Abdul Wahid
Minggu pertama tahun 2024, masyarakat Indonesia digemparkan oleh dua berita memilukan terkait eksploitasi binatang di Indonesia. Berita pertama adalah tentang kematian tiga ekor harimau di Kebun Binatang Medan, serta kondisi buruk kondisi ratusan hewan lainnya akibat masalah keuangan lembaga ini pasca Pandemi COVID-19 (Kompas, 8/1-2024). Berita kedua terkait kasus penyelundupan 213 ekor anjing di pintu tol Semarang, yang rencananya akan menjadi bahan konsumsi di sejumlah restoran di Surakarta (Kompas, 11/1-2024). Dua berita tersebut, tentu saja bukanlah yang pertama kali muncul. Peristiwa serupa juga dilaporkan terjadi di beberapa kebun binatang dan wilayah lain di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Ini artinya dua laporan tersebut bisa saja sebuah puncak gunung es dari fenomena yang lebih besar tentang buruknya pengelolaan kebun binatang dan eksploitasi binatang di Indonesia.
Jikalau kondisi binatang di lembaga resmi, seperti kebun binatang, dan binatang yang hidup sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari manusia seperti anjing bisa sedemikian buruk, bagaimana halnya dengan binatang-binatang yang hidup bebas di alam liar? Walaupun perangkat hukum sudah mengalami perbaikan, namun penegakan hukumnya masih rendah. Kenyataannya aktivitas perburuan, eksploitasi dan komodifikasi satwa liar terus berlanjut dalam skala besar. Ini tidak terhitung binatang-binatang yang terancam populasi dan eksistensinya karena habitat mereka hancur akibat eksploitasi alam yang eksesif untuk pertanian, perkebunan, industri, pertambangan dan sebagainya. Tidaklah mengherankan jika sebuah lembaga konservasi alam internasional (International Union for Conservation of Nature, IUCN) mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki sejumlah besar binatang liar yang terancam punah, diantaranya adalah 184 jenis mamalia (termasuk badak, gajah dan harimau di Sumatra), 119 jenis burung (termasuk Raja Udang Kalung-biru di Jawa), 32 jenis reptil (misalnya Kura-kura Hutan Sulawesi), 32 jenis ampibi (kodok darah di Jawa Barat), dan 140 jenis lainnya. Dari jumlah tersebut, 69 spesies masuk kategori terancam punah kategori kritis (critically endangered), 197 spesies terancam punah (endangered), dan 539 spesies kategori rentan (vulnerable).
Siapa yang peduli?
Ada banyak faktor yang bisa disebutkan untuk menjelaskan kenapa kondisi binatang yang memilukan di atas terbentuk. Orang mungkin juga akan berdebat kenapa kondisi tersebut bisa terjadi di Indonesia. Namun, pertanyaan yang mungkin lebih penting adalah: sejauh mana kondisi memilukan binatang tersebut dipedulikan atau diperhatikaan oleh masyarakat Indonesia. Kalau memang ada yang peduli, siapakah mereka, dari kalangan manakah mereka, berapa banyak jumlah mereka, dan apakah mereka melakukan sesuatu untuk menunjukkan kepeduliannya tersebut? Jangan-jangan mereka yang peduli hanyalah segelintir orang saja, para pecinta binatang atau peneliti dan akademisi yang memiliki idealisme dan perhatian terhadap isu-isu binatang, namun tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk merubah kondisi memilukan tersebut.
Sementara itu, mayoritas masyarakat Indonesia dan kelompok-kelompok yang memiliki otoritas dan kekuasaan tidak memiliki kepedulian sama sekali. Bisa jadi inilah akar masalah sebenarnya dari kondisi binatang di Indonesia yang memilukan tersebut. Hal yang sama terjadi di banyak masyarakat dunia, sebagaimana diidentifikasi oleh Gary Steiner (2005: 1-4). Demikian kuatlah ideologi antroposentrisme sehingga menjangkiti semua peradaban dunia, tidak terkecuali di Barat. Ideologi tersebut, menurut Steiner, memandang manusia sebagai pusat alam semesta dan memandang makhluk hidup lain lebih inferior. Karenanya, manusia bisa melakukan apapun untuk menunjukkan superioritasnya kepada mahluk-mahluk hidup lainnya.
Antroposentrisme dalam masyarakat Indonesia
Seperti halnya dalam peradaban lain di dunia, praktek eksploitasi binatang di Nusantara sudah ada sejak zaman kuno. Manusia melakukan domestikasi dan pemeliharaan binatang (domestication and husbandry), khususnya binatang ternak seperti sapi, kerbau, kambing, unggas, dan sebagainya. Kajian arkeologis mengungkapkan bahwa praktek domestikasi binatang mengalami perkembangan pesat dan skalanya semakin luas seiring meningkatnya arus sirkuler migrasi manusia-manusia Austronesia, serta berkembangnya pertanian dan pemukiman menetap.
Pada perkembangannya kemudian praktek esploitasi mulai melebar dalam bentuk penangkapan dan penangkaran binatang-binatang liar seperti harimau, yang dianggap mengancam keselamatan manusia. Proses tersebut terjadi hingga abad-abad pertama Masehi ketika ekspansi aktivitas manusia dalam membuka hutan dan berburu mulai mengurangi habitat natural binatang-binatang liar tersebut. Perkembangan tersebut semakin meluas ketika lembaga-lembaga politik, dan sistem sosial dan ekonomi yang lebih kompleks mulai terbentuk di berbagai wilayah Nusantara, utamanya di Jawa dan Sumatra (Groves 2006: 161-4).
Penangkapan Binatang liar: harimau
Informasi lebih lengkap terkait praktek penangkapan dan eksploitasi binatang liar di Nusantara mulai tersedia sejak periode modern awal, termasuk melalui catatan perjalanan para pelancong Cina, Arab, Eropa, dan seterusnya. Catatan-catatan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para sejarawan modern untuk memahami praktek eksploitasi binatang-binatang liar di Nusantara. Salah satunya yang mungkin paling spektakuler adalah terkait harimau. Binatang ini memiliki tempat penting dalam tradisi budaya (supranatural) Masyarakat Nusantara, mengingat posisinya sebagai binatang predator yang paling ditakuti sekaligus dihormati dan dikagumi. Masyarakat Jawa bahkan mengidentifikasi harimau sebagai leluhur mereka (Wessing 1992: 295).
Dalam bukunya yang termasyhur, Boomgaard (2001: 5-6), mengungkapkan bahwa perburuan harimau di dunia Melayu, termasuk Jawa dan Sumatra, mulai dilakukan dalam skala besar ketika kerajaan lokal mulai memberikan dukungan atas perburuan harimau yang dianggap berbahaya karena menyerang manusia, yang pada periode 1633 – 1687 tercatat sebanyak 30 kasus/ cerita. Selain itu, negara atau kerajaan lokal juga mulai menyelenggarakan perayaan besar yang melibatkan harimau didalamnya sejak tahun 1600an. Dalam konteks abad ke-19 Jawa, ini dikenal dengan nama Rampogan Macan (Wessing 1992: 291-92). Perburuan harimau semakin luas pada paruh kedua abad ke-19, ketika orang Eropa mulai terlibat dalam aktivitas perburuan dan menjadikannya sebagai komoditas perdagangan untuk pasar yang lebih luas.
Gajah
Contoh binatang liar lain yang juga banyak diburu dan ditangkap adalah gajah, mamalia besar berkulit tebal yang banyak ditemukan utamanya di hutan tropis pulau Sumatra. Penangkapan dan penjinakan gajah bersama-sama dengan kuda untuk tujuan logistik dan peperangan, misalnya, mulai ditemukan pada awal milenium pertama Masehi di bagian selatan pulau Sumatra. Praktek tersebut berlanjut pada abad-abad berikutnya bahkan dalam skala lebih besar, sebagaimana ditemukan di ujung utara pulau Sumatra. Penjelajah Muslim terkemuka, Ibnu Batutah, melaporkan bahwa ketika dia singgah di Kerajaan Pasai pada pertengahan abad ke-14 dia menyaksikan Raja menjadikan gajah sebagai tunggangan kebesarannya. Catatan Protugis dari awal abad ke-17 mengungkapkan lebih lanjut bahwa pada tahun 1620 Kerajaan Aceh mengirimkan 600 kapal diantaranya mengangkut serta 90 ekor gajah untuk menyerang markas Portugis di Malaka. Informasi tersebut dikuatkan oleh studi-studi sejarawan modern yang mengungkapkan diantaranya bahwa Sultan Iskandar Muda, salah satu raja terbesar Kesultanan Aceh, memiliki 900 ekor gajah sebagai pasukan ‘kavaleri’ – bersama dengan 200 ekor kuda, yang dilatih untuk tidak gentar melawan manusia bersenjata atau ledakan dari senjata api. Selain sebagai ‘kekuatan untuk perang’, gajah di Kesultanan Aceh juga digunakan dalam berbagai perayaan, festival atau upacara resmi ‘kenegaraan’ lainnya. Misalnya, pada saat Sultan Iskandar Thani meninggal, dilaporkan sebanyak 260 ekor gajah dikerahkan untuk mengiringi prosesi panjang pemakaman kenegaraan ini. Penangkapan dan penggunaan gajah di Aceh untuk tujuan perang berakhir pada akhir abad ke-18, dan justru dihidupkan kembali oleh Penguasa Kolonial Belanda di akhir abad ke-19, ketika mereka berupaya menaklukan Perang Aceh (Clarence-Smith 2004: 274).
Selain kedua binatang liar di atas, berbagai catatan sejarah juga menunjukan aktivitas perburuan juga terjadi terhadap binatang-binatang liar lainnya, termasuk badak, orang utan, buaya, komodo, monyet dan berbagai jenis burung ‘eksotis’ seperti cendrawasih, kasuari, merak, rangkong dan masih banyak lainnya. Seperti halnya perburuan harimau dan gajah, perburuan terhadap binatang-binatang lainnya tersebut juga memiliki sejarah yang panjang dan sudah menjadi bagian dari realitas sosial kultural dari masyarakat setempat, meskipun seringkali tidak ditemukan sumber yang bisa mengungkapkan kapan semua perburuan itu berawal. Namun demikian, perburuan binatang-binatang tersebut pada awalnya dilakukan secara terbatas, hanya untuk memenuhi kebutuhan individual atau kolektif masyarakat lokal atau domestik.
Dalam perkembangannya, aktivitas perburuan dan penangkapan binatang liar ini menjadi semakin intens dan berlangsung dalam skala besar, ketika binatang-binatang tersebut dilihat sebagai komoditas yang bernilai ekonomis yang bisa diperjual-belikan. Dalam bukunya tentang kurun niaga di Asia Tenggara pada abad ke-15 hingga 17, Anthony Reid menunjukan bahwa binatang sudah mulai diperdagangkan secara komersial di kawasan ini (Reid 1988). Skala perburuan binatang liar dan komodifikasinya semakin meningkat seiring mulai terlibatnya para pedagang Barat dan menguatnya posisi politik mereka hingga berkembangnya sistem politik ekonomi kolonial di kawasan Nusantara ini.
Ikan
Tidak hanya di daratan, aktivitas penangkapan dan perburuan binatang liar juga terjadi di perairan Nusantara. Perburuan misalnya dilakukan terhadap ikan paus, lumba-lumba, hiu, dan ikan-ikan berukuran kecil lainnya, mayoritas untuk tujuan konsumsi yang permintaannya terus meningkat seiring pertumbuhan demografi dan kebutuhan pangan manusia. Untuk tujuan tersebut, teknologi penangkapan ikan terus diperbaiki dari waktu ke waktu, mulai dari perahu, kapal atau jaringnya, hingga penggunaan bahan peledak untuk memaksimalkan jumlah tangkapan. Akibatnya, tidak hanya ikan yang mengalami penurunan dan bahkan kepunahan, habitat mereka juga mengalami kehancuran.
Berkembangnya sistem penangkaran dan pembiakan ikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia tidak menghentikan aktivitas perburuan dan penangkapan ikan alam yang hidup di lautan dan perairan luas lainnya. Studi Masyhuri (1995; 1997) dan Pujo Semedi (2001; 2005), tentang nelayan dan penangkapan ikan di pantai utara pulau Jawa, mengungkapkan bahwa intensitas penangkapan ikan di laut Jawa di sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 telah menyebabkan berkurangnya populasi ikan di kawasan tersebut secara drastis, serta berkontribusi pada punahnya sejumlah jenis ikan laut yang sebelumnya banyak hidup dan berkembang biak di perairan kawasan tersebut.
Prestise
Sejarah panjang aktivitas perburuan dan penangkapan binatang liar di wilayah Nusantara tersebut, ternyata juga diikuti oleh praktek pemeliharaan binatang-binatang liar tersebut di lingkungan pemukiman manusia untuk tujuan hiburan, prestise atau kemudian untuk produksi ilmu pengetahuan. Di masa-masa lampau, para pembesar kerajaan di Jawa, Sumatra atau daerah lain di Nusantara biasa memiliki dan memelihara binatang liar sebagai hiburan atau prestise, baik itu binatang buas predator besar seperti harimau, maupun binatang-binatang kecil yang dianggap ‘cantik’ atau eksotis seperti burung atau unggas. Mereka biasanya dipelihara dalam kandang atau sangkar khusus, yang bisa dipertontonkan kepada masyarakat umum.
Praktek semacam managerie dalam tradisi Eropa seperti itu, kemudian menyebar dan ditiru oleh masyarakat luas. Di kalangan masyarakat Jawa, misalnya, terdapat kebiasaan yang sangat populer untuk memelihara burung untuk tujuan hiburan, sebagai klangenan, sehingga menciptakan komodifikasi dan komersialisasi berbagai jenis burung yang sebagian besar ditangkap dari alam. Akibatnya, dalam jangka panjang tradisi ini turut berkontribusi pada proses kepunahan berbagai jenis burung yang sebelumnya banyak di temukan di pulau ini.
Dari uraian di atas, cukup jelas kiranya bahwa perburuan, penangkapan dan pemanfaatan atau eksploitasi binatang, khususnya binatang liar, menjadi bukti kuat dari mengakarnya cara pandang antroposentrik dalam sejarah masyarakat di Nusantara. Ekspansi kapitalisme dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah Indonesia, sejak periode puncak kolonialisme di paruh kedua abad ke-19 hingga periode kemerdekaan bahkan hingga saat ini, tidak hanya menimbulkan kehancuran lingkungan yang luar biasa, tetapi juga kehancuran habitat serta eksistensi berbagai jenis binatang liar yang pernah ada di bumi Nusantara ini, yang angka kepunahannya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Historiografi Indonesia (yang masih) Antroposentrik
Kondisi miris yang menimpa kehidupan binatang di atas, yang diduga kuat sebagai konsekuensi dari kuatnya cara pandang antroposentrik dalam masyarakat Indonesia, ternyata diikuti oleh absennya perhatian para cendekiawan dan sarjana Indonesia, termasuk para sejarawan terhadap isu tersebut. Generasi pertama sejarawan Indonesia di tahun 1950an-1960an, disibukkan oleh upaya untuk men-‘dekolonisasi’ sejarah Indonesia dengan menghasilkan rekonstruksi sejarah yang berlandaskan pada paradigma dan perspektif Indonesia atau Indonesia-sentris, sebagai antitesis terhadap historiografi kolonial yang bercorak ‘Belanda-sentris’. Tujuan utama dari penulisan sejarah tersebut bersifat politis, sehingga sejarah politik menjadi genre sejarah paling dominan. Yang sangat ditonjolkan adalah semangat nasionalisme, heroisme dan patriotisme masyarakat ‘Indonesia’ dalam melawan dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda sejak awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20.
Trend historiografis tersebut kemudian diperkaya oleh generasi sejarawan Indonesia berikutnya yang sejak tahun 1970an hingga tahun 1980an banyak menghasilkan kajian-kajian sejarah sosial dan ekonomi yang memfokuskan perhatian pada kelompok sosial marginal, utamanya petani di pedesaan dan/ atau buruh di daerah perkotaan sebagai akibat dari ekspansi ekonomi kapitalistik-ekstraktif kolonial. Generasi sejarawan berikutnya sejak tahun 1980an hingga dewasa ini berupaya memperluas cakrawala kajian sejarah Indonesia antara lain dengan menghasilkan historiografi di bidang kebudayaan, kesenian, kesehatan, pendidikan, teknologi, perempuan, dan masih banyak lainnya.
Dari uraian singkat tersebut, sekilas terlihat bahwa walaupun usianya masih ‘relatif muda’ dan mengingat awal perkembangannya yang lamban, historiografi Indonesia sudah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Namun demikian, dalam kaitannya dengan isu eskploitasi binatang, historiografi Indonesia tersebut sebagian besar – untuk tidak mengatakan seluruhnya – masih bercorak antroposentrik. Perhatiannya dipusatkan pada peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan manusia. Memang harus diakui bahwa filsafat sejarah dan paradigma utama kajian sejarah di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, memandang manusia sebagai pusat dan aktor sejarah utama.
Akibatnya, hampir tidak ada kajian sejarah yang dilakukan sejarawan Indonesia yang memberikan perhatian terhadap binatang, yang menjadikannya sebagai subyek atau aktor sejarah. Jikalaupun mereka disebutkan maka itu sebagai obyek atau merupakan perpanjangan atas narasi tentang aktivitas manusia. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tidak ada ruang historis bagi binatang dan makhluk hidup lain di luar manusia, seperti halnya tidak ada ruang hidup yang aman bagi mereka dari jangkauan manusia-manusia Indonesia.
Perkembangan baru yang cukup menggembirakan, baru muncul dalam dekade terakhir ini. Beberapa sejarawan muda Indonesia, sebagian besar menempuh studi pascasarjana di UGM, menunjukkan perhatian yang serius terhadap masalah eksploitasi binatang, terutama binatang liar. Selain nama-nama yang sudah disebutkan di bagian terdahulu, yaitu Masyhuri dan Pujo Semedi, beberapa sejarawan muda Indonesia tersebut diantaranya adalah Budi Gustaman yang pada tahun 2015 menulis tesis tentang perkembangan wacana kesejahteraan hewan di Indonesia pada masa kolonial (yang diterbitkan menjadi buku oleh LP3ES pada tahun 2022); Abmi Handayani menulis tesis pada tahun 2017 tentang perburuan dan konservasi harimau di Jawa pada masa kolonial; dan Naufal Silmi Lubis menulis tesis pada tahun 2023 tentang perburuan dan konservasi Badak Jawa pada masa kolonial. Penulis sendiri melakukan penelitian tentang eksploitasi anjing dan gajah, pada tahun 2022 dan 2023 yang hasilnya masih dalam proses penerbitan.
Daftar tersebut sepertinya akan terus bertambah, karena Departemen Sejarah UGM sejak tahun 2022 menyelenggarakan berbagai program khusus diantaranya kursus singkat (summer course) tentang sejarah lingkungan, termasuk di dalamnya sejarah binatang. Upaya ini cukup berhasil menarik banyak peserta dari kalangan mahasiswa pascasarjana sejarah, tetapi juga dari disiplin lainnya. Program tersebut diyakini akan meningkatkan minat mahasiswa untuk meneliti dan menulis tesis tentang sejarah binatang, dan menghidupkan kembali environmental turn dalam kajian sejarah Indonesia.
Pergeseran historiografis ini sempat dipelopori terutama oleh KITLV Belanda pada tahun 1990an melalui proyek penelitian EDEN dan sejumlah publikasi hasilnya. Beberapa sejarawan dalam publikasi-publikasi tersebut, seperti Peter Boomgaard, Robert Cribb, and J. Kathirithamby-Wells menyumbangkan tulisan tentang relasi manusia dan binatang, tentang eksploitasi dan upaya perlindungan atau konservasi binatang liar, seperti burung cendrawasih dan gajah. Dua nama terdahulu, menghasilkan karya-karya lain tentang konservasi alam dan sejarah sosial kultural harimau di dunia Melayu (Boomgaard 1997; 1999; 2001), tentang kebijakan konservasi alam dan binatang di Indonesia pada masa kolonial dan poskolonial (Cribb 1997; 2007), dan tentang dampak aktivitas manusia terhadap binatang mamalia besar di semenanjung Malaysia (Kathiritamby-Wells 1997).
Selain ketiga sejarawan tersebut, ada beberapa nama lain yang juga menghasilkan karya tentang sejarah binatang, baik itu tentang eksploitasi maupun konservasinya, yang juga menjadi inspirasi bagi sejarawan-sejarawan Indonesia untuk melakukan penelitian dan menghasilkan karya tentang sejarah binatang di Indonesia.
Pendekatan baru
Walaupun sejarawan Indonesia sudah mulai memberikan perhatian pada sejarah binatang, namun jumlahnya masih relatif terbatas dan karenanya masih perlu terus didorong perkembangannya. Selain itu, pendekatan dan kerangka teoretik yang mereka gunakan masih relatif tertinggal dibandingkan kajian-kajian serupa di dunia internasional. Dalam bagian ini, akan diperkenalkan secara ringkas beberapa tawaran metodologis dan pendekatan yang bisa digunakan para peneliti dan sejarawan Indonesia untuk memberikan ‘ruang’ lebih luas kepada binatang dalam sejarah, dan mengeksplorasi dimensi-dimensi sejarah binatang di Indonesia yang masih banyak belum terungkap.
Di antara tawaran metodologis paling mutakhir dan cukup menantang berasal dari kajian Animal Studies (AS) dan Critical Animal Studies (CAS). Keduanya menawarkan pendekatan, perspektif dan cara pandang baru dalam memahami posisi binatang sebagai subyek dalam gerak sejarah, yang tidak semata sebagai pelengkap bagi narasi-narasi sejarah yang bersifat antroposentrik.
Kajian Animal Studies mengalami perkembangan pesat dalam tiga dekade terakhir, dan menjadi sebuah kajian lintas disiplin yang dinamis melibatkan antropologi, sosiologi, geografi, feminisme, dan sebagainya. Kajian ini berangkat dari sebuah premis dasar bahwa binatang dan makhluk hidup non-manusia lainnya bukanlah semata obyek dari eksploitasi manusia, melainkan mereka adalah agen dan/ atau aktor sejarah yang ikut aktif membentuk sejarah (peradaban) (Rutherford et al 2017: 1-2). Premis tersebut memiliki akarnya dalam pemahaman politik dan kebudayaan di tahun 1960an dan 1970an, sebagaimana ditemukan dalam buku termasyhur karya Peter Singer, berjudul Animal Liberation yang terbit pada tahun 1975. Buku tersebut menjadi sebuah terobosan baru dalam memahami posisi binatang dan hubungannya dengan manusia. Binatang banyak mengalami penderitaan sebagai akibat dari berbagai eksploitasi yang mereka alami, kebanyakan dilakukan manusia. Oleh karena itu, manusia punya kewajiban moral untuk memahami penderitaan binatang tersebut, dan kemudian membebaskan mereka dari kondisi tersebut (Ritvo 2014: 494).
Perspektif lebih tajam dan ‘radikal’ ditawarkan oleh kajian Critical Animal Studies (CAS), yang berkembang tidak hanya sebagai wacana akademik tetapi juga sebagai aktivisme dan gerakan politik menuju perubahan, utamanya untuk melindungi binatang dan mewujudkan kesejahteraan binatang. Pada awalnya, CAS merupakan sebuah spesialisasi dalam kajian filsafat analitik yang dirumuskan sebagai respon etis atas meluasnya praktek eksploitasi binatang, khususnya oleh bio-kapitalisme modern. Menurut Dawne McCance (2013), istilah ‘Kritis’ (Critical) dalam kajian Critical Animal Studies, menyiratkan sejumlah makna, yaitu: 1) bahwa kajian ini mempertanyakan kerangka konseptual dan model aksi yang dihasilkan dari penafsiran sejarah eksploitasi manusia terhadap binatang, dan kemudian mencoba menerapkannya dalam ranah gagasan etis maupun ranah praktis; 2) ia mengacu pada kondisi menyedihkan dan krisis terkini yang diakibatkan oleh ‘penyiksaan massal binatang’, musnahnya keragaman hayati (bio-diversity), kepunahan spesies, polusi air-tanah-udara, pemanasan global, dan seterusnya; dan 3) kajian ini berupaya merumuskan pemahaman alternatif dan model aksi, berdasarkan evaluasi atas kondisi yang ada, untuk menghentikan dan merubah ‘krisis’ tersebut menjadi situasi yang lebih baik.
Oleh karena itu, CAS mengusung paradigma radikal untuk mewujudkan ketiga hal tersebut di atas. Pertama-tama, CAS memiliki komitmen yang kuat untuk mengakhiri eksploitasi binatang non-manusia, khususnya untuk tujuan konsumsi dan kesenangan manusia. Pendek kata, CAS menolak segala bentuk chauvinisme dan privilese antroposentrik manusia terhadap binatang. Bagi pengusung CAS, makna ‘kritis’ tidak semata-mata berkaitan dengan keterlibatan dalam pergumulan teori-teori kritis, namun yang lebih penting adalah komitmen untuk bersikap kritis terhadap segala upaya yang mengaku bertujuan untuk mengkaji binatang tetapi pada saat yang sama gagal untuk terlibat, mendukung, melindungi dan berpihak kepada binatang. Dalam ranah wacana atau kajian akademik, CAS memperkenalkan ‘pendekatan interseksional’, ‘keterkaitan antara teori dan praktek’, dan berbagai metodologi seperti etnografi kritis, wawancara, riset aksi, dan analisis wacana kritis. Selain itu, CAS juga mendorong penggunaan metodologi lintas disiplin yang inovatif, seperti etno-mimetik yang menggabungkan prinsip-prinsip penelitian biografis dan visual. Sementara itu, unsur-unsur interseksional yang dimaksud di atas, misalnya adalah dengan feminisme dan studi kritis gender atau ras, yang memandang bahwa eksploitasi binatang baik secara simbolik maupun material berkaitan erat dan berkontribusi pada langgengnya dominasi kelompok gender, ras atau kelas tertentu dalam sebuah masyarakat (Taylor & Twine 2014: 1-16).
Penutup
Dari seluruh uraian di atas, bisa dikatakan bahwa kajian sejarah binatang dan kajian binatang secara umum di Indonesia masih relatif tertinggal. Ideologi dan praksis Antroposentrisme yang masih mengakar kuat di masyarakat Indonesia, bisa jadi menjadi faktor yang turut membentuk kondisi tersebut. Oleh karena itu, seiring meningkatnya perhatian akan masalah-masalah lingkungan di Indonesia, terutama perubahan iklim dan pemanasan global yang dianggap mengancam masa depan kehidupan manusia global, perlu upaya serupa untuk mengintegrasikan binatang sebagai fokus kajian dan bagian tak terpisahkan dari isu-isu lingkungan tersebut.
Dunia akademik harusnya bisa menjadi ranah pertama untuk melakukan upaya tersebut. Kajian-kajian tentang binatang dan kesejahteraan binatang, seperti yang dilakukan dan dikampanyekan kelompok pengkaji Animal Atudies dan Critical Animal Studies, harus diperkenalkan kepada khalayak akademisi Indonesia, termasuk para sejarawan. Ini tidak berarti khalayak umum tidak perlu disertakan di dalamnya upaya tersebut, namun jika kajian (sejarah) binatang sudah banyak dilakukan dan dihasilkan para akademisi dan sejarawan Indonesia, maka karya-karya mereka bisa menjadi bahan pemikiran (food for thought) dan penyadaran bagi masyarakat secara umum. Dengan demikian, semoga masyarakat Indonesia mulai bisa ‘mendengar suara-suara dan jeritan’ binatang-binatang yang ada di Indonesia, yang sejak lama sudah dirampas ruang hidupnya oleh berbagai bentuk ketamakan manusia.
Abdul Wahid (kang_ahid@ugm.ac.id) adalah dosen dalam Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Acuan
Artikel dan Buku
Abmi Handayani (2017), “Raja Rimba dan Imperialisme: Perburuan dan Konservasi Harimau Jawa di Jawa, 1850-1980”, Tesis, Program S2 Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada.
Boomgaard, P. (1997), “Hunting and Trapping in the Indonesian Archipelago, 1500-1950”, in Peter Boomgaard, et.al. (eds), Paper Landscapes: Eexploration in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press), pp. 185-214.
__________ (1999), "Oriental Nature, its Friends, and its Enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889-1949", Environment and History 5-3: 264-265. https://www.jstor.org//stable/20723109
___________ (2001), Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600-1950 (Yale: Yale University Press).
Budi Gustaman (2003), “Animal Welfare di Hindia Belanda: Perkembangan Wacana tentang Kesejahteraan Satwa, 1896-1942”, Tesis, Program S2 Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada.
Budi Gustaman (2022), Kolonisasi Satwa: Eksploitasi, Kekerasan, dan Wacana Kesejahteraan Hewan di Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES).
Clarence-Smith, W. (2004), “Elephants, horses, and the coming of Islam to Northern Sumatra”, Indonesia and the Malay World 32-93: 271-284. https://doi.org/10.1080/1363981042000320161
Cribb, R. (1997), “Birds of Paradise, and environmental politics in colonial Indonesia, 1890-1931”, Peter Boomgaard, et.al. (eds), Paper Landscapes: Eexploration in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press), pp. 379-407
________ (2007), “"Conservation in Colonial Indonesia", Interventions 9-1: 49-61. DOI:10.1080/13698010501173
Groves CP. (2006), “Domesticated and commensal mammals of Austronesia and their histories’, in Belwood P, Fox, J.J. and Tyron D. (eds.), The Austronesians (Canberra: Australian National University), pp. 161-173.
Kathirithamby-Wells, J. (1997), “Human impact on large mammal populations in Peninsular Malaysia from the Nineteenth to the mid-twentieth century”, in Peter Boomgaard, et.al. (eds.), Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press), pp. 215-241.
Masyhuri (1995), Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura, 1850-1940 (Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama – KITLV)
________ (1997), “Fishing industry and environment off the north coast of Java, 1850-1900”, in Peter Boomgaard, et.al. (eds.), Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press), pp. 249-260.
McCance, D. (2013), Critical Animal Studies: An Introduction (Albany: State University of New York Press)
Naufal Silmi Lubis (2023), “Perburuan dan Konservasi Badak Jawa Masa Kolonial, 1850-1938”, Tesis, Program S2 Ilmu Sejarah, Universitas Gadjah Mada
Pujo Semedi Hargo Yuwono (2001), “Close to the stone, far from the throne: The Story of a Javanese fishing community, 1820s-1990s”, PhD Thesis, Universiteit van Amsterdam
__________ (2003), “Depletion of the Java Seas’s Fish Stock, 1860s-1990s”, Humaniora, Vol. 17, No. 1, pp. 1-15. DOI: https://doi.org/10.22146/jh.823
Reid, A. (1988), Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: The Lands below the Winds (Yale: Yale University Press).
Rutherford, S. et.al. (eds.) (2017), Methodological Challenges in Nature-Culture and Environmental History Research (London: Routledge)
Ritvo, Harriet (2014), “Among Animals”, Environment and History, November 2014, Vol. 20, No. 4, pp. 491-498. https://www.jstor.org/stable/43299701.
Singer, P. (1975), Animal Liberation (London: Cape).
Steiner, G. (2005), Anthropocentrism and Its Discontents: The Moral Status of Animals in the History of Western Philosophy (Pittsburg: University of Pttsburg Press).
Taylor, N. & Twine, R. (eds.) (2014), The Rise of Critical Animal Studies; From the margins to the centre (London: Routledge).
Wessing, R. “A Tiger in the Heart: The Javanese Rampok Macan”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 148, 2de Afl. (1992), pp. 287-308. https://www.jstor.org/stable/27864355
Surat Kabar
Nikson Sinaga, “Krisis Keuangan Kebun Binatang Medan, Sudah Tiga Harimau Mati”, Kompas, 08 Januari 2024.
Fiqih Rahmawati, “Tersangka Penyelundupan Ratusan Anjing Ngaku Sudah 10 Tahun Beroperasi, Kirim 400 Anjing Tiap Bulan”, Kompas, 11 Januari 2024.