George Towar Ikbal Tawakkal
‘Aku menjadikan sungai sebagai kawanku’ - Soekarno
Saudara-saudara, pernyataan tersebut merupakan salah satu dari pengakuan-pengakuan Bung Karno (baca: Soekarno) yang tidak banyak dikutip oleh masyarakat umum, bahkan oleh para Soekarnois. Pernahkah saudara-saudara mengetahui ini? Pada suatu tengah malam di samping temannya yang sedang tidur di asrama ITB, dengan semangat yang menyala seakan di depan 10.000 orang, Bung Karno tergerak untuk berpidato: ‘Engkau tahu apakah Indonesia? Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat ini. Saudara-saudaraku yang tercinta, laut yang menderu memukul-mukul ke pantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergerak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak-anak ketawa, aku mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup bunga-bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah-air kita bagiku’.
Soekarno putra sang alam
Melalui narasi-nya, Bung Karno bukan hanya mencetuskan pemikiran tentang politik maupun ekonomi, tetapi juga telah memberikan pondasi yang kuat untuk menempatkan alam (baca: lingkungan) sebagai satu kesatuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Ah, Bung Karno kan seorang orator ulung, ahli pidato! Beliau ahli membuat kata-kata yang hebat! Apakah saudara-saudara memikirkan itu? Saudara-saudara salah! Narasi tersebut tidak muncul secara tiba-tiba sebagai kebutuhan politik. Saya ingin mengawali penyampaian fakta ini dengan kemarahan Raden Soekemi Sosrodihardjo, ayah Bung Karno. Di suatu pagi, sarang burung terjatuh dari pohon yang dipanjat Bung Karno kecil. Ayah beliau menjadi pucat dan marah mengetahui hal tersebut. ‘Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?’ Bung Karno kecil yang ketika itu berusia tujuh tahun menjawab, Iya Pak. ‘Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu?’ Dengan gemetar, Bung Karno kecil menjawab, ‘Ciptaan Tuhan’, sambil menyampaikan bahwa sarang burung tersebut jatuh karena tidak disengaja.
Pada bagian lain, ‘Ketika sekawanan kucing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku lalu berjalan-jalan kedalam hutan. Aku mencari tempat yang tenang dimana angin mendesirkan daundaunan bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti nyanyian nina-bobok ditelingaku. Ialah nyanyian dari pulau Jawaku yang tercinta’. Tampak kemarahan Sang Ayah masih membekas dan membentuk Bung Karno. Beliau tidak meyingkirkan sekawanan kucing yang berkandang dekat pohon itu. Beliau memilih untuk mencari tempat lain. Sekali lagi, beliau memberikan pujian setinggi-tingginya pada alam, dengan menggambarkannya sebagai bisikan Tuhan.
Dalam berbagai narasi tentang kegiatan beliau, Bung Karno sering kali menjadikan alam sebagai latar. ‘Aku menyusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang mempunyai air tiga warna di Pulau Bunga. Aku menjadi direkturnya. Setiap cerita dilatih malam hari selama dua minggu di bawah pohon kayu, diterangi oleh sinar bulan’. Alam juga tidak luput dari kisah romantis Bung Karno dan istri ketika di Bengkulu. ‘Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajar dia main bulutangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alunan ombak yang berbuih putih memukul-mukul kaki’. Saya menangkap narasi ini sebagai cara Bung Karno untuk mengkampanyekan alam ke dalam alam bawah sadar. Kalau bukan diartikan seperti itu, apa maksud Bung Karno menyampaikan narasi berlatar alam tersebut? Terlalu picik mengartikan itu sekedar Bung Karno sedang mendeskripsikan kegiatan, sekedar cerita.
Bung Karno sebagai seorang pemimpin politik telah menunjukkan langkah-langkah nyata dalam melestarikan lingkungan. Bung Karno menanam pohon-pohon di komplek Badan Diklat Kejaksaan RI, di Berastagi, di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, di Istana Negara, di Istana Tampaksiring Bali, dan tempat-tempat lain. Bahkan, Bung Karno terlibat aktif dalam merancang sabuk hijau (hutan kota) di calon ibu kota baru, di Palangka Raya. Gerakan terstruktur Bung Karno dalam pelestarian alam, di antaranya termaktub dalam Gerakan Hidup Baru, yang salah satunya adalah Gerakan Kebersihan, mencakup kebersihan lingkungan. Kecintaan Bung Karno pada kelestarian alam juga sejalan dengan sosok beliau sebagai tokoh dunia. Pada tahun 1955, Bung Karno menanam pohon di padang Arafah yang tandus dan panas, di luar kota Makkah, Arab Saudi. Komunitas internasional mengapresiasi beliau, bahkan setelah beliau wafat. Pada tahun 2016, sebuah pohon perdamaian di Yordania disematkan nama beliau sebagai Pohon Perdamaian Soekarno. Pada tahun 2019, sebuah taman di Mexico City, Meksiko, diberi nama sebagai Taman Soekarno.
Marhaenisme dan lingkungan
Saudara-saudara! Menjadi pemahaman umum di kalangan pengagum Bung Karno, bahwa beliau adalah peletak dasar Pancasila. Dalam pidato di depan BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan hubungan antara manusia dan bumi (baca: tanah air). Ernest Renan dan Otto Bauer kali ini menjadi sasaran kritik Bung Karno. Konsep bangsa (nation) yang dicetuskan Ernest Renan, mensyaratkan adanya kehendak akan bersatu, ‘le desir d’etre ensemble’. Otto Bauer mensyaratkan adanya satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib, ‘Eine Nation ist eine aus schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft’. Dengan mengutip tanggapan Mr. Yamin, Bung Karno menyampaikan bahwa konsep-konsep tersebut sudah tua, ‘verouderd’. Bung Karno menganggap itu sudah tidak relevan dengan perkembangan kajian geopolitik.
Selanjutnya, Bung Karno menyampaikan konsep bangsa di pidato tersebut. ‘Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. … Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air’.
Bung Karno secara jelas menempatkan bumi dalam konsep bangsa. Bumi yang kemudian dibahasakan sebagai tanah air. Dari gagasan tersebut, saya menangkap ide Bung Karno untuk menjaga bumi, menjaga tanah air. Dua pemahaman yang dapat diambil. Pertama, bumi atau tanah air, adalah entitas di mana sebuah negara dan bangsa bertempat tinggal. Kedua, bumi atau tanah air, adalah entitas yang menopang sebuah bangsa. Kelangsungan bumi menjadi pondasi yang tidak dapat diabaikan untuk sebuah bangsa dan negara dapat bertahan. Bukan hanya bertahan sebagai suatu negara, namun juga bertahan sebagai suatu kehidupan.
Pemahaman kedua ini merupakan geo-ekologi. Iya, bukan hanya ‘verouderd’ yang tidak mengikuti perkembangan kajian geopolitik, saya akan mengatakan konsep bangsa yang disampaikan Ernest Renan dan Otto Bauer tidak mengikuti perkembangan geo-ekologi. Geo-ekologi fokus pada struktur dan interaksi antara sistem ekologi yang menghubungkan manusia dengan lingkungannya serta sistem tata ruang yang menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah lain. Konsep ini cocok dialamatkan pada bangsa sebagai satu kesatuan interaksi antara lingkungan (bumi; tanah air) dan manusia, sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno. Kata ‘tidak dapat dipisahkan’ mengandung arti dinamis, bukan statis, yang merujuk pada interaksi antara manusia dan lingkungan. Di sinilah, gagasan tentang menjaga dan melestarikan lingkungan adalah bagian dari kebangsaan, telah dikemukakan oleh Bung Karno dalam kata kebangsaan dan peri-kemanusiaan. Peri-kemanusiaan, sebuah gagasan tentang manusia yang bertindak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, di mana mencakup bertindak terhadap alam dimana manusia menjadi bagian darinya. Sepertinya Bung Karno mendengar bumi dan seluruh alam Indonesia ikut berikrar di Sumpah Pemuda, ‘Kami juga bangsa Indonesia’.
‘Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja.’ Begitulah pernyataan Bung Karno, yang memunculkan sosio-nasionalisme. Beliau memeras kebangsaan dan peri-kemanusiaan dimasukkan ke dalam satu penyebutan, yakni sosio-nasionalisme. Bung Karno lebih rinci menyampaikan maksud sosio-nasionalisme di dalam naskah yang berjudul Sekali Lagi Tentang Sosio – Nasionalisme dan Sosio – Demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah ‘nasionalisme masyarakat’, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya (baca: hukumnya) masyarakat itu. Penjelasan ini mempertegas pemahaman kedua atas pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Pelestarian lingkungan adalah salah satu ide yang tidak dapat dipisahkan dari ‘mencari selamatnya seluruh masyarakat’.
Setelah pidato Bung Karno tersebut, BPUPKI membentuk panitia sembilan, yang terdiri dari sembilan orang yang salah satunya adalah Bung Karno. Panitia sembilan bertugas merumuskan Pancasila. Setelah berdiskusi panjang, panitia sembilan menghasilkan piagam Jakarta. Lima dasar yang disampaikan oleh Bung Karno dirumuskan dalam lima sila. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebangsaan dirumuskan menjadi Persatuan Indonesia di urutan ketiga. Sedangkan peri-kemanusiaan dirumuskan menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab di urutan kedua. Sosio-nasionalisme yang ditawarkan Bung Karno, tetap terbagi menjadi dua sila, Persatuan Indonesia dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Beradab, menjadi kata kunci yang menunjukkan kehalusan dan kebaikan budi pekerti. Ukuran paling mudah atas kebaikan adalah kesesuaian dengan aturan di masyarakat. Iya, aturan di masyarakat, sebagaimana disampaikan Bung Karno ketika mendefinisikan Sosio-nasionalisme di atas.
Meskipun sosio-nasionalisme hanya tersirat, dan tidak secara tersurat menjadi sila di Pancasila, para pengagum Bung Karno tetap menempatkannya sebagai salah satu gagasan utama yang ada pada Marhaenisme. Mereka senang menggaungkan ‘Pancasila adalah Marhaenisme. Marhaenisme adalah Pancasila’. Merujuk pada penjelasan di atas, saya sepakat bahwa Pancasila sejalan dengan pemikiran Bung Karno, dan pemikiran Bung Karno adalah Marhaenisme. Dalam pidato di Jakarta pada tahun 1965 beliau berkata: ‘Saudara-saudara, saya berdiri di antara anggota-anggota Kader Pelopor Marhaenis. Marhaenisme ajaran Bapak Marhaenisme Bung Karno. . . Lantas saya memberikan nama dia kepada teori yang sedang saya susun dan di jalankan yaitu Marhaenisme.’ Dari sini dapat dipahami bahwa Sosio-nasionalisme, yang terdiri dari kebangsaan dan peri-kemanusiaan, kemudian saya pertegas mengandung pelestarian lingkungan dalam nilai peri-kemanusiaan, adalah bagian tak terpisahkan dari Marhaenisme. Buku-buku Karl Marx menjadi salah satu referensi dalam membentuk gagasan Marhaenisme, namun sayang Bung Karno tidak memiliki kesempatan untuk membaca karya Kohei Saito yang berbicara tentang eko-sosialisme Karl Marx, dimana pemikiran pelestarian lingkungan diungkap.
Eko-Marhaenisme
Saudara-saudara, bila Kohei Saito menggunakan istilah eko-sosialisme untuk pemahamannya terhadap pemikiran Karl Marx, bolehkah saya menggunakan eko-marhaenisme untuk pemahaman saya terhadap pemikiran Bung Karno? Kalau diijinkan, saya senang menyampaikan sosio-ekologi, sebagai turunan dari sosio-nasionalisme, atau sosio yang berdiri sendiri di antara sosio-sosio dalam pemikiran Bung Karno. Ya, Marhaenisme tidak dapat dipisahkan dari konsep-konsep sosio-nya Bung Karno. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, menjadi gagasan pokok Marhaenisme. Sosio-ekologi, saya artikan sebagai gagasan yang menempatkan masyarakat dan alam (lingkungan) dalam satu kesatuan kehidupan yang saling berinteraksi secara dinamis, saling menjaga, saling menyelamatkan. Tanpa bermaksud menyejajarkan dengan eko-sosialisme Kohei Saito yang dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif, saya ingin membingkai sosio-ekologi dalam payung besar eko-marhaenisme, agar sosio-ekologi terikat dalam Marhaenisme. Pada salah satu bagian tulisan, Bung Karno menyampaikan bahwa ‘Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan kepada keadaan dan kondisi Indonesia’. Hal ini tidak berarti bahwa eko-marhaenisme adalah eko-sosialisme yang diterapkan kepada keadaan dan kondisi Indonesia. Eko-marhaenisme lebih dari sekedar arus pemikiran dan tindakan ekologis yang mengambil keuntungan mendasar dari Marxisme untuk mengatasi sampah-sampah produksi.
Sebagai cabang dari Marhaenisme yang menempatkan sosio-nasionalisme sebagai ciri tak terpisahkan, saya mendefinisikan eko-marhaenisme ke dalam dua pokok pemikiran. Pertama, bangsa adalah satu kesatuan antara manusia dan bumi, antara masyarakat dan lingkungan. ‘Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya’. Bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan yang terdiri dari manusia dan bumi, masyarakat dan lingkungan. Kedua, manusia dan lingkungan adalah dua entitas yang saling menyelamatkan. Keselamatan manusia membutuhkan kelestarian lingkungan, begitupun kelestarian lingkungan membutuhkan tindakan dari manusia. ‘Nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat itu’. Sebuah bangsa membutuhkan harmonisasi antara masyarakat dan lingkungan, antara rakyat dan ibu pertiwi, berlandaskan pada aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Di manakah pak Marhaen, petani, buruh, kaum melarat? Eko-marhaenisme mencita-citakan daya tahan mereka, daya tahan yang menyokong perjuangan dan kesejahteraan mereka. Pak Marhaen menghirup udara yang segar, petani memanen padi yang subur, buruh mendapat manfaat dari keberlanjutan bahan baku industri, serta kaum melarat memiliki ibu pertiwi yang sehat untuk mengadu.
Waktunya saya menyampaikan pertanyaan kepada para pengagum Bung Karno, entah menyebut diri sendiri sebagai Nasionalis, Soekarnois, ataupun Marhaenis. Apakah saudara-saudara menyadari kondisi lingkungan Indonesia? Saudara-saudara, mari kita melihat indeks kelestarian lingkungan dalam Environmental Performance Index (EPI) 2022, Indonesia memperoleh skor 28,20 (skala 0-100). Skor ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-164 dari total 180 negara yang menjadi obyek EPI. Indeks pertumbuhan hijau dalam Green Growth Index 2022, Indonesia memperoleh skor 58,36 (skala 0-100), di bawah Laos, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Belum cukupkah data tersebut? Baik, saya tunjukkan lagi. Indeks kesiapan lingkungan di masa depan dalam Green Future Index 2022, Indonesia memperoleh skor 3,68 (skala 0-10), paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Kepada saudara-saudara politisi, ketika meneriakkan semangat Bung Karno, Marhaen, Merdeka, apakah saudara-saudara mengkampanyekan pelestarian lingkungan di pemilu 2024?
Ijinkan saya mengkutip Bung Karno sekali lagi, sebagai penutup tulisan ini, ‘Marhaenisme bukan sekedar political theory, tetapi Marhaenisme adalah teori perjuangan. Perjuangan ini jangan lupa, Saudara-saudara saya enggak memerlukan orang cuma teori-teorian. Lah mbok saudara-saudara itu sampai jambul wanen tentang hal Marhaenisme, tahu perkataan Marhaen itu asalnya itu, Marhaenis adalah ini, ini, ini, tetapi kalau saudara tidak menterapkan, menterapkan Marhaenisme itu dalam perjuangan dan tidak ikut berjuang, maka saudara bukan Marhaenis sejati.’ Bung Karno akan tersenyum penuh kekaguman pada saudara-saudara yang berjuang.
12 Maret 2024
1 Ramadhan 1445
George Towar Ikbal Tawakkal (george.ikbal@ub.ac.id) adalah Dewan Pakar Nasional PA GMNI dan dosen senior di Program Studi Ilmu Pemerintahan di Universitas Brawijaya, Malang.
Ucapan terimakasih: Apresiasi sebesar-besarnya untuk Pak Gerry van Klinken, orang non-Indonesia pertama yang dengan sengaja menyapaku Bung George, merujuk pada sapaan para Marhaenis. Terimakasih Bung Karyono Wibowo (Dewan Pakar Nasional PA GMNI), Bung Arief Hidayat (Hakim Mahkamah Konstitusi - Ketua DPP PA GMNI), Bung Arudji Wahyono (Ketua Harian DPP PA GMNI), Bung Ade Reza Haryadi (Ketua Bidang DPP PA GMNI), dan kawan-kawan semua yang telah memperkenalkan dan menjadi kawan diskusi Marhaenisme.