7b. Kelimpahan setelah kapitalisme

Pierre-Auguste Renoir, Luncheon of the Boating Party (1881)
Wacana degrowth

Dengan menganjurkan pembagian yang lebih adil atas sumberdaya yang ada, dan perluasan terhadap barang-barang yang dimiliki bersama (public goods), maka degrowth menuntut kelimpahan, bukan kekurangan.

(Hickel 2019)

Gerry van Klinken

Degrowth adalah sebuah hipotese provokatif, sebuah impian aspiratif, sebuah alternatif inspiratif. Degrowth adalah undangan untuk berbicara secara demokratis tentang masa depan yang lebih baik. Bukan sebuah 'program' yang dipreteli ahli ekonomi berdasarkan statistik.

Diskusi publik degrowth bermaksud mempertanyakan banyak hal dalam wacana umum di bidang ekonomis. Terutama keyakinan bahwa pertumbuhan PDB identik dengan meningkatnya kesejahteraan. Dan diskusi tersebut ingin merumuskan sebuah visi tentang dunia yang lebih adil, tanpa pertumbuhan PDB – alias tanpa kapitalisme. Dengan kata lain: degrowth ingin memicu sebuah diskusi publik yang bebas, kritis, humanis, bahkan penuh humor.

Keadilan baik domestik maupun internasional adalah tolok ukur kunci dalam definisi degrowth yang ditawarkan oleh Schmelzer et al (2022: 4):

Degrowth dapat didefinisikan sebagai peralihan demokratis menuju masyarakat yang – demi keadilan lingkungan hidup global – berdasar pada aliran energi dan sumberdaya yang jauh lebih kecil, yang memperdalam demokrasi dan menjamin hidup baik serta keadilan sosial bagi semua, dan yang tidak mengandalkan pertumbuhan tanpa henti.

Wacana degrowth lahir di Utara. Masuk akal, sebab kegiatan ekonomis di sanalah sudah jauh melampaui batas kewajaran ekologis. Tetapi degrowth juga relevan di belahan Selatan. Integrasi global telah mengikat Selatan dengan Utara secara tak terelakkan. Keterikatan itu menggerakkan ekonom degrowth Giorgos Kallis (2018: 180) untuk menulis sebagai berikut:

Konsep degrowth hanya masuk akal dari perspektif Selatan sebagai sebuah upaya untuk mendekonstruksi dan meniadakan di Barat sebuah khayalan Barat yang sudah lama merupakan inti kolonialisme, dan yang dipergunakan oleh elit di Selatan yang Global untuk membenarkan ketidaksetaraan dan untuk melarang alternatif. Maka degrowth membuka ruang pemikiran bagi visi alam semesta serta proyek kehidupan yang alternatif.

Hampir tidak ada yang mempertanyakan konsep pertumbuhan ekonomis. Di negeri saya Australia tidak pernah saya baca di media massa. Apalagi di Indonesia yang belum lama meninggalkan status 'negara berkembang.' Kalaupun disebut, konsepnya ditolak: 'Indonesia tak memiliki banyak pilihan selain untuk tumbuh lebih cepat.' Alasannya tidak sulit dicari. Istilah Pembangunan telah puluhan tahun menangkap harapan bangsa Indonesia bahwa kemiskinan dapat dihilangkan lewat kerja keras, penanaman modal, teknologi: singkat kata, lewat pertumbuhan ekonomis. Bukti suksesnya rumusan itu terlihat dalam mobil yang membanjiri jalan tol dan mbludaknya penumpang di setiap bandara. Degrowth selama ini hampir belum diberikan di bangku kuliah fakultas ekonomi di manapun di dunia, juga tidak di Indonesia. Wikipedia Bahasa Indonesia belum memuat artikel berjudul Degrowth (tetapi konsepnya tidak terlalu jauh dengan Hidup sederhana, Anti-konsumerisme, atau Ekonomi Buddha).

Para filsuf sejak zaman dulu hingga kini selalu mengajar: hidup bahagia tidak mungkin bila berseberangan dengan alam. 'Hiduplah sesuai dengan alam,' demikianlah ajaran kaum Stoik sejak ribuan tahun lalu. Padahal justru hidup sesuai dengan alam selama ini ditolak oleh pemuka kapitalisme global, dengan alasan teknologi membuat ajaran itu kadulawarsa. Ada sesuatu yang palsu pada tingkat yang paling fundamental dalam pemikiran ekonomi konvensional. Degrowth tergerak oleh keinginan untuk membebaskan diri dari andaian palsu; degrowth ingin mencari dasar kebahagiaan yang klop dengan Alam. 

Sudah banyak bukti bahwa pertumbuhan ekonomis pada skala dunia tidak mungkin berlangsung lama secara berkelanjutan. Studi demi studi (misalnya (Rockström et al. 2023, Turner 2008)) membenarkan ramalan yang pertama kali dikemukakan lebih dari 50 tahun lalu oleh ilmuwan Kelompok Roma (Meadows, et al, and (terj Masri Maris) 1980 [asli 1972]): bumi telah menetapkan batas keras pada pertumbuhan ekonomis manusia. Akibat-akibat dari pengabaian terhadap batas keras ini sudah sering dibicarakan dalam buku ini. Kehabisan sumberdaya alam serta kelebihan pencemaran menekan produksi pangan maupun produksi industrial, hingga menimbulkan musibah bagi manusia serta kehidupan lain di muka bumi ini.

Untuk lebih memahami konsep Degrowth, bab ini meniti tiga pertanyaan. Ketiganya lebih merupakan undangan untuk bertukar pikiran bersama mengenai masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan, daripada kuliah normatif. Degrowth terdengar provokatif, dan itu disengaja. Tujuannya, membuat orang berpikir segar. Bukanlah sebuah program, Degrowth adalah sebuah hipotesa yang belum dicoba, sebuah undangan untuk membahasnya bersama.

Ketiga pertanyaan yang memandu diskusi di bawah disaring dari diskusi dalam dua tulisan kunci di bidang ini, masing-masing dari Matthias Schmelzer et al (2022) dan Giorgos Kallis (2018). Bunyinya seperti berikut:

  • Apa itu 'pertumbuhan', dan apa hubungannya dengan kemakmuran? Pertanyaan ini akan dibahas secara historis.
  • Apa maknanya wacana degrowth dalam konteks relasi tak seimbang Utara dengan Selatan? Tersirat di sini pertanyaan yang lebih tajam: Apakah tidak lebih adil Selatan yang miskin dikecualikan dulu?
  • Apa indikasinya bahwa hipotese degrowth tentang 'kemakmuran tanpa kapitalisme' dapat benar-benar diwujudkan?

Diskusi bab ini terfokus pada ekonomi. Bab sebelumnya (Green New Deal) membahas politik global. Bab lain melanjutkan diskusi degrowth dengan mengangkat sebuah imajinasi ideologis yang disebut Ekososialisme.

Konsep pertumbuhan

Unsur penting dalam definisi degrowth Schmelzer et al di atas adalah keraguan mengenai konsep pertumbuhan ekonomis. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi tolok ukur mutlak keberhasilan sebuah ekonomi. Penganut degrowth meragukan manfaat angka ini. Alasan mereka bersifat historis.

'Ekonomi' lama sekali tidak dianggap sebagai makhluk tersendiri, lepas dari struktur sosial yang lain dan lepas dari alam. Istilah Ekonomi dulu menandakan sebuah proses, misalnya bagaimana orang berusaha hidup irit, bukanlah sebuah sistem yang berdiri sendiri. 'Mengukur' ekonomi sebagai sebuah keseluruhan pun dianggap tidak mungkin. Juga dianggap tidak perlu, sebab menurut pemikiran liberal maka kegiatan ekonomis berlangsung di 'pasar bebas' yang tak seorangpun dapat mengendalikannya. Para elit tak ingin menghitung jumlah gaji yang dibayar kepada karyawan, karena angkanya dapat membenarkan klaim kaum sosialis bahwa buruhlah yang menciptakan kesejahteraan negeri. Para pemodal enggan melaporkan kegiatannya karena takut akan dikenakan pajak. Singkat kata, tak banyak motivasi untuk mengukur kegiatan ekonomis.

Pemikiran itu mulai berubah pada tahun 1930an. Revolusi di Rusia, lahirnya fasisme di Jerman dan Itali, Depresi Besar di seluruh dunia, dan kebijakan ekonomis President Roosevelt yang dinamakan New Deal – seluruh perkembangan ini bermuara pada intervensi negara dalam pasar. Setelah pecahnya Perang Dunia II, pemerintahan di mana-mana mulai mengatur produksi di banyak bidang.

Pakar ekonomi di Amerika Serikat dan Britania Raya diminta menyediakan sebuah 'angka' yang dapat meringkas kondisi kesehatan sebuah sistem ekonomis. Tetapi apa yang mau diukur? Salah seorang di antaranya, Simon Kuznets, tidak ingin mengukur pengeluaran pemerintah, sebab 'ekonomi' bagi dia hanya mencakup kegiatan swasta. Ia juga mengusulkan agar angka yang dicari harus mencerminkan kesejahteraan yang diciptakan secara ekonomis. Maka pengeluaran untuk industri militer harus dikurangi dari PDB, karena tak mungkin perang menyejahterakan orang. Namun setelah Perang Dunia II dimulai, pemerintah AS tak ingin menciptakan kesan seolah perang menyusahkan orang. Diputuskan akhirnya bahwa PDB adalah jumlah dari seluruh uang yang bertukar tangan selama proses jual-beli barang atau jasa dalam konteks kegiatan ekonomis formal, lepas dari tujuannya. It berarti tiap kita tebang hutan, PDB naik! Tiap peristiwa cuaca ekstrim, PDB naik. Kerusakan iklim, PDB naik.

Point utama dari sejarah singkat ini adalah: konsep pertumbuhan adalah ide politis, bahkan ideologis. Tidak ada 'fakta ekonomis' yang dapat diukur lepas dari sistem politis yang merumuskannya secara institusional.

Fungsi politis dari angka PDB diperkuat selama Perang Dingin yang menyusul Perang Dunia II. Baik Uni Soviet yang sosialis maupun Amerika Serikat yang kapitalis mengumandangkan pertumbuhan ekonomis sebagai senjata ideologis. Dia yang menunjukkan pertumbuhan paling besar, dialah juga yang telah membuktikan keunggulan sistemnya.

Di dalam negeri pun pertumbuhan PDB di Barat memainkan peran politis. Untuk meredamkan konflik sosial antara elit pemodal dengan kaum buruh, maka muncullah argumen bahwa pertumbuhan PDB akan 'menumbuhkan kue ekonomis,' demikian rupa sehingga baik kapitalis maupun buruh dapat menikmatinya. Angka pertumbuhan PDB diharapkan dapat menghilangkan politik dari wacana umum tentang ekonomi dan memberikannya warna teknis. Di negara berkembangpun, termasuk Indonesia di bawah Orde Baru, angka pertumbuhan PDB membelokkan perhatian publik dari sifat anti-demokratis dan opresif dari penguasa. Bank Dunia dan lembaga internasional lain merumuskan program Pembangunan yang tujuan utamanya adalah memperbesar pertumbuhan PDB, lepas dari aspek sosial dan aspek lingkungan hidup.

Dalam kenyataan, proses pembangungan menyembunyikan pemerasan pada skala raksasa. Secara mendadak, dua pertiga dari penduduk bumi dikategorikan sebagai kaum 'miskin', hingga dijadikan objek program pemerintah. Pembangunan lalu membenarkan pencaplokan tanah yang tadinya mereka miliki secara komunal, dengan hasil bahwa jutaan orang kehilangan akses kepada tanah, hutan, dan sumber air. Orang ini sungguh-sungguh dimiskinkan oleh sebuah proses yang dipromosikan sebagai penyelesaian soal kemiskinan. Sementara proses penumpukan modal oleh oligark dan negara, sebuah proses yang notabene dibiayai kaum buruh dan alam, tersembunyi oleh angka pertumbuhan PDB itu.

Kini, tak seorangpun berani mempertanyakan pertumbuhan di depan publik, takut dicap ekstrim. Padahal, semua orang tahu bahwa secara global pertumbuhan ekonomis (dalam arti PDB) akan berhenti dengan sendirinya pada suatu saat. Mustahillah pertumbuhan tanpa batas di atas bumi terbatas. Pertumbuhan yang biasa dimaksud adalah pertumbuhan majemuk (compound growth), juga disebut pertumbuhan eksponensial. Pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun (seperti dibayangkan dalam kebijakan resmi di balik Wawasan Indonesia Emas 2045), berarti penduakalian dalam waktu 12 tahun, 4x dalam 24 tahun, 8x dalam 36 tahun, 16x dalam 48 tahun. Setelah 100 tahun, ekonomi telah bertumbuh 800x. Setelah 200 tahun, 800.000x, sebuah angka yang sudah tidak dapat dibayangkan lagi. Diterapkan kepada produksi apa saja – katakanlah sepeda - angka setelah 200 tahun itu berarti seluruh permukaan bumi ditutupi sepeda. Tidak mungkin.

Ada harapan di banyak kalangan, memang, soal di atas dapat diatasi. Ekonomi dapat dipisahkan dari pertumbuhan pemakaian sumberdaya alam. Pemisahan ini disebut 'decoupling.' Diharapkan oleh mereka bahwa teknologi baru bersama dengan inovasi efisiensi akan memungkinkan pertumbuhan ekonomis tanpa kerusakan ekologis.

Masalahnya, decoupling harus terjadi tidak hanya di bidang pemakaian bahan bakar fosil, tetapi juga di bidang biodiversitas, tata guna lahan, dan polusi plastik. Ternyata ada sejumlah negara yang menunjukkan decoupling semacam itu, tetapi gejalanya hanya berlangsung sementara, misalnya selama pandemi Covid-19. Setelah itu hilang lagi. Sebuah studi berdasarkan data historis (Hickel and Kallis 2020) berkesimpulan:

(1) tidak ada bukti empiris bahwa decoupling mutlak dari pemakaian sumberdaya dapat dicapai pada skala global dengan latarbelakang pertumbuhan ekonomis, dan (2) sangat kecil kemungkinan decoupling mutlak dari emisi karbon dapat dicapai pada kecepatan yang cukup untuk menghindari pemanasan global sebesar 1.5°C atau 2°C, bahkan di bawah kondisi kebijakan yang optimis.

Dalam suasana tidak menentu ini, wacana degrowth mengusulkan langkah yang positif: Mari kita sebagai umat manusia mulai merencanakan perhentian pertumbuhan ekonomis dari sekarang, sehingga hasilnya tak terlalu merugikan baik manusia yang nanti akan lahir, maupun alam. Bagaimanapun, pertumbuhan ekonomis terbukti tidak menambah kebahagiaan orang. Maka tidak bertumbuhnya sebuah ekonomi juga tak harus menjadi bencana.

Ekonom Amerika Herman Daly menghabiskan seluruh karirnya membuktikan hal terakhir itu. Ia suka berkata:

Gagalnya 'ekonomi pertumbuhan' untuk bertumbuh adalah bencana. Sedangkan sebuah 'ekonomi kondisi mantap' (steady-state economy) memang tidak bertumbuh, dan itulah bukan bencana. Seperti perbedaan antara pesawat terbang dengan helikopter. Pesawat terbang dirancang untuk terus bergerak ke depan. Pesawat yang harus berhenti pasti anjlok. Helikopter sebaliknya dirancang untuk mantap di satu tempat, seperti burung kolibri.

Jadi, kapan dan bagaimana pertumbuhan global itu nanti berhenti? Tak seorangpun dapat meramalkannya. Apakah karena musibah ekologis? Perang? Atau karena diputuskan bersama oleh umat manusia? Yang terakhir ini terdengar paling menarik, dan itu memang yang seumur hidup diperjuangkan oleh Herman Daly. Tetapi apakah kita mau? Pada tahun 1975 perintis ekonomi ekologis Nicholas Georgescu-Roegen mengaku ragu. Ia berspekulasi, setengah berkelakar, bahwa manusia mungkin saja tak mampu menggunakan nalarnya sendiri untuk menghindari musibah:

Apakah umat manusia bersedia mendengarkan program apapun yang berimplikasi penyempitan kecanduannya pada kenyamanan material dari luar tubuhnya sendiri (exosomatic)? Mungkin saja, nasib manusia adalah kehidupan yang singkat tapi berapi-api, mengasyikkan dan mewah, daripada keberadaan yang panjang, tanpa banyak peristiwa, kayak tumbuhan. Biarkan saja spesies lain – amoeba misalnya – yang tidak merasakan ambisi spiritual, mewarisi bumi yang tetap dihujani energi surya sebanyak-banyaknya. (Georgescu-Roegen 1975) 

Utara-Selatan

Masalah ekologis yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomis sebenarnya adalah masalah Utara, bukan masalah Selatan. Perintis degrowth E. F. Schumacher, penasihat Dewan Batubara di Britania Raya, dan pengarang Small is Beautiful (2011 [1973]), pernah berkata: 'Penumpang bermasalah dalam Pesawat Ruang Angkasa Bumi adalah penumpang kelas 1, lain tak ada.' ('The problem passengers on Spaceship Earth are the first-class passengers and no one else.') Penduduk negara maju tidak hanya memboroskan jauh lebih banyak sumberdaya alam daripada penduduk negara berkembang, mereka telah melakukannya selama waktu yang jauh lebih lama. Kehancuran iklim yang saat ini terasa, kehabisan spesies, dan kerusakan alam yang lain, terutama sekali disebabkan oleh Eropa Barat dan Amerika Serikat. Maka seruan degrowth secara tepat ditujukan terutama sekali kepada negara paling kaya di dunia. Pengamat sosial Kanada Naomi Klein, misalnya, menulis:

Pokoknya, sebuah krisis ekologis yang akarnya terletak dalam kelebihan konsumsi sumberdaya alam harus ditangani tidak hanya melalui perbaikan efisiensi dalam ekonomi-ekonomi kita, tetapi juga melalui pengurangan bahan material yang dikonsumi oleh 20 persen penduduk planet ini yang paling kaya-raya. (Dikutip dalam (Schmelzer, Vansintjan, and Vetter 2022: 4), lihat juga (Hickel 2021).

Lalu apa hubungannya dengan negara berkembang? Masalahnya adalah: Ekonomi di Selatan telah menjadi bagian dari ekonomi global yang pertama diciptakan oleh Utara. Negara maju telah menyeret seluruh dunia ke dalam jaringan rakusnya.

Gaya hidup mewah di Utara lahir dari sejarah imperialisme yang panjang, yang masih berlangsung hingga kini dalam bentuk neo-kolonial. Belanda pertama datang di Indonesia dengan hanya satu tujuan: mendapatkan sumberdaya alam yang murah, dari rempah-rempah hingga tembakau, dari tebu hingga kopi, dari karet hingga minyak. Aliran sumberdaya dari Selatan ke Utara tetap berlangsung setelah kemerdekaan, ketika manufaktur barang seperti sepatu dan peralatan elektronik dipindahkan ke negara bergaji rendah.

Ongkos pengrusakan alam dan pemerasan kaum buruh tetap dibebankan pada Selatan. Negara miskin yang tidak mampu memikul beban itu dihukum dengan nilai rente pinjaman Bank Dunia yang lebih tinggi daripada rente yang dibayar di negara kaya. Apabila mereka kemudian tak mampu memenuhi syarat pinjaman maka lembaga keuangan internasional memaksakan 'penghematan' (austerity) yang memotong drastis jasa publik seperti kesehatan dan pendidikan.

Para konsumen di Utara seringkali bahkan tidak sadar dari mana datangnya barang yang mereka nikmati, siapa yang menghasilkannya, dan di bawah kondisi seperti apa. Dengan demikian gaya hidup konsumeristik di Utara dipertahankan lewat sebuah sistem yang sebenarnya penuh ketidaksetaraan, kekerasan dan kerusakan alam. Tetapi hal itu tidak kentara dari perspektif keseharian di Utara, di mana orang Belanda membanggakan bunga tulipnya dan kincir anginnya tanpa memikirkan masalah di negeri lain.

Sementara itu, pemikiran yang sama telah diambil-alih dan dikembangkan oleh para elit di Selatan, hingga betul-betul menjadi hegemonik di negerinya sendiri.

Seperti ditekankan oleh Giorgos Kallis di atas, wacana degrowth di Selatan adalah peluang untuk membalikkan diskursus pembangunan dan menunjukkan sisi gelapnya – sisi yang kejam, yang imperialistik, yang berkekerasan, yang bertabrakan dengan Ibu Bumi. Dan peluang untuk menuntut ganti rugi atas segala kehancuran yang telah disebabkannya, baik terhadap manusia yang diperbudak maupun alam yang diperkosa. Seperti ditekankan oleh Schmelzer et al di bawah, degrowth adalah pada dasarnya sebuah agenda keadilan lingkungan.

Kelimpahan radikal

Pertanyaan ketiga bab ini menyangkut kepraktisannya konsep degrowth. Bila degrowth terjadi di Utara – secara sengaja atau tidak sengaja – maka hal itu otomatis akan mengurangi juga pertumbuhan ekonomi di Selatan. Di situlah relevansi utama wacana degrowth untuk negara belahan Selatan. Namun, kata penganut degrowth, daripada sebuah musibah, pengurangan tersebut dapat dimanfaatkan untuk meluruskan kegiatan ekonomis dengan menghilangkan ketidakadilan historis di dalamnya. Cita-cita Wawasan Indonesia Emas 2045 bahkan bertambah berharga: mewujudkan negara berdaulat, maju adil dan makmur tanpa ketergantungan kepada negara kaya-imperialis.

Beberapa cara untuk mencapai hasil itu dibicarakan di bagian ini.

Aktivis degrowth Jason Hickel menyebut degrowth 'sebuah teori kelimpahan radikal' (Hickel 2019). Perhatikan pertama-tama istilah 'teori'. Konsep degrowth merupakan sebuah percobaan intelektual. Belum ada masyarakat yang sengaja menjalankan degrowth. Degrowth bukanlah sebuah rencana, bukan juga sebuah kebijakan atau program resmi, melainkan sebuah tujuan untuk masa depan, sebuah pergerakan yang dimotori dari masyarakat, yang hanya dapat berkembang melalui dialog. 'Kelimpahan radikal' melukiskan isi tujuan itu: sebuah kelimpahan yang diciptakan melalui pendistribusian ulang yang demikian menyeluruh sehingga tidak ada yang kurang, tidak ada juga yang hidup manja berfoya-foya. Kelimpahan yang merayakan kebersamaan tanpa membutuhkan barang produksi kapitalis – misalnya sebagaimana dilukiskan oleh Renoir (lihat gambar di atas). Melimpah karena hal-hal yang selama ini dicaplok oleh kaum kapitalis untuk dijual-belikan semuanya dikembalikan menjadi milik bersama komunitas: tanah, air bersih, udara bersih, perumahan, waktu, pangan.

Diskusi singkat di bawah akan menempuh tiga sub-langkah. Yang pertama adalah bertanya: apakah orang biasa dapat menghendaki degrowth? Ataukah degrowth malah ingin 'mengembalikan manusia ke dalam gua mengenakan kulit beruang'? Menurut para pendukungnya, degrowth menawarkan kelimpahan tanpa pertumbuhan, kesejahteraan tanpa kapitalisme. Alternatif yang ditawarkan komunitas degrowth mengandung banyak hal yang dikehendaki banyak orang, juga di negara berkembang. Langkah kedua adalah bertanya: betapa layakkah degrowth? Apakah dapat dilaksanakan, ataukah akan selamanya menjadi mimpi di siang bolong? Langkah ketiga adalah bertanya: apakah degrowth betul-betul dapat dicapai dalam kondisi politis yang nyata (achievable)? Sebab kalau tidak mungkin menjadi kenyataan, percuma saja diskusi ini.

Pada tahun 1974 penulis sci-fi Ursula le Guin menerbitkan novelnya berjudul The Dispossessed (Yang Dirampas) (Le Guin 1994 [1974]). Tokohnya, seorang ahli fisika bernama Shevek, bergerak antara dua planet. Yang satu, Urras, menyerupai Bumi sekarang ini – kapitalis, patriarkal, dan penuh perang. Yang satu lagi adalah kampung asalnya sendiri, bernama Anarres. Planet ini lebih mendekati utopia anarkis dan ekologis. Penduduknya hidup secara damai dan sama rata, perempuan dan laki-laki setingkat, tanpa kapitalisme, dan bersahabat dengan alam. Novel semacam ini memungkinkan pembaca bermimpi tentang masa depan di luar kapitalisme. Degrowth adalah utopia seperti Anarres. Mitos di seputar pertumbuhan PDB tak lagi berkuasa. Pengecutan ekonomi tidak dirasakan sebagai beban tetapi sebagai kemerdekaan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Dari banyak visi penganut degrowth, Schmelzer et al menyaring tiga ciri utama.

  • Degrowth adalah agenda global yang memungkinkan keadilan ekologis. Metabolisme sosial (istilah ini dibahas dalam bab mengenai ekonomi ekologis) dikurangi demikian rupa sehingga gaya hidup manusia di seluruh dunia menjadi berkelanjutan dalam jangka panjang dan dengan cara yang adil di seluruh muka bumi. Transisi menuju kondisi keadilan ekologis ini bersifat demokratis. Degrowth pada dasarnya adalah masalah keadilan ekologis. Keadilan menuntut bahwa baik produksi maupun konsumsi harus dikurangi di antara masyarakat yang kini paling kaya raya. Perubahan gaya hidup paling drastis akan berlangsung di belahan Utara (tanpa melupakan gaya hidup sejumlah multi-milyarder di belahan Selatan). Bumilah yang menentukan gaya hidup ini, bukan selera rakus kaum kapitalis. Transisi menuju kondisi adil jelas menuntut perencanaan. Kebiasaan orang paling kaya untuk memindahkan beban pemerasan dan penghancuran ke Dunia Ketiga harus ditiadakan (aka dilarang). Gaya hidup yang selama ini berciri imperialis harus diganti dengan gaya hidup berdasarkan solidaritas internasional. Untuk mencapai transisi ini, aktivis degrowth di Utara menawarkan diri sebagai mitra kepada aktivis Selatan yang menuntut keadilan lingkungan hidup (lihat bab mengenai keadilan lingkungan).
  • Sifat demokratis dari transisi menuju masyarakat degrowth berimplikasi bentuk-bentuk organisasi di tingkat akar rumput yang bebas. Suara orang biasa harus didengar dalam transisi ini, dan suara itu berasal dari komunitas manusia yang bersifat otonom dan berdaulat, mampu memikirkan masa depannya sendiri. Lembaga lokal seperti bank publik, sistem transportasi, pusat listrik, sekolah – lembaga semacam ini semuanya harus bersifat transparen dan terbuka, sehingga tiap saat dapat diperbaiki melalui masukan dari masyarakat lokal pula. Pekerjaan yang bergaji dengan yang tidak bergaji seperti di rumah tangga atau di studio seni sama-sama dihargai. Perubahan digerakkan oleh nilai-nilai lokal tentang makna hidup baik, yang selalu mengandung makna solidaritas, makna hidup bersama secara ramah tamah.
  • Lembaga-lembaga dalam masyarakat degrowth harus dilepas dari ketergantungan kepada pertumbuhan PDB. Sekarang ini, sekolahan misalnya dibiayai dari pajak yang naik-turun sesuai dengan irama pertumbuhan ekonomi. Apabila ekonomi menciut, pajak menurun, dan anggaran sekolahan akan dikebiri. Hal buruk itu kita saksikan ketika krisis Covid-19 menciptakan pengangguran di sektor publik penting seperti pendidikan. Secara lebih luas, imajinasi sosial harus dimerdekakan dari mitos pertumbuhan PDB sebagai tolok ukur keberhasilan sebuah ekonomi. Apabila orang tidak bisa membayangkan kebahagiaan di luar pertumbuhan abadi, maka masyarakat degrowth tak akan terwujud.

Lalu (sub-langkah kedua), betapa layakkah degrowth? Untuk menjawab pertanyaan ini, dibutuhkan sejumlah proposal yang lebih bersifat konkrit daripada proposal ideal di atas. Schmelzer et al menawarkan enam proposal konkrit semacam itu, dan di sini hanya dapat disebut tiga secara singkat.

  • 'Milik bersama' dikembalikan ke pusat kegiatan ekonomis. Milik Bersama (commons) menyangkut segala macam kegiatan yang bertujuan mengelola sumberdaya bersama di luar pasar yang mengandalkan uang, persaingan, dan negara yang bersifat sentralistik dan hirarkis. Salah satu contoh nyata adalah Wikipedia, yang telah menciptakan ensiklopedia pengetahuan terbesar di dunia secara kooperatif berdasarkan sumbangan bebas, tanpa imbalan uang. Kegiatan di wilayah Milik Bersama bersifat demokratis dan berdasarkan keikutsertaan, dengan tujuan memperluas manfaat yang dirasakan orang kebanyakan. Milik Bersama adalah konsep dasar yang telah beroperasi secara berabad-abad di jutaan tempat di dunia ini, mulai dari hutan milik bersama, tanah milik komunal, air bersih yang dikelola bersama, dan sebagainya. Swastanisasi telah merusak aturan Milik Bersama, misalnya ketika banyak kota di Indonesia mengkontrakkan sumber air minum kepada perusahaan swasta belakangan ini. Pendekatan Milik Bersama ingin mengembalikan aturan kooperatif yang tradisional maupun dalam bentuk baru. Pendanaan untuk usaha di wilayah ini dapat diatur melalui bank yang juga dimiliki bersama sebagai kooperasi.
  • Teknologi demokratis. Penganut degrowth umumnya tidak menolak teknologi sendiri, tetapi mempertanyakan peran teknologi dalam ekonomi pertumbuhan. Banyak teknologi sekarang ini ditujukan untuk menggantikan karyawan dengan mesin, sehingga lebih mengutamakan laba bagi pemilik perusahaan daripada mutu kehidupan karyawan biasa. Daripada menekankan teknologi demi efisiensi ekonomis, degrowth mencari teknologi yang fungsinya menunjang cita-cita keberlanjutan dan manfaatnya bagi manusia biasa. Teknologi untuk apa? Teknologi milik siapa? Teknologi yang dipakai dengan bagaimana? Teknologi yang berapa banyak? Pertanyaan semacam ini yang diutamakan. Perpustakaan pinjam peralatan adalah salah satu contoh; demikian pula kafe memperbaiki alat rusak, dan tempat yang bersifat non-komersial untuk merancang software baru Open Source. Teknologi dirancang untuk bertahan lama, mudah diperbaiki, dan gampang didaur-ulang pada akhir siklus hidupnya.
  • Metabolisme sosial yang demokratis. Ingat (lihat bab mengenai ekonomi ekologis), metabolisme sosial adalah pertukaran bahan material serta energi antara masyarakat manusiawi dengan lingkungan hidup. Pertukaran bahan dan energi perlu ditekan agar tidak terus membebani Bumi. Penggunaan air bersih, bahan tambang, dan tanah pertanian dikurangi (dan penggunaan bahan bakar fosil perlu dihentikan sama sekali). Demikian pula pembuangan limbah non-organik berupa plastik, barang baja dan aluminium, dan seterusnya. Cara menekan baik pemakaian sumberdaya alam maupun penghasilan limbah yang diajukan kaum degrowth adalah menyediakan segala macam kebutuhan hidup dasar secara gratis kepada seluruh penduduk. Pelayanan kesehatan, pangan, air bersih, perumahan, energi, dan transportasi – semuanya menjadi milik bersama dan dibagi secara bebas sesuai keperluan. Hal itu diperkirakan akan menekan pemborosan secara drastis. Kotamadya dapat juga menyediakan secara gratis fasilitas apa saja yang mendukung kehidupan yang baik bagi penduduknya. Termasuk di dalamnya ruang terbuka untuk bermain, fasilitas seni dan budaya, dan tempat untuk berkumpul bagi perundingan politik.

Proposal lain yang disebut oleh Schmelzer et al menyangkut perburuhan (di mana karya di rumah tangga atau karya sukarela sama-sama dihargai dengan karya 'formal'); kesejahteraan sosial (di mana kekayaan di-redistribusi secara radikal sehingga tak lagi ada yang kaya raya dan lain yang kekurangan); dan hubungan internasional (di mana populasi di Utara tidak boleh menjalankan degrowth hanya bagi dirinya sendiri melainkan mereka harus membayar kompensasi yang amat besar kepada belahan Selatan yang selama ini menunjang gaya hidup imperialnya). Hal-hal lain ini semua layak dibicarakan secara panjang lebar. Semua proposal di sini bersifat praktis; bahkan sudah ada contoh yang dapat ditiru dan dikembangkan di lain tempat.

Sub-langkah ketiga berusaha menjawab pertanyaan: apakah degrowth betul-betul dapat dicapai dalam kondisi politis yang nyata (achievable)? Jelas, skala perubahan yang diajukan oleh pergerakan degrowth bersifat sangat besar, sebesar Revolusi Industri 200 tahun yang lalu yang dimotori oleh penggunaan bahan bakar fosil secara besar-besaran. Dan tidak di luar kemungkinan perubahan yang didorong oleh aktivis degrowth akan ditentang oleh penguasa yang memiliki alat hukum dan kekerasan.

Sosiolog Amerika Erik Olin Wright (2010) menulis dalam bukunya Envisioning Real Utopias (Membayangkan Utopia Nyata) bahwa ada tiga cara untuk memperjuangkan dunia yang lebih baik. Yang satu ia sebut Interstitial Strategies, mungkin dapat diterjemahkan Strategi di Sela-Sela. Di sini orang berusaha membangun lembaga alternatif di sela-sela struktur kapitalis, tanpa banyak diperhatikan penguasa. Di daerah Catalan, Spanyol, misalnya, terdapat sebuah kooperasi bernama Mondragon Cooperativa. Gabungan kooperasi ini sudah berdiri sejak tahun 1950an dan kini menjadi kelompok bisnis ke-7 besar di negeri itu, dengan lebih dari 40.000 buruh-pemilik-anggota. Tujuannya adalah: 'Mengganggu Modal dengan membangun struktur-struktur kooperatif di dalam ekonomi Catalan.' Di Indonesia ada Sekolah Pagesangan di desa Wataos, 30 km dari Yogyakarta, yang mengajarkan kearifan lokal serta keberlanjutan secara partisipatoris kepada anak-anak lokal. Desa Ekologis secara aktif dibicarakan di Indonesia, dan sebenarnya sudah ada tetapi belum diakui sebagai teladan. Desa ekologis “bisa mengelola kawasannya tanpa eksploitasi”. Sudah banyak desa ekologis di Amerika Serikat sejak tahun 1970an. Kadang disebut Nowtopia (karena sudah ada sekarang tidak harus menunggu masa depan), inisiatif semacam ini termasuk dalam konsep transformasi di Sela-Sela.

Strategi kedua oleh Wright disebut Strategi Simbiotik. Di sini aktivis bekerjasama dengan lembaga yang sudah ada termasuk pemerintah untuk membangun sesuatu yang baru tanpa menuntut reformasi politik dulu. Mungkin contoh terbaik adalah proposal Green New Deal yang diajukan kepada Senat Amerika Serikat oleh Alexandria Ocasio-Cortez dengan Ed Markey pada tahun 2019 (lihat bab lain buku dewasa ini). Tanpa menyebut istilah degrowth, proposal mereka membayangkan mobilisasi dana secara besar-besaran untuk mentransformasi sistem energi menjadi berkelanjutan sampai 100 persen dalam waktu 10 tahun. Pelayanan sosial besar-besaran akan mendukung orang yang kehilangan pekerjaan di sistem energi minyak dan batubara, dan mempersiapkan ketrampilan untuk sistem energi baru. Jangankan tidak menyebut degrowth, proposal mereka juga tidak mempertanyakan konsep pertumbuhan PDB, sehingga jelas jauh dari cukup. Tetapi proposal Green New Deal ini dapat saja membuka pintu untuk membangun aliansi yang akan mengajukan proposal Green New Deal Without Growth di masa depan.

Strategi Wright yang ketiga ia namakan Strategi Pecah (Ruptural Strategy). Yang dimaksud adalah strategi yang betul-betul mengarah kepada konfrontasi revolusioner terhadap sistem kekuasaan yang kapitalis dewasa ini. Menurut Schmelzer et al, bisa saja strategi pecah dipraktekkan secara sejajar dengan strategi-strategi lain. Contoh di bidang degrowth adalah blokade fisik terhadap proyek pembangunan yang dinilai paling merusak alam. Pada tahun 2021, aktivis muda yang bergabung dalam Blockade Australia berhasil menghentikan banyak keretapi bermuatan batubara yang menuju pelabuhan ekspor batubara terbesar di dunia, di Newcastle. Dua perempuan merantai diri kepada sebuah struktur besi tinggi di atas kereta, sehingga kereta terpaksa berhenti demi keamanan. Sejak saat itu sudah sering aktivis muda lain merantai diri kepada rel keretapi, atau mengelem diri di dalam kereta sendiri. Oleh pemerintah dicap 'perusak ekonomi', dan ada yang dipenjara, tetapi mereka sendiri berkata: 'Dikejar-kejar polisi memang menakutkan, tetapi tidak seberapa menakutkan dibanding dengan masa depan yang kami hadapi'.

Penutup

Degrowth kadang disebut 'sebuah pergerakan terdiri atas banyak pergerakan' (a movement of movements). Yang dimaksud adalah, degrowth dapat menyatukan begitu banyak pergerakan demi keadilan sosial, demi lingkungan hidup, dan demi solidaritas internasional. Masing-masing pergerakan itu – apakah yang menentang otoritarianisme nasional, atau kapitalisme global, atau masyarakat patriarkal, atau pembabatan hutan – memiliki tujuan tersendiri. Tetapi pada saat tertentu akan terjadi krisis yang memungkinkan mereka bekerjasama karena agenda masing-masing bergema satu dengan yang lain.

Tidak seorangpun dapat meramalkan kapan saat semacam itu akan tiba. Misalnya sudah banyak ilmuwan yang meramalkan pandemi global, tetapi saat COVID-19 pecah orang merasa terkejut dan pemerintahan banyak harus menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Hal yang sama dapat terjadi dalam politik iklim ke depan. Saat kunci ketika kesadaran baru tiba-tiba meletus kadang disebut saat konter-hegemonik. Bab ini diharapkan mendukung pemikiran baru yang akan membuat momen konter-hegemonik semacam itu bermuara dalam perubahan positif, alih-alih terbuang sia-sia dalam kekacauan dan kekerasan represif.

Bacaan lanjutan

Apabila Anda baru bersentuhan dengan topik ini, mungkin buku berikut akan lebih mudah dicernakan daripada Schmelzer et al: (Hickel 2020, Jackson 2021, Kallis 2018) atau buku pendek (Kallis et al. 2020). Tontonlah juga video singkat ini dari Alvaro Alvarez.

Untuk penelitian lebih jauh

Bentuklah kelompok diskusi di fakultas Anda untuk membicarakan beberapa pertanyaan yang mendasari bab ini, termasuk yang berikut ini:

  • Degrowth menanggapi masalah ciptaan Utara yang rakus. Apakah tidak lebih adil Selatan yang miskin dikecualikan dulu? Secara lebih konkrit, bagaimana bentuknya masa depan perekonomian Selatan dalam konteks krisis iklim?
  • Apa hubungan, menurut kalian, antara agenda keadilan lingkungan (yang dibicarakan di bab lain) dengan agenda degrowth? (Bacalah terlebih dahulu referensi ini: (Rodríguez-Labajos et al. 2019)).
  • Lepas dari ideologi yang lebih luas, apakah enam langkah konkrit yang diusulkan Schmelzer et al di atas layak diuji-coba di Indonesia?

Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.

[Modifikasi terakhir: 17/01/2025]

Acuan

Georgescu-Roegen, Nicholas. 1975. "Energy and economic myths." Southern Economic Journal 41 (3):347–381. doi: 10.2307/1056148. JSTOR 1056148.

Hickel, Jason. 2019. "Degrowth: a theory of radical abundance." real-world economics review 87:54-68.

Hickel, Jason. 2020. Less is more: How degrowth will save the world. London: Penguin Random House.

Hickel, Jason. 2021. "What does degrowth mean? A few points of clarification." Globalizations 18 (7):1105-11. doi: https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1812222.

Hickel, Jason, and Giorgos Kallis. 2020. "Is green growth possible?" New Political Economy and Society 25 (4):469-486. doi: 10.1080/13563467.2019.1598964.

Jackson, Tim. 2021. Post Growth: Life After Capitalism. Cambridge, UK: Polity Press.

Kallis, Giorgos. 2018. Degrowth, The economy: key ideas. Newcastle upon Tyne: Agenda Publishing.

Kallis, Giorgos, Susan Paulson, Giacomo D’Alisa, and Federico Demaria. 2020. The Case for Degrowth. Cambridge, UK: Polity Press.

Le Guin, Ursula K. 1994 [1974]. The dispossessed: an ambiguous utopia. London: Perfectbound (HarperCollins).

Meadows, Donella H., et al, and (terj Masri Maris). 1980 [asli 1972]. Batas-batas pertumbuhan: sebuah laporan untuk Proyek The Club of Rome mengenai bahaya yang mengancam umat manusia. Jakarta: Gramedia.

Rockström, Johan, Joyeeta Gupta, Dahe Qin, Steven J. Lade, Jesse F. Abrams, Lauren S. Andersen, David I. Armstrong McKay, Xuemei Bai, Govindasamy Bala, Stuart E. Bunn, Daniel Ciobanu, Fabrice DeClerck, Kristie Ebi, Lauren Gifford, Christopher Gordon, Syezlin Hasan, Norichika Kanie, Timothy M. Lenton, Sina Loriani, Diana M. Liverman, Awaz Mohamed, Nebojsa Nakicenovic, David Obura, Daniel Ospina, Klaudia Prodani, Crelis Rammelt, Boris Sakschewski, Joeri Scholtens, Ben Stewart-Koster, Thejna Tharammal, Detlef van Vuuren, Peter H. Verburg, Ricarda Winkelmann, Caroline Zimm, Elena M. Bennett, Stefan Bringezu, Wendy Broadgate, Pamela A. Green, Lei Huang, Lisa Jacobson, Christopher Ndehedehe, Simona Pedde, Juan Rocha, Marten Scheffer, Lena Schulte-Uebbing, Wim de Vries, Cunde Xiao, Chi Xu, Xinwu Xu, Noelia Zafra-Calvo, and Xin Zhang. 2023. "Safe and just Earth system boundaries." Nature 619 (7968):102-111. doi: 10.1038/s41586-023-06083-8.

Rodríguez-Labajos, Beatriz, Ivonne Yánez, Patrick Bond, Lucie Greyl, Serah Munguti, Godwin Uyi Ojo, and Winfridus Overbeek. 2019. "Not so natural an alliance? Degrowth and environmental justice movements in the Global South." Ecological Economics 157:175-184.

Schmelzer, Matthias, Aaron Vansintjan, and Andrea Vetter. 2022. The future is degrowth: a guide to a world beyond capitalism: Verso.

Schumacher, E. F. 2011 [1973]. Small is beautiful: a study of economics as if people mattered. London: Vintage Books.

Turner, Graham M. 2008. "A comparison of The Limits to Growth with 30 years of reality." Global environmental change 18 (3):397-411.

Wright, Erik Olin. 2010. Envisioning real utopias. London: Verso.

Download dan baca pdf artikel ini disini.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis