8b. Deep ecology

Arne Naess /Per Meljaender, www.themoose.no
Menuju etika lingkungan melalui ‘filsafat diri’

Deep Ecology adalah ‘pergerakan ekologis yang bertanya secara lebih mendalam.’

(Arne Naess – dikutip dalam (Fox 1990: 102))

Gerry van Klinken

Aktivis lingkungan Joanna Macy, kini berumur 85, dalam salah satu videonya menggambarkan keruntuhan masyarakat pertumbuhan industrial dengan kata ‘Penguraian Yang Luar Biasa’ (The Great Unraveling). Ia lanjutkan:

Biasakanlah diri. Saya lebih suka istilah penguraian daripada kolaps. Itulah yang dikerjakan oleh sebuah sistem: tidak pernah ambruk lalu mati. Sistem kehilangan koherensi, ingatannya.

Kemudian, Belokan Yang Luar Biasa (The Great Turning). Dan selalu kesadaran ini: kita tidak tahu mana yang menang akhirnya. Perlombaannya sangat dekat. Maka Belokan Yang Luar Biasa: apa itu? Ini adalah transisi di mana kita berada. Kita di tengahnya sekarang.… Belokan Yang Luar Biasa bukanlah sesuatu yang kita kerjakan sebagai gantinya kolaps. Belokan adalah sesuatu yang akan membimbing kita di tengahnya. Kata depan saya saat ini adalah ‘melalui’: ‘Kita harus melaluinya, sayang.’ Maka Belokan Yang Luar Biasa menjadi semacam Bodhicita [di mana budi terbangun penuh kasih sayang]: inilah komitmenmu. Seperti penglihatan: ‘Oooh, aku tidak ingin segalanya berakhir begini. Kita tidak ingin waktu kita di semesta ini sebagai manusia – cerita kita – berakhir dengan keserakahan ini, dengan keganasan ini, kekejaman ini’.

Bab ini mengundang pembaca untuk berpartisipasi dalam Belokan Yang Luar Biasa. Kita mendalami pertanyaan dasar dalam etika ekologis: dari mana datangnya dorongan pribadi untuk berbuat baik tidak hanya bagi sesama manusia tetapi juga bagi hal-hal non-manusiawi – burung, pohon, sungai? Joanna Macy sering mengutip jawaban yang diberikan pada pertanyaan ini oleh filsuf Norwegia bernama Arne Naess (1912-2009) (Taylor 2023). Naess mendekati persoalannya melalui konsep Diri (Self). Menurut dia, pertanyaan tentang motivasi etis, yaitu Apa yang membuat saya memilih berbuat baik bagi makhluk lain?, berakar dalam pertanyaan lebih mendalam: Siapakah diri saya?

Sebagaimana akan kita bahas secara lengkap di bawah, Naess membedakan dua konsep Diri. Masing-masing terkait dengan konsekwensi etisnya. Konsep yang paling lazim membayangkan Diri sebagai makhluk atomistik. Setiap insan bergerak sebagai seorang individu, terpisah dari lingkungannya. Etika lingkungan hidup yang mengandalkan pandangan Diri atomistik menjurus kepada etika kewajiban. Dan kewajiban biasanya dirasakan sebagai beban yang kurang menyenangkan, hingga sering dihindari.

Konsep Diri yang kedua justru membayangkan Diri secara lebih luas, yaitu sebagai bagian dari dunia sekeliling. Etika lingkungan hidup yang berakar dalam konsep Diri lebih besar ini dicirikan oleh kebahagiaan dan cinta, lebih dari kewajiban. Beban rasanya telah menguap. Aneh tapi nyata! Konsep Diri yang luas ini mendasari etika ekologis Arne Naess. Ia menamakan paham etisnya Deep Ecology (Ekologi Dalam). Diskusi di bawah banyak diilhami oleh buku karangan seorang pengikut Arne Naess lain bernama Warwick Fox (1990).

Arne Naess tentu bukanlah orang pertama yang menemukan konsep Diri lebih luas. Sejumlah filsuf telah memunculkannya sepanjang sejarah. Hal yang sama dapat juga ditemukan dalam banyak agama di dunia, termasuk di Asia. Maka bab singkat ini akan tutup dengan sedikit pembicaraan mengenai pandangan religius soal Diri.

Kewajiban

Pemikir paling berpengaruh di bidang filsafat etika di Barat adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia merumuskan sejumlah prinsip yang sampai kini membimbing banyak pemikiran etis. Manusia, tulisnya, bisa didorong untuk berbuat sesuatu dari hasrat (kecondongan, selera, atau kesenangan sendiri), atau dari kewajiban yang rasional (akal budi, nalar). Hasrat muncul dari dalam diri kita, sedangkan kewajiban dibentuk melalui pengetahuan dari luar. Kant menganggap perbuatan didorong kewajiban jauh lebih berharga secara moral dibanding perbuatan didorong hasrat. Apa saja yang kita kerjakan sambil menikmatinya, menurut Kant, barangkali tidak memenuhi standar moral. Hanya hal yang kita kerjakan sambil melawan keinginan pribadi akan dinilai sungguh etis. Manusia harus bergumul antara hasrat dan akal budi untuk mengetahui tindakan yang benar.

Maka sesuai ajaran Kant, etika lingkungan hidup konvensional melihat hasrat sebagai biang keladi kerusakan lingkungan. Hasrat ingin mengonsumi sumberdaya alam seenaknya. Makanlah daging sepuasnya, bakarlah bahan bakar fosil sebanyak-banyaknya, bangunlah gedung semaunya di tengah hutan rimba. Asal keinginan saya untuk menikmati bifstik, mobil besar, atau hotel mewah dipenuhi, lepas dari konsekwensinya. Model etis sangat instrumental yang dimotori secara psikologis oleh hasrat membuahkan konsumsi tanpa kendali, demikian analisa Kantian ini.

Barangkali tak banyak yang akan membela tingkah rakus di atas secara etis. Sigmund Freud (yang hidup setelah Kant) mengaitkan hasrat kekanakan sejenis dengan Id, bagian jiwa manusia yang dimotori naluri (instink). Id bersifat rakus dan impulsif. Yang kadang disebut ‘kebutuhan biologis’ menggerakkan kita untuk, misalnya, mengonsumsi sebanyak-banyaknya. Perhatikan bahwa jiwa manusia di sini dipandang secara atomistik, baik oleh Freud maupun oleh Kant. Manusia yang tergerak hasrat rakus adalah Diri yang sempit, yang belum menyadari ketergantungannya kepada makhluk lain.

Bagian lain dari jiwa manusia a la Freud mencoba menyetir bagian Id agar bertindak lebih dewasa. Oleh Kant bagian ini disebut akal budi (oleh Freud dibedakan antara Super-ego dan Ego, tetapi perbedaan itu tak perlu kita pusingkan saat ini). Akal budi yang paling sederhana cukup menghitung untung-ruginya sebuah tindakan, yaitu untung-rugi pada kepentingan Diri saya yang sempit tadi. Yang langsung menguntungkan Diri dinilai ‘rasional,’ yang langsung merugikan Diri saya dicap ‘tidak realistis.’ Dalam soal etika lingkungan hidup, istilah kunci penalaran ini adalah Risk Management. Misalnya, konsumsi daging lemak secara berlebihan dinilai berisiko tinggi akan mengakibatkan serangan jantung Diri. Sedangkan pembakaran batubara dianggap oke-oke saja, sebab saya merasa membutuhkan listrik (meskipun emisi batubara menghancurkan iklim bumi).

Ilmu Ekonomi yang konvensional banyak mengandalkan penalaran berdasarkan konsep Diri yang sempit. Contoh: taman nasional perlu diperluas. Mengapa? Pohon di dalamnya menyerap CO2, dan hal itu akan mengimbangi emisi CO2 dari pembakaran batubara di PLTU (yang tetap saya bakar karena merasa butuh listrik). Taman nasional dibilang menyediakan ‘jasa ekosistem’, yaitu jasa pada Diri manusia. Jika dipelihara, menguntungkan manusia; jika dirusak, merugikannya.

Etika semacam ini seluruhnya bersifat instrumental. Diri saya tetap menjadi Nomor Satu. Saya mencoba mengurus dunia demikian rupa sehingga Saya tidak mengalami ketidaknyaman psikologis. Hal-hal lain di dalam perhitungan untung-rugi dianggap siap dimanipulasi hingga tujuan Saya tercapai. Akal budi Saya adalah alat untuk memanipulasi yang lain itu. Dalam hal ini, penalaran etis sebenarnya tidak lain adalah ‘pembenaran’ lebih daripada ‘kebenaran.’ Seluruh upaya pelestarian, pemeliharaan, dan pengembangan sumberdaya alam yang konvensionmal jatuh ke dalam golongan etis instrumental ini.

Etika lingkungan hidup berdasarkan kewajiban dan akal budi ini bersifat agak menggurui. Ia menjadi semacam ketetapan legal yang harus ditaati, tetapi tak mungkin dinikmati. Lebih-lebih lagi, kewajiban etis ini jarang dijadikan undang-undang. Hampir belum ada aturan yang mengejawantahkannya. Orang berusaha menjaga makhluk lain sebagai kewajiban moral. Sebagai sebuah panggilan etis, etika berdasarkan kewajiban agak bersifat dingin. Tak banyak yang merasa disemangati. Tidak mengherankan apabila manusia yang tergerak oleh konsep Diri yang sempit akan mencoba menghindari kewajiban yang dikenakan padanya oleh akal budi.

Deep Ecology

Pada tahun 1970an muncullah sebuah gerakan etis baru yang memandang lingkungan hidup tidak lewat lensa kewajiban tetapi lensa kebaikan. Pada tahun 1973 terbitlah sebuah makalah kecil yang menawarkan pandangan yang sama sekali berbeda dari etika lingkungan hidup dingin dan menggurui a la Kant di atas. Makalahnya berjudul ‘Yang Dangkal dan Yang Dalam – Pergerakan Ekologi Jangka Panjang’ ('The shallow and the deep, long-range ecology movement', (Naess 1973)). Penulisnya seorang filsuf Norwegia bernama Arne Naess, yang sampai saat itu terkenal hanya di dalam negerinya sendiri. Istilah Deep Ecology telah lahir. Beberapa tahun kemudian istilah yang sama diadopsi juga oleh sejumlah pemikir lingkungan hidup di Amerika (Devall and Sessions 1985, Macy 1991). Lalu istilahnya mulai mendunia, sampai sekarang. Ideologi politik Ekologisme, dibicarakan bab lain buku ini, bersandar secara signifikan atas pemikiran Deep Ecology.

Arne Naess mulai saat itu menjadi seorang guru pergerakan global yang wibawanya melangit. Ia bukan satu-satunya. Pelopor intelektual Deep Ecology lain pada waktu yang hampir bersamaan, termasuk di Australia, disebut oleh Freya Mathews (2023) (di mana Mathews sendiri jugalah seorang pelopor yang sangat signifikan). Profesi Arne Naess adalah guru besar filsafat, tetapi ia tak hanya duduk di balik meja universitas. Ia tinggal di sebuah gubuk yang ia bangun sendiri di lereng gunung berbatu besar bernama Hallingskarvet. Ia merasa begitu terikat gunung itu secara emosional hingga menganggapnya bapak sendiri (bapak biologisnya meninggal ketika ia masih bayi.) Ia suka mendaki gunung, pernah memimpin pendakian pertama Gunung Tirich Mir setinggi 7.708 meter di Pakistan pada tahun 1950. Pada tahun 1970 ia bergabung dengan ratusan aktivis, memprotes rencana membangun bendungan di sebuah fjord di Norwegia Utara. Ia mengunci diri kepada batu untuk mempersulit polisi menahannya. Mari kita eksplorasi bersama pemikiran Arne Naess, dengan banyak mengutip kata-katanya sendiri.

Konteks melejitnya nama Arne Naess adalah sebuah pergerakan lingkungan hidup yang jauh lebih luas, yang lahir di hampir setiap negara di dunia pada tahun 1970an. Dua buku yang menghebohkan dunia pada waktu itu adalah Laporan Kelompok Roma, Batas-Batas Pertumbuhan (Meadows et al. 1972, Meadows, et al, and (terj Masri Maris) 1980 [asli 1972]), yang memperingatkan dunia bahwa konsumsi tanpa batas akan bertabrakan dengan batas-batas bumi; dan Musim Bunga yang Bisu karangan Rachel Carson (Carson 1994 [orig 1962], Carson and (terj Buahy Kusworo) 1990 [asli Inggeris 1962]), yang menggambarkan muka bumi di mana burung telah mati semua gara-gara racun pestisida DDT.

Naess memisahkan pergerakan global tersebut ke dalam dua aliran, yang dangkal dan yang dalam. Ekologi Dangkal adalah pergerakan yang, katanya, ‘dangkal tetapi pada saat ini agak kuat’. Deep Ecology, sebaliknya, bersifat ‘dalam, namun kurang berpengaruh.’ Yang dangkal mengkhawatirkan persoalan sumberdaya alam yang semakin habis dan polusi yang semakin parah. Keprihatinan itu setahun sebelumnya memang dipicu oleh terbitnya Batas-Batas Pertumbuhan. Tetapi kecemasan dalam wacana Ekologi Dangkal tidak menjurus kepada tindakan yang terlalu radikal. Tujuan utama pergumulan kebijakan publik yang berlangsung di bawah payung ideologis ini, tulis Naess, adalah ‘kesehatan dan kemakmuran orang di negara-negara maju.’ Dalam kerangka psikologis yang dibahas di atas, Ekologi Dangkal bersandar pada etika kewajiban yang instrumental, yang dimotori oleh kepentingan Diri yang sempit, sesuai konsep Diri yang hidup di Amerika Utara dan Eropa Barat.

Lawannya, Deep Ecology atau Ekologi Dalam, tidak mengklaim label ‘Dalam’ sekedar membanggakan kelebihan moralnya. Bahkan, kata Naess pada lain kesempatan, ‘Saya tidak begitu tertarik dengan etika atau moralitas.’ Daripada itu, istilah ‘dalam’ mengacu kepada jenis pertanyaan yang diajukannya. Ia menyatakan: ‘Saya tertarik dengan cara bagaimana kita mengalami dunia ini.’ Makanya pertanyaan Naess tidak berhenti hanya di tingkat kebijakan publik. Ia tidak hanya bertanya bagaimana mengatasi masalah polusi atau kehabisan sumberdaya alam. Ia melangkah ke wilayah yang jauh lebih bermakna: bagaimana kita manusia mengalami dunia ini? Naess menerangkannya sebagai berikut (Fox 1990: 102):

Proses bertanya secara terus-menerus adalah proses yang bersifat ‘dalam’ dan bersifat terbuka untuk umum. Di sini orang bertanya ‘mengapa’ secara lebih ngotot dan secara lebih konsisten, tanpa begitu saja menerima sesuatu… Pergerakan Deep Ecology berusaha mengklarifikasi asumsi-asumsi yang paling fundamental yang melatari pendekatan ekonomis kita, dari perspektif prioritas nilai-nilai, filsafat, dan agama. Dalam pergerakan dangkal, pembicaraan sudah mandek jauh sebelum tahap ini tercapai. Makanya, pergerakan Deep Ecology adalah ‘pergerakan ekologis yang bertanya secara lebih mendalam.’… Keluhan utama tentang ekologi dangkal bukanlah bahwa ia telah merumuskan argumennya secara jelas tetapi salah atas dasar-dasar yang bersifat filsafati atau religius. Daripada itu, masalahnya adalah bahwa tidak terdapat kedalaman di situ – bahkan tidak ada sama sekali – dalam hal dasar-dasar filsafati atau agamawi yang membimbing.

Deep Ecology menolak gambaran ‘manusia di dalam lingkungan hidup’. Gambaran yang dirangkul Naess disebutnya ‘beterkaitan dan medan-lengkap (relational and total field).’ Walaupun terdengar rada teknis, maksud umum kata-kata ini barangkali jelas, yaitu, sebuah keterkaitan seluruh makhluk dengan seluruh makhluk yang lain. Kesaling-terkaitan menyeluruh ini adalah juga inti definisi ilmu ekologi, sehingga pergerakannya tepat disebut Deep Ecology. Namun, lanjut Naess (1973: 99), yang patut diprioritaskan bukan ilmu ekologinya tetapi aspek filsafatinya:

Sejauh pergerakan-pergerakan ekologis layak diperhatikan, maka pergerakan tersebut bersifat eko-filsafati lebih daripada ekologis. Ekologi adalah ilmu yang terbatas, yang menggunakan metode-metode ilmiah. Filsafat adalah forum perdebatan yang paling menyeluruh mengenai hal-hal fundamental, yang deskriptif maupun yang preskriptif, dan filsafat politiklah salah satu cabangnya. Dengan istilah ekosofi [istilah Naess saat itu untuk yang kemudian disebut eko-filsafat] saya maksudkan filsafat keserasian ekologis atau keseimbangan.

Dasar-dasar filsafati yang mengilhami pergerakan Deep Ecology bagi Naess bukanlah sesuatu yang dikembangkan lewat logika dingin melulu. Posisi filsafati ini lahir dari sebuah pengalaman Diri yang jauh lebih luas daripada konsep Freud atau Kant. Ia menyebutnya: Diri yang Ekologis (the ecological self). Naess menulis (Fox 1990: 230):

Saya di sini cukup menawarkan satu kalimat saja yang menyerupai definisi diri ekologis. Diri ekologis seseorang adalah apa saja yang dirangkul orang itu demikian erat hingga ia beridentifikasi dengannya (The ecological self of a person is that with which this person identifies). Kalimat kunci ini (istilah lebih tepat daripada definisi) mengenai ‘Diri’ memindahkan beban klarifikasi dari istilah ‘Diri’ kepada ‘Identifikasi,’ atau lebih tepat kepada ‘proses identifikasi’… Setiap makhluk hidup terikat makhluk lain secara mesra, dan dari kemesraan ini muncullah kemampuan untuk beridentifikasi, dan konsekwensi alamiahnya yaitu praktek yang menolak kekerasan… Kinilah saatnya untuk berbagi dengan seluruh kehidupan di bumi kita yang sedang disakiti melalui identifikasi yang semakin dalam pada segala macam bentuk hidup, dengan satuan-satuan lebih besar, dengan ekosistem, dengan Gaia, yaitu bumi kita yang menakjubkan dan yang tua.

Konsep Diri yang dikumandangkan Naess bersifat psikologis. Diri kita dikembangkan melalui proses pendewasaan di mana orang berusaha keluar dari Dirinya yang terperangkap dalam ‘kulit’, hingga jiwa meluas. Sekali lagi Naess menerangkannya secara indah (Fox 1990: 230-231):

Bagaimana kita mengembangkan Diri yang lebih luas?... Diri saya adalah seluas keseluruhan identifikasi-identifikasi kita. Atau secara lebih singkat: Diri kita adalah apa saja yang dirangkul hingga saya beridentifikasi dengannya. Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana kita dapat memperluas identifikasi?

Pewujudan Diri (Self-realisation) tak dapat berkembang jauh tanpa berbagi kebahagiaan serta kesedihan insan lain, atau secara lebih mendasar lagi, tanpa mengembangkan Diri anak kecil yang sempit hingga menjadi struktur Diri yang menyeluruh yang merangkul setiap insan manusiawi. Pergerakan ekologi [dalam] – sama dengan banyak pergerakan lain yang lebih dahulu – maju lagi selangkah dengan meminta pengembangan demikian rupa sehingga membuahkan identifikasi mendalam dengan setiap insan hidup baik manusia maupun non-manusia….

Pemandangan ekosofis dapat dikembangkan melalui proses identifikasi demikian mendalam sehingga Diri kita sendiri tak lagi cukup dibatasi oleh Ego pribadi atau oleh organisme yang satu ini. Daripada itu, kita merasa diri telah menjadi bagian sungguh-sungguh dari seluruh kehidupan… Kita tidak berada ‘di luar’ alam, dan dengan demikian kita tak dapat memperlakukan alam seenaknya tanpa sekaligus mengubah diri kita sendiri… Kita adalah bagian dari ekosfir, sama mesranya dengan bagian dari masyarakat manusiawi.

Konsep Diri yang tak dibatasi kulit tetapi meluas hingga merangkul seluruhnya memang sering disebut oleh pemikir lain sepanjang sejarah. Di antaranya psikolog seperti Abraham Maslow, Carl Jung, dan William James; penyair seperti Walt Whitman; filsuf seperti Baruch Spinoza; dan di Asia, Mahatma Gandhi, dan penganut Taoisme, Zen, dan Buddhisme Tibet. Spinozalah ilham utama bagi Naess (‘Tentu, Spinozalah pahlawan saya dalam membangun sistem,’ katanya). Oleh karena sudah disebut di lain tempat dalam buku ini maka tak salah kalau di sini pemikiran Spinoza dibuka lagi sedikit.

Spinoza adalah figur raksasa dalam filsafat spekulatif di Eropa. Tulisannya ikut mencetuskan pergerakan Romantis di Jerman pada awal abad ke-19 (Goethe, dan lain-lain). Nietzsche, Marx, Heidegger, Althusser – semua membaca Spinoza secara seksama. Ia ditemukan kembali belum lama ini oleh pemikir politik di Perancis dan Itali seperti Gilles Deleuze, Étienne Balibar, dan Antonio Negri.

Pemikiran Spinoza sarat dengan psikologi. Konsep kunci dalam filsafatnya disebutnya conatus dalam bahasa Latin. Maknanya yaitu ‘upaya,’ seperti dalam kalimat ini: ‘Setiap hal, sejauh mungkin lewat kekuatannya sendiri, berupaya agar tetap berada (Each thing, as far as it can by its own power, tries to stay in existence) (Spinoza and (trans Jonathan Bennett) 2004 [1674]: Kitab III, Dalil 6). Yang dibayangkan di sini adalah sebuah dunia penuh dengan berbagai insan, baik manusia maupun non-manusia, yang semuanya ‘berupaya agar tetap berada.’ Bukan hanya manusia yang ingin tetap survive, binatang juga, pohon juga, bahkan gunung ‘ingin’ tetap bertahan untuk selamanya. Seluruh isi alam ingin tetap bertahan hidup. Dengan gambaran ini alam tiba-tiba dirasakan tak lagi lembam melainkan aktif berupaya melestarikan diri.

Lagipula, segala sesuatu dalam alam terkait satu dengan yang lain. Spinoza melihat keseluruhan itu menjadi satu, karena pada dasarnya ‘bahan’ (substansi) yang melatari kenyataan adalah satu saja. Semuanya terbuat dari bahan yang sama, yang mengandung baik ciri jasmani maupun rohani secara tak terpisahkan. Realitas alam semesta ini adalah sebuah kesatuan tak terhingga besar dan mahakuasa, sehingga dapat kita sebut Tuhan, atau Alam. Bagi Spinoza, kedua istilah ini - Tuhan dan Alam - memiliki makna yang identik. Spinoza tidak mempercayai keberadaan Tuhan di luar (atau di atas) Alam. Ia meyakini Alam bersifat tak terhingga dan mencakup segala sesuatu yang ada. Mustahillah membayangkan adanya sesuatu di luar apa saja yang ada, kata Spinoza.

Kesatuan tak terpisahkan ini menyiratkan etika tersendiri. Filsuf Inggeris Bertrand Russell (pengagum Spinoza) menulis: ‘Pelestarian diri berubah sifatnya ketika kita menyadari bahwa apa yang nyata dan positif di dalam diri kita justru menyatukan kita dengan keseluruhannya, dan bukanlah apa yang melestarikan keterpisahan di permukaan.’

Naess mempelajari Spinoza secara seksama. Ia mengusulkan bahwa istilah Latin dalam Spinoza yang biasa diterjemahkan Pelestarian Diri (Self-Preservation) lebih tepat diganti dengan Pewujudan Diri (Self-realisation). Diri kita perlu dikembangkan, perlu diperluas, hingga terwujud sebuah Diri yang mampu mempertahankan keberadaannya bersama dengan segala insan lain di dunia ini. Di mana Pelestarian menyiratkan upaya mempertahankan sesuatu yang sudah ada, Pewujudan mengarah kepada pengembangan menuju kondisi yang lebih sempurna, lebih luas. Menurut Naess, filsafat Spinoza menunjuk kepada upaya mewujudkan identifikasi Diri yang seluas-luasnya. Dan proses pewujudan ini berlangsung di dunia ini, bukan di dunia akhirat. Diri kita berada dalam sebuah Alam yang mencakup segala sesuatu yang ada sekarang juga (sebab, sekali lagi, tidak ada Ketuhanan di luar Alam, bagi Spinoza dan Naess). Maka nilai etis yang paling mendasar adalah Pewujudan Diri, mengupayakan peluasan Diri yang seluas-luasnya di dunia ini.

Identifikasi sedalam ini membuahkan rasa bahagia (laetitia dalam bahasa Latin) dan cinta (amor). Spinoza ratusan kali menggunakan kedua istilah ini. Dua-duanya menandakan kekuatan seorang Diri yang besar untuk merangkul insan lain secara positif hingga semua dapat bertahan hidup secara bersamaan. Kerjasama dengan insan lain demi pelestarian keseluruhannya oleh Naess disebut tindakan yang indah (a beautiful act). Beda dengan Kant, yang mencurigai tindakan spontan yang keluar dari hasrat (lihat atas), Naess justru menghargai tindakan spontan yang dilahirkan hasrat dalam, asal hasrat tersebut berakar dalam Diri yang telah wujud secara luas.* Naess menulis (Fox 1990: 217):

Kepedulian mengalir secara alamiah jika ‘diri’ telah diperluas dan diperdalam demikian rupa hingga tiap upaya perlindungan Alam bebas dirasakan dan dipikirkan sebagai upaya perlindungan bagi diri kita… Kita tidak butuh moralitas untuk memaksa kita bernapas… demikian juga, apabila ‘diri’ anda dalam arti yang luas merangkul insan lain, anda tidak butuh pidato moral untuk mempedulikannya.. Anda akan mempedulikan diri tanpa merasakan tekanan moral untuk melakukannya – asal anda tidak mengidap sejenis penyakit saraf di mana anda cenderung merusak diri anda sendiri atau membenci diri sendiri.

Eko-Filsafat di Asia

Kinilah saatnya kita singgah di dua aliran kepercayaan di Asia, yang dua-duanya memperlihatkan kemiripan dengan dasar-dasar pemikiran di atas.

Pertama, sebuah aliran ekologis dalam agama Hindu (Haberman 2017). Bhakti dalam agama Hindu adalah praktek pengabdian kepada yang ilahi (tak jauh dari maknanya dalam Bahasa Indonesia). Buku-buku yang menerangkan ajaran bhakti banyak mengutip kitab besar Bhagawadgita. Sejumlah aktivis ekologis di India menggunakan unsur-unsur bhakti sebagai motivasi bagi pengabdiannya kepada lingkungan hidup. David Haberman menerangkannya dengan menggunakan empat istilah Sanskerta, yang saling terkait, dan yang bergerak dari kebesaran alam semesta menuju pengabdian manusia yang praktis di dalamnya.

Istilah pertama adalah sarvatma-bhava (atau sarvatmabhava). Ini adalah keilahian kosmos pada tingkat yang paling menyeluruh, yang dianggap sama dengan tubuh dewa Krishna. Banyak aktivisme demi lingkungan hidup di India dihidupi oleh keyakinan bahwa alam bersifat ilahi dan karena itu patut dipuja dalam bentuk bhakti. Keilahian yang dianggap berbentuk badan jasmani mencerminkan pandangan yang sangat positif terhadap dunia ini. Sarvatma-bhava menunjuk kepada keesaan fundamental dalam seluruh kosmos, yang kadang dinamakan Atman, kadang Brahman. Dalam hal ini, tradisi bhakti dalam agama Hindu agak berbeda dengan tradisi pertapaan Hindu, yang menganggap dunia ini maya belaka dan tidak perlu dipedulikan. (Catat: sarvatma-bhava rupanya tak jauh dari keyakinan Spinoza bahwa istilah Alam dan Tuhan – Natura dan Deus dalam bahasa Latin – memiliki makna yang sama. Bagi Spinoza pun alam yang sekarang ini bersifat ilahi.)

Istilah kedua adalah svarupa. Ini menandakan keilahian unsur-unsur alamiah yang konkrit, seperti sungai, batu, gunung, pohon, hutan, dan juga saya sendiri. Svarupa adalah obyek konkrit yang menikmati bhakti dalam makna ekologis. (Catat: ‘Saya’ yang menjadi bagian dari unsur-unsur alamiah nampaknya mirip dengan kesatuan manusia dengan alam dalam keyakinan Naess. Pun, dua-duanya yakin bahwa unsur seperti pohon pada dasarnya memiliki nilai dan makna yang sama dengan manusia.)

Istilah ketiga adalah seva. Seva adalah tindakan penuh cinta kepada svarupa, yaitu kepada obyek-obyek alamiah seperti sungai dan pohon. Seva sudah lama berarti tindakan kebaikan demi pihak lain, dan kini semakin sering dipakai di India untuk menandakan aktivisme demi lingkungan hidup sendiri. Seorang laki-laki muda ketika berdoa bagi sungai yang kotor kena polusi berkata kepada peneliti Haberman: ‘Orang yang belum menyadari svarupa telah mengotori sungai. Jika kita dapat membuka mata orang agar melihat dewi dalam sungai, mereka akan memujanya dan tidak lagi mengotorinya.’ Tindakan penuh cinta kepada obyek tertentu pasti akan menimbulkan perasaan cinta juga; perasaan ini akan melahirkan tindakan penuh cinta baru, dan seterusnya. ‘Cinta adalah kunci bagi keberlanjutan,’ kata seorang eko-teolog Hindu di India.

Dan yang keempat adalah sambandha. Ini adalah hasil yang diharapkan dari tindakan kebaikan (seva), dalam bentuk hubungan yang lebih mesra antara unsur-unsur alamiah (svarupa). ‘Ketika saya menatapi muka dewi pada pohon ini,’ kata seorang ibu yang memuja pohon mimba di tepi sungai, ‘saya merasa hubungan yang kuat (sambandha) dengan pohon ini.’

Hubungan yang semakin baik antara pelbagai svarupa akhirnya meluas kepada seluruh kosmos, yaitu dikaitkan dengan tubuh Krishna, sarvatma-bhava. Dengan demikian bhakti telah membuahkan siklus kesempurnaan, yang mengaitkan kesadaran saya akan hal-hal konkrit dengan kosmos yang ilahi lewat tindakan penuh cinta. (Catat: Gambaran ini rasanya tidak jauh berbeda dengan kebahagiaan yang lahir dari ‘tindakan indah’ a la Naess ketika Diri yang telah wujud berupaya mempedulikan unsur alamiah, di mana unsur itu dianggap bagian diri sendiri.)

Aliran kedua yang ingin dicatat di sini adalah sejumlah tafsiran Islamiah yang relevan untuk krisis ekologis. Tafsiran ini ditarik ke permukaan sejak sebuah tulisan kritis dari sejarawan Lynn White pada tahun 1960an (White 1967). White menyalahkan Kekristenan karena telah memungkinkan lahirnya ilmu alam dan teknologi yang ‘menguasai’ alam. Agama Kristen dianggap bersalah karena telah membenarkan pengrusakan alam. Makalah White banyak sekali dibahas baik di kalangan Kristen di Eropa maupun kalangan Yahudi dan Islam. Dari diskusi ini muncullah pemikiran teologis baru, yang berusaha menafsirkan kembali pengajaran lama, atau mengangkat kembali pengajaran yang telah dilupakan, agar mendukung etika lingkungan hidup yang lebih ‘mendalam’ (Gottlieb 2006).

Sebagian tafsiran Islam yang muncul sebagai akibat dari diskusi ini cenderung mereproduksi etika kewajiban. Ajaran khilafa barangkali salah satunya. Di sini manusia ditempatkan sebagai khalifah yang memegang tanggung jawab untuk mengurus dan mengelola alam sambil menjaga keseimbangan. Etika kewajiban sama sekali tidak salah, tetapi di atas telah dikaitkan dengan konsep Diri yang atomistik. Di situ kewajiban dirasakan sebagai beban, yang sering dianjurkan tetapi sering pula dihindari. (Ada ajaran sejenis dalam agama Kristen, yang disebut stewardship – kepengurusan).

Kebalikannya, konsep Diri yang lebih ekspansif, juga ada dalam ajaran Islam, terutama yang bernuansa Sufi (tasawuf). Pada saat ini hal itu mulai digali kembali oleh kalangan aktivis lingkungan hidup.

Filsuf Iran Seyyed H. Nasr mengutip konsep muhit (Nasr 1991: 35), yang berarti lingkungan hidup dan sekaligus berarti Allah:

Dalam arti yang lebih mendalam, dapat diklaim bahwa menurut perspektif Islam, Allah Sendiri adalah lingkungan hidup paling mendasar yang mengelilingi dan meliputi manusia. Penting sekali bahwa dalam Al-Quran Allah disebut Maha Meliputi (Muhit), seperti dalam ayat, ‘Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu’ (IV.126); dan bahwa istilah muhit juga berarti lingkungan hidup. Dalam kenyataan, manusia tenggelam di dalam Muhit Ilahi dan ia cuma tidak menyadarinya karena kelupaan dan kelalaian sendiri (ghaflah), yang adalah dosa mendasar pada jiwa yang perlu diatasi lewat pengingatan (zikir). Mengingat Allah adalah melihatNya di mana-mana dan mengalami kenyataanNya sebagai al-Muhit. Krisis lingkungan hidup sebenarnya dapat dikatakan disebabkan oleh penolakan manusia untuk melihat Allah sebagai ‘Lingkungan Hidup’ yang nyata yang meliputi manusia dan memelihara hidupnya.

Konsep lain yang kini semakin sarat makna ekologis adalah tawhid, Keesaan. Abdul Aziz Said dan Nathan C. Funk menulis dalam Islam and Ecology (Foltz, Denny, and Baharuddin 2003: 178-9):

Terakhir, dan yang paling mendasar, ada kebutuhan untuk menghidupkan kembali paham Islamiah mengenai pentingnya makna rohani dari alam. Tawhid dapat didekati sebagai ekologi rohani yang menyatukan kembali rupa kemajemukan hal-hal ciptaan di dalam Keesaan Keberadaan. Rekonsiliasi ini oleh Shaykh al-Akbar (sama dengan Doktor Maximus dalam bahasa Latin) Ibn al-'Arabi disebut sebagai ‘Nafas Al-Rahman’. Ibn al-'Arabi menggambarkan pewujudan dari kemajemukan ciptaan dan penyerapan kembali di dalam Singularitas Primordial sebagai Yang Mahakuasa sedang bernafas. Dipandang dari perspektif mikrokosmos, Allah mewujudkan Diri di dalam diri kita.

Ada tradisi Sufi bahwa di Alam bukan hanya manusia yang berhubungan dengan Keilahian, tetapi binatang, tanaman, bahkan benda tidak hidup sekalipun. Keyakinan ini mencerminkan konsep tawhid yang sangat inklusif. Hierarki konvensional, dengan manusia di puncaknya, diperlunak dalam tradisi ini. Sebagaimana dikatakan oleh penyair Persia abad ke-13 Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī dalam kitab besarnya Masnawi: 'Manusia tidak percaya dengan pemuliaan yang diungkapkan hal-hal yang tidak hidup, namun hal-hal yang tidak hidup itu adalah Guru dalam melaksanakan ibadah’ (Rūmī and (trans Reynold Alleyne Nicholson) 1926-1934: 3.1497). Di pihak lain, ia menulis, 'Seluruh makhluk ciptaan memuliakan Tuhan, namun pemuliaan yang wajib tidak menerima gaji’ (Rūmī and (trans Reynold Alleyne Nicholson) 1926-1934: 3.3289, Foltz 2006).

Terakhir, sejumlah pemikir Indonesia termasuk Ahmad Nashih Luthfi (Luthfi, Batubara, and Zubairi 2022) mengembangkan konsep ‘solidaritas kosmik’ (Ukhuwwah Kauniyyah) untuk menggarisbawahi bahwa Keesaan dalam ajaran Islam tidak berhenti dengan keesaan antara sesama manusia tetapi mencakup juga solidaritas dengan seluruh isi alam. Mereka mengutip sejumlah hadits yang membayangkan bumi sebagai juru kabar (mukhbirotun) kepada Allah atas perilaku manusia. Bahkan ada hadits yang menggambarkan bumi sebagai masjid. Seluruh isi bumi ikut bertasbih kepada Allah: ‘Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan’ (QS. An-Nur Ayat 41).

Kesimpulan

Belum banyak bukti bahwa dasar-dasar filsafati yang dibicarakan bab ini telah nyata-nyata mengubah haluan dunia. India yang sebagian Hindu, Indonesia yang sebagian Islam, dan dunia Barat yang sebagian mengagumi Arne Naess tetap lebih mengutamakan kenyamanan psikologis Diri manusia yang sempit. Ekologi Dangkal (yang oleh Naess kemudian disebut Ekologi Reformasi) tetap kuat. Para penganut eko-filsafat Deep Ecology yang dibicarakan di sini merasa diri beranggotakan sebuah pergerakan yang melawan status quo. Mereka merasa bahagia dalam aktivismenya. Aktivis yang paling giat dalam pergerakan politis, lewat Partai Hijau dll, kebanyakan terilhami secara pribadi oleh Deep Ecology. Harapan mereka, suatu saat kelak, penemuan intelektual yang membuat mereka bahagia akan dirasakan juga oleh sesamanya. Saat itulah peradaban ekologis yang mereka idamkan telah tercapai.

* Peletak dasar ‘eko-psikologi’, Theodore Roszak (1992: 290) menafsirkan kembali konsep Id dari Freud hingga mendekati konsep Diri yang luas seperti dalam filsafat Naess. Ia menulis:

Dipandang dari perspektif ini, yang dipertahankan oleh Id selama proses pendewasaan yang panjang lewat evolusi adalah harta kearifan ekologis kita. Id tampak sulit diatur karena ia sejak dulu menentang segala macam budaya sosial yang membahayakan keserasian antara yang manusiawi dengan yang alamiah; kebiasaannya ‘mementingkan diri sendiri’ yang rada buas merupakan keterikatan antara jiwa dan alam semesta yang telah terbentuk oleh prasyarat-prasyarat bentukan Ledakan Dahsyat. Terdapat semacam ‘kebijaksanaan jasmani,’ yang lebih memahami kesehatan daripada ilmu kedokteran manapun. Demikian pula, barangkali, terdapat semacam ‘kebijaksanaan Id’ yang lebih memahami kewarasan daripa ilmu psikiatri di manapun yang tolok ukur ‘kenormalannya’ tak lain telah ditentukan oleh kebutuhan sosial yang di-salahpahami.

Bacaan lanjutan

Selain tulisan yang agak abstrak/ filsafati, Deep Ecology juga mengenal literatur yang sifatnya jauh lebih pribadi dan yang berupaya melibatkan kehidupan emosional secara langsung. Dua penulis yang menurut saya sangat menarik dalam hal ini adalah Joanna Macy dan Freya Mathews.

Joanna Macy (bersama John Seed) sudah berpuluh-puluh tahun membimbing sesi perenungan dengan orang yang ingin hidup lebih dekat dengan alam. Sesi bernuansa ritual dan pertapaan ini ia namakan Dewan-Dewan Segala Insan (Councils of All Being), The Work that Reconnects. Video ini (di samping sejumlah lain) menjelaskan pemikirannya secara singkat.

Freya Mathews dalam tulisannya – didaftarkan di websitenya - mengaitkan sejarah filsafat dengan tantangan hidup secara ekologis di tengah krisis iklim, misalnya dalam tiga buku ini: (Mathews 2003, 2005, 2021 [1991]).

Untuk penelitian lebih jauh
  • Barangkali sejumlah pernyataan dalam bab ini akan dirasakan sulit/ kontroversial. Pilihlah salah satunya yang menurut Anda perlu diuji. Bentuklah kelompok diskusi untuk membahasnya bersama: Bagaimanakah cara terbaik untuk menguji kebenaran sebuah pernyataan etis? Apakah ada pengalaman pribadi yang dapat diceritakan dalam konteks ini? Di manakah peluang untuk melanjutkan usaha eksploratif bersama ke arah Deep Ecology?

Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.

[Modifikasi terakhir: 12/12/2024]

Acuan

Carson, Rachel. 1994 [orig 1962]. Silent Spring. Boston: Houghton Mifflin.

Carson, Rachel, and (terj Buahy Kusworo). 1990 [asli Inggeris 1962]. Musim bunga yang bisu. Jakarta: Yayasan Obor Indodnesia.

Devall, Bill, and George Sessions. 1985. Deep ecology: Living as if Nature Mattered. Salt Lake City, Utah: Gibbs M Smith.

Foltz, Richard C. 2006. ‘Islam.’ In The Oxford Handbook of Religion and Ecology, edited by Roger S. Gottlieb, 207–219. Oxford and New York: Oxford University Press.

Foltz, Richard C., Frederick M. Denny, and Azizan Baharuddin, eds. 2003. Islam and Ecology: A Bestowed Trust. Cambridge, MA: Center for the Study of World Religions, Harvard Divinity School.

Fox, Warwick. 1990. Toward a transpersonal ecology: developing new foundations for environmentalism. London: Shambhala.

Gottlieb, Roger S., ed. 2006. The Oxford handbook of religion and ecology. Oxford and New York: Oxford University Press.

Haberman, David L. 2017. ‘Hinduism, Devotional love of the world.’ In Routledge Handbook of Religion and Ecology, edited by Willis Jenkins, Mary Evelyn Tucker and John Grim. London and New York: Routledge.

Luthfi, Ahmad Nashih, Bosman Batubara, and A. Dardiri Zubairi. 2022. ‘Ukhuwwah Kauniyyah dan Sosioalam: Menuju Pluralitas Epistemologi di Era Capitalocene.’ Konferensi Sejarah Lingkungan, November.

Macy, Joanna. 1991. World as lover, world as self. Berkeley, Calif.: Parallax Press.

Mathews, Freya. 2003. For love of matter: a contemporary panpsychism. Albany: SUNY Press.

Mathews, Freya. 2005. Reinhabiting reality: towards a recovery of culture: SUNY Press.

Mathews, Freya. 2021 [1991]. The ecological self. London: Routledge.

Mathews, Freya. 2023. ‘Ecophilosophy as a way of life.’ The Trumpeter 39 (1).

Meadows, Donella H., et al, and (terj Masri Maris). 1980 [asli 1972]. Batas-batas pertumbuhan: sebuah laporan untuk Proyek The Club of Rome mengenai bahaya yang mengancam umat manusia. Jakarta: Gramedia.

Meadows, Donella H., Dennis L. Meadows, Jørgen Randers, and William W. Behrens. 1972. The limits to growth: a report for The Club of Rome's Project on the Predicament of Mankind. New York: Universe Books.

Naess, Arne. 1973. ‘The shallow and the deep, long-range ecology movement: a summary.’ Inquiry 16:95–100. doi: 10.1080/00201747308601682.

Nasr, Seyyed H. 1991. ‘Islam and environmental crisis.’ the islamic quarterly 34 (4):217-34.

Roszak, Theodore. 1992. The voice of the earth: an exploration of ecopsychology. New York: Touchstone Books.

Rūmī, Jalāl al-Dīn, and (trans Reynold Alleyne Nicholson). 1926-1934. The Mathnawi of Jalalu'ddin Rumi. 6 in 3 vols. Vol. 2, E J W Gibb Memorial Trust series. London: Luzac.

Spinoza, and (trans Jonathan Bennett). 2004 [1674]. Ethics.

Taylor, Miriam. 2023. ‘The ecological self: narratives for changing times.’ British Gestalt Journal 32 (1):39-48.

White, Jr., Lynn. 1967. ‘The historical roots of our ecologic crisis.’ Science 155 (3767):1203–1207.

Download dan baca pdf artikel ini disini.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis