Feb 22, 2025 Last Updated 12:16 AM, Feb 21, 2025

5b. Peradaban ekologis

Published: Jan 27, 2025

Tujuan, seharusnya, adalah menciptakan peradaban global yang baru berdasarkan ekologi dan ekologi manusia, daripada berdasarkan fisika dan ekonomi mainstream

(Gare 2014: 205)

Gerry van Klinken

Pintu neraka

Pada pembukaan lagi sebuah konsultasi internasional tentang krisis iklim, April 2021, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres berkata, ‘Kita butuh planet yang hijau, tetapi dunia berada di peringatan merah. Kita berada di pinggir jurang.’ Tahun berikut ia bicara tentang ‘bunuh diri bersama.’ Pada tahun 2023 bahasanya bertambah gelap: ‘Manusia telah membuka pintu neraka’ karena membiarkan krisis iklim memburuk terus. Presiden Joe Biden pada akhir 2021 menyebut krisis iklim sebagai ‘ancaman eksistensial terbesar terhadap keberadaan manusia sebagaimana kita mengetahuinya.’ Mengapa kita – manusia di Indonesia, di Australia, di seluruh dunia – tampak tak berdaya untuk mengubah haluan demi masa depan yang lebih sehat? Secara kolektif, umat manusia bertingkah seperti orang kehilangan daya nalar – seperti orang mabuk, atau lebih tepat, pecandu.

Dipandang secara makro begini, masalahnya tak lagi terletak pada soal kebijakan yang keliru, teknologi yang belum memadai, hubungan internasional yang kurang serasi, atau soal praktis yang lain. Semua hal itu penting dan dibicarakan di tempat lain dalam buku ini, tetapi rasanya tidak menyentuh dimensi eksistensial yang secara tepat disebut oleh Joe Biden.

Kini gilirannya pada kaum filsuf, yang akan langsung mengenali situasi ini sebagai krisis kejiwaan. Plato dulu dikatakan ‘menyembuhkan jiwa yang abadi.’ Pegiat filsafat dari dulu berkeyakinan bahwa segala macam masalah yang dialami manusia dapat diringankan hanya dengan cara mengubah pikiran, agar lebih sesuai dengan alam. Dunia sosial akan langsung lebih baik jika manusia hanya bersedia berhenti untuk berpikir sehat sejenak; dan kemudian menyesuaikan perbuatannya dengan pemikiran baru itu. Penyakit jiwa kolektif dapat disembuhkan dengan terapi kognitif yang kolektif pula – demikianlah tawaran filsafat di tengah krisis eksistensial yang dihadapi umat manusia sekarang.

Anehnya, peranan filsuf sebagai dokter kesehatan umum sudah jarang sekarang. Sejak awal abad ke-20 filsuf profesional di Eropa dan Amerika cenderung meninggalkan panggilan tingginya. Mahasiswa jurusan filsafat di universitas lebih banyak mempelajari logika. Mereka merumuskan soal-soal analitis dengan bahasa matematik yang hanya dapat difahami sesama profesional di perguruan tinggi. Tak mengherankan kalau filsafat jarang dihargai manfaat sosialnya. Dengan demikian filsafat yang mainstream ikut jatuh di dalam keterpinggiran humaniora di universitas. Selama sumbangan humaniora hanya dipandang sebagai semacam hiburan, atau sebagai sekolah di mana calon manajer dapat menyempurnakan cara mengontrol manusia lain, maka tidak aneh kalau dana pendidikan tinggi lebih disalurkan kepada fakultas teknik dan ekonomi.

Pada saat yang sama, masih terdapat pemikir lain yang justru tidak rela masyarakat dibiarkan terus tanpa pencerahan. Salah seorang di antaranya, filsuf Australia Arran Gare, menjadi pembimbing kita dalam bab ini. Ia memberikan label Nihilis kepada budaya yang wacana publiknya berlangsung tanpa nilai, seolah hanya teknologi akan menentukan masa depan (Gare 2017b: 20-21). Nihilisme adalah aliran filsafat yang menyangkal adanya makna, nilai etis atau kebenaran di dalam kehidupan manusia.

Neoliberalisme adalah ideologi nihilis. Ia hanya mempercayai perusahaan internasional - dari Alphabet (Google) hingga X milik Elon Musk - untuk menentukan arah masyarakat. Tujuannya terbatas pada upaya memberikan „pilihan seluas-luasnya’ kepada para konsumen, bukan menilai baik-buruknya konsumsi itu sendiri. Pakar ekonomi ekologis bernama David Korten pernah menulis tentang perusahaan global sebagai kanker dalam tubuh masyarakat (Gare 2017b: 181):

Kanker terjadi bila kerusakan genetik membuat sebuah sel lupa bahwa ia merupakan bagian dari tubuh yang lebih besar, dan lupa bahwa kelangsungan hidup dia sendiri sepenuhnya tergantung kepada berfungsinya tubuh itu secara sehat…. Semakin saya belajar banyak tentang tumbuhnya sebuah kanker di dalam tubuh, semakin saya sadari bahwa penyebutan kapitalisme sebagai kanker bukanlah sekedar metafor tetapi merupakan diagnosis tepat tentang penyakit yang terjadi di pasar apabila tidak diawasi oleh warga dan pemerintah.

Untuk memerangi nihilisme tersebut Arran Gare menempuh tiga langkah, dan di sini kita mengikuti ketiga langkah yang sama. Pertama, tinjauan historis atas peranan sosial filsafat yang lebih konstruktif, dengan fokus khusus kepada zaman yang disebut Pencerahan, lebih tepatnya, salah satu sisinya yang disebut Pencerahan Radikal. Kedua, sebuah filsafat yang secara konseptual memulihkan hubungan yang kini rusak antara manusia dengan alam. Ketiga, kaitan erat antara demokrasi, filsafat alam ini, dan gaya hidup sosial yang lebih utuh dan sehat.

Pencerahan

Bukti bahwa pemikiran dapat mengubah sejarah terdapat dalam momen di Eropa Barat yang disebut Pencerahan. Mulai akhir abad ke-17 dan sepanjang abad ke-18, berbagai pemikir menantang kekuasaan baik dari raja maupun gereja. Menurut mereka, yang harus menjadi pemandu politik bukanlah kehendak seorang raja yang wibawanya diturunkan dari leluhur, melainkan kebahagiaan setiap insan manusia yang hidup di wilayahnya. Lagipula, bukanlah imajinasi religius berdasarkan iman dan mukjizat ajaran para pastor yang akan menyelamatkan kehidupan kolektif manusia, melainkan kebenaran yang ditemukan oleh ahli ilmu alam berdaya nalar. Daya pikir yang dimaksud pertama ditemukan oleh filsuf zaman Klasik Yunani dan Romawi. Pemikir Pencerahan mengagumi merekalah sebagai sumber cahaya.

Diskusi publik para filsuf Pencerahan berlangsung hangat. Ia akhirnya memicu perubahan sosial yang dramatis. Ilmu alam yang ditemukan sejak zamannya Kopernikus dan Galileo semakin menyisihkan takhayul dalam kehidupan publik. Masyarakat menjadi semakin sekuler, sementara agama lebih menjadi urusan pribadi. Dan pemerintahan akhirnya menjadi lebih demokratis. Hal yang terakhir hanya tercapai lewat berbagai revolusi politik, terutama yang di Perancis mulai tahun 1789, di mana pemimpinnya banyak menerjemahkan ide-ide para pemikir ke dalam praktek politik.

Namun tidak setiap pemikir Pencerahan membayangkan tujuan yang persis sama. Sejarawan Pencerahan Jonathan Israel (2010) membedakan antara pendukung Pencerahan Moderat dan Pencerahan Radikal. Kedua istilah ini pertama dikemukakan oleh sejarahwati Margaret Jacob (2003 [orig 1981]). Tipe pemikir yang moderat adalah Isaac Newton, ilmuwan gemilang yang menemukan hukum-hukum dasar fisika termasuk hukum gravitasi. Tetapi ia lalu bertutur bahwa temuannya yang mekanistik justru membuktikan kebenaran ajaran religius tentang Penciptaan Alam Semesta oleh Yang Mahakuasa.

John Locke juga dihitung sebagai Pencerah Moderat. Pemikir ideologi politik ini menganjurkan agar sistem kekuasaan raja, di mana raja tak pernah dituntut mempertanggungjawabkannya ke publik, diganti dengan sistem politis berdasarkan kontrak sosial antara masyarakat dengan penguasa. Kontrak itu dicirikan hak dan kewajiban di kedua belah pihak, dan hal itu kemudian menjadi inspirasi bagi demokratisasi di banyak negeri. Namun, di sinipun ada tetapinya. Tujuan kontrak sosial dalam bayangan John Locke adalah dijaganya hak tiap individu atas harta miliknya, bukan diciptakannya sebuah republik di mana orang bekerjasama demi masa depan yang lebih baik. Pencerah Moderat a la John Locke akhirnya lebih membenarkan sebuah individualisme materialistik, di mana pasarlah menjadi kekuatan politik yang utama.

Tipe cendekiawan Pencerahan Radikal, sebaliknya, adalah Baruch Spinoza (1632-1677), orang Belanda turunan Yahudi dan Portugis. Spinoza kembali ke asas-asas filsafat yang paling fundamental. Ia menolak anggapan filsuf lain bernama René Descartes (lagi seorang perintis Pencerahan Moderat) bahwa dunia rohani dengan dunia jasmani sama sekali terpisah. Spinoza menegaskan, alam tidak mungkin mengenal dua macam „zat’ – yang satu rohani yang lain jasmani, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Seluruh alam terdiri dari hanya satu zat, yang memiliki ciri baik material (dalam arti kepanjangan) dan spiritual (dalam arti pemikiran). Tiap materi memiliki aspek spiritual; tiap hal spiritual memiliki aspek material. Lagipula, kata Spinoza, tidak ada wilayah di alam semesta yang ‘supranatural.’ Alam tak terhingga besar, dan merangkul segala sesuatu yang ada, sehingga tak mungkin ada sesuatu lain di luar alam. Hukum alam yang sama berlaku di mana-mana. Pada saat yang sama, alam dalam bayangan Spinoza itu tidak mati. Ungkapan Spinoza yang terkenal adalah ‘Deus sive Natura’ – Tuhan, atau Alam. Artinya: Alam dan Tuhan itu sama saja; Alam itu sakral; Tuhan ditemukan di Alam.

Terdengar abstrak, tetapi implikasi pemikiran Spinoza bersifat radikal. Implikasi itu langsung ditangkap oleh mereka yang membacanya, baik yang menyetujui maupun yang tidak. Gereja Katolik segera menuduhnya ateis. Buku-bukunya dilarang beredar. (Spinoza sendiri selalu menolak stempel Ateis. Ia lebih tepat disebut Panteis, ‘Tuhan ada di mana-mana’. Ia memang menolak wibawa agamawan yang mengklaim memiliki pengetahuan khusus tentang dunia rohani).

Pemegang kekuatan politis yang mapanpun merasa terancam oleh pemikirannya. Kaum ningrat pada waktu itu mengklaim keabsahan politisnya lahir dari darah mereka, yang turun-temurun sejak ratusan tahun dan dibenarkan dengan kedekatan pada yang ilahi. Dalam konsep ‘satu zat’ a la Spinoza, semua manusia itu sama – tidak ada yang lahir dengan kelebihan spiritual maupun kelebihan darah yang halus. Menjelang tahun yang penuh takdir 1789, orang di Perancis mulai ramai bicara tentang revolusi. Spinoza telah meninggal lebih seabad sebelumnya. Namun pihak penguasa Perancis merasa roh ‘spinozist’ tetap merajalela di kalangan rakyat biasa.

Memang Spinoza adalah seorang republikan. Ia yakin hanya perdebatan bebas antara manusia yang bebas pula dapat menghasilkan komunitas politis yang membahagiakan anggotanya. Perdebatan itu bersifat filsafati dalam arti seluas-luasnya: perdebatan yang bertujuan mencari kebenaran untuk menyembuhkan kondisi manusia yang sudah sekarat. Sebuah perdebatan tanpa digerogoti oleh metode tertentu; tanpa menomor-satukan logika atau analisis yang kering dan sempit; melainkan perdebatan yang dialektis, yang dijalankan masing-masing peserta dengan hati yang tulus.

Tidak hanya Spinoza yang bicara demikian. Margaret Jacob (2003 [orig 1981]: 36-37) menemukan tiga tema yang menurutnya berkali-kali diangkat oleh penganut Pencerahan Radikal selama abad ke-18: ‘Materialisme panteis, pencarian akan agama alam, dan republikanisme.’

Salah seorang pendahulu aktivis Pencerahan Radikal adalah filsuf Itali seabad sebelumnya bernama Giordano Bruno (1548 – 1600). Semula dididik sebagai biarawan Katolik, ia berubah setelah membaca filsafat Yunani dan Romawi. Terutama dari seorang pemikir Romawi bernama Lukretius ia mulai belajar kebenaran dari alam. Kebenaran dapat diamati oleh tiap manusia yang bernalar, bukan lagi harus diterima dari wahyu teologis. Salah satu kebenaran itu, menurutnya, adalah alam semesta yang tak terhingga besar. Demikian luas alam semesta, katanya, sehingga di dalamnya pasti terdapat banyak sekali dunia lain selain bumi kita. Semuanya dihuni makhluk hidup. Dan alam semesta itu penuh dengan kehidupan dan pemikiran. Ia tulis kalimat berikut yang sampai sekarang mampu menghentakkan pembaca (L:Waley Singer 1950: 90-91):

Jelas sekali… setiap jiwa dan setiap roh memiliki kaitan tertentu dengan roh alam semesta… Kuasa tiap jiwa itu sendiri, entah bagaimana, dengan cara tertentu terasa di tempat lain yang jauh di dalam alam [dan] sangat terkait dan terikat dengannya.

Konsep panteis itu bertabrakan dengan ajaran gereja, di mana alam itu kecil, berpusat di bumi, dan dikuasai secara supranatural dari surga. Bruno ditangkap, dihukum, dan dibakar hidup-hidup di Roma pada tahun 1600. Tetapi bukunya tetap beredar di bawah tangan, hingga antara lain mempengaruhi Spinoza. Reputasi Bruno pulih pada zaman lebih liberal kemudian. Kenangan atas Bruno pada abad ke-19 dihormati dengan sebuah patung terkenal di tempat ia dihukum. Pada abad ke-20, gagasannya di atas (mengenai tiap jiwa yang terkait tiap jiwa lain) dihargai sebagai pembuka gagasan ekologis mengenai kesaling-terkaitan universal.

Bruno juga mengimpikan sebuah politik yang republikan (Jacob 2003 [orig 1981]: 37). Ia melukiskan idamannya demikian:

…agar yang ampuh dihidupi oleh yang kurang ampuh, agar yang lemah tidak ditindas oleh yang lebih kuat; agar kaum lalim diturunkan, penguasa serta ranah politis yang adil diberdirikan dan diperkuat; agar republik didukung... agar orang miskin dibantu yang kaya; agar kebaikan dan pembelajaran yang berguna dan perlu bagi persemakmuran didorong, dimajukan, dan dipertahankan, dan agar mereka dijunjung tinggi dan digaji yang mendapat manfaat dari pembelajaran ini; dan agar mereka yang malas, yang rakus, dan yang memiliki harta dicacimaki dan dibenci.

Alam

Alam merupakan aspek lain yang penting dalam pemikiran Spinoza (dan pemikiran Giordano Bruno, dan pegiat Pencerahan Radikal yang lain). Aspek ini kemudian menjadi inspirasi untuk pergerakan ekologis. Pelopor filsafat Deep Ecology, filsuf Norwegia Arne Naess (1912 – 2009), sering menulis tentang Spinoza. (Naess disoroti secara lebih detil dalam bab lain). Dalam sebuah makalah termasyur dari tahun 1977 ia membandingkan karya Spinoza dengan sebuah buku baru yang saat itu heboh karangan Rachel Carson berjudul Musim Bunga Yang Bisu (1990 [asli Inggeris 1962]). Carson adalah seorang ilmuwati lapangan di Amerika. Ia meneliti nasib buruk burung yang kena pestisida DDT. Bukunya demikian amat mengesankan banyak orang sehingga dianggap melahirkan pergerakan ekologis modern. Naess (1977) menulis tentang Carson sambil mengaitkannya dengan Spinoza:

Daya penggerak di balik pergerakan [yang dipicu oleh bukunya Carson] dari dulu hingga kini bersifat filsafati dan religius… Alam yang dibayangkan oleh kaum ilmuwan ekologi di lapangan tidak menyerupai gambaran alam yang pasif, mati, dan bebas-nilai di dalam ilmu alam mekanistik, tetapi lebih dekat dengan Deus sive Natura (Tuhan, atau Alam) dari Spinoza. Alam itu merangkul segala sesuatu; alam bersifat kreatif (dalam arti natura naturans), beragam secara tak terhingga, dan hidup dalam makna yang luas sebagaimana dibayangkan dalam panpsikisme, namun alam juga menampakkan struktur tertentu, yaitu yang disebut hukum alam… Tak seorangpun filsuf yang menawarkan demikian banyak penjelasan serta pendefinisian sikap-sikap ekologis yang mendasar daripada Baruch Spinoza.

Keyakinan bahwa alam di mana-mana itu penuh dengan ‘jiwa’ – penuh dengan pemikiran, kesadaran, kehidupan, kegairahan, kreativitas, dan konsep sejenis lainnya – keyakinan itu dulu tersebar luas, di sepanjang sejarah baik di dunia Barat maupun Timur. Keyakinan ini oleh kaum filsuf disebut Panpsikisme (Panpsychism), dan dibicarakan lagi dalam bab lain buku ini. Filsuf Yunani kuno Parmenides, misalnya, menulis dalam satu fragmen yang masih terpelihara: ‘Sebab berpikir dan berada itu adalah hal yang sama’. Thales, filsuf Yunani kuno lain, pernah berkata ‘segalanya penuh dengan dewa’, atau (dalam terjemahan lain) ‘alam itu hidup dan penuh dengan roh’. Kepercayaan Hindu dan Buddhis banyak yang menganut keyakinan yang sama, sebagaimana akan kita lihat dalam bab lain.

Keaktifan, bahkan keilahian alam yang diyakini filsuf kuno kemudian melemah dalam perkembangan religius selanjutnya. Dalam ajaran Kristen yang mainstream (dan barangkali Islam juga demikian), Tuhan berada di luar alam, atau di atasnya, di wilayah supranatural. Alam sendiri dipandang lebih bersifat netral dan pasif. Kepasifan alam itu lalu dipertahankan oleh Newton, yang melihat materi sebagai zat yang tidak bergerak sendiri - materi hanya dapat digerakkan secara mekanik oleh gaya dari luar. Gambaran alam sebagai sistem yang mekanis, tanpa ‘jiwa’ dalam arti yang kuno itu, kemudian menjadi dasar bagi ilmu alam modern.

Tanpa membantah bahwa hukum-hukum fisika temuan Newton dan lain-lain itu benar adanya, tersirat implikasi etis di dalam gambaran mekanistik. Implikasi itu yang kini disayangkan di kalangan ekologi. Apabila dunia ini bersifat mati – selain manusia dan sejumlah binatang yang mirip manusia di dalamnya – maka tindakan yang merusak alam hanya akan menyusahkan manusia. Sebab alam tidak berperasaan, tidak berjiwa.

Justru kepasifan alam itu yang kini ditantang oleh kaum ekolog. Pembangkangan ekologi terhadap konsep alam yang saat ini dominan itu ada sejarahnya juga. Pertama dikemukakan oleh sejumlah pemikir awal abad ke-19, yang ternyata ikut terpengaruh oleh Spinoza. Salah satunya adalah filsuf Jerman Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775 –1854). Ia sempat bergabung dengan sekelompok pemikir muda di Jena, sebuah kota kecil di Jerman, pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Di sana ia bergaul dengan ilmuwan alam, filsuf, penyair dan sastrawan. Goethe salah seorang di antaranya.

Schelling kemudian mengembangkan sebuah filsafat tentang alam semesta yang ia sebut Naturphilosophie. Di situ ia menolak menempatkan kebenaran ilmu alam gaya Newton di atas wibawa filsafat untuk memahami alam. Kata Schelling, ilmu jenis manapun harus dapat menjelaskan dari manakah kehidupan dalam alam semesta, dan di manakah peran pemikiran di dalamnya. Fisika tak mampu ke sana, sebab ia hanya mengenal barang mati. Fisika mengurangi kehidupan dengan menggambarkan makhluk hidup seolah ‘tak lain’ hanyalah sekumpulan atom atau sejumlah interaksi kimia belaka. Schelling tidak terima reduksionisme seperti itu. Dalam hal ini posisi Schelling bergema dengan pemikiran penyair dan sastrawan di kelompoknya, yang kemudian secara kolektif dikenal sebagai kaum Romantis Awal (Early Romantics, yang pesan utamanya disampaikan secara elok oleh pelukis Caspar David Friedrich di atas).

Schelling tidak menolak ilmu alam. Hanya, katanya, untuk dapat maju, ilmu harus merangkul kehidupan, harus merangkul kemanusiaan dan pemikiran. Manusia yang berpikir tidak berdiri di luar alam sambil mengamatinya, katanya. Daripada itu, manusia pemikir dengan sendirinya adalah bagian dari alam itu juga. Sambil berpikir, bukan hanya manusia yang berpikir melainkan alam sendiri berpikir. Demikianlah kira-kira inti temuan filsafati Schelling.

Sulit, memang, jika hanya dijelaskan secara sepintas di sini. (Peminat dapat menonton video singkat fisikawan dan filsuf Fritjof Capra ini: ‘The Systems View of Life‘). Namun implikasinya besar sekali. Schelling mengembangkan sebuah pandangan yang menyeluruh tentang alam, di mana baik fisika, kimia, dan biologi mendapat tempat. Ia membuka pintu kepada perkembangan baru di ilmu alam puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Salah satu bidang yang ikut diilhami oleh Schelling adalah pemikiran ‘sistem,’ di mana segala sesuatu berhubungan dengan segala sesuatu yang lain. Alam yang ia bayangkan bersifat dinamis, penuh dengan proses yang tak dapat diramalkan, di mana bentuk-bentuk organisme yang baru bermunculan secara evolusioner. Tidak ada Pencipta di luar sistem ini. Seluruhnya berjalan sesuai dengan kreativitas yang inheren di dalam sistem itu juga. Pemikiran ekologis pada dasarnya tidak lain adalah pemikiran sistem (walaupun istilah ‘ekologi’ belum ditemukan saat itu).

Schelling menganjurkan sebuah ilmu yang tak lagi memisahkan ilmu alam dari kehidupan dan kemanusiaan. Ia berharap ilmu yang utuh selanjutnya dapat berkembang agar mendukung kehidupan yang lebih indah, lebih bermakna, lebih hidup lagi ke depan. Idealnya barangkali mirip kelompok multi-disipliner di Jena yang ia rasakan sendiri. Namun apa yang terjadi? Pemisahan antara fisika dan humaniora berjalan terus hingga menjadi hampir tak terjembatani lagi. Universitas mendirikan fakultas yang terpisah satu dari yang lain, di mana mahasiswa mendalami salah satu disiplin tanpa memahami yang lain. Fakultas fisika, kimia dan teknik lalu mulai mendominasi perguruan tinggi saking diberkati dana yang fantastis dari dunia industri, sedangkan fakultas ilmu-ilmu budaya dan sosial dianggap suku terasing. Tenggelamlah sudah impian Schelling. Nihilisme dalam wacana umum adalah hasilnya.

Tanpa peranan sosial yang lebih signifikan, ilmu sosial hanya dipakai untuk menyediakan pengetahuan kepada pemegang kekuasaan di dalam birokrasi pemerintahan dan perusahaan swasta, agar mereka dapat secara lebih efektif mengendalikan manusia taklukannya. Bagi elit penguasa, bersama dengan panditanya yaitu kaum ekonom, kehidupan intelektual hanyalah berfungsi sebagai hiburan, sementara kehidupan cukup diarahkan kepada konsumsi yang semakin banyak saja.

Hingga belakangan, pada saat krisis telah menganga, cita-cita Schelling ditemukan kembali. Beberapa contoh harus mencukupi di sini. Pemikir-pemikir baru bermunculan. Di fisika ada yang berusaha mengaitkannya dengan makna spiritual (Capra 1975). Di biologi orang mencari sumber kreativitas evolusioner lewat pemikiran ‘sistem’ (Kauffman 1995), atau (tetap di biologi) mencari sumber kehidupan dari tingkat seluler hingga skala kosmik (Birch and Cobb Jr. 1981). Di bidang geografi ada yang berusaha merangkul juga non-manusia di dalamnya (Whatmore 2006).

Bukan hanya ilmu alam yang mulai menemukan kembali kehidupan di alam dan mengaitkan manusia dengan alam itu, melainkan ilmu-ilmu sosial juga demikian. Filsuf Jerman Jürgen Habermas mengarang disertasinya tentang Schelling. Pada tahun 1986 ia menulis bahwa ilmu sosial tak dapat diselamatkan kecuali kalau ia kembali merangkul filsafat (Gare 2017b: 152):

Ilmu-ilmu sosial hanya dapat diselamatkan dari kemerosotan ke dalam positifisme yang mandul apabila ia berfungsi di dalam kerangka sebuah teori mengenai masyarakat yang dimotori oleh filsafat.

Salah satu di antara banyak buah dari pendekatan ini adalah karya Latour, yang berusaha mencakup ekologi di dalam ilmu politik dan sosial (Latour and (trans Catherine Porter) 2004).

Demokrasi

Selama ini diskusi kita membatasi diri pada wacana filsafat baru. Tetapi wacana tidak mungkin berdiri sendiri. Pendirian manusia yang lebih sehat di tengah alam hanya dapat berkembang dalam sebuah masyarakat yang bebas, yang demokratis secara utuh, yang tak lagi didominasi kekuatan-kekuatan elitis demi teknologi dan modal besar. Untuk itu kita sekali lagi meninjau secara pintas sejarah upaya demokratisasi yang utuh itu.

Semua filsuf Yunani kuno yang menegaskan keilahian alam terlibat juga di dalam politik. Parmenides tinggal di kota Elea (kini Eliva), Itali bagian selatan. Pemimpin kota tiap tahun mengharuskan warganya bersumpah ulang bahwa mereka akan menaati undang-undang yang sebelumnya dihibahkan ke Elea oleh Parmenides. Thales di Miletus (kini di Turki), selain pengamat bintang dan penghitung geometri, adalah seorang politikus yang berusaha memfederasikan sejumlah kota. Mereka semua tergerak oleh cita-cita kolektif yang mereka sebut eudaimonia, yang berarti kebahagiaan, kesejahteraan, hidup yang baik, atau tumbuh subur. Tujuan seluruh upaya para filsuf adalah menyusun masyarakat demikian rupa sehingga setiap anggotanya dan seluruh tubuh sosialnya dapat bertumbuh subur dan bahagia. Demokrasi adalah caranya menuju ke sana.

Dua momen sejarah penting selanjutnya di mana manusia menggapai kemerdekaan dua-duanya mengaitkan demokrasi dengan apresiasi baru tentang alam. Renaisans (juga disebut Abad Pembaharuan) pada abad ke-16 bukan hanya ‘kelahiran kembali’ di bidang seni dan budaya, tetapi juga di bidang politik. Untuk membela republik-republik kotanya dari penindasan otoritarian baik dari negara-negara besar Spanyol dan Perancis maupun dari gereja di Roma, penggerak Renaisans di Firenze dan kota lain menghidupkan kembali cita-cita demokratis dari zaman Yunani dan Romawi klasik. Nilai-nilai etis berada di pusat cita-cita itu.

Giordano Bruno – filsuf, panteis, republikan - adalah seorang tokoh intelektual Renaisans Radikal, sebagaimana ditunjukkan di atas. Keyakinannya mencerminkan aliran kosmik dan etis yang dicatat oleh Margaret Jacob: ‘Materialisme panteis, pencarian akan agama alam, dan republikanisme.’ Kemerdekaan, bagi penggerak republik kota zaman Renaisans seperti Firenze, berarti belajar kebaikan etis yang memungkinkan mereka memerintahkan dirinya sendiri secara bijak. Bruno memperluas konsep kemerdekaan itu hingga mencakup juga orang miskin, dan hingga mencakup alam yang tak lagi membedakan antara rohaniwan, ningrat, atau orang biasa.

Di atas telah disampaikan bahwa Pencerahan Radikal pada abad ke-18 adalah momen lain di mana cita-citanya bersifat utuh, yakni menggabungkan (a) pandangan naturalistik tentang alam, dengan (b) etik yang menghargai kehidupan, dan dengan (c) demokrasi.

Arran Gare (2017a: 135) menarik kesimpulan berikut dari momen-momen sejarah ini dan menerapkannya kepada abad ke-21:

Syarat menjadi ‘beradab’ pada masa kini mengandung tidak hanya unsur bahwa orang menjadi pecinta lingkungan hidup yang berkomitmen kepada demokrasi yang kuat, yang termasuk di dalamnya satu atau lain bentuk sosialisme, tetapi juga mengandung unsur bahwa ia menghargai nilai hidup itu sendiri secara inheren.

Pergerakan Deep Ecology (Ekologi Dalam) yang muncul pada tahun 1970an (dibicarakan dalam bab lain buku ini) adalah bagian dari upaya membangun peradaban semacam itu. Menurut Arran Gare (2014), pergerakan itu dapat dibaca sebagai kepanjangan dari sebuah pergerakan demi demokratisasi yang jauh lebih besar, yang dimulai pada akhir abad ke-19. Setelah mengetahui bahayanya industri skala besar bagi kehidupan manusia, muncullah berbagai ideologi politik yang berusaha meringankannya: liberalisme melindungi hak individu, sosialisme melindungi hak kolektif. Ide-ide demokrasi elektoral dan kesejahteraan rakyat berkembang. Sebagian besar dimotori oleh prinsip-prinsip Pencerahan Moderat, termasuk revolusi komunis di Uni Soviet yang menggunakan ilmu dan teknologi untuk mengendalikan alam dan masyarakat. Setelah Perang Dunia 2 demokrasi sosial serta pemerintahan partai buruh bermunculan di berbagai negara. Unsur Pencerahan Radikal selalu ada juga, terutama sekali dalam pergerakan anti-kolonial di Asia dan Afrika pada tahun 1940an-1960an. Pergerakan anti-rasis di Amerika dan anti-nuklir di Eropa pada tahun 1960an juga tersentuh cita-cita Pencerahan Radikal.

Sementara itu, kekuatan korporatis merencanakan pukulan balik. Di bawah bendera ‘neo-liberalisme,’ sejumlah pemikir (di antaranya Friedrich Hayek) bergabung dengan pemimpin bisnis besar di Mont Pèlerin di negeri Swiss pada tahun 1947. Di situ mereka merumuskan sebuah program yang akan merongrong negara kesejahteraan (welfare state) dengan tuduhan seolah-olah mengancam kebebasan individu untuk memilih. Mereka berencana mengembalikan dunia kepada situasi pasar bebas yang berlaku pada abad ke-19. Memanfaatkan kekacauan politik akhir tahun 1960an dan krisis ekonomi tahun 1970an, program mereka akhirnya sukses. Kini boleh dikatakan seluruh dunia telah diambil-alih oleh ideologi neoliberal. Serikat buruh dilumpuhkan. Pemikiran dikendalikan lewat media massa milik segelintir korporasi raksasa seperti Rupert Murdoch. Periklanan mendominasi seluruh lanskap baik analog maupun digital. Kaum pecinta lingkungan terkooptasi dengan istilah ‘pembangunan berkelanjutan.’ Universitas dijinakkan lewat model pendanaan kemitraan publik swasta. 

Di tengah kegelapan neoliberal, krisis iklim menandai saatnya hasrat demokrasi utuh mulai ditemukan kembali. Di dalamnya terdapat keinginan untuk bersahabat dengan alam, mirip dengan impian Giordano Bruno dan Baruch Spinoza. Di mana-mana di dunia, generasi muda bangkit menuntut tatanan politis baru yang lebih ekologis. Cita-cita mereka banyak menyerupai gagasan Pencerahan Radikal. Arran Gare merumuskannya sebagai berikut (2014: 205):

Yang mudah-mudahan akan kelihatan selanjutnya adalah sebuah visi ke depan yang jauh lebih tegas daripada apa yang ditawarkan oleh Arne Naess, sebuah visi yang mencakup pemikiran ulang di bidang ilmu-ilmu alam dan sosial, dan, mengingat apa yang telah berlangsung selama setengah abad terakhir ini, sebuah narasi besar baru mengenai kehidupan di Bumi ini sebagai pergumulan untuk membebaskan manusia dari perbudakan kepada korporatokrasi dan kepada pasar global, agar manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga komunitas dapat mewujudkan potensinya secara penuh untuk memperkaya kehidupan. Tujuannya, seharusnya, adalah menciptakan peradaban global yang baru berdasarkan ekologi dan ekologi manusia, daripada berdasarkan fisika dan ekonomi mainstream, untuk membebaskan manusia agar mereka tak lagi harus berpartisipasi dalam pengrusakan kehidupan demi kemakmuran ekonomis, melainkan akan bebas untuk menjadi makmur sambil memperkaya kehidupan.

Untuk penelitian lebih jauh

Bentuklah kelompok diskusi lintas-fakultas, yang mempertemukan pelajar bidang ekonomi, ilmu alam, dan filsafat.

  • Apakah mungkin, belajar ilmu a la Schelling, di mana ilmu tak lagi memisahkan ilmu alam dari kehidupan dan kemanusiaan?
  • Tinjaulah kurikulum-kurikulum yang diikuti masing-masing peserta dari perspektif Schelling.
  • Rancanglah sebuah program perubahan sosial untuk mewujudkan cita-cita integralistik ini, paling tidak sebagian. Apakah hal itu tercapai dalam sistem yang ada, atau harus di luar?

Gerry van Klinken, pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (imil: bacaanbumi@gmail.com), adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane.

Acuan

Birch, Charles, and John B. Cobb Jr. 1981. The Liberation of Life: From the Cell to the Community. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Capra, Fritjof. 1975. The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics Eastern Mysticism, Shambhala Publications. Boulder, Colorado.

Carson, Rachel, and (terj Buahy Kusworo). 1990 [asli Inggeris 1962]. Musim bunga yang bisu. Jakarta: Yayasan Obor Indodnesia.

Gare, Arran. 2014. ‘Deep ecology, the Radical Enlightenment, and ecological civilization.’ The Trumpeter 30 (2):184-205.

Gare, Arran. 2017a. ‘From ‘sustainable development’ to ‘ecological civilization’: winning the war for survival.’ Cosmos and History: The Journal of Natural and Social Philosophy 13 (3):130-153.

Gare, Arran. 2017b. The philosophical foundations of ecological civilization: a manifesto for the future. Abingdon, Oxon: Routledge.

Israel, Jonathan. 2010. A revolution of the mind: radical enlightenment and the intellectual origins of modern democracy. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Jacob, Margaret C. 2003 [orig 1981]. The Radical Enlightenment: Pantheists, Freemasons and Republicans. 2 ed: The Temple Publishers.

Kauffman, Stuart. 1995. At home in the universe: the search for the laws of self-organization and complexity: Oxford University Press.

L:Waley Singer, Dorothea. 1950. Giordano Bruno: his life and thought. New York: Henry Schuman.

Latour, Bruno, and (trans Catherine Porter). 2004. Politics of nature: how to bring the sciences into democracy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Naess, Arne. 1977. ‘Spinoza and ecology.’ Philosophia: philosophical quarterly of Israel 7 (1):45–54.

Whatmore, Sarah. 2006. ‘Materialist returns: practising cultural geography in and for a more-than-human world.’ cultural geographies 13:600-609.

Download artikel pdf ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Single fighters

Feb 13, 2025 - SHERI LYNN GIBBINGS, ELAN LAZUARDI AND ROBBIE PETERS

Why some ride-hailing drivers stay outside mutual aid organisations

Myth, art and science

Feb 13, 2025 - NATASHA DOROSHENKO MURRAY

Indah Arsyad’s Balinese perspective

Esai: Raja-raja hutan

Jan 22, 2025 - JAKA HENDRA BAITTRI

Cara manusia Sumatera menghormatinya harimau

Essay: Kings of the jungle

Jan 22, 2025 - JAKA HENDRA BAITTRI

How Sumatrans honour the tiger, both mystical and real

Sukarno's Indonesia as seen from Yogyakarta

Jan 06, 2025 - MARK WOODWARD

Sukarno's dedication to the arts and obsession with creating a nationalist ideal live on in luxury hotels he built in the 1960s

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.