Nov 21, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

2b. Keadilan lingkungan

Published: May 06, 2024

"Benturan tak terelakkan antara perekonomian dan lingkungan (yang dipelajari oleh ekonomi ekologis) melahirkan 'pergerakan lingkungan hidup orang miskin' (yang dipelajari oleh ekologi politik)."

(Martinez-Alier 2002: ix)

Gerry van Klinken

Krisis iklim sedang mendorong dua macam politik menuju rezim iklim global baru yang berkelanjutan. Politik dapat mengalir terkendali lewat aparat kebijakan seperti DPR, kementrian, dan forum PBB. Atau – dan ini sering dilupakan – dapat mengalir “liar,” di jalan. Orang yang lingkungan hidupnya dirusak terus merasa frustrasi hingga akhirnya meluap ke dalam tindakan “transgresif” (istilah McAdam, Tarrow, dan Tilly 2001: 7). Mereka menuntut keadilan lingkungan hidup. Bila penguasa tetap tak meladeni, gejolak dapat saja berkembang secara revolusioner.

Konflik tanah kelapa sawit di Indonesia memiliki potensi transgresif seperti itu. Apa yang terjadi bila roda formal tak berfungsi? Kasus sawit memperlihatkan jawabannya. Bab ini mengulas pergerakan keadilan lingkungan yang kini bersifat global, dengan cerita sawit Indonesia sebagai salah satu contoh. Pembahasan berlangsung dalam tiga langkah. Pertama, beberapa catatan tentang konflik sosial di seputar perkebunan kelapa sawit Indonesia, dengan mengutip dua buku baru. Kedua, tinjauan singkat mengenai pergerakan keadilan LH sedunia – sejarahnya, tema-temanya. Ketiga, beberapa pertanyaan tentang hubungan pergerakan tersebut dengan masa depan tatanan kapitalis, terutama di belahan selatan. Apakah mungkin: sebuah tatanan politis baru yang lebih bersahabat dengan manusia maupun Ibu Bumi justru akan lahir dari aktivisme “proletariat lingkungan hidup,” lebih daripada kelas menengah atas urban?

Kelapa sawit

Indonesia adalah pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Minyak sawit dapat ditemukan dalam kira-kira separuh produk-produk bungkusan yang terjual di supermarket di seluruh dunia, mulai dari minyak goreng sampai eskrim, gincu, dan shampoo. Booming produksi mendorong gelombang demi gelombang land-grabbing untuk membuka perkebunan baru, yang tiap kali mengancam masyarakat desa setempat. Perkebunan ini menyisihkan produksi pangan, merampas tanah petani lokal, memperburuk kondisi ketenagakerjaan, dan menyebabkan kerusakan lingkungan seperti mono-spesies, polusi air, ketaksuburan tanah, dan pembabatan dan kebakaran hutan. Ada yang bilang perkebunan kelapa sawit tak lain berupa “padang gurun hijau.” Sawit merupakan salah satu dari hanya empat komoditas yang paling merusak hutan, terutama di belahan bumi selatan (yang lain adalah daging sapi, kedelai, dan kayu).

Selain menyebabkan penggundulan hutan yang fantastis, kelapa sawit memiliki hubungan lain dengan krisis iklim. Dua pertiga dari minyak sawit yang diekspor ke Uni Eropa dibakar sebagai biodiesel, dengan maksud mengurangi pembakaran bahan bakar fosil. Hubungan tidak langsung juga ada. Kebanyakan minyak sawit diekspor ke Cina dan India. Kelas menengah baru di sana suka mengonsumsi semakin banyak produk berisi minyak sawit. Mereka mencari harga termurah tanpa memikirkan dampak lingkungan hidup. Kelapa sawit berperan dalam pertumbuhan ekonomi global secara tidak berkelanjutan.

Buku baru berjudul Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia (Berenschot et al. 2023) menganalisa ratusan konflik tanah di seputar perkebunan kelapa sawit, terutama di Kalimantan dan Sumatra. Para penulis mendalami 150 kasus di antaranya, dan menarik sejumlah kesimpulan ilmiah. Salah satu kasus menyangkut warga Desa Penyang di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Mereka merasa tanahnya dirampas oleh perusahaan bernama Hamparan Mas Sawit Bangun Persada (PT HMBP). Kasus berawal tahun 2005 ketika PT HMBP menanam pohon-pohon sawit di tanah yang oleh warga desa dianggap milik mereka. Warga protes terus selama 15 tahun, tanpa penyelesaian yang memadai. Pada tahun 2020 polisi menangkap dua warga desa dengan tuduhan memanen tandan buah segar kelapa sawit bersama warga lainnya dari kebun PT HMBP. Hingga saat ini persoalannya tetap belum tuntas. Tanpa mengulangi lagi cerita ini dan lain sejenisnya – saya anjurkan anda baca sendiri buku menarik ini - saya kemukakan kesimpulan analitis para penulisnya.

Istilah Kehampaan Hak dalam judul buku ini menerjemahkan kata rightlessness. Yang dimaksud adalah, hak di atas kertas (de jure) tidak dibarengi hak nyata (de facto). Warga Desa Penyang adalah warga negara Republik Indonesia. Secara formal hak-hak mereka, termasuk hak atas tanah miliknya, harus dihormati. Namun dalam kenyataan mereka diperlakukan seolah tidak berhak; seolah bukan warga negara. Perusahaan kelapa sawit sebenarnya telah merampas tanah milik warga, tetapi mereka memoles aksi perampasan tanah dengan berbagai macam legitimasi dan keabsahan hukum. Dibantu oleh aparat negara termasuk polisi.

Sebenarnya hak formal (de jure) warga lokal atas tanah sudah dibatasi sejak zaman kolonial, ketika pemerintah Belanda kong-kalikong dengan perusahaan perkebunan. Pada tahun 1870 seluruh tanah adat dinyatakan milik negara. Langkah ini memungkinkan elit menguasainya, hingga kini. Perusahaan gampang memperoleh konsesi, sedangkan penduduk desa sangat sulit mendapatkannya. Upaya mengembalikan hak kepada warga asli setelah merdeka, termasuk UU Pokok-Pokok Agraria tahun 1960, cenderung gagal. Reformasipun tidak membawa perbaikan berarti. Kini hampir separuh anggota DPR - 262 dari 575 menurut Kehampaan Hak – memegang posisi dalam satu atau lebih perusahaan sumber daya alam. Kelapa sawit salah satu di antaranya. Nama-nama oligark seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan lain-lain semuanya terkait kepentingan sawit.

Ada juga permainan hukum lewat “pintu belakang,” seperti perdagangan izin untuk uang. Omnibus Law Cipta Kerja memfasilitasi pintu belakang: perusahaan boleh membuka perkebunan tanpa harus menempuh analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Dan bisnis sering berkolusi dengan politik. Tak kurang 68% dari perkebunan yang memiliki Izin Usaha Pekebunan beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Kementrian Agraria dan Tata Ruang merahasiakan seluruh informasi HGU, rupanya agar tidak dipertanyakan oleh publik.

Kolusi bisnis-politik memperparah deforestasi. Menurut Kehampaan Hak, deforestasi pada tingkat kabupaten cenderung melonjak pas sebelum pemilihan bupati. Pertanda seorang bupati yang ingin dipilih kembali “menjual” konsesi untuk mengisi dana taktisnya sebelum hari H?

“Tokoh masyarakat,” yang harus memfasilitasi konsultasi dengan masyarakat, dapat dibeli. Banyak contoh kepala desa menjadi kaya sementara rakyatnya menderita. Lagipula, sering dilaporkan penipuan dalam bentuk surat “asli tapi palsu” atau diingkarinya janji lahan plasma. Janji mempekerjakan warga lokal pun sering diingkari. Kalaupun ada, sebagian dipekerjakan sebagai “humas” – yang dapat disuruh mengusir warga lain yang menolak pindah demi perkebunan baru.

Warga berusaha melawan. Kehampaan Hak mencatat tidak kurang 243 demonstrasi untuk seluruh 150 kasus sengketa yang didokumentasikan. LSM lokal memfasilitasi 40 kasus pengadilan dan 177 upaya mediasi. Meskipun diperjuangkan bertahun-tahun, hasil nyata biasanya minim. Anehnya, warga desa tidak banyak menuntut haknya, mungkin sadar toh tak ada gunanya. Tidak banyak pula mengeluhkan kerusakan lingkungan hidup. Daripada itu, mereka cenderung mencari kedekatan dengan orang kuat setempat, politisi maupun pengusaha, sambil memohon belas-kasihan. Mereka minta secara sopan agar pemain besar tidak lagi “mengingkari janji.” Tetap saja pendekatan sopan tidak banyak berbuah. Hampir satu-satunya pengecualian yang diceritakan dalam Kehampaan Hak terjadi bila sejumlah kampung berhasil mengontak LSM internasional, yang kadang berhasil menekan pengusaha asing agar bertingkah lebih baik.

Perjuangan lebih frontal pernah terjadi. Pada tahun 1950an dan 1960an, warga desa dibantu PKI berani memperjuangkan haknya atas tanah. Tetapi genosida terhadap kaum kiri oleh Orde Baru telah meninggalkan trauma mendalam sampai sekarang, sehingga tak terulang lagi.

Cerita agak berbeda dilaporkan dalam buku Sophie Chao (2022), mengenai Merauke Integrated Food and Energy estate (MIFEE), di Papua. Kelapa sawit merupakan bagian dari MIFEE. Orang suku Marind menyuarakan dengan jelas nilai-nilai mereka yang kontras dengan nilai produksi demi produksi sendiri. Bagi mereka, pohon asli sagu melambangkan kehidupan bahagia nan berkelanjutan, sedangkan sawit adalah pohon pendatang yang tidak ramah dengan manusia maupun lingkungan. Barisan pohon sawit yang lurus dalam perkebunan yang dijaga tentara, mereka kontraskan dengan pohon sagu sebagai wakil alam yang hidup. Yang satu mencerminkan kekerasan dan kematian, yang lain memberi tempat kepada burung, ikan, air, tanaman lain, serta manusia, semuanya hidup. Kebanyakan hal ini mereka bicarakan ke dalam – di hutan sambil memukul batang pohon sagu - tetapi sesekali keluar juga. Dalam sebuah pertemuan dengan penguasa lokal, seseorang bersuara lantang (2022: Bab 6):

Kalian bos-bos kelapa sawit dan pejabat telah banyak berpidato. Tetapi kalian tak berani melarang kami makan sagu. Kalian tidak tahu apa-apa mengenai sagu. Apakah kalian pikir kami mau makan Indomie? Kalian pikir kami mau pakai minyak sawit? Orang Marind kuat karena makan sagu. Kini anak kami makan Indomie dan minyak sawit, tubuhnya kecil, lemah. Jangan sekali-sekali mengambil sagu kami. Sawit tak ada yang mau. Sawit bunuh sagu.

Mengapa persepsi mengenai perlawanan terhadap sawit berbeda antara Berenschot dkk dan Chao? Apakah karena penelitian pertama mengukur politik praktis berupa demonstrasi, yang terkurung kekuatan negara pro-sawit, sedangkan yang kedua membuka isi hati orang Marind yang jarang terdengar penguasa?

Keadilan lingkungan

Peneliti di Spanyol menyusun database kasus pelanggaran keadilan lingkungan hidup sedunia bernama EJAtlas. Ternyata land-grabbing merupakan masalah paling utama. Dari hampir 4.000 kasus keadilan lingkungan hidup yang dipetakan di seluruh dunia, lebih dari 600 menyangkut konflik tanah. Seorang pengamat mencatat: “Aktivisme keadilan lingkungan hidup pada zaman ini mirip dengan pergerakan buruh pada zaman industrial.” Mengapa perdebatan publik tentang lingkungan hidup di Indonesia (dan juga di negeri saya Australia) tidak memberikan porsi yang lebih dominan kepada isyu keadilan lingkungan? Tidak jelas bagi saya. EJAtlas menunjukkan bahwa di seluruh dunia orang berjuang lewat kelompok dan jaringan mereka untuk menciptakan dunia yang mereka inginkan. Perjuangan mereka menjurus kepada keberlanjutan. Konflik lingkungan hidup bukanlah hanya gangguan terhadap pemerintahan yang mulus. Daripada itu, warga negara mengeluarkan keluhannya dan memperjuangkan aspirasi dan tuntutan politisnya melalui pergerakan demi keadilan lingkungan.

Meskipun jarang menggunakan bahasa keadilan, korban konflik kelapa sawit dapat dihitung sebagai contoh sebuah pergerakan yang sifatnya global. Sama seperti di tempat lain di dunia, pemilik tanah adat di Kalimantan, Sumatra, dan Papua merasa tak dilindungi, bahkan diperas, oleh pemerintahnya sendiri. Mereka memprotes dengan cara yang sedikit-banyak bersifat transgresif (apabila demonstrasi dan perusakan alat berat dianggap transgresif).

Gerakan populer demi keadilan lingkungan hidup pertama muncul di Amerika Serikat pada akhir tahun 1970an dan awal tahun 1980an (Pellow and Guo 2017). Salah satu kasus terkenal menyangkut kota kecil bernama Love Canal, dekat kota lebih besar Niagara Falls. (Love bukanlah Cinta tetapi nama pendiri kota). Penduduk Love Canal kebanyakan buruh. Pada tahun 1920an, kota Niagara Falls mulai membuang sampah kotanya ke Love Canal. Pada tahun 1940an, tempat pembuangan sampah dibeli perusahaan kimia Hooker Chemical Company. Di sana mereka membuang puluhan ribu ton limbah kimia yang amat berbahaya. Aktivis lokal mulai bergerak pada akhir tahun 1970an, hingga sampai ke Washington, yang akhirnya memutuskan untuk membiayai pengungsian penduduk dan pembersihan tempat limbah beracun.

Aktivis mulai menemukan banyak tempat lain yang penuh racun di Amerika, rata-rata di tengah komunitas miskin atau berkulit hitam. Mereka menyatukan berbagai jenis wacana untuk memeranginya di kancah publik. Mereka bicara tentang kesehatan publik, tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil, anti-rasisme, keadilan sosial, dan juga tentang keberlanjutan ekologis. Taktik-taktik mereka pun bervariasi. Kadang mereka mempraktekkan ketidaktaatan sipil, kadang protes publik, dan tindakan hukum. Ini semua bertujuan menghentikan konstruksi atau perluasan fasilitas industrial yang tak diinginkan. Sebuah wilayah dekat Baton Rouge di tepi Sungai Mississippi disindir dengan nama Lorong Kanker (Cancer Alley), karena limbah yang berserakan secara terbuka dari pabrik-pabrik petrokimia (antara lain ExxonMobil) diperkirakan telah menimbulkan ribuan kasus kanker di antara penduduk miskin dan berkulit hitam.

Para korban merasa terancam oleh banyak pihak sekaligus: negara, perusahaan, pengembang (developer) serta pendatang dari luar daerah. Negara menolak melindungi warganya; perusahaan seenaknya membuang limbah di udara, air, atau tanah milik umum; pengembang begitu saja menjual rumah bangunannya yang berdiri atas tanah penuh racun; dan pendatang baru bekerja di pabrik-pabrik tanpa berdomisili di wilayah tercemar.

Kampanye para aktivis sengaja menggabungkan kampanye keadilan bagi kelompok lokal berdaya lemah di satu sisi, dengan tujuan keberlanjutan global di sisi lain. Dari sini, lama-lama terbangunlah jaringan trans-nasional, seiring dengan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan yang sama terjadi di mana-mana. Mereka berpikir bahwa, di bawah permukaan, kekuatan sosio-ekonomis yang itu-itu pula yang melatari sekian banyak kasus yang tampak berbeda di permukaan. Dengan demikian jarak antara konflik lokal dan pergerakan lingkungan hidup global menjadi semakin dekat. Orang diberdayakan dengan kesadaran bahwa masalah yang mereka hadapi di kampung halaman hampir pasti juga dialami orang lain di tempat jauh.

Kaum ilmuwan yang mempelajari sejarah pergerakan keadilan lingkungan hidup menarik sejumlah kesimpulan kunci (Figueroa and Mills 2001). Salah satunya menyangkut ketidaksetaraan. Ternyata berbagai macam ketidaksetaraan sering menimpa orang yang sama. Ada kaitan antara ketidaksetaraan lingkungan hidup dan ketidaksetaraan kelas, gender, keimigrasian, dan bangsa. Orang miskin sering kena musibah lingkungan hidup. Perempuan miskin apalagi. Demikian juga komunitas kulit hitam.

Bangsa nasional yang miskin sering mengalami nasib serupa. Menjelang akhir tahun 2010an, misalnya, Amerika Serikat mulai mengirim ratusan juta ton limbah plastik setiap tahun ke negara miskin seperti Bangladesh, Laos, Ethiopia dan Senegal, setelah Cina menolak menerimanya lagi. Di samping menjadi bak sampah sedunia, orang miskin di situ paling dahulu merasakan dampak pemanasan global, termasuk dalam bentuk bencana alam seperti kemarau panjang, banjir, badai, kebakaran hutan, kenaikan permukaan laut, dan kehabisan stok ikan.

Dalam hal ini, pergerakan keadilan lingkungan hidup mampu menjembatani jurang kepentingan antara utara dan selatan, yang tidak dapat dikerjakan jenis aktivisme lingkungan hidup lain. Misalnya, aktivisme demi pelestarian hutan belantara atau satwa liar (wilderness, atau wildlife) lebih populer di utara, karena di selatan biasanya ada manusia tinggal di wilayah taman nasional, yang tidak mau diusir. Aktivisme demi eko-efisiensi (seperti pembelian mobil listrik daripada mobil bensin) juga lebih populer di utara yang kaya-raya daripada di selatan yang miskin.

Perbedaannya, di Amerika Serikat keadilan LH adalah gerakan demi nasib apa yang disebut “minoritas” (seperti kaum kulit hitam), sedangkan di belahan selatan ini adalah gerakan demi nasib mayoritas. Karena itu, Joan Martinez-Alier (2002) lebih memilih istilah environmentalism of the poor, alias pergerakan LH orang miskin. Agar tetap memenuhi kebutuhan mayoritas penduduk bumi, maka pergerakan keadilan LH seyogyanya menolak terus ketidakseimbangan antara pembagian keuntungan ekologis kepada orang kuat, sedangkan kerugian ditimpakan kepada yang lemah.

Peneliti keadilan lingkungan hidup berdebat mengenai arah studi bidang mereka yang paling tepat. Apakah sebaiknya fokus kepada korban, yaitu pada pihak yang lemah? Atau sebaliknya justru pada orang mapan, yaitu pihak yang kuat? Pilihan kedua akan membantu mereka memahami kekuatan sosial yang menghasilkan ketidaksetaraan lingkungan hidup.

Pertanyaan mendasar yang lain menyangkut jenis keadilan yang ingin disoroti. Satu dimensi keadilan disebut keadilan distributif. Penekanan di sini adalah pada pembagian keuntungan lingkungan hidup dibanding pembagian beban lingkungan hidup. Penduduk miskin di Baton Rouge tidak banyak menikmati keuntungan dari bahan kimia keluaran pabrik ExxonMobil. Keuntungan tersebut lebih dirasakan oleh para direktur utama perusahaan. Sebaliknya penduduk lokal lebih banyak menanggung beban lingkungan hidup dalam bentuk udara kotor yang mereka hirup, yang cenderung memicu kanker paru-paru. Studi tentang pembagian keuntungan dan kerugian yang disebabkan masalah ekologis disebut “ekologi politis” (political ecology).

Dimensi lain keadilan disebut keadilan partisipatif. Bagaimana keputusan diambil yang menentukan pembagian di atas? Siapa yang berpartisipasi dalam keputusan ini? Masalah di Love Canal diakibatkan ketimpangan dalam proses partisipasi. Penduduk setempat tak pernah dimintai pendapat tentang pembuangan limbah Hooker yang kemudian merugikan mereka.

Kedua dimensi keadilan lingkungan hidup ini dapat juga diamati dalam kasus konflik tanah kelapa sawit. Penduduk Desa Penyang tidak mendapat keuntungan dari penanaman pohon sawit di tanahnya yang sepadan dengan beban yang harus mereka tanggung akibat hilangnya hak atas tanah yang sebelumnya bebas dipakai sendiri. Dan tingkat partisipasi orang desa di dalam pengambilan keputusan pembukaan kebun baru boleh dibilang minim. Sebaliknya, keuntungan yang dinikmati pengusaha penanam modal dan penguasa legislatif pemberi izin jauh melebihi kerugian yang mereka rasakan akibat kerusakan hutan saat membuka lahan perkebunan baru.

Yang dapat dipetik dari cerita kelapa sawit adalah: banyak konflik di dalam masyarakat dewasa ini memiliki dimensi ekologis. Di tengah konflik sejenis, orang miskin berusaha mempertahankan kontrolnya atas sumberdaya dan jasa lingkungan hidup yang mereka butuhkan untuk hidup baik. Kontrol itu rasanya terancam baik oleh negara yang ingin mengambil-alihnya, dan oleh sistem pasar yang ingin meraih keuntungan darinya. Konflik berdimensi ekologis sejenis sudah lama ada di dalam sejarah manusia. Dan rupanya akan semakin intens ke depan, mengingat pertumbuhan ekonomis selalu mengganggu keseimbangan ekologis.

Masalah sawit dapat digolongkan dalam sejumlah macam konflik pergerakan LH orang miskin yang didaftarkan oleh Martinez-Alier (2002: 258ff). Selain konflik berdimensi ekologis antara orang miskin dan orang kaya yang oleh Martinez-Alier disebut environmentalism of the poor, konflik sawit juga menyerupai konflik ekologi politis yang lain.

  • Pertukaran ekologis yang tak setara (ecologically unequal exchange) terjadi bila pembeli di negara lain mendapatkan minyak sawit murah untuk menggoreng sayap ayamnya, sedangkan orang Indonesia kehilangan tanah sementara bumi Indonesia kehilangan keragaman hayati. Ketimpangan tidak adil tersebut dilestarikan dengan paksa oleh polisi.
  • Ruangan lingkungan hidup (environmental space) menyangkut ruangan yang diisi oleh kegiatan ekonomis, di mana jejak ekologis (ecological footprint) dari sebuah kota besar seperti Beijing meluas sampai menelan sebagian wilayah Papua yang dirusak.
  • Kerusakan tanah (land degradation) terjadi bila pertumbuhan penduduk di satu wilayah harus dikompensasi dengan pengikisan tanah di wilayah lain agar penduduk tersebut dapat hidup (apalagi hidup mewah).
  • Soal Pendatang tanpa izin lawan orang ekosistem (ecological trespassers v. ecosystem people) menyangkut ketegangan antara orang yang hidup nyaman atas sumberdaya yang disediakan lingkungannya sendiri (seperti misalnya suku Marind), lawan pemakaian sumberdaya yang sama oleh orang yang sebetulnya tak ada kaitan dengan wilayah tersebut.

Mulai tahun 1990an, lingkungan hidup masuk ke dalam wacana Hubungan Internasional. Topik keadilan lingkungan hidup mengglobal. Ia menjadi tema baru dalam tiga tema besar. Yang pertama, keamanan (terorisme), dan yang kedua, yakni ekonomi, kini diiikuti tema yang ketiga: lingkungan hidup. Persoalan lapisan ozon, kesehatan samudra, dan gangguan sistem iklim mendorong diselenggarakannya konferensi lingkungan hidup sedunia pertama, di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992, dikenal sebagai “KTT Bumi”, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi.

Istilah global di sini tidak berarti seluruh penduduk bumi ikut mengambil keputusan. Istilah ini berarti seluruh bumi dikuasai sejumlah kecil pemain kuat – perusahaan raksasa seperti ExxonMobil dan negara adikuasa seperti Amerika Serikat. Merekalah yang menciptakan masalah, mereka juga yang merumuskan wacana dan membentuk tetek-bengek lembagawi untuk mengatasinya.

Situasi ini berkesinambungan dengan sejarah lama “pembangunan.” Cita-cita terakhir ini pun mula-mula dirumuskan oleh pemain kuat. Kemudian semua penduduk bumi mulai berambisi hidup secara Barat – hi-tech, hi-consumption, high military power. Padahal, setiap orang yang berani memikirkannya pasti menyadari bahwa bumi tak mampu menyediakan sumber daya yang cukup untuk mencapainya. Orang yang sama juga menyadari bahwa transisi dari masyarakat tradisional dan agrarian menuju masyarakat “modern” secara historis banyak sekali menimbulkan korban (tragedi 1965 di Indonesia di antaranya).

Sekarang, ketegangan yang paling besar antara utara dan selatan terletak dalam soal lingkungan hidup. Utara menginginkan selatan mengakui beratnya tantangan lingkungan yang kini dihadapi Bumi. Memang benar, persoalan hujan asam, ozon, iklim, dan kepunahan spesies sungguh berat, hingga membuat pusing setiap insan yang merenungkannya. Namun ada pertimbangan lain yang main. Pada saat yang sama, utara merasa khawatir dengan industrialisasi selatan. Jangan-jangan nanti utara kalah bersaing dengan semangat kerja di selatan untuk menghasilkan barang banyak nan murah. Sementara itu, selatan memang mengakui masalah lingkungan hidup, tetapi tidak begitu merasakan tanggungjawab untuk menyelesaikannya. Selatan lebih menginginkan utara mengurangi konsumsinya terlebih dahulu. Dan selatan menginginkan utara membayar kompensasi kepada selatan apabila utara menuntut (misalnya) penutupan tambang batu bara atau ladang gas, menuntut penghentian pembabatan hutan, dan seterusnya.

Untuk masyarakat adat di Indonesia yang terseret ke dalam masalah global ini, maka soal keadilan lingkungan domestik bertemu dengan soal keadilan lingkungan global. Baik di panggung domestik maupun di panggung global, orang seperti warga Desa Penyang adalah korban yang menanggung beban tanpa merasakan manfaat dari kerusakan lingkungan yang diciptakan orang luar yang lebih kuat.

Pergerakan keadilan lingkungan hidup global mengalami “kenaikan suhu” setelah gagalnya Konferensi Perubahan Iklim PBB pada tahun 2009 di Kopenhagen. Conference of the Parties (COP) ini adalah pertemuan ke-15 dari seluruh negara di dunia yang telah menandatangani sebuah kerangka tentang perubahan iklim di KTT Bumi 1992. Pada tahun 2007, sebuah pertemuan di Bali menyepakati bahwa, dua tahun depan di Kopenhagen, dunia akan memutuskan sebuah kerangka yang solid untuk mengendalikan perubahan iklim. Namun, ketika saatnya tiba di Kopenhagen, kesepakatan tersebut disabotase oleh pemimpin negara kuat. Termasuk di antaranya adalah President AS Barack Obama, Perdana Menteri Cina Wen Jiabao, President Brazil Lula da Silva, beserta President Afrika Selatan Jacob Zuma. Akhirnya kesepakatan yang ditandatangani tidak mengandung target keras untuk membatasi kenaikan suhu global, tidak komit kepada perjanjian hukum yang mengikat, dan tidak menetapkan tahun kapan emisi global akan mulai turun. Sebuah kesepakatan yang mengkhianati kepentingan korban krisis iklim.

Mulai saat itu, pergerakan keadilan lingkungan hidup yang transgresif seperti Extinction Rebellion meletus di mana-mana. Pada tanggal 23 September 2019, Greta Thunberg, berumur 16 tahun, penyambung lidah buat jutaan warga dunia biasa, bersuara lantang di sebuah forum iklim PBB:

"Kalian merampas impianku dan kekanakanku dengan kata-katamu yang kosong. Padahal aku termasuk masih beruntung. Orang sedang menderita. Orang mati. Ekosistem-ekosistem kolaps. Kita berada di tahap awal kepunahan massal, dan kau hanya dapat bicara tentang uang dan dongeng pertumbuhan ekonomis abadi. Beraninya kau! (How dare you!)”

Setelah gagalnya COP15 Kopenhagen tahun 2009, orang di mana-mana mulai merasa tak lagi dilindungi oleh pemerintahnya sendiri. Kegagalan political will di Kopenhagen, atau lebih tepat disebut pengalahan kemauan politik demokratis oleh kekuatan segelintir pemodal skala dunia, telah menciptakan krisis kepercayaan terhadap rezim status quo. Bagi mereka yang merasakannya, ini sekaligus merupakan peluang untuk berimajinasi yang baru. Maka muncullah gerakan lokal di mana-mana yang mulai bertindak sendiri, di luar “jalur yang tepat”, sebagai warga lokal-nasional-bumi.

Proletariat lingkungan hidup global

Pada tahun 1987, PBB menerbitkan sebuah laporan besar mengenai “pembangunan berkelanjutan.” Laporan yang dinamakan Our Common Future, juga dikenal sebagai Brundtland Report, berusaha menyatukan soal lingkungan hidup yang baru dengan wacana pembangunan yang sudah lama. Kemiskinan, demikian Brundtland Report, menjurus kepada pengrusakan lingkungan. Karena itu, pembangunan harus dikejar terus agar tak ada orang miskin yang merusak lingkungan. Slogan Poor people make poor land a la Brundtland Report ini ditentang oleh pandangan yang berlawanan, yaitu Environmentalism of the poor. Martinez-Alier (2002) berkata bahwa ada kala justru orang miskinlah yang menentang kerusakan lingkungan yang disebabkan “pembangunan” oleh perusahaan raksasa. Misalnya, suku Ogoni di Nigeria melawan perusahaan Shell yang terus merusak lingkungan dengan membocorkan minyak bumi ke Sungai Niger.

“Proletariat” adalah istilah Karl Marx bagi lapisan masyarakat yang merasa dieksploitasi oleh kaum pemodal kapitalis, sehingga mereka tidak begitu berkepentingan dengan dipertahankannya sistem kapitalis. Proletariat biasa adalah mereka yang hanya dapat menawarkan tenaga-kerja tubuhnya kepada pemodal. Tenaga itu ia jual dengan imbalan gaji. Tetapi gaji tersebut telah dipotong buat laba pemodal, hingga pasti tak sepadan lagi dengan tenaga yang telah dihabiskan. Lumpenproletariat adalah mereka yang tenaga-kerja saja tak punya, karena mereka hidup sama sekali di luar sistem kapitalis. Marx lalu memperkirakan bahwa dari kedua macam proletariat inilah akan muncul tantangan struktural terhadap sistem kapitalis, secara revolusioner kalau perlu.

Datangnya zaman historis yang dinamakan Antroposen (Anthropocene) memperluas konsep eksploitasi di dalam wacana Marxis. Kini semakin jelas bukan saja buruh yang dieksploitasi, melainkan juga alam, yang air, udara, dan tanahnya disalah-gunakan pemodal tanpa ba-bi-bu. Kaum buruh hidup di tengah kerusakan lingkungan yang diciptakan pabriknya sendiri. Proletariat buruh sekaligus menjadi proletariat lingkungan hidup.

Apakah petani Desa Penyang dan yang lainnya harus dianggap masuk ke dalam proletariat lingkungan hidup?

  • Mungkin tidak, sebab mereka rupanya tak begitu mempersoalkan sistem produksi kelapa sawit. Mereka lebih menuntut (secara cukup sopan) pembagian uang yang lebih adil. Apakah mereka bersikap demikian karena memang sudah menjadi bagian dari sistem produksi tersebut (seperti yang ditekankan oleh Izzuddin Prawiranegara 2023)? Atau karena para pemimpin dan pemikirnya telah terkooptasi oleh kelas penguasa, di mana mereka menghkianati sesamanya dengan ikut menyuarakan wacana Pembangunan (sebagaimana digambarkan secara tajam dalam buku mengenai Afrika oleh Jean-Francois Bayart, 1993: 182). Atau karena diancam oleh polisi?
  • Atau mungkin ya, sebab hutan yang tadinya bebas mereka pakai dijadikan “padang gurun hijau” oleh pemodal Jakarta atau Singapura. Bisa juga mereka dianggap masuk ke dalam proletariat buruh, sebab sebagian di antara warga desa memang dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit, dengan gaji rendah, tanpa ikut memiliki perusahaan tersebut. Barangkali mereka lebih bersedia menyuarakan keprihatinannya dalam ruangan tertutup daripada di depan umum. Karena itu, berbagai analis menggunakan istilah “proletariat lingkungan hidup embrionik”, dengan perkiraan kesadaran politis bisa saja muncul belakangan.

Proletariat lingkungan hidup bermunculan di mana saja ketika sistem kapitalisme merusak lingkungan hidup dan sekaligus merugikan manusia yang tinggal di sana. Orang miskin di pantai utara Jawa yang kena musibah “banjir rob” termasuk di dalamnya, karena kaum kapitalis tak henti-henti membakar bahan bakar fosil hingga permukaan air laut naik terus. Jutaan orang miskin di Bangladesh demikian juga. John Bellamy Foster dan Brett Clark (2010) menulis bahwa korban krisis iklim di Asia ini bisa saja menjadi aktor politik penting di masa depan:

Sementara mengamati situasinya hari ini, tidak di luar kemungkinan bahwa pelaku historis dan pemula zaman baru revolusi ekologis akan ditemukan di antara massa dunia ketiga yang secara paling langsung merasakan bencana-bencana alam yang akan datang. Dapat dibayangkan bahwa kini lini depan perang ekologis dapat ditemukan di Delta Sungai Ganges-Brahmaputra serta pantai subur dan rendah di sepanjang pinggir Samudra Hindia dan Lautan Cina. Misalnya Kerala (negara bagian di India), Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Penduduk-penduduk tempat ini, sama dengan proletariat yang diidentifikasi oleh Marx, tidak merasa rugi dari perubahan radikal yang diperlukan untuk menghindari bencana (atau menyesuaikan diri kepada bencana). Bahkan, dengan penyebaran relasi-relasi kapitalis di seluruh dunia dan dengan bentuk komoditas yang ada, maka dapat terjadi tumpang-tindih antara proletariat kapitalis di satu pihak, dengan proletariat lingkungan hidup yang paling rentan terhadap bencana kenaikan permukaan laut di pihak lain. Misalnya di delta sungai rendah Sungai Mutiara di Cina, wilayah industri Guangdong dari Shenzhen sampai Guangzhou. Secara potensial, ini adalah pusat sedunia untuk sebuah proletariat lingkungan hidup baru.

Daripada dianggap sebagai ancaman bagi ketenteraman publik, proletariat lingkungan hidup dapat juga dipandang sebagai bagian dari penyelesaian yang sedang dicari di seluruh dunia. Seorang eko-Marxis yang lain, Paul Burkett (2017), menulis tentang masa depan yang lebih baik yang sedang diimpikan dan dipelopori oleh proletariat lingkungan hidup:

Untuk menyelesaikan krisis iklim – yang merupakan hanya sebagian dari krisis lingkungan hidup yang jauh lebih luas yang diciptakan oleh kapitalisme – maka sistem produksi yang bersifat kompetitif, yang digerakkan oleh laba, yang dikendalikan melalui ketidaksetaraan kelas, harus diganti dengan sebuah sistem di mana pekerja bersama dengan komunitas mereka mengontrol produksi dan interaksi lain di lingkungan material dan sosial, secara kolektif dan demokratis. Pengembangan berkelanjutan dari orang yang bekerjasama secara sehat dengan spesies lain harus menggantikan motif laba, eksploitasi, dan persaingan yang kini menyediakan kekuatan pendorong dalam produksi di dalam seluruh sistem penyediaan kebutuhan material.

Politik menuju rezim iklim global yang berkelanjutan untuk sebagian berlangsung di luar kerangka formal. Orang protes secara transgresif, menuntut keadilan lingkungan hidup. Gerakan mereka semakin kuat semakin orang merasa tidak lagi dilindungi oleh pemerintahnya sendiri, karena pemerintah telah disandera oleh kepentingan perusak lingkungan. Perlawanan terhadap perusahaan kelapa sawit di Indonesia dapat dianggap sebagai bagian dari sebuah pergerakan global (embrionik) yang tergerak oleh tuntutan itu. Pola aktivisme mereka memiliki banyak kesamaan dengan pergerakan sejenis di seluruh dunia. Dipandang demikian, maka proletariat lingkungan hidup di wilayah perkebunan sawit di Indonesia justru menjadi pelopor sebuah dunia yang lebih bersahabat dengan manusia dan alam yang akan lahir di masa depan.

Untuk penelitian lebih jauh

  • Pilihlah sebuah kasus konflik sosial berdimensi ekologis lokal di Indonesia, dan analisalah dengan menggunakan pemikiran bab ini.
  • Dengan menyusun sejumlah perbandingan sosio-ekono-ekologis, ujilah hipotese Foster dan Clark (2010) bahwa wilayah ini dapat melahirkan proletariat LH: “Delta Sungai Ganges-Brahmaputra serta pantai subur dan rendah di sepanjang pinggir Samudra Hindia dan Lautan Cina. Misalnya Kerala (negara bagian di India), Thailand, Vietnam, dan Indonesia.”
  • Dalam hal komunitas lokal wilayah sawit, Berenschot et al (2023) menolak analisa Martinez-Alier (2002) tentang Environmentalism of the poor. Chao (2022) mungkin justru mendukungnya. Pelajarilah dan tariklah kesimpulan Anda sendiri lewat sebuah studi kasus.

Acuan

Bayart, Jean-Francois. 1993. The state in Africa: the politics of the belly. London: Longman.

Berenschot, Ward, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal, dan Otto Hospes. 2023. Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Burkett, Paul. 2017. "An Eco-Revolutionary Tipping Point?: Global Warming, the Two Climate Denials, and the Environmental Proletariat." Monthly Review 69 (1). doi: https://doi.org/10.14452/MR-069-01-2017-05_1.

Chao, Sophie. 2022. In the shadow of the palms: more-than-human becomings in West Papua. Durham, NC: Duke University Press.

Figueroa, Robert, and Claudia Mills. 2001. "Environmental justice." In A Companion to Environmental Philosophy, edited by Dale Jamieson, 426-438. Malden, MA: Blackwell.

Foster, John Bellamy, Brett Clark, dan Richard York. 2010. The ecological rift: capitalism’s war on the earth. New York: Monthly Review Press.

Martinez-Alier, Joan. 2002. The environmentalism of the poor: a study of ecological conflicts and valuation. Northhampton, MA: Edward Elgar Publishing.

McAdam, Douglas, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly. 2001. Dynamics of contention. Cambridge (UK): Cambridge University Press.

Pellow, David N., and Pengfei Guo. 2017. "Environmental Justice." In Routledge Handbook of Religion and Ecology, edited by Willis Jenkins, Mary Evelyn Tucker and John Grim, 336-344. London and New York: Routledge.

Prawiranegara, Izzuddin. 2023. "Ecological change and class dynamics in Central Kalimantan peatland." MA, Agrarian, Food, and Environmental Studies, International Institute of Social Studies (ISS).

 

Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (imil: bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.

Download pdf dokument ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.