Thomas Barker
English version
Bagi pembuat film Indonesia yang cenderung menghasilkan karya yang menantang, kontroversial, atau oposisional, festival dan platform streaming telah menjadi bagian penting dari strategi pemasaran dan distribusi mereka.
Festival dan platform streaming tidak hanya menawarkan alternatif terhadap kendala pasar domestik yang dicirikan oleh sirkuit distribusi teatrikal yang terbatas dan sejumlah perusahaan media yang telah mengakar, tetapi juga menghindarkan konten dari banyak kendala, seperti penyensoran, otoritas yang berubah-ubah, atau pengunjuk rasa yang mengganggu.
Ketika sineas Garin Nugroho menargetkan festival film internasional pada 1990-an sebagai sarana untuk menghindari Orde Baru, ekosistem media global diaktifkan yang memungkinkan pembuat film Indonesia melampaui batas negara untuk mengejar penghargaan, distribusi, dan pengakuan.
Selama satu dekade terakhir, adopsi cepat teknologi streaming di Indonesia memiliki efek serupa dengan platform global Netflix, HBO, Disney+, Amazon Prime Video, dan WeTV (sebelumnya iflix) yang menawarkan peluang baru untuk konten Indonesia.
Festival dan platform streaming menawarkan alternatif ekonomi bagi pembuat film Indonesia untuk industri dalam negeri, dan banyak yang kini berpartisipasi dalam ekosistem media baru yang bersifat global, bukan hanya terbatas pada nasional.
Platform streaming membuka sumber pendapatan baru dan memungkinkan konten Indonesia menjangkau pemirsa di seluruh dunia. Festival terus membangun daya jangkau bagi para pembuat film baru, seringkali membantu membangun jaringan, mendapatkan sumber pendanaan dan investasi, serta prestise.
Platform streaming memfasilitasi ekspresi kreatif melalui kapasitasnya untuk menjangkau audiens dan memberikan platform kepada beragam pendapat. Peran ini juga sangat politis dan memungkinkan cara baru untuk memahami hubungan antara sinema dan demokrasi, pada saat para pembuat film bergulat dengan tekanan baru atas kebebasan berekspresi, dan demokrasi Indonesia menjadi semakin rumit dan diperebutkan.
Era 1990-an dan Garin Nugroho
Dalam karyanya What’s ‘oppositional’ in Indonesian cinema? yang ditulis pada tahun 2003, Krishna Sen membahas tantangan pembuatan sinema di bawah Orde Baru pada era 1990-an. Dia berargumen bahwa ‘sejumlah besar peraturan [telah] memaksa sinema berada di dalam jaket pengekang nasional, dan telah membatasi seluruh gagasan dari sinema Indonesia’.
Pada saat itu, kendala struktural dalam industri juga berjalan menentang 'eksperimen', sehingga menghasilkan karya yang hambar dan pada akhirnya membuat menurunnya sinema lokal.
Namun tahun 1990-an juga menghasilkan Garin Nugroho, seorang pembuat film yang menentang batasan ini dan yang mengukir karir dan cara kerja yang unik.
Sen menunjukkan bagaimana Nugroho menggunakan praktik sinema unik yang memperlihatkan bagian-bagian bangsa yang dihilangkan atau dihapus dari narasi nasional dengan menghadirkan kaum miskin dan terpinggirkan, dan sebagian nusantara di luar Jawa.
Sen berargumen bahwa film-film besutan Garin Nugroho menghadirkan yang lokal dan periferal sebagai 'situs [s] oposisi' terhadap logika representasi nasional yang berlaku. Garin Nugroho juga membangun relasi dengan festival film internasional – terutama Rotterdam, Singapura, dan Tokyo – untuk memutar filmnya, dan untuk mencari sumber investasi dan pengakuan di luar Indonesia.
Ini adalah periode ketika pembuat film lain seperti Eros Djarot juga bekerja untuk menantang rezim, dengan memrotes peraturan film di awal 1990-an, mendukung media oposisi (mendirikan tabloid politik Detik, yang dilarang terbit pada 21 Juni 1994), dan partai politik. Kepemimpinan Garin dalam perfilman juga turut menginspirasi para sineas di belakang Kuldesak (Riri Riza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana, dan Nan T Achnas, 1998) yang sering dianggap sebagai sineas film generasi baru yang pertama.
Dalam proses produksinya, pembuat film Kuldesak bekerja menghindari peraturan seputar produksi film yang berlaku, dengan cara terlibat dalam pembuatan film berbasis komunitas dan gerilya seperti syuting di malam hari, meminta bantuan, dan bernegosiasi langsung dengan pemilik Bioskop 21 untuk merilis film mereka.
Pada era 1990-an ini, satu-satunya fokus oposisi dan kritik yang jelas adalah rezim Orde Baru Presiden Suharto, militer dan kroninya, serta ideologi yang menyertainya. Meskipun ada banyak kepingan puzzle dari ini semua seperti hak buruh, kebebasan pers, dan anti-dwifungsi, tetapi target yang dapat diidentifikasi adalah rezim, yang mengarah pada upaya untuk menggulingkannya.
Era demokrasi baru
Menyusul berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan dimulainya era reformasi dan demokrasi, pada awalnya yang terjadi adalah ledakan lahirnya media baru, suara-suara baru, dan ketika industri film dibangun kembali, terjadi marketisasi yang mengikuti ‘arus utama'. Ini menyebabkan industri terbuka pada sejumlah pemain dan perusahaan baru, dan mengintegrasikan film ke dalam budaya pop termasuk musik, sastra, periklanan, dan selebritas. Ini juga dilihat sebagai era fragmentasi, dan bukan masa kesatuan seputar isu-isu kunci seperti penentangan terhadap pengoperasian Lembaga Sensor Film (LSF), sehingga LSF mampu bertahan dan bahkan menguat sebagai sebuah institusi.
Sejak tahun 2000-an, dan sangat berbeda dengan situasi di tahun 1990-an, industri film telah mengalami proses desentralisasi dari Jakarta, ke kota-kota lain, seperti Yogyakarta, dan semakin dicirikan oleh jaringan baru kolaborasi, berbagi ide, dan pertukaran. Ini telah menciptakan publik baru di sekitar festival dan di komunitas, dan memungkinkan proses berbagi sumber daya, pengalaman, dan ide yang lebih besar. Dengan demikian memperbarui konsep ‘oposisional’ milik Sen: kini tidak lagi di lokal saja, tapi juga di komunitas.
Ada juga reaksi balik terhadap proses demokratisasi dan banyaknya suara baru serta visibilitas komunitas. Misalnya, Undang-Undang Pornografi tahun 2008 menandai penegasan ulang yang signifikan terhadap norma sosial konservatif dan pembatasan terhadap perilaku dan ekspresi individu. Ada beberapa contoh film yang diprotes selama proses produksi atau saat pameran. Pada akhir 2008, Lastri, sebuah proyek Eros Djarot tentang peristiwa tahun 1965 diprotes dan ditutup selama produksinya; beberapa pemutaran film di bioskop dan stasiun TV juga tak luput dari protes, seperti film Tanda Tanya yang dibesut Hanung Bramantyo (2011); atau baru-baru ini film Garin Nugroho, Kucumbu Tubuh Indahku (2018).
Demokrasi dan kerja kreatif
Secara paralel, tetapi agak di luar peristiwa-peristiwa di Indonesia, ada fokus baru tentang apa arti demokrasi dalam kaitannya dengan karya kreatif, media, dan hak yang menyertainya. Khususnya, Konvensi 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya yang dikeluarkan oleh UNESCO, yang telah berkontribusi pada wacana baru tentang hak dan demokrasi.
'Tujuan utama Konvensi ini adalah untuk memperkuat lima mata rantai yang tidak terpisahkan dari mata rantai yang sama; yaitu, kreasi, produksi, distribusi/penyebaran, akses dan penikmatan ekspresi budaya yang disampaikan melalui aktivitas budaya, barang dan jasa – khususnya di negara-negara berkembang.’
Hal ini berusaha untuk mendorong negara-negara ‘untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan budaya mereka dan mengadopsi langkah-langkah untuk melindungi dan mempromosikan keragaman ekspresi budaya’ (Pasal 5).
Ini terkait dengan demokrasi dalam Pasal 2:
‘Keanekaragaman budaya dapat dilindungi dan dipromosikan hanya jika hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, seperti kebebasan berekspresi, informasi dan komunikasi, serta kemampuan individu untuk memilih ekspresi budaya, dijamin.’
Konvensi 2005 tentang Perlindungan dan Pemajuan Keanekaragaman Ekspresi Budaya telah diratifikasi oleh Indonesia pada Januari 2012. Sejalan dengan definisi UNESCO tentang kebebasan artistik, Koalisi Seni menerbitkan Rupa Kebebasan Berkesenian di Indonesia (State of Artistic Freedom in Indonesia) pada bulan November 2020. Laporan tersebut mencatat 57 kasus pelanggaran dari tahun 2010 hingga 2020, di mana 24 di antaranya berkaitan dengan perfilman.
'Jumlah pelanggaran tertinggi kedua terjadi pada hak untuk mendukung, mendistribusikan, dan membayar karya seni, dengan total 62,2 persen kasus, atau 28 dari 45 kasus. Sebagian besar pelanggaran terjadi di dalam industri film. Dari 28 kasus tersebut, 22 di antaranya merupakan pelanggaran yang melibatkan intimidasi, pelarangan film, atau pembatalan pemutaran film di bioskop atau ruang seni lainnya. Satu kasus melibatkan masalah struktural yang mencegah akses ke bentuk seni itu sendiri: larangan bioskop di Aceh, yang dikeluarkan pada tahun 2004 sesuai dengan hukum Syariah di provinsi itu’.
Betapapun mengkhawatirkannya insiden-insiden ini, kita juga telah melihat respon komunitas yang lebih kuat, dan bahasa yang sama juga muncul sebagai tanggapan atas insiden-insiden. Klub Sutradara Film Indonesia (IFDC) yang mewakili lebih dari 60 sutradara mengeluarkan pernyataan pada April 2019 untuk mendukung ‘hak atas kebebasan berekspresi’. Laporan Koalisi Seni juga mengidentifikasi sensor sebagai perhatian khusus setelah ada film yang ‘tidak lolos kualifikasi’ oleh LPF, atau diprotes oleh masyarakat setelah lulus LPF.
Festival dan platform streaming
Dalam lanskap baru yang rumit dan diperebutkan ini, festival film dan layanan streaming memainkan peran penting baik secara ekonomi maupun dalam mendukung demokrasi budaya. Festival film dan layanan streaming menjadi bagian dari domain budaya yang diperebutkan ini, yang berasal dari jangkauan transnasional dan platform deterritorialisasi.
Contoh yang terbaru adalah film Garin Nugroho Kucumbu Tubuh Indahku (2018) yang dilarang di lima kota, antara lain Depok, Kubu Raya, Pontianak, Palembang, dan Riau. Pemerintah Depok di Jawa Barat meminta agar film tersebut segera dilarang karena menampilkan 'tindakan seksual menyimpang dan penistaan agama', sementara pemerintah Palembang di Sumatera Selatan mengatakan film tersebut 'memasukkan konten negatif yang kemungkinan besar akan memengaruhi generasi muda.' Menanggapi hal tersebut, Garin Nugroho dan perusahaan produksi Four Colours Films terlibat dalam kampanye media untuk melawan klaim tersebut dan membuka dialog.
Dalam pernyataannya, Nugroho menunjuk kredensial festival film internasionalnya sebagai alat untuk menangkis kritik. Banyak pembuat film menggunakan penghargaan dari festival internasional sebagai bagian dari pemasaran mereka, tetapi itu juga menjadi argumen tandingan penting bagi mereka yang mengklaim film tersebut memuat konten 'pornografi' atau ofensif. Keberhasilannya di festival menegaskan nilai budayanya. Sebelum tayang perdana di Indonesia di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2018 (pada 13 Desember 2018) Kucumbu Tubuh Indahku sudah tayang perdana di Festival Film Internasional Venesia ke-75 (bagian Orizzonti), dan diputar di berbagai festival di Busan, Singapura, Rotterdam, dan Locarno.
Pengakuan dari festival internasional juga memberi film seperti Kucumbu Tubuh Indahku beberapa pengaruh dalam menegosiasikan perjanjian distribusi yang lebih kuat pada platform streaming. Platform streaming mungkin tidak tunduk pada persyaratan sensor yang sama seperti film yang dirilis di bioskop atau televisi, yang artinya sering kali karya tanpa sensor lengkap dapat ditayangkan.
Mendistribusikan pada platform streaming juga menghilangkan film dari 'mata publik' seperti ketika sebuah film diputar di bioskop atau di televisi, di mana ia berisiko menjadi titik fokus protes. Platform streaming biasanya diakses dengan cara berlangganan, serta memiliki cara yang berbeda untuk membuat materi dapat terlihat atau ditemukan. Seperti yang dikatakan Roman Lobato (2019) dalam karyanya di Netflix, sebagai platform distribusi dan konsumsi yang 'terdeteritorialisasi', layanan streaming memungkinkan konten untuk keluar dari batas negara bangsa.
Ini juga cara layanan streaming – khususnya Netflix – menciptakan pemirsanya, tidak berdasarkan negara, tetapi seputar minat dan ceruk. Sebuah karya seperti Kucumbu Tubuh Indahku memiliki peluang kuat untuk diambil kemudian didistribusikan karena penghargaan festival dan pokok bahasannya. Ini memungkinkannya menemukan penonton yang tidak dibatasi oleh 'penonton massal' televisi nasional (Marcus 2022) atau penayangan perdananya pada akhir pekan pertama di box office bioskop.
Peluang yang baru
Bagi pembuat film yang membuat karya yang menantang, oposisional, atau kontroversial, logika industri film yang sudah mapan sering bertentangan dengan kepentingan mereka. Sulit mendapatkan slot di bioskop, lalu mendapatkan penonton, lalu menahan penonton cukup lama untuk menghasilkan uang. Layanan streaming menawarkan proposisi yang menarik bagi pembuat film, menghubungkan industri film lokal/nasional dengan penonton global.
Dalam pencarian mereka akan konten, 'legitimasi sinematik', dan pelanggan, platform streaming menjungkirbalikkan banyak asumsi kami tentang media layar. Mereka berada dalam ranah ekonomi budaya bersama dengan festival film yang mendorong 'bioskop berkualitas' dan mengantarkan film ke khalayak khusus. Layanan streaming tidak didorong oleh logika sinema massal dan karena itu mereka lebih bersedia mengambil pekerjaan berisiko karena jangkauannya yang global, dan konsep audiens mereka memiliki ruang untuk ceruk, bukan hanya massa.
Streamer tidak diragukan lagi juga memiliki kepentingan komersial untuk mendapatkan konten berkualitas, dengan harga termurah, dan menjualnya kepada semua pelanggan tanpa mengungkapkan banyak tentang metrik dan penayangan mereka. Namun dengan melakukan itu, platform streaming membuka ruang baru untuk beragam suara sinematik. Bagi sineas Indonesia, ini juga merupakan cara untuk menutup biaya produksi sehingga pada akhirnya mereka dapat terus bercerita.
Thomas Barker (thomas.barker@anu.edu.