Sep 08, 2024 Last Updated 4:24 AM, Sep 2, 2024

4a. Perempuan mencerahkan Karl Marx

Published: Jul 27, 2024

Ruth Indiah Rahayu

Karl Marx mendukung perjuangan komune agraris - setelah dididik Vera Zasulich, perempuan revolusioner dunia ketiga. Bagaimana dengan pergerakan adat di Indonesia?

Limabelas tahun lalu, saya mencatat cukup banyak pernyataan dari aktivis/ intelektual di Indonesia: bahwa Marxisme tidak relevan untuk menganalisis wilayah Indonesia yang kental masyarakat adat dan krisis lingkungan. Dapat dimengerti aktivis masyarakat adat dan lingkungan di Indonesia menafikkan Marxisme, karena buku bacaan yang beredar di Indonesia terpusat pada karya Kapital Jilid 1 dan 2. Juga dapat dimengerti mengapa Kapital seperti relevan dipergunakan untuk menganalisis kawasan manufaktur dan kelas buruh yang berkembang pesat di Jawa. Apa benar Marx tidak pernah menulis tentang masyarakat adat dan lingkungan?

Setelah Kohei Saito mempublikasikan Marx in the Anthropocene: Toward the Idea of Degrowth Communism (Saito 2023), pernyataan aktivis di atas menurut saya patut ditinjau kembali. Seperti kata Saito:

Dapat dimengerti ahli lingkungan seringkali meremehkan Marxisme. Faktanya materialisme sejarah tidak populer saat ini. Hal itu sangat disayangkan, mengingat mereka sama-sama mengritik hasrat akumulasi kapital yang tidak pernah terpuaskan, meskipun dari sudut pandang yang berbeda (hal. 117, paragraf 2)

Mengapa ahli lingkungan disebut oleh Saito menafikkan Marxisme? Diakui oleh Saito, banyak ahli Marxis telah menempatkan Marx dalam karakter Promothean. Promotheus adalah dewa dalam mitologi Yunani Kuno. Promotheus yang cerdas dan berani mencuri api milik Zeus, raja dewa, untuk diberikan kepada umat manusia. Cukup lama, para ahli lingkungan/ ekologi mengkritik Marx sebagai Promothean karena pemikirannya terpusat pada manusia pengendali alam tanpa batas dan Eropasentris. Dalam konteks ini Saito ingin mendamaikan antagonisme panjang antara penganut “Red” dan “Green” guna membangun persatuan yang ia sebut Front Populaire untuk masa depan planet bumi pada epos Antroposen.

Manuskrip

Tentu Saito bersikap demikian bukan tanpa dasar. Ia menemukan manuskrip Marx yang belum terdokumentasi dalam kumpulan karyanya versi bahasa Inggeris MECW (Marx-Engels Collected Work), tetapi terdokumensi dalam versi lengkap MEGA (Marx-Engels Gesamtausgabe). Proyek MEGA pertama kali sudah dimulai sejak 1920, kemudian dihentikan pada 1930 karena tekanan politik Stalin, dan kemudian ditinjau dan dikerjakan kembali pada 1960-an sehingga pada 1975 dapat diterbitkan MEGA Jilid I. Pada 1990-an, Institut Sejarah Sosial Internasional (IISH) di Belanda, yang menyimpan manuskrip Marx-Engels, memprakarsai kelanjutan proyek MEGA dengan tujuan untuk menyelesaikan Jilid II/11 (manuskrip Marx untuk Buku II Das Kapital); Jilid III yang mencakup III/11 (Korespondensi Juni 1860 - Desember 1861), III/12 (Korespondensi Januari 1862 - September 1864), III/14 (Korespondensi Januari 1866 - Desember 1867) dan Jilid IV/28 (Kutipan dan Catatan 1879 - 1882). Selain itu, pengerjaan database surat-surat dari dan kepada Marx dan Engels juga tetap dilanjutkan.

Saito mengungkapkan pentingnya peranan Hans-Peter Harstick sebagai penafsir kajian Marx mengenai masyarakat non-Barat yang terkumpul dalam Ethnological Notebooks (Marx, trans & ed Lawence Krader 1974 [1879-1881]). Kumpulan catatan kajian Marx dari periode 1879-1881 ini dikodifikasi dalam MEGA Jilid IV. Harstick menyatakan dalam konferensi tim editor pada 1992 di Aix-en-Provence tentang arti pentingnya MEGA Jilid IV karena memuat pemikiran Marx tentang keretakan metabolisme (metabolic rift) dan komune agraris yang belum pernah dibaca orang (Saito 2017).

Dua konsep itu - keretakan metabolisme dan komune agraris - menurut Saito terluput dalam publikasi Kapital Jilid II dan Jilid III, karena pada saat diterbitkan, Marx sudah meninggal, dan Engels yang mengedit tidak sempat menemukan naskah Marx tentang hal ini. Setelah MEGA Jilid IV terbit, Paul Burkett menulis Marx and Nature: Red and Green Perspective (Burkett 1999), dan John Bellamy Foster menulis Marx’s Ecology (Foster 2000) untuk mengungkap dan mendalamkan konsep keretakan metabolisme manusia dan alam guna menggagas tentang ekososialisme.

Sedangkan Saito tertarik membedah Ethnological Notebooks untuk mengungkap pemikiran Marx tentang komune purba (komunis) setelah Marx mendapat surat pertanyaan dari Vera Zasulich. Momen pertanyaan Zasulich kepada Marx itulah yang menurut saya menarik dan penting untuk direfleksikan.

Vera Zasulich

Siapa Zasulich? Nama lengkapnya Vera Ivanovna Zasulich. Ia anak keluarga bangsawan Rusia, seorang revolusioner sosialis dan feminis yang banyak menghabiskan waktunya dalam persembunyian, penjara, dan pengasingan. Ia masuk ke dalam gerakan revolusioner kaum muda, dan pada 1878 berani menembak Gubernur St. Petersburg, Jenderal Fyodor F. Trepov. Jenderal Trepov dikenal kejam, represif dan reaksioner. Kebencian publik pada jenderal ini dipicu oleh perintahnya untuk mencambuk tahanan politik Arkhip Bogolyubov sehingga memicu kerusuhan di penjara St. Petersburg. Kebencian massa dan gerakan oposisi radikal menyatu dan mendorong Zasulich mencoba melakukan pembunuhan. Tindakannya itu mendapat dukungan meluas hingga dalam persidangan ia dibebaskan. Pada 1883 Zasulich menjadi anggota organisasi Marxis Rusia yang pertama, yaitu Emansipasi Buruh (Ozvobozhdenye Truda) (Bergman 1983). Sebelumnya, pada 16 Februari 1881, ia menulis surat kepada Marx. Zasulich bertanya:

Anda akan sangat membantu kami jika Anda mengemukakan ide-ide tentang kemungkinan nasib komune pedesaan kami, dan pada teori bahwa secara historis setiap negara di dunia perlu melewati semua fase produksi kapitalis (kutipan Saito 2023, hal. 193)

Lebih jauh, Zasulich mempertanyakan apakah pandangan materialisme sejarah yang ditulis Marx itu Eropasentris, yang mengandaikan tahapan sejarah perkembangan masyarakat komunis hanya dilalui setelah melewati masyarakat kapitalis. Sementara itu di Rusia terdapat fakta adanya komune agraris yang konsep kepemilikan atas kekayaan (property) bersifat komunal, subsisten dan petani/ penggembala.

Sebagaimana Zasulich berani menembak Jenderal Trepov, ia pun berani ‘menembak’ Marx dan membuat Marx tercengang. Tentu Zasulich mengetahui fakta tentang komune agraris di Rusia. Ia bergabung dengan kelompok revolusioner yang menyebar ke desa-desa dan mempunyai hubungan dengan Pemberontak Selatan (Iuzhnye Buntari), kelompok anarkis pimpinan Mikhail Bakunin, yang membangun strategi menjatuhkan Tzar Rusia melalui pemberontakan petani. Kelak, Zasulich mendukung Menshevik yang berseberangan dengan Vladimir Lenin.

Pertanyaan Zasulich kepada Marx tertanggal 16 Februari 1881 telah menyentuh titik problematis karyanya dalam Kapital Jilid I. Namun Marx sangat berhati-hati dalam menanggapi surat Zasulich, mengingat kedekatan perempuan revolusioner ini dengan kelompok anarkisme yang akar rujukannya pada Proudhon yang telah dikritiknya dalam tulisannya Kemiskinan Filsafat (1847). Pada saat menulis surat itu Zasulich merupakan motor dari kelompok Black Repartition (Chornyi Peredel) bersama Plekhanov, sedangkan Marx mendukung kelompok populis People’s Will (Narodnaya Volya) di Rusia dalam posisi yang berseberangan dengan kelompok Zasulich. Dapat dimengerti jika surat yang dikirim Zasulich pada Februari 1881 itu baru dibalas Marx pada 8 Maret 1881 sebanyak tiga paragraf. Namun, justru pertanyaan Zasulich itu telah menjadi titik balik Marx dalam melakukan kajian mengenai masyarakat non-kapitalis yang ia catat dalam Ethnology Notebooks.

Setelah mendapat pertanyaan dari Zasulich, 14 tahun sejak penerbitan Kapital Jilid I, pandangan Marx terlihat berubah terhadap sejarah Eropasentris. Ia memperbaiki pandangannya yang dapat kita baca pada Draft Surat Pertama sampai Draft Surat Keempat dan surat jawaban yang dikirim ke Zasulich. Rupanya untuk membalas surat kepada Zasulich, pada mulanya Marx menulis cukup panjang yang disebut Draft Surat Pertama (4.000 kata), kemudian lebih pendek pada Draft Surat Kedua (2.000 kata) dan Draft Surat Ketiga (2.000 kata), lebih pendek lagi pada Draft Surat Keempat (300 kata) yang ditujukan semua orang (Dear Citizen). Pada akhirnya surat jawaban yang dikirimkan kepada Zasulich pada 8 Maret 1881 sekitar 350 kata. Mengapa? Mungkin Marx dalam ambigu, di satu pihak cukup berhati-hati dalam menempatkan posisi politik kelompoknya dengan kelompok Zasulich, tetapi di lain pihak pertanyaan Zasulich bersifat ontologis.

Setelah mendapat pertanyaan dari Zasulich, 14 tahun sejak penerbitan Kapital Jilid I, pandangan Marx terlihat berubah terhadap sejarah Eropasentris. Ia memperbaiki pandangannya yang dapat kita baca pada Draft Surat Pertama sampai Draft Surat Keempat dan surat jawaban yang dikirim ke Zasulich. Rupanya untuk membalas surat kepada Zasulich, pada mulanya Marx menulis cukup panjang yang disebut Draft Surat Pertama (4.000 kata), kemudian lebih pendek pada Draft Surat Kedua (2.000 kata) dan Draft Surat Ketiga (2.000 kata), lebih pendek lagi pada Draft Surat Keempat (300 kata) yang ditujukan semua orang (Dear Citizen). Pada akhirnya surat jawaban yang dikirimkan kepada Zasulich pada 8 Maret 1881 sekitar 350 kata. Mengapa? Mungkin Marx dalam ambigu, di satu pihak cukup berhati-hati dalam menempatkan posisi politik kelompoknya dengan kelompok Zasulich, tetapi di lain pihak pertanyaan Zasulich bersifat ontologis.

Dalam surat balasan yang akhirnya dikirim Marx kepada Zasulich, Marx yang pada masa itu telah menjadi figur intelektual sosialis yang penting dan telah banyak memproduksi tulisan filsafat hingga ekonomi-politik, mengakui bahwa teorinya tentang materialisme sejarah telah dipahami secara keliru oleh pembacanya. Ia menyatakan begini:

Dalam menganalisis asal-usul kapitalis saya berkata: inti dari sistem kapitalis adalah pemisahan total ... produsen dari alat produksi ... pengambilalihan terhadap produsen pertanian adalah dasar dari keseluruhan proses. Hanya di Inggris hal ini dilakukan secara radikal yang diikuti negara lain di Eropa Barat. Oleh karena itu ‘keniscayaan historis’ dari hal ini jelas terbatas pada negara-negara Eropa Barat (Surat Jawaban Marx kepada Zasulich, 8 Maret 1881)

Tekanan pada diksi ‘keniscayaan historis’ Eropa Barat untuk meyakinkan Zasulich bahwa analisisnya di Kapital Jilid I sesungguhnya tidak memiliki alasan menentang atau mendukung Komune di Rusia.

Dalam Draft Surat Keempat yang ditujukan pada khalayak, Marx menegaskan bahwa ia telah mempelajari tentang komune agraris di Rusia, termasuk melacak sumber-sumber asli. Dalam kajiannya itu Marx menyimpulkan bahwa komune agraris adalah basis material regenerasi sosial di Rusia di masa depan. Marx kemudian memberikan semacam kewaspadaan agar tatanan komune agraris ini tidak hancur oleh pengaruh kapitalisme yang berkembang di Eropa Barat, yang akan menghancurkannya.

Kemudian dalam Draft Surat Ketiga, Marx berusaha menjelaskan bahwa asal-usul masyarakat di Eropa Barat juga berasal dari komune agraris yang mempraktikkan kepemilikan tanah komunal melalui contoh Jerman. Seiring dengan perkembangan masyarakat terjadi perubahan kepemilikan pribadi petani mandiri menjadi pribadi kapitalis melalui perampasan dan kemudian eksploitasi tenaga kerja upahan. Sebaliknya, dalam konteks petani Rusia, kepemilikan komunal mereka telah diubah menjadi kepemilikan pribadi tuan tanah kecil. Perubahan ini menurut Marx merupakan awal perubahan yang cepat.

Dalam Draft Surat Ketiga itu, Marx memperjelas pembedaan masyarakat komune purba (archaic commune) yang tanpa kepemilikan pribadi dan komune agraris yang telah mempraktikkan kepemilikan pribadi tetapi hutan dan padang rumput, dan lainnya masih tetap menjadi milik komunal. Dualisme kepemilikan ini, komunal dan individual, pada komune agraris akan membuahkan desintegrasi atau kontradiksi di dalamnya. Atas dasar pendapatnya itu, Marx menyarankan agar kita merekonstruksi komune agraris proses evolusinya berbeda-beda. Selain itu Marx membedakan sejarah penghancuran komune agraris di Eropa Barat dan penghancuran komune di India oleh Inggris yang telah mengalami fase kapitalisme dan lalu melakukan kolonialisme.

Adapun dalam Draft Surat Kedua, Marx menggarisbawahi bahwa pengalaman Rusia, sebagaimana yang dikemukakan Zasulich, kepemilikan komunal dalam tahap komune purba yang disebut Marx dengan istilah komunis. Marx mengakui bahwa ia memperoleh informasi mengenai komune purba yang berlawanan dengan informasi yang dikemukakan oleh Zasulich.

Berbeda dengan draft setelahnya, Draft Surat Pertama lebih merupakan ulasan panjang, seperti digarisbawahi oleh Saito, yaitu bahwa Marx tidak menuntut pelestarian kondisi komune pedesaan prakapitalis sebagaimana adanya, melainkan menganjurkan pengembangan komune ‘di atas dasar yang ada saat ini’ (kondisi material) dengan secara aktif menyerap hasil-hasil positif dari kapitalisme Barat. Hanya dengan cara itulah mereka dapat memanfaatkan pertemuan dengan Barat untuk membangun komunisme di Rusia.

Lebih tegas lagi, dalam Draft Pertama, Marx menganjurkan agar kekuatan komune Rusia membuat sejarah mereka sendiri dengan melompat ke sosialisme tanpa melampaui proses modernisasi kapitalis yang merusak bangunan komunal mereka. Namun, ditegaskan oleh Saito, bukan berarti jalan menuju komunisme menjadi plural, tetapi sejak surat Zasulich pada 1881, Marx merefleksikan kekurangan teoritiknya mengenai materialisme sejarah. Sebenarnya pada kesempatan tersebut, Marx telah merumuskan visinya tentang masyarakat non-kelas. Tetapi pada 1883 ia telah meninggalkan dunia untuk selamanya.

Model kehidupan komune purba berdasarkan kepemilikan komunal (komunis) sebagaimana kondisi di Rusia pada masa itu, menjadi inti gagasan Saito yang ia imaginasikan mampu memperlambat pertumbuhan akumulasi kapital dan menyelamatkan masa depan bumi. Meskipun Saito belum menjelaskan dalam bukunya itu: seperti apakah model komune purba dalam masayarakat kapitalis dewasa ini?

Indonesia

Saya ingin menempatkan diri sebagai Zasulich, seorang perempuan yang pertanyaannya diperhatikan Marx meski dalam posisi politik yang berlawanan. Sebagai perempuan, feminis, yang mempelajari filsafat dan Marxisme, saya mengajukan pertanyaan kepada aktivis/ intelektual yang memperjuangkan masyarakat adat (indigenous people) di Indonesia. Pertama, apakah konsep masyarakat adat di Indonesia berbeda atau sama dengan komune purba dan komune agraris? Kedua, apakah memperjuangkan untuk memperoleh pengakuan (recognition) dapat ‘menyelamatkan’ masyarakat adat dari kapitalisme?

Meski tidak turut dalam perjuangan masyarakat adat, saya pernah membantu penelitian RMI-Indonesian Institute for Forest and Enviroment untuk memahami konsep wellbeing masyarakat adat Marapu di Kabupaten Sumba Barat; komunitas Passer Mului di Gunung Lumut, Kabupaten Passer, Kalimantan Timur; komunitas Kasepuhan Sunda di Cibedug, Lebak, Banten; dan komunitas lokal di sepanjang Pantai Linau, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Temuan umum yang membuat saya terkejut adalah bahwa identitas sebagai masyarakat adat itu kabur dan menurut saya perlu mendapat pembeda yang jelas (clear and distinct) berdasarkan kepemilikan atas properti, konsep axis mundi dan keterikatan pada organisasi adat.

Jika merujuk pada analisis Marx mengenai komune agraris, komunitas adat Marapu di Sumba dan komunitas adat di Kasepuhan Sunda Cibedug adalah tipe komune agraris yang kepemilikannya dualistik. Anggota komune tersebut memang memiliki organisasi adat sebagai pengikat identitas mereka, tetapi lahan pertanian telah menjadi kepemilikan pribadi, kecuali hutan (gunung) masih menjadi kepemilikan komunal sebagai warisan historis atas nama organisasi adat. Bahkan dalam keadaan tertentu, mereka mengupahkan pengerjaan pertanian kepada tenaga kerja upahan atau seperti contoh di Sumba mereka memberi uang kepada kelompok gotong royong pertanian.

Sebaliknya, saya hanya menemukan komune purba di komunitas adat Mului yang bermukim di Gunung Lumut di Kabupaten Passer. Lahan pertanian, hutan, tumbuhan, binatang atau ekosistem wilayah mereka merupakan milik komunal atas nama adat. Anggota komunitas Mului hanya boleh memiliki pribadi atas tumbuhan yang ditanam oleh keluarga di pekarangan dan rumah mereka. Sedangkan lebah di hutan merupakan milik komunal yang panenannya akan dibagi secara komunal menurut aturan yang ditentukan.

Adapun komunitas adat di Pantai Linau, tidak terorganisir dalam organisasi adat (sudah terlepas dari ikatan adatnya di masa lalu) dan menganut kepemilikan pribadi atas lahan dan hasil agrarianya. Komunitas yang terakhir ini, menurut, saya lebih tepat disebut dengan istilah masyarakat lokal daripada komunitas adat.

Komunitas adat di Marapu, Kasepuhan Sunda dan Mului hidup mengelilingi pusat (axis mundi), yaitu sebuah teritorial yang disebut hutan tertutup yang dilekati aneka tabu (pamali). Komunitas Kasepuhan di Lebak menyebutkannya “hutan titipan” sebagai warisan dan dijaga oleh leluhur. Ketiga komunitas adat tersebut percaya akan mendapat bencana jika melakukan kegiatan di dalam hutan ini tanpa izin leluhur melalui ritual. Kemudian, teritorial hutan yang menyangga “hutan titipan” disebut hutan setengah terbuka atau orang Kasepuhan menyebutnya “hutan tutupan” yang boleh diambil binatangnya, buah-buahan atau tanaman untuk obat dan lainnya. Teritorial yang terluar disebut lahan garapan untuk pertanian anggota komunitas tersebut. Di komunitas Marapu dan Kasepuhan, lahan garapan ini boleh menjadi milik pribadi, sebaliknya di komunitas Mului tetap merupakan milik komunal. Di antara komunitas adat tersebut hanya komunitas Mului yang dalam kesimpulan saya mampu memenuhi kebutuhan pangan secara subsisten.

Dalam kacamata pandang pembela masyarakat adat, saya temukan penolakan clear and distinct untuk membaca apakah komunitas tersebut merupakan komune purba (komunis), komune agraris atau bahkan masyarakat lokal. Alasannya, pembedaan itu akan merusak perjuangan untuk memperoleh identitas sebagai masyarakat adat. Bahkan masyarakat lokal tanpa ikatan adat pun diklaim sebagai masyarakat adat, demi memperjuangkan hak kepemilikan pribadi dan sertifikasi. Padahal, melalui penelitian terhadap komunitas-komunitas adat tersebut saya temukan pembedanya secara jelas antara komune purba, komune agraris dan masyarakat lokal yang sepenuhnya menganut kepemilikan pribadi.

Selama ini aktivis/ intelektual yang berjuang dalam koridor masyarakat adat lebih terfokus untuk memperjuangkan hak atas wilayah adat dan tata kelola untuk diakui secara legal oleh pemerintah. Lalu bagaimana mengatasi kontradiksi dualisme antara kepemilikan pribadi dan komunal, dimana ditemukan kepemilikan pribadi atas lahan pun telah dijual atau disewakan kepada petani non-adat di komunitas Kasepuhan Cibedug? Apakah pengakuan legal pemerintah cukup untuk melindungi kepemilikan pribadi dan komunal dari perampasan teritorial untuk industri ekstraktif yang disebut Proyek Strategis Nasional?

Ternyata ditemukan data bahwa komunitas adat Mollo di Gunung Mutis, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Utara (TTU) mampu melawan perusahaan tambang karena tipe komune purba yang kepemilikan propertinya masih komunal (Maemunah 2015). Perjuangan ini dipimpin oleh para perempuan, salah seorang yang populer adalah Aleta Baun, sejak 1999-2012. Data ini telah menjawab pertanyaan saya yang kedua, sebagaimana pendapat Marx yang diangkat oleh Saito, bahwa hanya komune agraris purba itulah yang tampak mampu memperlambat akumulasi kapital berdasarkan pengrusakan ekosistem bumi.

Adapun pemikiran Marx bahwa relasi alam dan manusia merupakan metabolisme sejalan dengan cara pandang orang Mollo dan komune purba pada umumnya. Mereka meyakini bahwa alam ibarat tubuh manusia: batu adalah tulang, hutan adalah rambut-kulit dan paru-paru, air adalah darah dan tanah adalah daging. Masalahnya, kesatuan metabolistik itu menurut Marx telah diretakkan relasinya oleh hasrat akumulasi kapital. 

Dengan demikian, pandangan yang menganggap Marx menafikkan masyarakat adat dan lingkungan sungguh kurang relevan.

Ruth Indiah Rahayu (ruthindiahrahayu@gmail.com) adalah alumna Program Doktoral Studi Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Acuan

Bergman, Jay. 1983. Vera Zasulich: a biography. Stanford, Calif.: Stanford University Press.

Burkett, Paul. 1999. Marx and Nature: a red and green perspective. New York: St Martin's Press.

Foster, John Bellamy. 2000. Marx’s ecology: materialism and nature. New York: Monthly Review Press

Maemunah, Siti. 2015. Mollo, pembangunan dan perubahan iklim: usaha memulihkan alam yang rusak. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Marx, Karl, (trans & ed Lawence Krader). 1974 [1879-1881]. The Ethnological Notebooks by Karl Marx. Assen, Netherlands: Van Gorcum.

Saito, Kohei. 2017. Karl Marx’s ecosocialism: capital, nature, and the unfinished critique of political economy. New York: Monthly Review Press.

Saito, Kohei. 2023 [asli Jepang 2020]. Marx in the Anthropocene: towards the idea of degrowth communism. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Download pdf dokumen ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Strong ties

Sep 02, 2024 - RIKA FEBRIANI

Tradition helps Minangkabau protect the land from foreign investors

Essay: The life of H.W. Emanuels (1916-1966)

Aug 14, 2024 - RON WITTON

More than six decades after being inspired as an undergraduate in Sydney, Ron Witton retraces his Indonesian language teacher's journey back to Suriname

Essay: Under the poetic stars

Aug 01, 2024 - CAITLIN HUGHES

Makassar International Writers Festival and its ripple effects

Book review: Productive and pious

Aug 01, 2024 - ABDULLAH FAQIH

The faces of young Muslim women in contemporary Indonesia

Essay: Testing out my Bahasa Indonesia

Jul 09, 2024 - PATRICK J MAHONY

We need to learn more about each other. If we do, we will find that in many ways we have much in common

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.