English version
Wisnu Adihartono
Menjadi seorang gay di Indonesia tidaklah mudah. Banyak orang Indonesia percaya bahwa menjadi gay adalah penyakit dan bahwa kekerasan terhadap gay dapat diterima. Sejak 2016, situasi untuk kelompok gay menjadi lebih buruk. Akibatnya, beberapa gay yang memiliki sumber daya meninggalkan Indonesia ke negara lain, termasuk Perancis. Sebagai bagian dari penelitian doktoral di Perancis, saya mewawancarai 25 gay Indonesia yang tinggal di Paris. Semua nama dalam tulisan ini menggunakan nama samaran.
Di Paris ada sejumlah tempat nongkrong gay, seperti Le Marais dan daerah di sekitar Hôtel de Ville. Laki-laki gay yang saya temui di sana memberi tahu bahwa mereka telah menemukan rasa kebebasan dan keintiman yang hanya dapat mereka impikan di Indonesia.
Ketika Bambang menyelesaikan sekolah menengah di Yogyakarta, ia berhasil mendaftar untuk beasiswa universitas di Paris. Dia berkata:
‘Saya tidak tahu mengapa Paris. Karena saya berbicara bahasa Perancis, yang saya tahu hanyalah bahasa Perancis adalah bahasa yang seksi. Sebelum pergi, saya membayangkan Paris sebagai kota Menara Eiffel. Hanya itu yang saya tahu.'
Ketika Bambang tiba di Paris, dia tidak tahu apakah Paris adalah kota yang ramah terhadap kelompok gay. Tetapi setelah lima tahun tinggal di sana, dan setelah meretas jati diri sebagai seorang gay, ia merasakan kebebasan dan penerimaan yang tidak dapat ia temukan di Indonesia. Setelah ia mempunyai seorang pacar berkebangsaan Perancis, sekarang Bambang tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke Indonesia:
‘Indonesia bukan negara untuk orang-orang LGBT. Kami didiskriminasi. Lihat saja Aceh. Mengerikan sekali. Jika pemerintah Indonesia bersedia mengubah peraturan, kami akan kembali. '
Kehidupan gay di Paris
Hendri telah tinggal di Paris selama beberapa tahun. Dia memiliki hubungan dengan seorang lelaki Perancis, bukan lelaki Indonesia.
‘Saya lebih suka bergaul dengan gay Perancis. Mengapa? Saya banyak menemukan gay Indonesia suka berbohong dan mengatakan yang tidak-tidak. Saya hanya bertemu orang Indonesia ketika ada acara di Kedutaan Besar Indonesia. '
Salah satu ketegangan yang bisa muncul dalam hubungan antara laki-laki Indonesia adalah masalah agama. Beberapa gay mengatakan kepada saya bahwa mereka lebih suka hubungan dengan lelaki Perancis karena mereka tidak suka berdebat tentang agama. Misalnya, Adi mengatakan dia lebih suka berkencan dengan lelaki Perancis yang tidak memiliki agama.
‘Orang Indonesia munafik ketika berbicara tentang agama. Mereka mengatakan semuanya tabu atau terlarang dan Tuhan hanya menciptakan laki-laki dan perempuan. Tapi bagaimana dengan lesbian, gay, dan transgender?'
Abimanyu mengatakan bahwa dia merasa Perancis lebih toleran terhadap keragaman agama daripada Indonesia:
‘Saya seorang Muslim dan saya sering pergi ke acara-acara Kristen di Paris. Kami tidak merasa terganggu dengan hal-hal seperti itu. Saya harap ini juga terjadi di Indonesia. Tapi saya rasa tidak mungkin. Saya melihat di internet bahwa kekerasan atas nama agama meningkat di Indonesia.'
Ada rasisme dan homofobia di Perancis tetapi Abimanyu percaya bahwa Perancis adalah tempat yang lebih toleran daripada Indonesia.
Para lelaki yang saya temui ingin menunjukkan citra Perancis yang baik, dan mereka mengatakan bahwa mereka dihormati karena menjadi gay. Sa'id mengatakan:
‘Orang Perancis menghormati pria, wanita, gay, lesbian, dan bahkan trans. Meskipun kadang-kadang saya melihat di televisi atau membaca di surat kabar ada pelecehan terhadap orang-orang seperti kami, itu tidak seberapa parah apabila dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Saya juga senang orang Perancis tidak bertanya tentang agama. Bagi mereka, agama adalah masalah sensitif dan pribadi.'
Walaupun gay yang saya temui di Paris merasa sedih karena mereka jauh dari keluarga dan teman, mereka menyukai kenyataan bahwa mereka dapat hidup secara terbuka sebagai gay. Karena penganiayaan meningkat untuk orang-orang LGBT di Indonesia, kecil kemungkinan mereka akan kembali dalam waktu dekat.
Wisnu Adihartono (wisnuadi.reksodirdjo@gmail.com) menyelesaikan Ph.D-nya di bidang Sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Marseille, Perancis. Sekarang dia adalah peneliti independen di Jakarta.