Evi Eliyanah, Novi Kurnia, IGAK Satrya Wibawa, Tito Imanda
English version
Selama tiga tahun terakhir, upaya untuk mengatasi penyalahgunaan dan diskriminasi berbasis gender di industri film Indonesia semakin intensif. Panggilan untuk perubahan dalam industri ini tidak terpisahkan dari munculnya gerakan 'Me Too' secara global, dan bagian dari perjuangan berkelanjutan untuk kesetaraan gender di Indonesia pasca Orde Baru. Pada skala sosial yang lebih luas, gerakan ini juga menyoroti bentuk diskriminasi lainnya terhadap dan pengecualian individu yang mewakili kelompok minoritas di industri perfilman Indonesia, baik di depan maupun di belakang layar.
Sebagai pendidik yang mengajar film di lembaga pendidikan tinggi, perubahan sosial ini membuat kami mulai mempertanyakan sejauh mana nilai-nilai dan praktik kesetaraan dan inklusi diajarkan dalam pendidikan film di Indonesia. Setelah refleksi kolektif, jelas bahwa kurikulum dan lingkungan pendidikan film, termasuk di lembaga kami sendiri, tidak memberikan siswa kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk mendukung kesetaraan gender dan inklusi sosial serta mencegah pelanggaran seksual dan diskriminasi. Juga jelas bahwa kurikulum dan lingkungan saat ini tidak melindungi mereka yang berasal dari kelompok minoritas dan terpinggirkan dari pelanggaran serupa.
Sebagai sekelompok peneliti yang mewakili KAFEIN (Pengkaji Film Indonesia) dan dengan dukungan UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan), kami memulai proses kolektif untuk memproduksi sebuah panduan. Tujuannya adalah untuk membantu dosen film dan pembuat kebijakan yang aktif di pendidikan tinggi untuk menawarkan kurikulum di mana kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) didukung dan direspon. Tujuan utamanya adalah menghasilkan lulusan yang sadar tentang GESI dan diperlengkapi perangkat yang diperlukan untuk bertindak jika diperlukan.
Pemetaan masalah
Studi kami dimulai dengan memetakan keragaman (atau kekurangannya) dan ketimpangan dalam industri film Indonesia - tidak hanya di layar tetapi juga di belakangnya. Kami kemudian mengkaji sejauh mana perspektif GESI terintegrasi dalam kurikulum dan infrastruktur program studi film yang ada, dan mengidentifikasi tempat-tempat di mana perbaikan dapat dilakukan. Kami mengundang para dosen film untuk mengisi kuesioner tentang praktik pengajaran mereka saat ini dan kurikulum serta infrastruktur yang ada di instansi mereka. Kami juga mengundang dosen, pembuat film, dan anggota BPI (Badan Perfilman Indonesia) untuk berdiskusi dalam kelompok fokus, sehingga kami dapat memahami tidak hanya keterbatasan dalam kurikulum yang ada tetapi juga harapan mereka untuk pengembangan di masa depan. Hasil investigasi ini menjadi dasar bagi panduan tersebut.
Data terdisagregasi berdasarkan gender yang diproduksi oleh KAFEIN menunjukkan partisipasi pria dan wanita yang relatif seimbang dalam pendidikan film di Indonesia, tetapi tidak dalam lapangan kerja di industri film. Mahasiswi cenderung lebih unggul daripada mahasiswa pria dalam menyelesaikan studi mereka dan menerima beasiswa, tetapi dalam dunia kerja, persentase wanita yang terlibat dalam industri film masih relatif rendah, yakni kurang dari 20 persen. Sejak tahun 1955, pembuat film perempuan hanya menyumbang delapan persen dari pembuat film yang menerima penghargaan di Festival Film Indonesia yang bergengsi. Kelompok minoritas berdasarkan agama, etnisitas, dan seksualitas juga kurang terwakili di semua sektor. Dengan kata lain, pria Muslim, heteroseksual, dan tidak berkebutuhan khusus yang mewakili kelompok etnis mayoritas di Indonesia cenderung mendominasi posisi pengambilan keputusan di industri ini. Kurangnya keragaman dalam industri ini menghasilkan variasi yang lebih sedikit dalam representasi gender, seksualitas non-heteronormatif, disabilitas, agama minoritas, dan etnisitas pada film.
Diskusi kami dengan dosen film dan PROSFISI (Asosiasi Program Studi Film dan Televisi di Indonesia) menunjukkan bahwa perspektif GESI terbatas, jika tidak sepenuhnya absen, baik dalam konten maupun struktur program studi film dan kurikulum. Diskusi ini juga menyoroti masalah dalam metodologi pengajaran, seperti penggunaan metode yang berpusat pada guru daripada metode yang berpusat pada siswa, serta kurangnya kesadaran GESI dan bias potensial dalam praktik pengajaran.
Langkah-langkah awal
Setelah menganalisis temuan penelitian kami, kami menyiapkan draf pertama panduan yang berjudul Perspektif Gender dan Inklusi Sosial dalam Kurikulum, Pengajaran, dan Lingkungan Belajar dalam Program Studi Film di Indonesia. Kami memulai dengan pengenalan teori-teori dan konsep dasar terkait gender, seksualitas, dan keadilan. Kami menyadari bahwa pengguna potensial mungkin tidak tahu bagaimana mengidentifikasi perbedaan antara konstruksi gender dan seksualitas biologis dan sosial, atau menyadari hubungan kekuasaan antara gender dan seksualitas, dan bagaimana hal itu terungkap dalam konteks film sebagai industri dan produk budaya. Kemudian, kami menyajikan beberapa cara praktis di mana program studi film dapat berkontribusi untuk menciptakan sinema yang setara dan inklusif.
Khusus untuk pengembangan kurikulum, kami menawarkan pendekatan pada tingkat makro di mana upaya bersama dilakukan untuk merevisi dokumen kurikulum, menawarkan mata kuliah khusus, atau memperkaya mata kuliah yang ada dengan nilai dan praktik kesetaraan dan inklusi. Pada tingkat mikro, mengingat otonomi dosen dalam merancang mata kuliah mereka, kami menjelaskan bagaimana dosen individu dapat secara pribadi berkontribusi untuk menghasilkan pembuat film yang peduli sosial dengan memastikan bahwa mata kuliah yang mereka ajarkan menggabungkan nilai-nilai dan praktik kesetaraan, keragaman, dan inklusi.
Kami juga berfokus pada bagaimana para pemangku kepentingan yang relevan dalam program studi film dapat menyediakan infrastruktur - mulai dari bangunan dan sumber daya manusia hingga layanan - yang mengakomodasi beragam jenis kelamin, seksualitas, agama, kemampuan, dan identitas etnis. Mereka mungkin tidak perlu memulai dari awal, tetapi dapat memodifikasi infrastruktur yang ada agar kelompok minoritas dan terpinggirkan merasa diterima dan menjadi bagian integral dari komunitas akademik.
Solidaritas
Setelah menyelesaikan draf pertama panduan, kami mengadakan dua workshop selama tiga hari pada bulan Oktober dan November 2022 untuk menyebarkan temuan penelitian dan mengumpulkan umpan balik dari para dosen film, yang merupakan pengguna potensial panduan ini.
Peserta workshop sangat berterima kasih - tidak hanya atas upaya kami untuk memberikan dukungan konkret bagi perancangan kembali kurikulum yang ada dan melakukan perbaikan terhadap infrastruktur, tetapi juga atas penciptaan ruang aman untuk diskusi tentang bagaimana pendidikan film telah mengatasi ketidaksetaraan dan pengecualian.
Diskusi kami dengan pendidik juga memperjelas bahwa menyediakan sumber daya seperti panduan ini hanya merupakan langkah kecil dalam perjalanan untuk melakukan perbaikan di bidang studi kami dan industri secara lebih luas. Kami mengidentifikasi tiga tantangan utama dan berkelanjutan dalam mengintegrasikan perspektif GESI dalam desain kurikulum dan pengembangan infrastruktur di lembaga kami. Ketiga hal itu terkait dengan kurangnya pelatihan dan sumber daya, hambatan terkait sensitivitas budaya dan norma sosial, serta dukungan yang terbatas dari pemangku kepentingan utama.
Hambatan yang berkelanjutan
Kurangnya sumber daya manusia yang kompeten berarti bahwa para dosen belum menerima pelatihan khusus dalam GESI, apalagi dukungan untuk menggabungkan nilai dan strategi GESI dalam praktik pengajaran dan pembuatan film mereka. Oleh karena itu, responden kami sangat menghargai prospek proses kolektif yang berkelanjutan di antara para dosen film untuk membantu mereka merancang kurikulum dan kursus, serta mengumpulkan materi pengajaran yang relevan. Panduan ini dianggap sebagai titik awal penting untuk kolaborasi tersebut, dan mencakup sumber daya seperti daftar bacaan untuk membantu dosen dalam menyusun materi.
Namun, para dosen juga memiliki kekhawatiran terbesar terkait dengan sensitivitas budaya dan tabu seputar masalah GESI tertentu, seperti seksualitas, pelecehan, dan diskriminasi. Mereka tidak hanya kesulitan mengakses materi yang relevan, tetapi juga norma sosial membuat mereka sulit untuk membahas masalah-masalah ini dengan mahasiswa dan rekan kerja mereka. Sebagai respon terhadap hal ini, kami memperkuat bagian dalam panduan yang menyerukan kepada universitas untuk mendirikan unit khusus yang fokus pada pencegahan diskriminasi dan pelecehan, serta bekerja menuju penyelesaian jika terjadi.
Juga menjadi jelas bahwa pendidikan para dosen dan penyebaran panduan GESI kepada mereka saja tidak akan cukup, untuk membuat perubahan. Jelas bahwa melibatkan pemangku kepentingan utama secara berkelanjutan adalah suatu keharusan. Setelah publikasi panduan ini, kami berencana untuk menggeser fokus kami ke mempromosikan dialog dan kolaborasi dengan banyak pihak.
Pemasyarakatan GESI dalam pendidikan film di Indonesia harus menjadi upaya kolektif demi menciptakan industri film yang aman, setara, dan inklusif bagi semua individu, terlepas dari identitas mereka. Pendidikan film memainkan peran penting dalam menghasilkan generasi film masa depan yang sadar dan responsif terhadap kesetaraan gender dan inklusi sosial. Di masa depan, usaha ini juga harus melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan industri, termasuk lembaga pengambil keputusan nasional.
Evi Eliyanah adalah profesor madya dalam studi gender di Universitas Negeri Malang (UM), Indonesia. Novi Kurnia adalah profesor madya di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, dan anggota dewan KAFEIN sejak 2017. IGAK Satrya Wibawa adalah profesor madya di Departemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, dan kepala Pusat Industri Kreatif di Sekolah Pascasarjana. Tito Imanda adalah kepala KAFEIN dan saat ini menjabat di BPI sebagai kepala riset dan pengembangan.