Saiful Mahdi
English version
Bagi mereka yang remaja dan dewasa di masa Orde Baru, frasa ‘demokrasi terpimpin’ dijejalkan sebagai sesuatu yang negatif. Para penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) waktu itu memasukkan ‘demokrasi terpimpin’ sebagai jalan yang salah dan ‘tidak sesuai dengan Pancasila’.
Namun demokrasi Indonesia saat ini adalah demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin, demokrasi diakui tapi keputusan dan kekuasaan tertinggi yang nyaris mutlak ada pada satu figur atau satu majelis. Model kepemimpinan ‘majelis syuro’, ‘majelis tinggi partai’ atau varian lainnya pada dasarnya adalah model-model ‘pseudo demokrasi’ juga. Model demokrasi yang feodalistik. Bagi sebagian, model demokrasi seperti ini dianggap ideal untuk masyarakat plural di negara sebesar Indonesia. Singapura dan Cina dianggap contoh ideal.
Mungkin ini adalah gejala bangsa yang kehilangan arah karena tantangan yang makin tidak mudah. Tapi mungkin ini juga adalah gejala penguasa yang malas berpikir . Penguasa dari manusia semenjana, the common man, orang biasa yang ‘gila kuasa’ seperti yang ditulis Yudi Latif:
‘Ketika kekaguman terhadap ‘nama-nama besar’ mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, secara naluriah banyak orang mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri (self-glorification). Hanya karena berbekal ‘keturunan’, penampilan menarik, prestasi tipis, atau berkantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin negara ini….Inilah era manusia semenjana (the era of common man)’.
Menguatnya demokrasi feodal ini dicirikan dengan makin terpusatnya kekuasaan di tangan segelintir elit yang rendah kapasitas. Yang jelas, bangsa ini memang sedang kehilangan negarawan. Karena hanya negarawan yang mau terus berpikir dan menempuh jalan sulit nan terjal demi bangsa dan negaranya. Bukan memilih jalan pintas demi kepentingan sektarian.
Salah satu ‘jalan sulit’ itu adalah jalan ilmu pengetahuan. Namun, walaupun sulit, jalan ilmu pengetahuan adalah jalan yang baik untuk semua bangsa. Apalagi untuk bangsa besar seperti Indonesia. Ilmu pengetahuan juga jalan terbaik untuk menjaga keberagaman, sesuai Bhinneka Tunggal Ika. Karena ilmu pengetahuan dapat memberi kriteria-kriteria objektif dalam, misalnya, seleksi kepempimpinan sehingga kita terhindar dari sektarianisme berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).
Tapi sepertinya kita sedang meninggalkan jalan ilmu pengetahuan juga. Demokrasi terpimpin mengharuskan kepatuhan semua, termasuk para ilmuwannya.
Dari optimisme hingga kekecewaan
Di awal pemerintahan Jokowi periode pertama, bangsa Indonesia sepertinya penuh harapan dan optimisme. Termasuk komunitas episteme-nya. Salah satu momen itu saat Kepala Staf Presiden (KSP) waktu itu, Luhut Binsar Panjaitan, mengajak sejumlah alumni Universitas Harvard untuk membantunya.
Meskipun mendapat kritik dari sejumlah kalangan sebagai pemuliaan berlebihan pada almumni kampus luar negeri, pelibatan para sarjana alumni universitas terkemuka itu tentu punya nilai positif. Paling tidak ia mengirimkan pesan keberpihakan pemerintah pada ilmu pengetahuan. Leksikon ‘evidence/data-based policy’ atau ‘kebijakan berbasis bukti/data’ sepertinya mulai mendapat tempat di negeri ini.
Awal periode kedua Jokowi tidak diwarnai optimisme yang sama. Jokowi terpilih kembali lewat pemilihan yang sangat membelah bangsa Indonesia. Politik identitas begitu mengemuka. Populisme jadi pilihan mudah. Jika di awal periode pertama bangsa Indonesia disajikan kumpulan para sarjana hebat dari universitas terkemuka, periode kedua kita berspekulasi tentang staf khusus milenial. Sempat menjadi berita hangat, kini mereka juga tak kedengaran lagi kiprahnya.
Bukan hanya itu, para analis dan ahli Indonesia memunculkan terma ‘illiberal democracy’, ‘illiberal turn’, dan ‘regresi demokrasi’. Menurut kalangan ini, bukti-bukti ‘kemunduran demokrasi’ makin banyak. Dimulai dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Awalnya dengan memanfaatkan residu pilkada dan pilpres yang membelah: ‘KPK isinya banyak taliban!’ Tak sepenuhnya berhasil, para penguasa di legistalatif dan eksekutif mengusulkan UU KPK yang baru. Ditolak mahasiswa dan masyarakat sipil secara luas, UU KPK tetap disahkan. Di tengah pandemi Covid-19 yang sedang mendera.
Dengan dalih untuk menarik investasi, selanjutnya pemerintah bersama DPR membentuk UU Cipta Kerja dalam bentuk hukum omnibus. Walaupun ditolak secara luas, disertai jatuhnya korban, omnibuslaw ini tetap disahkan. Di puncak deraan pandemi, yang sering dijadikan alasan sebagai keadaan darurat yang membenarkan tindakan darurat pemerintah.
Ruang protes semakin kecil
Protes masyarakat sipil yang ikut dimotori dan dibahani kalangan episteme—mahasiswa, jurnalis, akademisi, dan peneliti, sepertinya tak mempengaruhi para penguasa yang makin dekat dengan pengusaha konglomerat negeri ini. Saat reshuffle kabinet, bahkan makin banyak pengusaha jadi menteri. Kabinet zaken, kabinet dengan sebagian besar menteri dan stafnya dari kalangan ahli atau teknokrat, kembali hanya menjadi jargon kosong.
Demokrasi terpimpin telah ‘menundukkan’ politisi dan pengusaha dari kubu sebelah. Nyaris tak ada lagi oposisi. Padahal opisisi adalah keniscayaan dalam sebuah demokrasi deliberatif. Tapi sayup-sayup masih terdengar kritik dan protes. Kritik yang terus datang dari kalangan episteme.
Kelompok ini lantas juga diperlemah dengan sejumlah cara. Pertama, aturan yang dibuat makin longgar untuk memasukkan aspirasi politis dan bisnis ke dunia akademik. Polemik perubahan statuta Universitas Indonesia adalah contoh dampak liberalisasi pendidikan yang berlebihan. Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) yang diharapkan memperkuat otonomi kampus justru memperkuat pengaruh pemilik kekuasaan politik dan modal ke dalam institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal skema sejenis ini sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Pengaruh kekuasaan politik dan modal paling tidak terlihat dari obral doktor honoris causa. Sikap lancung dalam pemberian gelar kehormatan seolah dilegalkan. Kini ditambah dengan bagi-bagi ‘profesor kehormatan’, sebuah istilah yang sangat jarang dan hati-hati digunakan oleh kalangan akademik di negara lain. Majalah Tempo sempat menurunkan sejumlah laporan khusus tentang fenomena ini.
Kedua, peneliti disatuatapkan dalam naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pesannya tegas: Anda boleh meneliti apa saja asal ‘tidak bertentangan dengan Pancasila’. Ini mengingatkan saya pada debat politik ilmu pengetahuan dalam pendanaan kajian wilayah (area studies) di Amerika Serikat di akhir tahun 90-an dan awal tahun 2000-an. Puncaknya pendanaan untuk kajian wilayah sempat mendapat tekanan dari Presiden Bush Jr dan kaum konservatif di tahun 2000-an.
Ketiga, pembajakan dan penyempitan makna ‘merdeka’ lewat program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dilaksanakan direktorat jenderal pendidikan tinggi, riset, dan teknologi. Kampus dan civitas academica (dosen dan mahasiswa) seolah dapat menjadi lebih ‘merdeka’ lewat program ini, tapi kenyataannya pembatasan dan keterbatasan masih terjadi. Penekanan berlebihan pada aspek ketrampilan kerja telah mengaburkan perbedaan pendidikan sarjana untuk mencetak pemikir dengan pendidikan vokasi untuk meningkatkan ketrampilan calon pekerja. Istilah link and match masih menjadi mantra untuk memastikan calon sarjana siap menjadi pekerja. Merdeka pada MBKM juga tidak memperhitungkan perbedaan sumber daya yang tidak merata antar wilayah di Indonesia dan antar perguruan tinggi, termasuk sumber daya mitra dari kalangan dunia usaha dan dunia indutri. Gawatnya, indikator keberhasilannya justru dibuat seragam dari Jakarta. Bagaimana input dan proses berbeda bisa didinilai dengan evaluasi seragam terhadap output dan outcome?
Keempat, standardisasi dan akreditasi yang mekanistik. Standardisasi adalah model yang berkembang dari industri, terutama industri manufaktur, yang berusaha memperoleh produk yang seragam dengan menekan variasi. Karena itu, sejak awal, usaha mentransfer model standardisasi—kemudian akreditasi, ke dunia pendidikan diperdebatkan. Jalan tengah dari perdebatan itu adalah perlunya kehati-hatian dalam penerapan standardisasi dan akreditasi dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Jika di pabrik, produk yang dihasilkan diusahakan seragam dengan menekan variasi, pendidikan justru mengakomodasi kalaupun tidak menghargai perbedaan para pembelajar: dosen dan mahasiswa serta semua yang terlibat di dalamnya. Sementara dosen disibukkan dengan pengadministrasian bahan-bahan dan pengisian borang-borang akreditasi. Tekanan urusan administrasi ini terjadi di tengah-tengah tekanan untuk memenuhi indikator kualitas menuju world class university seperti pendanaan dan publikasi riset yang terindeks.
Apa yang bisa dilakukan?
Perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terus mengalami liberalisasi. Tapi liberalisasi sepertinya melulu tentang pengelolaan keuangan, bukan tentang pemikiran dan diskursus ilmu pengetahuan. Dari status satuan kerja (satker) kementrian yang keuangannya secara mutlak diatur kementerian menjadi badan layanan umum (BLU) yang semi-otonom secara keuangan. Selanjutnya PTN BLU didorong menjadi PTN BH yang lebih otonom lagi dalam urusan keuangannya.
Sayangnya, pengelelolaan kampus yang makin seperti pengelolaan perusahaan atau korporasi—harapannya tentu saja agar makin profesional, tidak diikuti dengan perhatian yang lebih baik pada hak-hak dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Dalam sejumlah kasus, usaha memenuhi target penerimaan kampus dapat berakibat pada peningkatan uang kuliah tunggal (UKT) yang harus dibayarkan mahasiswa dan masyarakat secara umum. Dan ketika mahasiswa melakukan protes kenaikan UKT, ada yang direpresi oleh pihak kampus lewat ‘pendisiplinan’ dengan sanksi administratif hingga dikeluarkan (di-DO, drop out).
Bagi para dosen, PTN BH berarti kinerja yang ukurannya monetasi. Pusat riset dan program studi baru didirikan dengan hitung-hitungan komersial: banyak atau tidak peminatnya dan berapa uang bisa dimasukkan ke kampus. Demikian juga pendanaan riset. Hanya riset dengan kemungkinan monetasi yang mendapat prioritas pendanaan. Kelihatan tak ada masalah, kerangka kerja demikian meminggirkan ilmu-ilmu dasar di bidang sains dan hampir semua bidang dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Padahal ilmu-ilmu dasar diperlukan untuk mendorong inovasi dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi untuk sebuah bangsa.
Tanpa pendanaan riset memadai, seorang akademisi tidak bisa melakukan riset berkualitas. Tanpa riset berkualitas, tak ada publikasi berkualitas. Tanpa itu semua, kinerja dosen akan makin sulit ditingkatkan. Sebagian akademisi akhirnya menempuh jalan pintas lewat perjokian penulisan paper, publikasi, hingga pengurusan jabatan guru besar. Ini semua pada gilirannya mengancam kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi kampus.
Untuk itu, para pekerja kampus, dosen dan tenaga kependidikan, perlu meningkatkan posisi tawar dan terus mengkritisi manajemen sebuah perguruan tinggi di tingkat lokal hingga ke tingkat nasional. Untuk dapat melakukan itu, diperlukan serikat pekerja kampus, serikat dosen, atau bentuk lain organisasi pekerja kampus. Tanpa berserikat dan berorganisasi, yang merupakan hak setiap warga negara, usaha menjaga kebebasan akademik akan terus menjadi usaha yang sifatnya sporadis seperti pemadam kebakaran. Usaha individu akademisi, selain rentan dibungkam bahkan dikriminalisasi juga perlu energi besar untuk bertahan dan berdampak. Pembungkaman dan kriminalisasi bisa menggunakan alasan ‘demi kepentingan kampus’, ‘demi kepentingan pendidikan’, ‘demi kepentingan yang lebih besar’, hingga ‘demi kepentingan bangsa dan negara’.
Bertindak bersama
Sambil berusaha terus melahirkan serikat pekerja akademik, para dosen dan mahasiswa di Indonesia perlu terus berjejaring untuk memelihara akal sehat dan daya kritisnya. Usaha seperti yang dilakukan sejumlah dosen, mahasiswa, jurnalis, dan aktivis lewat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), perlu didukung, diperkuat, direplikasi, dan diamplifikasi.
Episode terkini ‘sains terpimpin’ diwarnai dengan pengusiran dan pencekalan peneliti asing. Saat kaum episteme berdebat tentang ini, sebuah omnibus law lain sedang didesakkan. Kali ini menyasar dunia episteme langsung di jantungnya: RUU Sistim Pendidikan Nasional.
Catatan Iptek Kompas 28 September 2022 menyorot sejumlah insiden yang menentang kebebasan akademik itu sebagai usaha ‘menjinakkan ilmuwan’. Aih..aih… Mungkin ini bagian dari skema ‘sains terpimpin’? Pesannya kira-kira begini: Anda boleh belajar dan meneliti apa saja asal ‘tidak bertentangan dengan Pancasila’ dan tidak bertentangan dengan ‘kepentingan bangsa’, sebuah istilah yang sangat multi-tafsir.
Saiful Mahdi (saiful.mahdi@unsyiah.ac.id) adalah dosen Universitas Syiah Kuala, anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).