Edwin Jurriëns
English version
Pada tahun 2020, jurnalis Indonesia Febriana Firdaus bersama pembuat film berbasis di London, Leo Plunkett, membuat film dokumenter lingkungan berdurasi 55 menit yang berjudul Tanah Ibu Kami, juga dirilis dengan judul bahasa Inggris, Our Mothers' Land. Film ini diproduksi dengan dukungan organisasi berita lingkungan yang independen, The Gecko Project dan Mongabay. Film ini dapat diakses melalui platform digital seperti YouTube, dan telah diputar di berbagai festival film di seluruh dunia, serta memenangkan Penghargaan Spirit of Activism di Wild and Scenic Film Festival 2021 di Nevada City, California.
Tanah Ibu Kami menandakan minat yang baru dalam film dokumenter lingkungan di Indonesia dan di seluruh dunia, terutama sejak adanya perdebatan sosial dan politik yang intensif tentang perubahan iklim pada tahun 1990-an dan penyebaran teknologi informasi dan komunikasi digital. Bersama dengan beberapa film dokumenter Indonesia lainnya yang diproduksi pada tahun 2010-an, film ini menyoroti peran perempuan dalam menghadapi, mendiskusikan, dan menganalisis beberapa tantangan utama lingkungan lokal dan global pada masa kini.
Agen perubahan
Dalam Tanah Ibu Kami, Firdaus melakukan perjalanan ke berbagai bagian kepulauan Indonesia untuk mewawancarai aktivis perempuan yang merespon masalah lingkungan di sekitar mereka dengan cara yang berbeda. Di antara mereka yang diwawancarai adalah Sukinah dari Pegunungan Kendeng di provinsi Jawa Tengah; Aleta Baun dan Lodia Oematan dari dataran tinggi Mollo di Timor, provinsi Nusa Tenggara Timur; Eva Bande dan Yu Patmi dari Luwuk, ibu kota Kabupaten Banggai di Sulawesi Tengah; dan Farwiza Farhan dari Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh.
Selain menyajikan gambar pemandangan yang mengesankan dengan bantuan drone di setiap lokasi, fokus utama film dokumenter ini adalah percakapan yang menyentuh, intim, dan memberi pencerahan antara Firdaus dan para aktivis lokal. Dengan menggunakan suara yang halus, tempo yang lambat, bahasa tubuh yang sederhana, dan kontak fisik yang lembut, Firdaus membuat para perempuan merasa percaya diri untuk berbicara atas nama diri mereka sendiri dan komunitas mereka. Dalam proses tersebut, mereka mengungkapkan pengalaman pribadi yang seringkali traumatis dari perjuangan melawan ketidakadilan lingkungan dan sosial.
Sukinah membahas peran gerakan protes yang mayoritas dijalankan oleh perempuan terhadap pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Baun dan Oematan menjelaskan bagaimana perempuan lokal telah menggunakan alat tenun mereka sebagai alat untuk menghalangi eksploitasi dan penghancuran bukit-bukit sakral di Mollo oleh industri pertambangan. Bande dan Patmi menuturkan secara detil dampak yang mereka alami beserta keluarga mereka akibat penahanan dan kekerasan yang diikuti oleh tindakan komunitas yang dipimpin oleh Bande melawan industri kelapa sawit di Kabupaten Banggai. Farhan menyoroti aktivismenya dalam bidang penelitian, kampanye media, dan pembuatan kebijakan untuk perlindungan kawasan konservasi Leuser di Sumatera Utara.
Pesan yang mencolok dari banyak cerita ini bukan hanya bahwa protes-protes tersebut dipimpin oleh perempuan, tetapi juga bahwa protes-protes ini harus dipimpin oleh perempuan. Berbagai narasumber menjelaskan bahwa perempuan memiliki pengetahuan langsung tentang alam dan perubahan lingkungan karena merekalah yang mengelola dan melakukan tugas-tugas harian seperti bertani, membersihkan, memasak, serta berdagang makanan dan kerajinan tangan. Kesiapan mereka untuk mengorbankan tugas-tugas penting ini, terkadang selama setahun penuh, untuk memimpin dan berpartisipasi dalam aksi lingkungan, mencerminkan urgensi masalah ini bagi kesejahteraan keluarga, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan. Para perempuan percaya bahwa keterampilan sosial, kekuatan emosional, dan kendali fisik mereka telah mengurangi risiko eskalasi kekerasan dalam protes publik, serta berkontribusi pada keberlanjutan gerakan lingkungan.
Gerakan moral
Perlawanan perempuan terhadap industri semen di daerah Kendeng juga menjadi tema dalam film dokumenter berdurasi 39 menit yang berjudul Samin vs Semen pada tahun 2015, yang diproduksi oleh rumah produksi dokumenter Indonesia, Watchdoc. Judulnya mengacu pada sistem kepercayaan Samin dari komunitas lokal yang memimpin gerakan protes terhadap industri semen. Sistem kepercayaan ini dinamai dari Surontiko Samin (1859–1914), seorang petani yang mengorganisir perlawanan damai terhadap kolonialisme Belanda pada akhir abad kesembilan belas, termasuk dengan mengabaikan hukum kepemilikan tanah kolonial dan pajak. Gerakan lingkungan kontemporer telah mengadopsi banyak aspek Saminisme, termasuk pertanian organik, pendidikan mandiri, pluralisme agama, dan penggunaan bahasa Jawa yang egaliter.
Film dokumenter ini menjelaskan bahwa meskipun masyarakat lokal memenangkan kasus hukum melawan rencana industri semen, perusahaan PT Semen Indonesia tetap melanjutkan pembangunan pabrik di Kabupaten Rembang pada bulan Juni 2014. Film ini berisi rekaman polisi yang berusaha mengusir kelompok perempuan yang memblokade jalan sambil menyanyikan lagu-lagu dan memegang spanduk. Protes awal berkembang menjadi gerakan yang berkelanjutan di mana perempuan memainkan peran penting.
Salah satu tokoh kunci dalam film dokumenter ini adalah Gunarti, seorang pemimpin aktivis perempuan dan pengikut Saminisme. Gunarti menjelaskan bagaimana dia mendukung kehidupan rumah tangganya yang terdiri dari empat orang dengan penghasilan yang sederhana, dengan menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan dan mengurangi limbah serta biaya, termasuk pertanian organik dan penggunaan biogas. Dia juga mengajar anak-anaknya di rumah, dengan penekanan pada pertanian, kesetaraan, dan perilaku moral.
Selain menjelaskan perannya sebagai petani, ibu, dan pendidik, film dokumenter ini juga menyoroti kegiatan Gunarti sebagai seorang aktivis lingkungan, dengan menunjukkan perjalanannya ke desa-desa di wilayah Kendeng yang telah terancam oleh pembangunan pabrik semen. Di desa-desa itu, dia menggunakan bahasa lokal, Jawa, untuk mendorong kelompok perempuan setempat agar tidak menjual tanah mereka. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa tanah, bukan uang atau semen, akan menyediakan makanan dan menjaga mata pencaharian generasi masa depan di wilayah tersebut.
Film dokumenter ini juga berisi wawancara dengan petani pria yang hanya menerima kompensasi yang kecil atas tanah mereka dari perusahaan semen. Seperti yang mereka jelaskan, uang dari penjualan tanah telah habis, termasuk untuk membeli sepeda motor yang kini sudah rusak. Para mantan petani itu telah dipaksa untuk bekerja dengan bayaran rendah, seperti menjaga tanah yang diblokir oleh PT Semen Indonesia, sambil juga mengalami dampak lingkungan dari aktivitas penggalian yang jauh melampaui kesepakatan lisan awal dengan perusahaan.
Sepanjang film dokumenter ini, terdapat rekaman intimidasi terhadap para pendemo oleh polisi, tentara, preman, dan pejabat pemerintah desa, mulai dari tuduhan terselubung terkait komunisme hingga ancaman penculikan dan kekerasan fisik. Film dokumenter ini diakhiri dengan rekaman drone prosesi yang diikuti perempuan, laki-laki, dan anak-anak yang membawa bendera Indonesia dan spanduk 'Tolak pabrik semen di Jawa' melintasi sawah, menunjukkan bahwa meski menghadapi tantangan-tantangan tersebut, gerakan yang dipimpin oleh perempuan akan tetap ada.
Menjaga keseimbangan
Semesta (Universe), dirilis dengan judul berbahasa Inggris Islands of Faith (2020), adalah contoh ketiga yang mengonfirmasi peran utama perempuan dalam gerakan lingkungan di seluruh kepulauan. Dokumenter ini disutradarai oleh Chairun Nissa, seorang sutradara perempuan, dan diproduksi bersama oleh aktor dan selebritas Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin dengan dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia dan Uni Eropa. Seperti yang terindikasi oleh judul berbahasa Inggrisnya, dan serupa dengan hubungan yang dijalin antara Saminisme dan pelestarian pegunungan Kendeng dalam dua film lainnya, film dokumenter ini berusaha menunjukkan bagaimana perawatan dan perlindungan lingkungan serta keseimbangan antara manusia dan alam tertanam dalam beragam sistem kepercayaan yang membentuk keberagaman agama dan etnis Indonesia yang unik.
Dokumenter ini menyajikan contoh dari tujuh sudut kepulauan. Misalnya, seorang pendeta Bali menjelaskan praktik keheningan dan meditasi selama hari Nyepi dalam agama Hindu Bali. Meskipun Nyepi berfokus pada penyucian tubuh dan pikiran, serta pemulihan keseimbangan dalam diri manusia dan antara manusia dengan lingkungannya, termasuk alam, Nyepi juga secara dramatis mengurangi emisi karbon pada hari tersebut. Hal ini disebabkan oleh minimnya aktivitas yang menghasilkan limbah, termasuk penutupan bandara internasional.
Contoh lain adalah perayaan panen di Gawai oleh komunitas Dayak Iban di Desa Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Anggota komunitas menjelaskan bagaimana mereka melestarikan alam dan menjaga keamanan pangan dengan membedakan antara hutan konservasi yang dianggap keramat (Kampong Taroh), hutan produksi untuk bahan bangunan (Kampong Galao), dan hutan pemukiman untuk kebutuhan sehari-hari (Kampong Pemukiman).
Dokumenter ini juga menampilkan seorang pastor Katolik yang memimpin proyek energi hidro di Desa Bea Muring di Flores, seorang pemimpin agama Islam dari Desa Pameu di Aceh yang meredakan ketegangan dalam kehidupan bersama antara manusia dan gajah, dan inisiatif pertanian organik di daerah perkotaan Yogyakarta dan Jakarta. Dalam semua kasus tersebut, para pemimpin lokal dari berbagai kepercayaan mengacu pada kewajiban agama dalam khotbah dan percakapan mereka untuk mengendalikan perilaku, merawat alam, dan melindungi semua ciptaan Tuhan.
Segmentasi yang khusus membahas peran perempuan difokuskan pada jemaat Protestan yang terdiri dari perempuan di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Para perempuan mengelola sasi mereka sendiri, sebuah skema konservasi lokal yang sementara melarang penangkapan hewan laut. Dokumenter ini menunjukkan bagaimana setelah larangan penangkapan ikan selama enam bulan, pembatasan dicabut selama satu minggu, di mana dengan bantuan anak-anak desa, para perempuan mencari dan menyelam untuk mencari kerang, teripang, lobster, dan fauna laut lainnya. Para perempuan menyiapkan makanan mereka sendiri dan mengelola pendapatan mereka sendiri. Mereka dihadapkan dengan pencurian dan kerusakan oleh pihak luar yang secara ilegal berburu hewan laut selama sasi dengan menggunakan kompresor udara, racun, dan ledakan. Dalam ibadah gereja, Mazmur dinyanyikan dan terdapat referensi tentang laut, hewan laut, Taman Eden, dan Hari Penghakiman.
Mendokumentasikan aktivisme
Ketiga film dokumenter ini memiliki cakupan nasional dan membentuk hubungan antara kesetaraan gender, keadilan sosial, keberagaman agama, dan keberlanjutan lingkungan. Dalam hal itu, mereka mengonfirmasi batas-batas negara dan pentingnya agama dalam ideologi negara. Pada saat yang sama, masing-masing memiliki gaya dan pendekatan sendiri dalam menghadapi peran perempuan dalam aktivisme lingkungan.
Tanah Ibu Kami menyajikan potret intim di mana para aktivis perempuan membagikan pengalaman pribadi, serta wawasan lingkungan dan sosio-politik mereka. Samin vs Semen berisi rekaman mentah dengan kualitas DIY yang autentik dalam gaya jurnalisme warga tentang aktivitas sehari-hari perempuan dan keterlibatan mereka dalam kampanye lingkungan, dan kadang-kadang tindakan protes yang berbahaya. "Islands of Faith" mencakup liputan tentang inisiatif konservasi yang dipimpin oleh perempuan.
Semesta menahan diri untuk secara eksplisit mengidentifikasi faktor-faktor sosio-politik dan pelaku yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dan lebih memilih segmen teks dengan pesan dan data yang cukup umum tentang polusi lingkungan dan tanggung jawab individu dalam merenungkan dan menerapkan solusi yang mungkin diambil. Pandangan yang kurang kritis ini mungkin terbatas karena sumber pendanaannya.
Produksi independen Tanah Ibu Kami dan Samin vs Semen di sisi lain, dengan tegas mengidentifikasi kebijakan dan perusahaan yang bertanggung jawab atas kesalahan lingkungan dan sosio-kultural. Upaya-upaya untuk mengidentifikasi hubungan antara lingkungan, politik, dan masyarakat, sejalan dengan pemikiran kritis dalam bidang ekologi politik dan ekofeminisme di kalangan akademisi dan aktivis, sangat penting bagi bentuk perawatan lingkungan yang lebih substansial dan langgeng.
Edwin Jurriëns adalah Koordinator Studi Indonesia di Asia Institute, University of Melbourne.