7a. Degrowth

Nicholas Georgescu-Roegen (1906-1994). Ekonom pembangunan dan peletak dasar konsep degrowth, pernah berkunjung ke Indonesia pada 1962 (Suprinyak 2018)
Hipotesis dan realitas

Untuk berhasil beralih ke model degrowth, diperlukan kerja sama internasional, inovasi teknologi, dan pemikiran ulang mendasar tentang nilai-nilai dan prioritas kita.

Aloysius Gunadi Brata

Uni Eropa, melalui satelit iklim Copernicus, C3S, dalam laporan Global Climate Highlights yang paling baru, mengonfirmasi bahwa tahun 2024 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Suhu bumi mengalami kenaikan 1,6 derajat Celsius di atas masa pra-industri antara tahun 1850 dan 1900. Rekor tahun terpanas sebelumnya dicatat pada 2023 dengan suhu global mencapai sekitar 1,48 derajat Celsius lebih tinggi. Fenomena ini terjadi akibat perubahan iklim yang diperburuk oleh kondisi cuaca El Niño. Sebelumnya, ilmuwan iklim Zeke Hausfather juga telah menyebutkan potensi naiknya suhu pada tahun 2024 bisa lebih tinggi dibanding tahun 2023 karena efek pemanasan dari permukaan laut. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga menyebutkan bahwa sepanjang periode pengamatan tahun 1981 hingga 2024 di Indonesia, adalah tahun 2024 yang menempati urutan pertama tahun terpanas. Berdasarkan data dari 117 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata periode 1991-2020 di Indonesia sebesar 26,7oC dan suhu udara rata-rata tahun 2024 sebesar 27,5oC, sehingga anomali suhu udara rata-rata tahun 2024 sebesar 0,8oC. Dengan demikian jelas bahwa pemanasan permukaan bumi memang terjadi secara global.

Sementara itu, dalam konteks produksi pangan, studi dari Skolkovo Institute of Science and Technology di Moskow mengindikasikan bahwa negara produsen utama padi di Asia Tenggara berpotensi mengalami penurunan produksi hingga 10 persen pada tahun 2028 jika tidak ada langkah mitigasi yang serius terhadap perubahan iklim di sektor pertanian. Secara individual Vietnam diprediksi mengalami penurunan paling parah sebesar 19 persen, Thailand 7 persen dan Filipina 5 persen. Harga beras meningkat tajam pada tahun 2023 akibat kekeringan yang melanda beberapa negara penghasil beras utama, termasuk Cina dan Vietnam, hingga India juga menutup ekspor beras demi menjaga kestabilan pasokan domestik. Selain padi, bahan pangan lainnya seperti kentang, kedelai, dan minyak zaitun juga terancam oleh perubahan iklim. Implikasinya, secara umum dunia pun dapat terancam krisis pangan.

Apakah perubahan iklim benar-benar mengkhawatirkan, juga di wilayah Asia, khususnya Indonesia? Southeast Asia Climate Outlook 2024 justru menemukan bahwa sebagian besar orang di Kawasan Asia Tenggara lebih mengkhawatirkan persoalan-persoalan pokok seperti ketahanan pangan ketimbang perubahan iklim. Gelombang panas, banjir, maupun badai yang melanda banyak wilayah Asia Tenggara di tahun 2024 tidaklah membuat perubahan iklim menjadi persoalan utama yang harus dikhawatirkan. Diketahui bahwa ketahanan pangan memang dapat terganggu oleh perubahan iklim. Namun temuan tersebut memberikan petunjuk bahwa masyarakat, setidak di Asia Tenggara, lebih khawatir tentang dampak dari perubahan iklim, bukan pada perubahan iklim itu sendiri yang menjadi penyebab dari persoalan pangan.

Gambar 1 menunjukkan bahwa sejak Al Gore merilis film berjudul An Inconvenient Truth tahun 2006, terjadi peningkatan pencarian 'climate crisis' di mesin pencari Google. Pencarian tentang hal ini kembali mulai meningkat di akhir tahun 2018. Yang menarik, pencarian 'climate crisis' ini juga disertai dengan pencarian 'climate emergency'. Hal ini menunjukkan adanya perhatian tentang persoalan-persoalan terkait krisis lingkungan dan kedaruratan lingkungan. Dengan demikian, ada upaya untuk melihat bahwa kedaruratan lingkungan memang tidaklah lepas dari krisis lingkungan. 

Gambar 1. Jumlah pencarian 'climate crisis' dan 'climate emergency'

Dalam konteks seperti inilah maka perbincangan mengenai degrowth menjadi perlu mengemuka, tidak terkecuali di Asia. Degrowth awalnya bukanlah konsep ekonomi, tetapi pertama dan terutama adalah sebuah panggilan untuk secara radikal mempertanyakan obsesi pertumbuhan ekonomi, yang menurut para pendukung degrowth, sangat merugikan manusia dan planet. Pendukung utama gagasan ini adalah para environmentalist, tetapi ada juga ekonom yang bergabung dengan suara yang sama.

Asal mula pemikiran degrowth

Konsep décroissance atau pengurangan pertumbuhan ekonomi muncul di Prancis pada tahun 1970-an sebagai respons terhadap laporan The Limits to Growth (Meadows, et al, and (terj Masri Maris) 1980 [asli 1972]). Istilah ini pertama kali digunakan oleh André Amar pada tahun 1973 (Engler et al. 2024). Décroissance sangat dipengaruhi oleh pandangan Georgescu-Roegen yang menerapkan prinsip termodinamika pada sistem ekonomi. Aliran ini cenderung bersifat anti-kapitalis dan memandang ekonomi sebagai sebuah disiplin yang harus ditinggalkan. Sementara itu, degrowth atau pengurangan pertumbuhan muncul sebagai konsep ilmiah pada konferensi internasional di Paris tahun 2008. Meskipun memiliki kesamaan dengan décroissance, degrowth memiliki pendekatan yang lebih luas dan lebih dekat dengan ekonomi ekologi.

Degrowth bertujuan mencapai ekonomi stasioner, yaitu kondisi di mana ekonomi stabil tanpa pertumbuhan terus-menerus. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada tujuan akhir. Jika décroissance cenderung anti-ekonomi, degrowth justru mencari cara untuk mengubah sistem ekonomi agar lebih berkelanjutan. 

Konsep ekonomi stasioner yang dipopulerkan oleh Herman Daly merupakan landasan penting bagi degrowth. Daly berargumen bahwa ekonomi tidak bisa terus tumbuh tanpa batas karena keterbatasan sumber daya alam. Ekonomi stasioner menggambarkan kondisi di mana populasi, konsumsi, dan produksi berada pada tingkat yang stabil seiring waktu.

Degrowth bukanlah sinonim dari ekonomi stasioner, melainkan jalan untuk mencapainya. Degrowth melibatkan transformasi sistem ekonomi yang tidak hanya berfokus pada pengurangan pertumbuhan, tetapi juga pada distribusi sumber daya yang lebih adil dan pengurangan dampak lingkungan.

Tujuan akhir dari degrowth adalah mencapai kondisi stasioner yang berkelanjutan secara sosial dan ekologis. Baik décroissance maupun degrowth menawarkan kritik terhadap model ekonomi pertumbuhan konvensional. Namun, degrowth memiliki pendekatan yang lebih pragmatis dan konstruktif. Degrowth bertujuan untuk mengubah sistem ekonomi agar lebih sejalan dengan batas-batas planet, tanpa mengorbankan kesejahteraan manusia.

Gambar 2. Tujuan Degrowth

Penting untuk memahami bahwa degrowth bukan tentang penurunan ekonomi yang terus-menerus, melainkan tentang mencapai keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan kesehatan planet (Gambar 2). Maka, pendukung degrowth harus terus menjelaskan bahwa degrowth bukan tentang mengurangi PDB, tetapi tentang mengurangi aliran material dan energi (Hickel 2021).

Degrowth: hipotesis dan realitas

Asal mula pertumbuhan ekonomi yang menjadi norma saat ini dapat ditelusuri kembali ke abad 17-18, seiring dengan munculnya inovasi teknologi yang mendorong peningkatan kesejahteraan. Sejak saat itu, kebijakan pemerintah secara konsisten diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus. Namun, meningkatnya kesadaran akan krisis iklim telah memicu perdebatan mengenai kelayakan model pertumbuhan ini.

Jika pertumbuhan ekonomi terus menjadi tujuan utama tanpa adanya batasan, maka bencana iklim yang lebih parah akan tak terhindarkan, dan target pembatasan pemanasan global 1,5°C akan semakin sulit dicapai. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan planet, penggunaan sumber daya global harus dikurangi secara drastis. Hipotesis degrowth menantang asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi selalu positif dan mengusulkan agar kita meninggalkan penggunaan GDP sebagai ukuran tunggal kemajuan suatu bangsa, atau setidaknya melakukan pembatasan-pembatasan. Yang menarik, dari berbagai skenario yang dilakukan, ditemukan bahwa strategi degrowth dapat memangkas emisi CO2 di tahun 2050 jauh lebih baik ketimbang strategi-strategi pertumbuhan ekonomi alternatif lainnya, sebagaimana tampak di Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa degrowth memberikan hasil yang pantas untuk disimak.

Tabel 1. Ringkasan hasil-hasil dari sejumlah skenario (Keyßer and Lenzen 2021)

Simulasi beragam skenario untuk konteks Australia yang dilakukan oleh Kikstra et al. (2024) juga memberikan hasil yang menarik, yaitu bahwa skenario pertumbuhan rendah menunjukkan bahwa transformasi sosial menuju pola konsumsi yang lebih berkelanjutan dapat memberikan dampak positif yang substansial terhadap lingkungan melalui penurunan emisi karbon dan konsumsi energi (lihat juga opini ini tentang tulisan Kikstra et al).

Berikutnya, bila aspek keadilan diterapkan juga, maka perlu melihat distribusi manfaat dari skenario degrowth. Gambar 3 menunjukkan bahwa pada awalnya, 2017, rata-rata konsumsi energi per kapita di negara-negara maju di belahan bumi utara jauh lebih besar daripada di negara-negara Selatan. Yang menarik, pendekatan degrowth tidak hanya mampu menurunkan konsumsi energi tetapi juga memperbaiki distribusi penggunaan energi menjadi lebih adil. Hal ini memperkuat argumen pentingnya mempertimbangkan degrowth sebagai solusi mengatasi krisis iklim.

Gambar 3. Distribusi energi berdasarkan skenario degrowth dan moderat (Keyßer and Lenzen 2021)

Dengan melihat manfaatnya, lalu dapat muncul pertanyaan, apakah degrowth menjadi 'pilihan' di negara maju, di belahan Utara? Tampaknya tidak sesederhana ini. Ide degrowth, atau pengurangan pertumbuhan ekonomi, sejauh ini pun masih belum menjadi arus utama, terutama di negara-negara maju. Pandangan yang dominan dalam dunia ekonomi masih cenderung mengabaikan atau bahkan menolak konsep ini. Meskipun ada beberapa analisis kritis dari tokoh-tokoh terkemuka seperti Ted Nordhaus, Branko Milanovic, dan Andrew McAfee, analisis-analisis ini banyak disebut sering kali masih terbatas pada tulisan-tulisan yang sifatnya lebih populer dan belum sepenuhnya diakui secara akademis.

Wim Naudé, seorang kritikus degrowth, berargumen bahwa proposal degrowth bukanlah solusi yang efektif untuk mengatasi krisis ekologi atau masalah demokrasi dalam sistem kapitalis. Ia berpendapat bahwa degrowth justru dapat memperburuk kondisi lingkungan dan memberikan dampak negatif bagi negara-negara berkembang yang memiliki ketergantungan ekonomi dengan negara-negara industri. Naudé juga mencatat bahwa banyak negara maju telah mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang stagnan dalam beberapa dekade terakhir, yang ia sebut sebagai 'stagnasi besar.' Kondisi ini, menurutnya, telah memicu berbagai masalah sosial dan politik, dan gerakan degrowth sebenarnya merupakan reaksi terhadap kondisi stagnasi ini.

Dalam konteks yang lebih luas, realitas menunjukkan bahwa penerapan degrowth di tingkat global masih menghadapi banyak tantangan. Tantangan tersebut tidak hanya berasal dari resistensi terhadap perubahan paradigma ekonomi, tetapi juga dari kompleksitas interkoneksi ekonomi antar-negara dan berbagai faktor sosial-politik yang saling mempengaruhi.

Konsep degrowth, meskipun menarik secara teoritis, menghadapi tantangan besar dalam implementasinya di dunia nyata. Salah satu tantangan utama adalah aspek politis. Demokrasi, yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kemajuan, seringkali dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip degrowth. Kebijakan yang bertujuan mengurangi pertumbuhan ekonomi secara signifikan dapat memicu resistensi dari berbagai pihak, termasuk kelompok bisnis, pekerja, dan masyarakat umum yang telah terbiasa dengan gaya hidup konsumtif. 

Naudé juga mengungkit contoh sejarah yang sering dikutip sebagai model masyarakat stasioner yang berkelanjutan adalah Jepang pada era Edo. Selama periode ini, Jepang berhasil mempertahankan stabilitas sosial dan ekonomi dalam jangka waktu yang panjang tanpa mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, perlu diingat bahwa stabilitas ini dicapai melalui sistem pemerintahan yang otoriter dan hierarkis, di mana kebebasan individu sangat terbatas. Ini bentuk kediktatoran yang brutal. Maka, menurut Naudé, model ini, jelas tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi modern. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana kita dapat mencapai keseimbangan antara kebutuhan untuk mengurangi dampak lingkungan dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi?

Secara bersamaan, ada keyakinan bahwa sebagian besar emisi karbon di dekade-dekade mendatang akan lebih banyak berasal dari negara-negara berpendapatan menengah yang baru, seperti India, China, Indonesia, ketimbang dari negara kaya seperti AS. Oleh sebab itu, seberapa besar perhatian terhadap negara-negara Selatan dalam literatur mengenai degrowth juga penting untu diperhatikan. Temuan menarik dari systematic review yang dilakukan oleh Gräbner-Radkowitsch & Strunk (2023) sebagaimana ditampilkan di Gambar 4, adalah bahwa penelitian di masa depan perlu fokus pada 'tantangan ganda ketergantungan struktural' antara negara maju dan negara berkembang. Juga, degrowth, meskipun mengakui adanya ketergantungan ini, belum cukup memperhatikan dampak negatifnya terhadap negara berkembang di Selatan, seperti efek samping jangka pendek yang merugikan.

Gambar 4. Distribusi sub-argumen di dalam sampel paper yang dikaji (Gräbner-Radkowitsch and Strunk 2023)
Penutup

Kenaikan suhu global yang terus meningkat dan dampak buruknya termasuk terhadap produksi pangan menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan pergeseran paradigma dalam sistem ekonomi kita. Konsep degrowth, meskipun masih diperdebatkan, menawarkan alternatif yang menarik untuk model pertumbuhan ekonomi yang berlaku saat ini. Konsep ini mengusulkan ekonomi keadaan tetap di mana konsumsi sumber daya distabilkan dan kesejahteraan sosial diprioritaskan daripada ekspansi ekonomi yang terus-menerus.

Meskipun gagasan degrowth semakin mendapat perhatian, namun menghadapi tantangan signifikan, termasuk resistensi politik, kompleksitas ekonomi, dan kekhawatiran tentang distribusi yang adil. Untuk berhasil beralih ke model degrowth, diperlukan pendekatan multidimensi, yang melibatkan kerja sama internasional, inovasi teknologi, dan pemikiran ulang mendasar tentang nilai-nilai dan prioritas kita.

Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa degrowth bukan hanya konsep idealistis tetapi juga merupakan kebutuhan pragmatis untuk mengatasi krisis iklim dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Namun, transisi yang adil dan merata harus menjadi hal utama dari setiap strategi degrowth untuk memastikan bahwa manfaat dan beban dibagi secara adil di seluruh masyarakat dan antara dunia belahan Utara dan Selatan.

Aloysius Gunadi Brata (gunadi.brata@uajy.ac.id) adalah Kepala Laboratorium Ekonomi Bisnis (LEB), Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan aktif di MINDSET Institute, Yogyakarta.

Acuan

Engler, John-Oliver, Max-Friedemann Kretschmer, Julius Rathgens, Joe A. Ament, Thomas Huth, and Henrik von Wehrden. 2024. '15 years of degrowth research: A systematic review.' Ecological Economics 218:108101. doi: https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2023.108101.

Georgescu-Roegen, N., and (trans J. Grinevald and I. Rens). 1995 [orig Romanian 1979]. La décroissance: Entropie-Écologie-Économie. Paris: Sang de la terre.

Gräbner-Radkowitsch, Claudius, and Birte Strunk. 2023. 'Degrowth and the Global South: The twin problem of global dependencies.' Ecological Economics 213:107946. doi: https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2023.107946.

Hickel, Jason. 2021. 'What does degrowth mean? A few points of clarification.' Globalizations 18 (7):1105-11. doi: https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1812222.

Keyßer, Lorenz T., and Manfred Lenzen. 2021. '1.5 °C degrowth scenarios suggest the need for new mitigation pathways.' Nature Communications 12 (1):2676. doi: 10.1038/s41467-021-22884-9.

Kikstra, Jarmo S., Mengyu Li, Paul E. Brockway, Jason Hickel, Lorenz Keysser, Arunima Malik, Joeri Rogelj, Bas van Ruijven, and Manfred Lenzen. 2024. 'Downscaling down under: towards degrowth in integrated assessment models.' Economic Systems Research 36 (4):576-606. doi: 10.1080/09535314.2023.2301443.

Meadows, Donella H., et al, and (terj Masri Maris). 1980 [asli 1972]. Batas-batas pertumbuhan: sebuah laporan untuk Proyek The Club of Rome mengenai bahaya yang mengancam umat manusia. Jakarta: Gramedia.

Suprinyak, Carlos Eduardo. 2018. Nicholas Georgescu-Roegen, development economist. Belo Horizonte, Brazil: UFMG/ CEDEPLAR.

Download dan baca pdfi artikel ini disini.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis