Nov 22, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

“Bermain” Api

Published: May 20, 2024

Sofyan Ansori, Aryo Danusiri, Paramita Utami

Read English version

Setelah lebih dari tiga tahun tampak bebas dari kobaran api, pada tahun 2023, kebakaran besar kembali bergolak di Indonesia. Kejadian kali ini menghanguskan setidaknya 1,16 juta Ha kawasan hutan yang sebagian besarnya terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Meskipun ditengarai ‘lebih ringan’ dibandingkan bencana kebakaran sebelumnya pada tahun 2019 dan 2015, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 tetap berdampak besar secara kesehatan, ekonomi, dan ekologi bagi masyarakat di Indonesia dan negara-negara tetangga. Kebakaran dahsyat tersebut kemudian memicu kembali perdebatan yang, lagi-lagi, menyudutkan masyarakat adat dan praktik pertanian tradisional mereka secara tidak proporsional.

Kebakaran tahun 2023 bukanlah hal yang tidak terduga. Para pakar klimatologi telah memperkirakan bahwa tahun kemarin akan menjadi tahun El Niño dengan curah hujan rendah dan suhu lebih panas sehingga meningkatkan risiko kebakaran secara signifikan, seperti pada tahun 2015 dan 2019. Selama dekade terakhir, tragedi-tragedi kebakaran berskala luas mendorong pemerintah daerah dan nasional untuk mencetuskan serangkaian kebijakan terkait karhutla, termasuk berbagai janji penurunan emisi, intervensi pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan penegakan hukum. Kebakaran tahun 2023 lantas mengungkap kesenjangan kebijakan dan kegagalan sistem yang menimbulkan tanya: Mengapa kebakaran terus terjadi meskipun telah banyak proyek restorasi dan iming-iming upaya pencegahan? Meskipun hal ini telah lama menjadi bagian dari perbincangan iklim global dan regional, bagaimana sebenarnya mitigasi kebakaran di tingkat local diterapkan? Lalu, dengan mempertimbangkan semua dampaknya, apa yang dapat kita pelajari dari kebakaran tahun 2023 terkait pengelolaan kebakaran di Indonesia dan peran masyarakat adat di dalamnya?

Untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, edisi khusus ini mengedepankan pendekatan interdisipliner yang melihat kebakaran hutan dan lahan sebagai persilang-silangan antara pemerintah dan masyarakat, kebijakan dan praktik, industri dan masyarakat adat, serta manusia dan alam. Di sela pergesekan berbagai kepentingan dan realitas sehari-hari yang berkelindan dan muncul beriringan di medan kebakaran tersebut, kami menyoroti bagaimana masyarakat adat menghidupi lahan meraka yang kini rentan terbakar. Artikel-artikel yang kami hadirkan di sini merupakan kelanjutan dari dari kerja penelitian 'Fire Play: Understanding and Documenting Indigenous Fire Governance in Indonesia'. Kami menjalankan riset ini sepanjang paruh kedua tahun 2023 bersama masyarakat Dayak di empat kecamatan di Kalimantan Tengah yang berjibaku dengan api: Jabiren, Mantangai, Mendawai, dan Pulau Hanaut.

Menyusuri bara

Menyusul bencana kebakaran tahun 2015, Indonesia meluncurkan proyek restorasi dan mitigasi kebakaran yang salah satu fokus utamanya menyasar masyarakat adat dan praktik penggunaan api mereka. Dalam skema ini, masyarakat adat, seperti orang Dayak di Kalimantan Tengah, kini menjalankan peran penting dalam mitigasi kebakaran berbasis masyarakat dalam wadah Masyarakat Peduli Api, Regu Serbu Api, Regu Pemadam Kebakaran, atau nama lainnya. Keterlibatan ini bersifat sukarela, tapi juga didesak, dengan kompensasi harian dari lembaga pemerintah terkait atau perusahaan-perusahaan yang melibatkan kelompok masyarakat tersebut. Namun kompensasi dan dukungan terhadap kegiatan mereka nyatanya amat terbatas.

Penelitian Fire Play berupaya mempertebal pengetahuan tentang pengalaman masyarakat adat dalam pengelolaan kebakaran di Kalimantan Tengah. Lokasi penelitian dipilih dengan mempertimbangkan sejarah keterbakaran, praktik penggunaan api yang dilakukan, tingkat prioritas mitigasi kebakaran, dan riwayat relasi anggota tim peneliti dan masyarakat Dayak di wilayah tersebut. Di bentang kebakaran ini, penelitian kami berfokus pada lima jenis kegiatan, meliputi: mengamati diskusi desa, mewawancarai penduduk mengenai pengetahuan mereka tentang kebakaran, dan mengikuti patroli kebakaran berbasis masyarakat; mendokumentasikan perubahan sosial budaya yang dipengaruhi oleh program-program intervensi kebakaran; melakukan survei sosio-ekonomi untuk menempatkan inisiatif terkait kebakaran dan iklim ke konteks yang tepat; menelusuri peraturan-peraturan dan kebijakan anti-kebakaran di seluruh tingkat pemerintahan; dan menganalisis representasi media tentang kebakaran untuk menghubungkan realitanya dari tingkat desa hingga nasional.

Fig 1: Lokasi riset Fire Play di Kalimantan Tengah/Sofyan Ansori & Pamungkas Nurafrizal

Penelitian ini menyelaraskan pendekatan dan metodologi dari antropologi, ilmu politik, serta studi media dan budaya untuk memahami dan mendokumentasikan tata kelola kebakaran yang melibatkan masyarakat adat. Berdasarkan amatan terhadap realitas kebakaran sehari-hari di wilayah ini, kami berpendapat bahwa masyarakat adat bukan lah sekedar ‘penerima manfaat’ dari inisiatif iklim melainkan subjek aktif yang kehidupan dan integritas kulturalnya sangat krusial di tengah upaya-upaya konservasi lingkungan hidup. Dengan menyoroti perjuangan dan peran penting masyarakat Dayak, kami berharap dapat menginisiasi diskusi yang bermakna guna menangkal penggambaran buruk atas masyarakat adat yang kerap dicap sebagai pembakar atau penjahat lingkungan. Kami pun menekankan, tiada kebijakan dan regulasi penyelamatan lingkungan tanpa pertimbangan serius terhadap kelompok-kelompok rentan seperti mereka.

'Pencegahan' yang kosong

Kami melakukan penelitian lapangan dari bulan Agustus hingga November 2023 untuk menyesuaikan dengan kalender kebakaran. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh artikel-artikel di terbitan ini nantinya, tim peneliti Fire Play mengalami langsung dan menghadapi kebakaran hutan dan lahan bersama dengan masyarakat Dayak yang menyambut baik aktivitas kami. Dari sebaran dan intensitasnya, kebakaran di Kalimantan Tengah tahun 2023 lalu terasa lebih mencekam dibandingkan dengan episode tahun 2019. Kendati demikian, kebakaran tersebut belum lah sebanding dengan bencana di tahun 2015 yang merupakan salah satu kebakaran terburuk yang pernah terjadi di Kalimantan Tengah dan Indonesia secara umum. Dampak kebakaran terhadap lingkungan hidup, politik, dan ekonomi tahun itu mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan anti-kebakaran, memobilisasi sumber daya lintas lembaga, dan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG, sekarang BRGM)—sebuah lembaga non-struktural yang bertanggung jawab langsung ke presiden—sebagai cara beralih dari pendekatan kuratif ke pendekatan preventif seutuhnya.

Sejauh ini, temuan kami menunjukkan bahwa pencegahan hanyalah jargon kosong. Para pimpinan Indonesia, mulai dari presiden hingga birokrat di tingkat tapak, tak henti-hentinya mengulangi mantra ‘pencegahan’ dalam mitigasi kebakaran. Ironisnya, kebakaran besar pada tahun 2023 menjelma sebagai pengingkar janji-janji pencegahan tersebut. Apa yang terjadi di wilayah-wilayah terbakar jelas bertolakbelakang dengan gagasan antisipatif yang diharapkan.

Pemadaman kebakaran yang disponsori negara tidak dilakukan hingga sejumlah titik api terlaporkan. Ketika ambang batas ini tercapai, barulah gubernur dapat menetapkan status ‘darurat’. Pendekatan ini—menunggu hingga terjadi kegentingan kebakaran—bertentangan dengan makna pencegahan yang sebenarnya. Pada akhir tahun 2023, tim lapangan kami menyaksikan dampak nyata kontradiksi ini. Pemilihan waktu untuk melakukan tindakan pencegahan yang dititipkan kepada kelompok masyarakat, seperti pemeliharaan sekat kanal dan sumur bor, menunjukkan lemahnya perencanaan dan pengawasan berbasis pencegahan ini. Di banyak tempat, kelompok Masyarakat Peduli Api diminta melakukan pembersihan dan pemeriksaan sumur bor ketika api sudah mengganas. Di tengah panas yang menyengat itu, para anggota kelompok masyarakat kebingungan dan terbelah antara memadamkan kebakaran atau menyelesaikan tugas pemeliharaan infrastruktur dari BRGM.

Fig 2: Kesediaan masyarakat untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi kebakaran /Paramita Utami & Yayasan Puter Indonesia

Limbungnya skema pencegahan ini melanggengkan ketidakadilan terhadap masyarakat Dayak yang banyak di antaranya berkiprah dalam kelompok pemadam kebakaran lokal. Desentralisasi pengelolaan kebakaran hutan dan lahan menempatkan komunitas ini sebagai garda terdepan mitigasi karhutla yang dihadapkan langsung pada api, asap beracun, dan cuaca yang mendidih. Atas partisipasi mereka, lembaga pemerintah dan korporasi yang membutuhkan bantuan untuk memadamkan kebakaran di dalam konsesi, membayar para ‘sukarelawan’ sebesar Rp 100,000-150,000 (AU$10-15) per hari. Berdasarkan survei kami (Grafik 1), meskipun harus menanggung berbagai risiko kesehatan, sebagian besar masyarakat Dayak bersedia terlibat dalam mencegah dan memadamkan kebakaran. Langkanya kesempatan kerja formal dan merosotnya pilihan mata pencaharian memaksa masyarakat untuk menyambar kesempatan apa pun yang ditawarkan kepada mereka. Akan tetapi, dinilai dengan acuan apa pun, manfaat ekonomi dari kegiatan pemadaman sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran terhadap hutan, lahan, dan budaya mereka.

Menyala!

Kami menyaksikan ragam upaya masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah menempatkan diri mereka di antara politik mitigasi kebakaran dan nyala api yang mengancam. Sementara mereka merasakan panasnya secara intim, di luar sana, pengalaman-pengalaman ini hanya sedikit diketahui atau dipahami. Tantangannya kemudian adalah untuk menerangi dan melihat lebih dekat kejadian di tingkat tapak untuk memahami kompleksitas tata kelola kebakaran di Indonesia. Oleh karena itu, selain menerbitkan temuan kami di media-media akademis, kami juga menyiapkan inisiatif-inisiatif multi-modal. Tujuannya adalah menransmisikan hasil riset kepada publik yang tidak hanya mengandalkan logika tetapi juga melalui rasa. Untuk itu, selain menulis artikel ilmiah, tim riset ini juga membuat film dokumenter, novel etnografi, dan animasi pendek guna mendalami dan mengungkap kehidupan sehari-hari dari titik api.

Gambaran etnografis dari pengalaman kebakaran di Tumbang Nusa/Nadiyah Suyatna

Edisi ini pun bagian tak terpisahkan dari komunikasi publik yang kami coba wujudkan. Para kontributor menaruh perhatian rinci pada kebijakan sentralistik mengenai tata kelola kebakaran yang berdampak langsung pada orang-orang di daerah. Terutama, mereka mengulas tentang bagaimana masyarakat adat menavigasi tegangan-tegangan antara harapan melestarikan lingkungan dan himpitan untuk menafkahi hidup dari lingkungan yang dimaksud. Para penulis juga mengapresiasi cara-cara inovatif dan kalkulasi yang ditempuh masyarakat dalam menegosiasikan tantangan-tantangan ini serta memberi ruang bagi usaha-usaha untuk menyampaikan kisah tentang mereka dengan dengan cara mereka sendiri.

Dalam artikelnya, M.S.C. Gemilang memberi gambaran tentang ‘masalah’ yang disebabkan oleh kebakaran hutan di planet bumi yang kian memanas. Ia berpendapat bahwa gagasan global dan visi negara mengenai net-zero emission melalui pasar karbon tidak lah selalu sesuai dengan realita kebakaran yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya, Hafiz A. Ramadhan memperlihatkan bagaimana orang Dayak menanggapi upaya pemerintah untuk menanamkan kesadaran lingkungan melalui tindakan koersif seperti penggunaan berbagai spanduk ancaman, patroli polisi, dan drama penangkapan. Dalam esai fotonya, Michael Don Lopulalan berfokus pada cara masyarakat Dayak menata ulang komitmen mereka dalam memelihara kelapa sawit, sebuah komoditas yang sekarang dianggap kunci penghidupan, sebagai bagian dari mekanisme bertahan dari kebakaran. Lalu, menginsyafi kebakaran sebagai peristiwa yang didominasi laki-laki, Hanina Naura Fadhila dan Sofyan Ansori menelisik langgengnya logika heteronormatif dalam tata kelola kebakaran dan partisipasi masyarakat. Terakhir, Edwin Jurriens, Aryo Danusiri, dan Rugun Sirait menyoroti upaya para produser media muda di Kalimantan Tengah untuk mendekatkan pengalaman indrawi kebakaran hutan dan lahan kepada khalayak, yang secara geografis dan emosional, jauh.

Melalui inisiatif ini, kami secara langsung menjawab tantangan kontemporer dalam mengomunikasikan ilmu pengetahuan, terutama tentang ketidakadilan iklim yang dialami oleh kelompok-kelompok rentan. Kontribusi kami pada terbitan ini, dan penelitian kami secara lebih luas, bertujuan untuk memberikan masukan bagi kebijakan iklim yang berlaku di Indonesia serta inisiatif-inisiatif di masa mendatang terkait pencegahan kebakaran dan mitigasi krisis dunia.

Penelitian Fire Play bertujuan untuk mengembangkan studi yang relevan mengenai Lingkungan dan Perubahan Iklim. Tiga peneliti utama, Sofyan Ansori, Aryo Danusiri, Paramita Utami, dari Pusat Kajian Antropologi, Universitas Indonesia memimpin riset ini berkolaborasi dengan Jemma Purdey dan Edwin Jurriëns dari Asia Institute, Melbourne University dan Angela Iban dari Badan Riset dan Inovasi Nasional. Tim kami juga disokong pengalaman dan keahlian Yayasan Puter Indonesia untuk operasional di desa-desa tempat penelitian di Kalimantan Tengah.

Inside Indonesia 156: Apr-Jun 2024

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.