mendorong upaya serikat untuk menghilangkan kekerasan seksual di tempat kerja. Pemerintah telah mengeluarkan surat menteri yang memberikan pedoman kepada perusahaan: Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja' (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011), akan tetapi panduan yang berisi 23 halaman ini tidak bersifat wajib dan belum disebar secara meluas ke perusahaan atau pekerja. Oleh karena itu, upaya yang dibutuhkan adalah hukum.
RUU penghapusan kekerasan seksual
RUU tentang penghapusan kekerasan seksual belum disahkan. Gerakan feminis di Indonesia, yang dikoordinir oleh Komnas Perempuan, telah mendorong parlemen untuk meloloskan RUU sejak 2016. Namun, banyak politisi telah menyebarkan informasi yang salah tentang RUU tersebut, sehingga prosesnya selalu mengalami jalan terjal untuk disahkan.
RUU ini mendefinisikan pelecehan seksual sebagai kekerasan fisik atau non-fisik yang membuat seseorang merasa terintimidasi, direndahkan, dihina, dan dipermalukan. RUU itu mengakui bahwa pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual adalah bentuk-bentuk kekerasan seksual.
Jika RUU ini disahkan akan memberikan akses ke keadilan bagi korban kekerasan seksual dan memungkinkan hukuman sebagai efek jera bagi pelaku. RUU ini akan membantu perempuan pekerja melaporkan pelecehan seksual dengan percaya diri dengan menggunakan prosedur pengaduan keluhan formal. Mereka kemudian tidak perlu khawatir kehilangan pekerjaan mereka.
Untuk meningkatkan kondisi kerja perempuan, serikat pekerja dan perusahaan sudah seharusnya bekerja sama untuk mendorong pengesahan RUU tersebut.
Kerangka kerja hukum Indonesia yang ada selama ini tidak efektif dalam menghapus kekerasan seksual di tempat kerja. Pemerintah Indonesia harus mengesahkan RUU ini untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat kerja.
Jumisih (gadismerah2004@yahoo.com), Ketua FBLP (Forum Buruh Lintas Pabrik), Wakil Ketua KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), dan pendiri Radio Marsinah. Andi Cipta Asmawaty (andy.cipta@gmail.com), mahasiswa pascasarjana International Institute of Social Studies (ISS).