English version
Azalia Muchransyah
Saya pertama kali bertemu seseorang yang diketahui hidup dengan HIV di dalam penjara. Pada tahun 2013, saya bekerja sebagai salah satu asisten penelitian mengenai layanan kesehatan HIV di penjara di Jakarta. Saat itu saya telah meraih gelar master; pernah mengambil kelas psikologi seksual dan kesehatan sebagai bagian dari gelar kesarjanaan saya; juga telah menerima pelatihan profesional tentang perawatan HIV/AIDS. Karena itu saya yakin dengan pengetahuan saya tentang HIV. Tetapi saya segera menyadari bahwa persepsi saya tentang orang yang hidup dengan HIV ternyata bias.
Orang pertama yang saya temui ketika penelitian adalah seorang pria muda, bugar, dan tampak sehat. Jika dia tidak mengenakan seragam narapidana, saya akan salah mengira dia sebagai salah satu dokter di klinik penjara. Ketika dia mengutarakan bahwa dirinya adalah seseorang yang hidup dengan HIV, saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan saya.
Pada saat itu bahwa bayangan saya tentang seseorang dengan HIV adalah seseorang yang tampak kurus, sakit, tidak terawat, kotor, dan gelisah. Saya juga menyadari bahwa jika seseorang seperti saya—yang berpendidikan dan cukup banyak terpapar terhadap dunia luar—membayangkan orang yang hidup dengan HIV sebagai orang yang kuyu, sebagian besar orang Indonesia mungkin akan memiliki bayangan yang serupa.
Selain itu, orang Indonesia banyak yang menganggap bahwa orang hidup dengan HIV tertular hanya melalui hubungan seks yang tidak aman dan/atau suntikan narkoba. Kedua hal ini dipandang rendah di Indonesia sehingga hanya mengundang sedikit simpati bagi orang yang hidup dengan HIV. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman orang mengenai bagaimana HIV ditularkan. Seringkali orang berpikir mereka bisa tertular HIV melalui jabat tangan atau berbagi sepiring makanan. Akibatnya, sebagian besar orang Indonesia takut bertemu, apalagi menyentuh, orang dengan HIV.
Faktanya, HIV hanya dapat ditularkan melalui cairan tubuh tertentu. Ini memang mungkin terjadi melalui berbagi jarum suntik atau melakukan hubungan seks yang tidak aman, tetapi juga dapat ditularkan melalui transfusi darah atau oleh seorang ibu kepada bayinya di dalam kandungan, melalui kelahiran, atau melalui ASI.
Tes wajib
Selama proyek penelitian yang telah saya sebutkan tadi, saya juga menjalani tes HIV pertama saya. Pada saat itu, penjara menerima banyak alat tes HIV dan, setelah memberikan tes HIV kepada para narapidana, banyak alat tes yang tersisa. Karena akan segera kedaluwarsa, dokter bertanya apakah kami ingin menggunakan alat-alat tes tersebut. Seorang perawat berkebangsaan Amerika yang merupakan bagian dari tim peneliti, memberikan tes HIV tersebut layaknya sedang berada di pusat kesehatan masyarakat di Amerika. Dia bertanya kepada saya mengapa saya ingin dites, jika saya mempunyai keluhan, dan seperti apa riwayat kesehatan saya, sebelum akhirnya dia meminta izin untuk menyeka mulut saya untuk mengambil sampel air liur. Saya merasa nyaman dalam seluruh prosedur itu dan saya belajar banyak tentang cara melakukan tes HIV dengan baik.
Kedua kalinya saya melakukan tes HIV adalah tepat sebelum saya menikah. Bersama tunangan, saya pergi ke rumah sakit besar yang mahal di Jakarta dan mengambil paket tes pra-nikah yang meliputi tes kesuburan, tes darah, dan tes HIV. Namun, tidak seperti pengalaman pertama saya, perawat yang melakukan serangkaian tes ini membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Ketika dia mengambil sampel darah saya, dia bertanya apakah saya akan membatalkan pernikahan jika salah satu dari kami memiliki masalah kesuburan atau dinyatakan positif HIV. Saya terkejut atas pertanyaan tersebut; saya merasa pertanyaan tersebut sangat tidak pantas untuk ditanyakan kepada siapapun, terutama dari perawat kepada pasien.
Saya dites HIV untuk ketiga kalinya karena pemerintah kota Bogor, di mana saya tinggal, mewajibkan semua pasangan untuk melakukan tes HIV setelah menyerahkan dokumen pernikahan ke KUA. Peraturan ini merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No.74/2014 yang mensyaratkan semua lelaki dan perempuan untuk dites HIV sebelum menikah. Hanya puskesmas setempat yang berwenang untuk melakukan tes ini sehingga kedua hasil tes saya yang sebelumnya tidak dianggap sah menurut hukum. Meskipun kali ini tidak semengerikan tes saya yang kedua, pengalaman saya tetap tidak menyenangkan. Perawat mengambil darah kami tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada kami dan setelahnya menyuruh kami menunggu di luar tanpa penjelasan. Setelah satu setengah jam, nama kami dipanggil dan kami masing-masing diberi sebuah kartu. Tidak ada penjelasan apa arti informasi pada kartu-kartu tersebut. Untungnya, saya mengerti cara membaca informasi kesehatan: kami sama-sama negatif. Tetapi orang awam yang mengalami hal yang sama tentu tidak akan tahu apakah mereka memiliki HIV atau tidak.
Fakta bahwa Indonesia telah mengakui perlunya tes HIV merupakan langkah yang baik, namun tes HIV tetap perlu dilakukan dengan cara yang sensitif dan tepat. Saat ini, bahkan untuk mendapatkan tes HIV saja, seseorang akan mendapatkan stigma. Langkah positif lainnya adalah jaminan akses bebas dan universal dari pemerintah Indonesia terhadap obat terapi antiretroviral (ART). Namun, dari perkiraan 630.000 orang dewasa yang hidup dengan HIV di Indonesia, hanya 10 hingga 20 persen saja yang mengakses ART. Alasan utama orang tidak mengakses obat ini adalah karena stigma seputar HIV.
Memerangi stigma
Di Indonesia, HIV dikaitkan dengan menjadi pengguna narkoba dan berhubungan seks di luar nikah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah orang yang melakukan tes dan perawatan serta mengurangi angka HIV, kita perlu mengurangi stigma seputar praktik-praktik tersebut. Salah satu cara untuk mengurangi stigma adalah melalui pendidikan. Namun, diskusi mengenai penyediaan jarum suntik steril menjadi topik yang dilematis karena dapat dianggap mendorong konsumsi narkoba. Lebih jauh lagi, seks di luar nikah dianggap sebagai dosa dan karena itu menjadi tabu untuk dibicarakan. Selain itu, tidak ada pendidikan seks yang layak di sekolah-sekolah Indonesia. Pada tahun 2017, buku pendidikan seks untuk anak-anak dilarang peredarannya karena orang tua menganggap kontennya yang terlalu vulgar.
Kita memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan jika kita ingin menghilangkan stigma terhadap HIV/AIDS. Tes HIV harus tersedia secara gratis di rumah sakit, pusat kesehatan, dan klinik—termasuk yang terletak di sekolah, perguruan tinggi, dan penjara—untuk mengatasi epidemi ini dengan benar. Kita juga perlu melatih penyedia layanan kesehatan seperti dokter dan perawat untuk melakukan tes yang sesuai tanpa menghakimi pasien. Hal ini masih belum dilakukan. Pendidikan melalui media seperti permainan atau film juga dapat dimanfaatkan untuk membantu mencegah orang yang HIV-positif, terutama anak-anak, dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat.
Azalia Muchransyah (azaliapr@buffalo.edu) adalah mahasiswa doktoral di University at Buffalo dan penerima beasiswa RISTEKDIKTI-Fulbright, yang diberikan pada tahun 2017. Kunjungi situsnya untuk mengetahui lebih lanjut.