Feb 22, 2025 Last Updated 12:16 AM, Feb 21, 2025

5a. Hauntologi sampah

Published: Jan 27, 2025

Jejak-jejak peradaban manusia tidak terlepas dari tumpukan sampah-sampah atau limbahnya sendiri.

(Slavoj Žižek dalam film Examined Life, 2008)

Rangga Kala Mahaswa

Sampah dan keseharian

Dalam politik keseharian bermasyarakat terdapat pemahaman umum bahwa sampah menjadi objek yang pada dasarnya bersifat sementara dan juga instan. Mereka (limbah sampah terakumulasi) menimbulkan ambiguitas pemaknaan bagi manusia tersendiri. Apa yang kita temukan dan rujuk sebagai objek-objek yang kita sendiri sebut sebagai sampah—tetapi mereka sebagai objek, kehadirannya cepat berlalu begitu saja (Kennedy, 2007). Kita dapat merujuk pada benda-benda sekali pakai yang dapat kita temukan setiap harinya. Misalnya, dalam suatu konferensi ilmiah, panitia menyediakan gelas kopi sekali pakai, bungkus gula, pengaduk, dan pipet yang digunakan hanya untuk satu kali pembuatan kopi. Dengan berbagai alasan tentang kebersihan dan higenisitas, objek yang kita sebut sebagai sampah menjadi barang sekali pakai untuk digunakan, setelahnya lalu membuangnya dan melupakannya. Seolah-olah mereka telah tiada.

Sementara sebagian besar barang-barang sekali pakai itu tampak sama sebelum dan sesudah penggunaannya, tetapi secara ontologis sampah menjadi objek yang selalu diorientasikan untuk digunakan sampai pada titik bentuk tertentu, ia menjadi dan disebut sebagai sampah. Apa yang menjadikan sesuatu hal sebagai sampah ialah karena benda tersebut tidak lagi digunakan atau setidaknya tidak bernilai. Lantas, bagaimana dengan tubuh kita? Atau makhluk hidup yang kemudian menemui ajalnya dan berubah bentuk melalui proses dekomposisi? Artinya secara ontologis nilai sampah akan menjadi sebagai berikut—tidak ada satu pun entitas yang pada dasarnya sampah, sekaligus semua entitas bisa saja berpotensi menjadi sampah.

Beberapa bulan terakhir, tepatnya di Yogyakarta, masalah tentang pengelolaan sampah terpadu menjadi berita hangat di hati masyarakat perkotaan. Apa yang membuatnya menarik ialah tentang bagaimana sampah yang selama ini tersembunyi atau meskipun disembunyikan keberadaannya tetap saja selalu mencuat. Kehadirannya ini tertangkap sebagai fenomena sosial dikarenakan keterbatasan tempat penampungan sampah pusat. Di sisi lain, tendensi pemerintah kepada masyarakat untuk mulai membiasakan pengelolaan sampah secara mandiri, ternyata justru menyisakan permasalahan yang semakin rumit. Sayangnya, perubahan kebijakan ini tidak mengubah bagaimana masyarakat mengelola sampahnya secara signifikan di kemudian hari.

Permasalahan sampah urban selalu memutar pada permasalahan tumpukan sampah yang serampangan di bahu jalan, di depan pasar, di antara trotoar jalan, di samping pemberhentian TransJogja, sampai di seputaran fasilitas umum yang tentu saja mengganggu aktivitas keseharian masyarakat. Mereka ada di mana-mana dan selalu menghantui dalam berbagai bentuk penampakan sebagai representasi dari ragam persepsi indrawi dari bau, rasa sampai visual. Selain itu, konflik perebutan wilayah lahan sampah juga semakin mencuat ketika adanya ketegangan antar warga desa yang saling mengklaim atau membatasi wilayah pembuangan akhir sampah domestik. Konsekuensi dari permasalahan ini mulai merambat ke arah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, mulai dari timbulnya permasalahan kesehatan publik, kultural, sosial, ekonomi, sampai politik ekologi baru.

Sampah menjadi sangat menarik untuk dipahami oleh kita—akhir-akhir ini. Sampah menjadi objek yang kepada dirinya memiliki ragam pemaknaan (Lih. Gille & Lepawsky, 2021). Ia pada konteks Dunia Utara selalu menarik diri (withdrawn) dan tidak pernah terlihat (invisible). Ia harus jauh dari pandangan kemajuan peradaban, sedangkan di Dunia Selatan sampah selalu mengada—ada dan menjadi bagian dari perkembangan pembangunan di sekitarnya. Sampah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Hanya saja, terkadang ia diakui atau dienyahkan begitu saja.

Tentu saja, saya tidak akan memperdebatkan bagaimana kebijakan pengelolaan sampah seharusnya diterapkan, sikap hak dan tanggung jawab masyarakat menyoal pembuangan akhir sampah, hingga regulasi atau hukum tentang tata kelola sampah. Melalui esai ini, saya ingin merefleksikan ulang bahwa sampah secara fenomenologis memiliki eksistensi di antara “Ada” dan “Tiada”. Ia menjadi objek filsafat yang aneh (uncanny), misterius, dan selalu menarik dirinya sendiri meskipun dalam kehadirannya yang tidak terbatas. Sampah dapat menjadi kategori quasi-object, objek yang tidak pernah lengkap dan sempurna ketika dijelaskan atau dirasakan oleh manusia (Griffero, 2018).

Tidak dipungkiri bahwa kajian filosofis tentang sampah, limbah, dan polusi sangatlah terbatas. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak masuk dalam kategori objek-objek (things) dalam pengalaman berfilsafat (Faber, 2014). Seolah-olah berfilsafat hanya terbatas pada proses abstraksi tentang sesuatu yang ketat dan disiplin. Misalnya mempertanyakan tentang Ada, Ketiadaan, Kebenaran, Keadilan, dan sebagainya. Padahal, apabila ontologi yang merupakan sistem cabang filsafat utama sekaligus mengklaim dirinya sebagai studi tentang “Ada” (Lih. Macdonald, 2005), oleh karenanya kajian tentang sampah adalah menjadi cukup penting untuk ditelaah. Alasannya sederhana sebab hari ini sampah menjadi bagian integral dari proyeksi masa depan bumi manusia itu sendiri. Sampah meskipun sering terabaikan “eksistensinya” pada level tertentu, “kehadirannya” diakui sebagai cara masyarakat mengimajinasikan tentang tatanan sosial yang maju dan beradab. Sampah menjadi representasi suatu peradaban manusia. Ia menorehkan harapan sekaligus kecemasan tentang masa depan bumi manusia.

Hauntologi sampah

Ada beberapa alasan mendasar, mengapa saya memilih Hauntologi (Hauntology) sebagai fondasi kajian ketika menganalisis struktur onto-epistemologis sampah. Kajian filsafat terkait Hauntologi pernah dipopulerkan oleh Jacques Derrida melalui karyanya Specters of Marx (1993). Derrida mencoba merumuskan sebuah palingan baru dalam filsafat yang disebut sebagai spectral turn. Hal ini dimaksudkan sebagai jawaban dari keresahan Derrida terhadap kritik yang dilontarkan Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992) mengenai berakhirnya komunisme di dunia Barat. Padahal, ide tentang gagasan Marx tidak akan pernah mati—ia akan senantiasa menghantui (haunting) dan menjadi palingan spektral (spectral turn) di masa lalu untuk saat ini namun dalam keadaan yang absen atau secara metaforik—hantu. (Istilah “spektral” mengacu kepada bahasa Inggris 'spectre,' atau hantu.)

'If there is something like spectrality, there are reasons to doubt this reassuring order of presents and, especially, the border between the present, the actual or present reality of the present, and everything that can be opposed to it: absence, non-presence, non-effectivity, inactuality, virtuality, or even the simulacrum in general, and so forth.' (Jacques Derrida, 1993, p. 48).

Ontologi spektral menjadi sangat ambigu sekaligus paradoksal sebab membicarakan antara yang ada (being) dan tiada (non-being). Derrida (1993, hal. 48) memperjelas kembali bahwa sesuatu hal menjadi spektralitas ketika kita meragukan keberadaannya secara aktual, ketika yang menjadikannya (sesuatu) itu mengada sekaligus absensi, tidak hadir, tidak aktual, virtualitas. Bahkan seolah ia menjadi simulakrum secara umum. Sebagai contoh, kehadiran hantu-hantu komunis menjadi anti-tesis dari keberadaan dunia non-komunis yang selalu menganggap ia eksis secara tidak penuh dan seharusnya tidak pernah ada. Padahal, adanya penyangkalan atas 'hantu' atau 'spektral' ini justru yang menandakan kemungkinan ambang batas manusia tidak pernah benar-benar mengalami atau memulai sesuatu sedari awal, selalu ada hantu-hantu (yang tidak terbatas) yang terlibat pada proses yang tidak pernah disadari.

Mark Fisher (2013) meradikalkan konsep Hauntologi Derrida dengan memosisikan spektralitas sebagai the agency of virtual, yang tidak hanya kehadirannya (present-ness) datang dari masa lalu untuk sekadar menghantui (haunting) tetapi justru akan selalu mengada di masa depan dalam bentuk yang sepenuhnya berbeda. Fisher mengajak kita untuk membayangkan bagaimana limbah nuklir bisa saja menjadi suatu entitas yang berbahaya sekaligus bersahabat bagi perkembangan peradaban manusia. Untuk saat ini, suatu hal yang disebut limbah selalu berbahaya. Tanpa kecuali kita menjadikannya komoditas kapital yang realistik.

Sejalan dengan Fisher, Brian Thill (2015) mengungkapkan apa yang dimaksud sebagai limbah atau sampah akan selalu kembali kepada 'sang pencipta'-nya, yakni manusia. Hal ini tercermin dari udara kotor yang kita hirup setiap harinya, air yang penuh dengan kandungan mikroplastik, tanah yang telah tercemar limbah, serta tumpukan sampah dengan bau yang sangat menyengat. Mereka ada dan senantiasa hidup bersama kita. Sedangkan William Viney (2014) memandang bahwa sampah hanya menjadi ada, sebatas objek itu berkorelasi atau memiliki nilai guna tertentu pada kehidupan manusia, selebihnya akan menjadi bayang-bayang dari kebudayaan manusia. Adapun John Scanlan (2005) menyebutnya dengan istilah spektralitas limbah bagi kemapanan dunia Barat. Kemapanan ini kemudian terurai kembali pergeseran dari nilai yang berguna dan teratur menjadi nilai yang semakin ambigu sebab terdevaluasi secara ontologis (Kennedy, 2007).

Seruan devaluasi ontologis pada objek 'sampah' ini berkorelasi pada bagaimana masyarakat kapitalisme tingkat lanjut menyadari bahwa sampah adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan konsumerisme mereka. Sampah sekali pakai (disposability) lebih banyak menghantui masyarakat konsumerisme hari ini. Sampah menjadi permasalahan subjektivitas yang tidak hanya secara relatif membagi binaritas dirty-clean atau yang-kotor vs yang-bersih tetapi juga secara absolut mendorong adanya binaritas nilai-sampah. Meskipun dalam padanan Bahasa Indonesia, jika kita merujuk pada sampah (trash atau garbage) akan berbeda dengan residu atau sampah sisa (waste), sedangkan masyarakat kita masih berorientasi mengategorisasikan semua hal yang sudah tidak terpakai sebagai sampah—yang harus dienyahkan atau dibuang begitu saja 'matter out of place.'

Sedangkan kondisi ontologis sampah menjadi semakin rumit ketika ia dijadikan sebagai objek dengan nilai-lebih minimum di mana bagi sebagian besar pemulung kategorisasi sampah 'bersih' yang mudah 'terurai' akan lebih bernilai daripada sampah yang sulit terurai. Katakanlah objek sampah plastik botol sekali pakai, tumpukan kertas laporan perusahaan, atau pakaian bekas yang dapat dijual kembali atau barang-barang vintage lainnya yang bernilai di luar nalar. Nilai sampah menjadi ambiguitas pada dimensi kapitalisme tingkat lanjut. Ia selalu hidup (being-with) dan menghidupi (living-with) kebudayaan kapitalisme baru. Kita mengomodifikasi nilai sampah sesuai dengan hasrat pasar yang ada.

Timothy Morton (2013, 2019) dengan lantang menyebut Sampah dapat menjadi bagian dari pergulatan baru bagi filosof untuk menentukan objek non-manusia (non-human being) yang dapat dipertimbangkan ulang sebagai bagian dari gerak kesadaran ekologis baru. Laku kesadaran ekologis ini hadir secara koeksistensi, tidak hanya dalam pikiran tetapi juga melalui tindakan kolektif di mana mulai menyadari adanya bagian penting dari determinasi non-manusia yang lambat laun tidak hanya menghantui sudut pandang manusia melainkan mampu mengubahnya.

Pandangan modern meletakkan pemisahan antara subjek dan objek dalam bingkai korelasionis (correlationism). Dunia hanya mungkin ada ketika subjek atau manusia berkorelasi dengan dunia. Namun, ketika dimensi non-manusia, katakanlah objek sampah, hadir menjadi korelator baru, maka tentu saja sampah akan menjadi korelasi ketiga atau yang memediasi hubungan baru antara manusia dan dunianya. Alhasil, sampah sebagai objek baru bagi manusia dapat mengubah cara pandang kita terhadap realitas yang semakin rumit dan kompleks.

Sesuatu hal yang familiar belum tentu sama persis, terkadang ia (sampah) hadir dalam ketidakhadirannya untuk menjadi sesuatu hal yang asing, aneh, dan misterius sebagai yang-lain. Subjektivitas kita sebagai kedirian tunggal dalam menerjemahkan dunia menjadi paradoksalitas baru. Sebagaimana Slavoj Žižek dalam film dokumenternya yang bertajuk Examined Life (2008) menunjuk jejak-jejak peradaban manusia tidak terlepas dari tumpukan sampah-sampah atau limbahnya sendiri. Kita sebagai manusia memulai sesuatu dari yang-artifisial daripada yang alamiah. Secara ekologis, bentuk romantisasi naif menjadi penghalang utama kita memahami relasi tidak serasi dan tidak seimbang dalam totalitasnya yang justru tereksploitasi oleh manusia itu sendiri (Morton, 2018).

Memaknai ulang Bumi Manusia

Pramoedya Ananta Toer melalui Bumi Manusia (1980) menceritakan bagaimana dunia yang terbayang pasca-kolonial dimungkinkan. Melalui Gadis Pantai (1987), Pram menceritakan lanskap lautan (sea) dan daratan (land) di bawah situasi politik Jawa yang sangat feodalistik. Setiap zaman memiliki cara yang unik dan menarik untuk mengimajinasikan kehidupan sosial beserta bentang alam yang menyertainya. Hal tersebut serupa persis dengan apa yang dibayangkan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari ketika melahirkan dua karya populer mereka, A Thousand Plateaus (1987) dan What is Philosophy? (1994), yang kurang lebih merujuk tentang fondasi dasar geofilosofi (geophilosophy).

Dalam posisi ini, saya perlu untuk menginterpretasikan ulang apa yang dimaksud dengan geofilosofi. Geofilosofi dalam pandangan saya merujuk pada pemahaman baru yang terjalin dalam bingkai relasional antara manusia dengan Bumi (Earth). Aspek geologis (geological turn) menjadi bagian dari sesuatu hal (mungkin) mengada, yang artinya ia ada bahkan sebelum aspek-aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya bekerja.

Geofilosofi menjadi pendekatan filsafat baru yang terlepas dari tendensi antagonisme dan binaritas keilmuan antara ilmu geologi, teknik geologi, atau geografi itu sendiri. Semua hal yang diwacanakan selama masih di atas Bumi, itulah Bumi bagi seluruh entitas termasuk manusia di dalamnya. Inilah langkah awal kita dapat merumuskan ulang seperti apa Bumi Manusia.

Sampah yang tidak terurai di antara pemukiman warga / PDPics, Pixabay—CC)

Imajinasi tentang Bumi yang nampaknya bersahabat tentu tidak selamanya dapat kita pertahankan. Morton (2019) pun dengan tegas menolak istilah romantisasi dan idealisasi atas alam yang stabil dan harmonis. Keseimbangan antara manusia dan alam nampaknya sangat ringkih dan rapuh. Sebagaimana kekuasaan kolonialisme dan imperialisme tidak dapat bertahan lama di wilayah-wilayah yang sangat rapuh atau dengan kondisi geografis yang sangat ekstrem. Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh Carl Schmitt dalam Land and Sea: A World-Historical Meditation (1942) yang menjelaskan bahwa pertarungan perebutan kekuasaan wilayah laut lebih menyeramkan daripada perebutan kekuasaan di wilayah daratan. Manusia menjadi sangat lemah ketika berada di atas sesuatu yang tidak pasti—lautan yang penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian (uncertainty) inilah yang akan mendasari saya menelaah ulang hauntologi sampah.

Mari kita awali dengan posisi ontologis antara manusia dan alam pada bayang-bayang kesampah-an (waste-ness/trash-ness/garbage-ness) sebagai entitas yang objektif sekaligus abstrak. Sampah dalam jumlah yang luar biasa besar dapat berubah dari objek sederhana menjadi hiper-objek (hyperobject).

Istilah hiper-objek yang dipopulerkan oleh Morton (2013) ialah bagian dari ciri khas pendekatan filsafat ekologi dengan sudut pandang futurologi. Futurologi adalah studi yang mempelajari tentang masa depan, terutama menyangkut situasi dan kondisi yang akan datang di segala bidang ilmu, berdasar perkembangan lini masa masa kini. Melalui hiper-objek, Morton mencoba memproyeksikan masa depan objek-objek non-manusia, seperti akumulasi sampah dalam skala global.

Hiper-objek berbeda dengan objek pada umumnya, ia didefinisikan sebagai suatu hal yang terlampau besar sehingga mampu melampaui batas ruang dan waktu bagi manusia untuk mengaksesnya secara bebas. Sebagai contoh, pemanasan global dapat dikategorikan sebagai hiper-objek, demikian pula plutonium radioaktif yang bertebaran akibat peledakan bom nuklir.

Akumulasi global sampah yang setiap harinya bertambah pun dapat menjadi hiper-objek serupa dengan limbah nuklir atau sampah plastik yang mulai terdistribusikan sangat masif dalam dimensi spasial dan temporal manusia. Totalitas sampah pada titik tertentu akan senantiasa menjadi 'hantu baru' yang selalu menghantui, tetapi tidak berasal dari masa lalu (past) melainkan ada dalam bayangan masa depan (future). Bayang-bayang ini mengekspansi asumsi ontologis Derridean terhadap dekonstruksi spektralitas pasca-kematian Karl Marx dalam konteks kebangkitan Komunisme di era neoliberal. Kendati demikian, hantu-hantu sampah tidak membicarakan ideologi manapun. Mereka hanya akan lahir dalam tatanan krisis ekologis yang sudah semakin tak terkendali.

Seperti halnya ‘"hantu limbah nuklir”' di masa depan. Limbah nuklir bukan tidak mewaktu melainkan menjadi spektral bagi manusia di masa depan, ia hadir dalam ketidakpastian (Doeland, 2020). Ketidakpastian ini merujuk pada ketidakhadiran yang sifatnya non-lokalitas (non-locality). Ketika kita membuang sampah botol plastik ke tempat sampah, setelahnya kita tidak secara langsung bertanggung jawab dengan limbah mikroplastik yang dikonsumsi oleh ikan-ikan di laut. Hiper-objek membantu kita memahami realitas yang lebih besar dan luas tetapi bukan berarti tidak-terbatas (infinite). Mereka hadir dalam keterbatasan yang sangat besar di luar dari jangkauan persepsi dan kuasa manusia. Ke-maha-besaran dari kolektivitas global sampah ini menimbulkan masalah perubahan iklim.

Di sisi lain, rujukan referensi semantik kita terhadap perubahan iklim juga semakin ambigu, aneh, dan kabur. Tidak adanya kepastian ketika kita membahasakan kondisi ontologi objek yang perjalanan lintas benua dan samudra dari mikroplastik dan juga limbah nuklir. Lantas, bagaimana dengan limbah-limbah di luar angkasa? Akan ada momen kita beranjak dari bumi menuju permasalahan limbah lintas keplanetan. Atau realisasi sains-fiksi di mana manusia mulai memulai koloni baru di Mars dan Bulan. Menjadikannya Bumi Kedua! Atau suatu daya upaya ketidakmampuan manusia untuk hidup di Bumi Pertama. Percepatan Luar Biasa (The Great Acceleration), yaitu percepatan dalam segala aktivitas manusia yang berdampak terhadap lingkungan mulai kira-kira tahun 1945 hingga kini, menjadi kebanggaan yang tak terkira bagi pencapaian mobilisasi manusia pasca-globalisasi baru. Titik balik ini diklaim sebagai landasan awal bagi gerak transisi skala waktu geologis baru, yakni zaman baru bagi manusia—epos Antroposen (The Anthropocene).

Post-script: Hauntologi Antroposen

Selanjutnya setelah kita memahami Hauntologi Sampah maka kita perlu memikirkan ulang tentang bagaimana cara kita menerjemahkan Bumi Manusia (Baru). Arun Saldanha dan Hannah Stark (2016) dengan baik menaruh perhatian terhadap konsep “bumi baru” yang mungkin terbayangkan melalui epos Antroposen. Oleh karena itu, saya membagi menjadi tiga poin utama untuk merumuskan Hauntologi Antroposen sebagai proyeksi perluasan konsep Hauntologi Sampah.

Pertama, mari kita berbicara Antroposen secara ilmiah. Berdasarkan hasil kesepakatan ahli geologi internasional di tahun 2024 bahwa hanya sekitar ¼ suara yang mendukung untuk meratifikasi Antroposen (Witze, 2024). Ketidakcukupan bukti geologis untuk memastikan kapan dan di mana Antroposen berada (golden spike) menjadi hambatan terbesar dari pembuktian Antroposen. Bagi sebagian ahli geologi Antroposen, mereka menganggap tendensi pembuktian Antroposen masih terbatas secara lokal-diakronik alih-alih global-sinkronik sehingga mustahil untuk saat ini menggantikan epos Holosen sebelumnya.

Tidak hanya itu, Antroposen dicurigai sangat politis bagi mereka, ahli geologi, yang terbiasa bekerja pada bukti sedimentasi masa lalu. Antroposen secara radikal bahkan menempatkan manusia sebagai geological force baru yang berbeda dari gerak zaman geologi sebelumnya. Kendati demikian, saya justru melihat ini sebagai bukti bahwa kajian Antroposen bukan lagi menjadi satu-satunya wacana geologi dalam artian sempit. Antroposen menjadi mungkin justru ketika ia dibicarakan secara lebih terbuka melalui dimensi-dimensi non-geologi atau semacam pendekatan transdisipliner baru.

Dalam rangka merumuskan hantu-hantu tersembunyi dari masa depan Antroposen, kita juga perlu meninjau untung istilah 'kemewaktuan', yang pernah dipopulerkan oleh Martin Heidegger ketika ia mencoba untuk menerangkan bagaimana keberadaan tidak berlangsung di 'dalam' waktu melainkan 'mewaktu,' yaitu 'adalah' waktu itu sendiri. Kemewaktuan Antroposen memiliki tiga tegangan dimensi waktu menurut manusia itu sendiri, di antara masa lalu, kini, dan masa depan. Selanjutnya, kita akan menemukan Bumi Manusia seperti apakah yang kemudian terbayang (imagined) oleh masyarakat Antroposen?

Sejauh memandang perdebatan tentang kapan dan di mana Antroposen dapat ditentukan, di saat itulah kita akan menemukan berbagai pertanyaan tentang status linimasa kemewaktuan geologis manusia Antroposen, antara lain:

Apakah ketika pertama kali manusia menemukan api? Menjelajah Dunia Baru dan mengeksploitasi sumber daya alam? Menemukan sistem uap dan revolusi industri pertama? Perang Dunia Kedua? Globalisasi? Kapitalisme baru? Atau di era kecerdasan buatan? Semuanya menjadi sangat relatif tetapi juga menakutkan ketika kita membayangkan ada suatu entitas di masa depan, misal saja siber-humanoid dengan kecerdasan yang sangat canggih mengklaim tekno-fosil (techno-fossil) purba warisan manusia saat ini sebagai titik balik skala waktu geologi Antroposen.

Bayangan tentang Antroposen sangat aneh namun nyata adanya. Kita juga dapat mempertimbangkan apa yang dibayangkan oleh Fisher (2009, mengutip Fredric Jameson) tentang: cara pandang kita yang lebih mudah membayangkan akhir dunia (the end of the world) daripada akhir dari kapitalisme.

Mengapa harus kapitalisme yang menjadi titik pijak memahami hauntologi Antroposen? Hal ini disebabkan oleh munculnya sifat konsumtif yang bersumber dari fetisisme komoditas. Hasrat untuk selalu merasa kekurangan ini dilahirkan dari “kelangkaan artifisial” yang dimanipulasi oleh kapitalisme. Alih-alih hanya hidup dalam siklus konsumsi, kita justru terjebak pada sistem produksi sampah-sampah baru pasca konsumsi berlebih. Sebagai contoh, ketika kita tidak dapat terlepas dari limbah elektronik (e-waste) sampai limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) yang dihasilkan di level rumah tangga (domestik).

Selain itu, masyarakat Antroposen terbentuk karena totalitas dari akumulasi kolektif atas limbah antropogenik yang diproduksi dan direproduksi hanya oleh manusia semata dalam sistem masyarakat kapitalistik. Ironisnya, krisis alam tidak membuat kapitalisme mudah hancur. Adanya sifat elastisitas kapitalisme inilah yang mendorong eksistensinya tetap bertahan, meskipun harus memproduksi limbah barang sekali pakai (disposable object).

Proses artifisialisasi alam telah mengubah apa yang seharusnya diproduksi dan direproduksi. Selain itu, valorisasi nilai atas sampah menjadi semakin penting terhadap pembuktian epos Antroposen. Bukti itu muncul melalui representasi sedimentasi terluar dan terbaru, apa yang ditinggalkan oleh jejak-jejak kapitalisasi alam dan sosial, seperti mikro-plastik, polusi, limbah nuklir, sampai tekno-fosil.

Kedua, Antroposen merupakan perluasan hiper-objek atas aktivitas global antropogenik yang telah mengubah struktur permukaan geologis Bumi. Tidak hanya lanskap alam yang diubah tetapi juga redistribusi sosio-ekologis, antara manusia dan dimensi non-manusia. Berbagai mutasi virus dan penyakit baru bermunculan akibat dari daya percepatan mobilisasi manusia transnasional. Ketiadaan batas antara yang-alam dan yang-sosial mendorong pemahaman Bumi Manusia yang sepenuhnya berbeda. Alam sudah tidak lagi alamiah. Tidak ada artinya meromantisasi alam.

Alam menjadi representasi dari ketidakhadiran (absence) atas familiaritas (familiarity), atas kondisi yang seharusnya menjadikan Bumi sebagai rumah yang layak dihuni. Ketidaknyamanan ini melahirkan ketimpangan antara ingatan, rasa berduka, sekaligus melankolia yang mendalam (Doeland, 2019). Apa yang dihadapi oleh masyarakat Antroposen dengan problematika sampah-sampah sebagai objek yang tidak sepenuhnya hadir, mereka tidak sepenuhnya tiada (nothing) melainkan hanya menjadi spektralitas yang misterius.

Kecemasan dan ketakutan tentang masa depan ekologis ini melahirkan berbagai politik tentang kematian. Sampah tidak hanya memiliki arti harfiah pada objek atau sesuatu hal yang tidak digunakan lagi. Sampah dalam kehidupan masyarakat juga berkonotasi negatif sebagaimana istilah 'sampah masyarakat' yang selalu menghantui bahkan bagi mereka yang sudah meninggal (Robins, 2022). Kasus pembunuhan sadis The Moors Murders (di Inggris, 1963) menjadi contoh yang menarik ketika masyarakat menolak jasad pembunuh Ian Brady setelah ia meninggal dalam penjara bertahun-tahun kemudian. Ia dianggap sebagai sampah masyarakat. Tubuhnya meski sudah mati masih membawa memori yang sangat kelam bagi kelompok masyarakat di sekitarnya. Mereka menolak pemakaman walaupun terdapat surat wasiat dari mendiang Brady setelah menjalani hukuman penjara seumur hidupnya. Akhirnya, jasad Brady diam-diam dikremasi dan dilarung ke laut tanpa sepengetahuan banyak orang. Politik nekro (jasad) ini tidak hanya berlaku bagi manusia, bahkan fosil renik dari kehidupan purba dapat memberikan kekayaan dan kesejahteraan bagi segelintir orang dalam bentuk minyak mentah.

Ketiga, Antroposen menjadi lompatan kita untuk membicarakan geologi (di) masa depan. Selama ini geologi terpaku pada konstruksi Uniformitarianisme bahwa segala sesuatu yang ada saat ini merupakan representasi dari semesta keteraturan di masa lalu dan akan senantiasa suatu peristiwa terulang kembali. Konstruksi tentang masa depan yang masih tersembunyi tetapi dapat dibayangkan inilah yang perlu untuk direfleksikan kembali.

Seperti apakah Bumi Manusia di masa depan? Tentang Kontrak Sosial dan Alam untuk Masa Depan Bumi dan Manusia seperti apakah yang seharusnya? Artinya, jika dimensi futuristik ini dapat diafirmasi maka status hauntologi sampah tidak lagi seperti halnya interpretasi Derrida yang hanya terpaku pada peristiwa di masa lalu, tetapi sebaliknya, sampah-sampah di masa depan yang tidak pernah tercerap atau teralami secara langsung inilah yang selalu akan menghantui.

Jika kita ditanya kembali: apakah mungkin kita bisa selalu mengklaim sampah x ini milik a, atau sampah y ini sesungguhnya milik b setelah mereka 'berpetualang' dan 'bersua' dengan sampah-sampah lain di luar sana. Atau, sebagaimana argumentasi Hird (2016) bahwa fenomena sampah menjadi bentuk dari de-stratifikasi ratusan bahkan ribuan tahun mendatang yang ditandai dari sedimentasi baru sisa-sisa limbah industri yang mendorong adanya re-stratifikasi baru. Inilah titik balik epos Antroposen yang dibuktikan dari sedimentasi geologi yang berasal dari akumulasi global sampah.

Dekomposisi objektivitas sampah ini tentu akan menarik beragam pertanyaan filosofis selanjutnya, terutama tentang dimensi epistemologis dan etika. Sampah industri berskala besar kita sebut sebagai polusi dan limbah yang mencemari lingkungan sekitar. Dampaknya menciptakan identitas sosial dan kultural baru.

Lautan dan Gunung Sampah, Tempat Pembuangan Sampah di Jawa Barat / Tom Fisk on Unsplash (Free to use, CC).

Secara epistemologis, pengetahuan non-manusia pada sampah ini tidak pernah cukup untuk dijelaskan hanya berdasar pada asumsi antroposentrik kuat (Hird, 2012). Perlu adanya etika kepedulian untuk menjelaskan ulang bahwa melalui sampah kita mampu untuk membaca realitas sosial dan kultural. Pemetaan status sosial ekonomi misalnya di mana orang miskin akan selalu mencari cara untuk mengubah ketidakbernilaian dari sampah agar menjadi suatu komoditas yang kreatif secara sirkular, sedangkan kaum super kaya raya akan senantiasa mencari cara menjual sesuatu hal yang baru-terbarukan yang lebih ramah lingkungan serta bersertifikat bumi hijau sembari menyumbang polusi karbon terbesar untuk generasi mendatang.

Inilah hauntologi sampah di masa depan, ketika ketidakadilan lintas generasi lahir dari ketimpangan akses ekologis berkeadilan bagi semua orang. Sampah di sisi lain dapat menghidupi orang-orang terlantar tetapi juga selalu menghantui untuk membunuh siapapun tanpa melihat siapa dan apa status sosialnya.

Kita dapat belajar dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang merupakan puncak dari peradaban manusia—di mana 'kelas-kelas sosial seolah tiada.' Tidak ada pembeda dari satu sampah dengan lainnya. Mereka akan berkumpul begitu saja untuk berseru tentang kapan waktu yang tepat untuk membunuh Tuannya (manusia), entah kapanpun di saat kita mulai mengabaikannya begitu saja.

Rangga Kala Mahaswa (mahaswa@ugm.ac.id) adalah dosen di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

Acuan

Deleuze, G., & Guattari, F. (1987). A thousand plateaus: Capitalism and schizophrenia. University of Minnesota Press.

Deleuze, G., & Guattari, F. (1994). What is philosophy? Columbia Univ. Pr.

Derrida, J. (2011). Specters of Marx: The state of the debt, the work of mourning and the new international (Repr). Routledge.

Doeland, L. (2019). At Home in an Unhomely World: On Living with Waste. Detritus, Volume 06- June 2019(0), 1. https://doi.org/10.31025/2611-4135/2019.13820

Doeland, L. (2020). Turning to the Specter of Waste—A Hauntological Approach. In R. Ek & N. Johansson (Eds.), Perspectives on waste from the social sciences and humanities: Opening the bin. Cambridge Scholars Publisher.

Faber, R. (Ed.). (2014). The allure of things: Process and object in contemporary philosophy. Bloomsbury.

Fisher, M. (2009). Capitalist realism: Is there no alternative? Zero Books.

Fisher, M. (2013). Ghosts of my life: Writings on depression, hauntology and lost futures. Zero books.

Fukuyama, F. (2006). The end of history and the last man (1st Free Press trade pbk. ed). Free Press.

Gille, Z., & Lepawsky, J. (2021). The Routledge Handbook of Waste Studies (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003019077

Griffero, T. (2018). Quasi-things: the paradigm of atmospheres (S. De Sanctis, Trans.). SUNY Press.

Hird, M. J. (2012). Knowing Waste: Towards an Inhuman Epistemology. Social Epistemology, 26(3–4), 453–469. https://doi.org/10.1080/02691728.2012.727195

Hird, M. J. (2016). The Phenomenon of Waste-World-Making. Rhizomes: Cultural Studies in Emerging Knowledge, 30. https://doi.org/10.20415/rhiz/030.e15

Kennedy, G. (Ed.). (2007). An ontology of trash: The disposable and its problematic nature. State Univ. of New York Press.

Macdonald, C. (2005). Varieties of things: Foundations of contemporary metaphysics. Blackwell Pub.

Morton, T. (2013). Hyperobjects: Philosophy and ecology after the end of the world. University of Minnesota press.

Morton, T. (2018). Being ecological. The MIT Press.

Morton, T. (2019). Humankind: Solidarity with non-human people (Paperback edition). Verso.

Robins, D. (2022). 5. (Dis)Posing of “Toxic Necro-Waste”: Managing Unwanted Ghosts. In M. Fiddler, T. Kindynis, & T. Linnemann (Eds.), Ghost Criminology (pp. 135–154). New York University Press. https://doi.org/10.18574/nyu/9781479885725.003.0006

Saldanha, A., & Stark, H. (2016). A new earth: Deleuze and Guattari in the Anthropocene. Deleuze Studies10(4), 427-439.

Scanlan, J. (2005). On garbage. Reaktion Books.

Schmitt, C. (2015). Land and sea: A world-historical meditation. Telos Press Publishing.

Thill, B. (2015). Waste. Bloomsbury Academic, an imprint of Bloomsbury Publishing, Inc.

Toer, P. A. (1996). This Earth of Mankind. Penguin Books.

Toer, P. A. (2003). The girl from the Coast. Hyperion ; Turnaround.

Viney, W. (2014). Waste: A philosophy of things. Bloomsbury Academic.

Witze, A. (2024). Geologists reject the Anthropocene as Earth’s new epoch—After 15 years of debate. Nature, 627(8003), 249–250.

Download artikel pdf ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Single fighters

Feb 13, 2025 - SHERI LYNN GIBBINGS, ELAN LAZUARDI AND ROBBIE PETERS

Why some ride-hailing drivers stay outside mutual aid organisations

Myth, art and science

Feb 13, 2025 - NATASHA DOROSHENKO MURRAY

Indah Arsyad’s Balinese perspective

Esai: Raja-raja hutan

Jan 22, 2025 - JAKA HENDRA BAITTRI

Cara manusia Sumatera menghormatinya harimau

Essay: Kings of the jungle

Jan 22, 2025 - JAKA HENDRA BAITTRI

How Sumatrans honour the tiger, both mystical and real

Sukarno's Indonesia as seen from Yogyakarta

Jan 06, 2025 - MARK WOODWARD

Sukarno's dedication to the arts and obsession with creating a nationalist ideal live on in luxury hotels he built in the 1960s

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.