English version
Profesor Suryani dan timnya sedang membuat perbedaan
Niko Tiliopoulos
Pada pergantian abad, saya menerima sebuah undangan tak terduga yang menantang, yaitu untuk menyampaikan serangkaian kuliah tamu kepada Departemen Psikiatri di Universitas Udayana di Bali, Indonesia. Undangan tersebut datang langsung dari kepala departemen, Profesor Luh Ketut Suryani, MD, PhD. Oleh karenanya, saya pindah ke Bali dan tinggal di sana selama sekitar tiga bulan di hunian milik Prof. Suryani di Denpasar. Ini merupakan awal dari sebuah hubungan jangka panjang yang saya hormati secara mendalam, karena beliau menjadi sosok ibu bagi saya, dan saya dirangkul sebagai bagian dari keluarga besarnya. Hati saya merendah, melihat upaya tulus beliau untuk meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan terutama kesehatan jiwa masyarakat Bali, melawan pedofilia dan kekerasan seksual, serta meningkatkan kesejahteraan para lanjut usia.
Tidak lama setelah bertemu beliau, saya terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan beliau bersama dengan tim psikiaternya, yang berupa intervensi, gerakan amal dan pendidikan. Bersama-sama, kami telah membantu ratusan orang untuk mengatasi permasalahan kesehatan jiwa, dan membantu lebih banyak orang lagi untuk hidup seutuhnya dengan penuh harapan. Saya ingin menceritakan kepada Anda tentang apa yang kami lakukan dengan menuturkan kenangan akan satu hari dalam kehidupan mereka.
Satu hari
Di fajar pertama tahun 2009, saya mendapati diri saya menyantap sarapan bersama Profesor Suryani, di rumah keluarganya di Denpasar. Beliau terjaga semalam suntuk untuk menyambut matahari baru melalui sesi meditasi kelompok dadakan di Pantai Sanur. Akan tetapi, tidak seperti saya, beliau dipenuhi dengan energi positif, dengan matanya yang berusia 65 tahun memancarkan kehangatan pagi itu, penuh keagungan dan keanggunan.
‘Saya merasa diberkati!’ Saya akhirnya mampu mengumpulkan keberanian untuk mengakui kepadanya. ‘Saya merasa diberkati, karena kemarin malam saya menyaksikan kelahiran agama baru.’
Ia tersenyum kepada saya. Sang Profesor—meskipun seorang penulis yang sangat produktif, dengan lebih dari seratus artikel dan buku yang telah ditulisnya—tidak pernah banyak berbicara. Akan tetapi setiap kata yang beliau tuturkan datang langsung dari kaleidoskop spiritual jiwanya.
‘Saya hanya meminta mereka untuk mengikuti mimpi mereka,’ beliau menjawab, dan kata-katanya menggetarkan kopi dalam cangkir yang saya pegang.
Ikuti mimpi mereka…
Persis seperti yang sudah beliau lakukan; seperti yang selalu beliau lakukan selama ini.
Anak ke-empat dari sebuah keluarga yang menduduki kasta Hindu Bali paling rendah, beliau sekarang menjadi wanita paling berpengaruh di negara terbesar keempat di dunia. Beliau telah berjuang melawan prasangka, seksisme, diskriminasi agama, tradisi, intoleransi sosial, persekusi politik, dan beliau telah memenangkan kemustahilan ini. Sekarang beliau merupakan anggota keluarga Kerajaan Klungkung yang dihormati (karena pernikahan), seorang pemimpin spiritual, politisi yang lantang menyuarakan pendapatnya, dan seorang profesor dalam bidang psikiatri. Ratu Bali, Sang Penyembuh dari Bali, Ibu Indonesia. Dan beliau hanya mengikuti mimpi-mimpinya.
‘Masa lalu milik nenek moyang kita,’ beliau mengajarkan kepada saya suatu kali, ‘Masa depan milik Tuhan kita yang Maha Esa; masa sekarang-lah yang milik kita. Tetapi, kita sepertinya menghabiskan lebih banyak waktu kita untuk memikirkan masa lalu dan masa depan.’
Tetapi, pada pagi di tahun baru ini, saya tidak bisa menahan untuk tidak berpikir tentang rencana-rencana di hari itu. Untuk Sang Profesor, ini hanyalah sebuah hari seperti biasanya, dengan para sekretaris yang panik, berusaha untuk mengorganisasi jadwalnya yang padat: 9:00 WITA, wawancara koran mengenai pandangannya tentang pemilihan umum yang akan datang; 9:20 WITA, rapat dengan psikiater setempat untuk mengkoordinasi masalah kesehatan jiwa; 10:30 WITA, mengumpulkan bukti ilmiah psikiatri untuk membantu menuntut pedofil asal Australia yang baru tertangkap; 12:00 WITA, rapat dengan Gubernur untuk mendiskusikan proposal kesehatan jiwa; 14:00 WITA, kuliah umum mengenai psikopati; 15:30-19:00 WITA, jadwal bertemu dengan pasien; 19:30 WITA, wawancara radio mengenai isu bunuh diri; 21:00 WITA, wawancara TV mengenai keluarga berencana; 22:30 WITA, makan malam formal dengan ketua masyarakat. Tetapi, di antara jadwal beliau yang begitu padat, beliau selalu memiliki waktu untuk dihabiskan dengan keluarga dan bermain dengan cucu-cucunya, waktu untuk beribadah, meditasi, atau berpartisipasi dalam upacara keagamaan. Rasanya seperti seluruh hidup saya setara dengan hanya satu hari bagi Sang Profesor!
Saya berjalan dengannya ke Suryani Institute for Mental Health (SIMH), sebuah institusi yang beliau dirikan pada 2005 untuk membantu Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) menjalani pengobatan, pendidikan dan proyek prevensi berbasis komunitas, sebuah institut di mana saya bangga menjadi bagian darinya sejak awal. Spiritual-Hypnosis Assisted Therapy (terapi spiritual-hipnosis terpandu), yang beliau kembangkan selama pengalaman praktik klinisnya, telah menarik pasien dari seluruh dunia, dan saya jadi sering berbincang dengan orang Amerika atau Eropa yang terbang ke Bali hanya untuk ditangani oleh Sang Profesor. Orang Barat membayar mahal untuk sesinya, tetapi uang itu sangat dibutuhkan. Beliau menggunakan dana tersebut untuk membiayai berbagai kuliah umum gratis, seminar, program pelatihan keluarga, menyediakan pengobatan dan layanan gratis ketika dibutuhkan, mendanai berbagai proyek penelitiannya, dan membayar pekerja lapangan yang tidak sedikit, yang selalu menelusuri pulau untuk mengidentifikasi orang yang membutuhkan layanan kesehatan jiwa.
‘Saya peduli dengan penduduk kita,’ beliau mengakui sembari kami berjalan melewati para pedagang kaki lima, orang berlalu-lalang, dan pejalan kaki, di mana semua menunduk ketika melihatnya. ‘Kami adalah sebuah pulau-budaya kecil yang berada di ambang kepunahan. Saya tidak bisa membiarkan itu terjadi tanpa melakukan apa-apa.’
Pulau Bali adalah salah satu dari sedikit harta karun budaya yang tersisa di bumi ini. Sebuah budaya yang begitu kaya akan spiritualitas dan legenda, seseorang bisa merasakan Dewa-dewa menari di bawah rembulan di tengah sawah; penuh warna dan ceria, mengingatkan saya akan masa kanak-kanak. Sebuah budaya yang begitu polos, sehingga menarik perhatian kejahatan. Surga pedofil, taman bermain pengedar narkoba, pasar budak muncikari, rumah bordil orang Barat! Beberapa tahun yang lalu, saya sedang bersantap dengan Sang Profesor di salah satu restoran makanan laut favoritnya di Jimbaran, hanya beberapa hari sebelum diledakkan oleh teroris. Profesor Suryani, tim dokter medis dan psikiater terlibat secara aktif dalam menyediakan penanganan medis darurat dan psikoterapi kepada korban serangan teroris pada tahun 2002 dan 2005 di pulau itu.
Beliau peduli dengan penduduk di sana; saya tahu betul… Orang-orang Bali juga tahu itu, sembari mereka menunduk menghormatinya. Bahkan, anginpun juga mengetahuinya.
Kami tiba di Suryani Institute. Tempat itu sibuk dengan berbagai aktivitas. Patung kepala Mahatma Gandhi yang tersenyum terlihat menonjol di ruang tunggu. Di sebelahnya adalah jurnalis koran yang sudah menunggu untuk janji bertemu dengannya. Sang Profesor menyapanya; karena kemampuan Bahasa Indonesia saya lebih buruk daripada kesehatan jiwa saya, maka saya meninggalkan mereka dan pergi ke lantai atas untuk menjalani berbagai komitmen saya di hari itu.
Di sebuah ruangan kantor, duduk di depan komputer, Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana melambaikan tangan, meminta agar saya segera bergabung dengannya. Dr. Lesmana adalah satu satu dari enam anak Profesor, seorang psikiater juga dan dosen di salah satu universitas. Di antara tanggung jawabnya di Suryani Institute adalah untuk berkoordinasi dengan para pekerja lapangan yang melaksanakan survei di Bali untuk orang-orang dengan gangguan jiwa yang belum terlaporkan dan belum mendapat penanganan. Beliau barusan mengidentifikasi kasus baru dan sangat ingin menunjukkan kepada saya foto yang telah beliau ambil. Saya duduk di sebelahnya dan menyaksikan teror kebiadaban yang terungkap di layar monitor.
Seorang laki-laki yang mengalami malnutrisi dipasung ke pohon. Seorang laki-laki lainnya terbaring tanpa busana di atas genangan kotorannya sendiri, dengan salah satu kakinya terkunci di antara dua batang pohon. Seorang wanita muda meringkuk di dalam kandang yang tak lebih besar dari kandang anjing. Terus menerus foto itu tertampilkan, seperti adegan dalam film horror. Terus menerus wajah-wajah yang terluka itu menunjukkan pengalaman penuh kesakitan dan penderitaan ... begitu banyak… beratus-ratus.
Terlihat jelas bahwa Dr. Lesmana mengomentari setiap foto dengan prihatin, namun tetap terkontrol dan profesional. ‘Laki-laki ini sudah dipasung selama sepuluh tahun; kami mendiagnosisnya menderita skizofrenia kronis; orang ini sudah seperti ini selama 20 tahun; skizoafektif; wanita ini telah terkunci dalam kurungan kecil ini lebih dari 15 tahun, percaya tidak? Skizofrenia berat.’
Profesor Suryani dan timnya telah melakukan survei terhadap lebih dari lima ratus ribu individu—sepertujuh dari populasi Bali—dan telah mengidentifikasi sekitar seribu kasus yang serupa. Orang-orang seperti yang telah disebutkan di atas, orang yang untuk alasan hukum, sosial, budaya atau pendidikan dipaksa masuk ke dalam kehidupan yang penuh siksaan, untuk hidup dalam mimpi buruk yang bahkan lebih buruk dari kematian. Orang yang hanya beberapa tahun lalu sama seperti Anda dan saya … ‘Orang ini dulu atlet profesional, dia dulu insinyur listrik; dia dulu peternak …’ Sekarang, mereka lenyap. Diasingkan dari kehidupan, dilupakan dan ditinggalkan.
‘Ini bukan hanya masalah kesehatan jiwa saja,’ saya akhinya mengungkapkan, ‘Ini jelas masalah hak asasi manusia! Kita harus laporkan ke Amnesty International.’
Dr. Lesmana menatap saya dengan mimik wajah sedih yang menyiratkan pertanyaan ‘Apa yang membuat kamu berpikir bahwa mereka akan peduli?’
‘Mereka pasti peduli,’ saya teriakkan dengan frustrasi, di saat yang bersamaan melihat putranya yang berumur dua tahun memanggil saya dari kejauhan - ‘Om Niko … Om Niko …’ - dan suaranya membuat saya sadar bahwa saya telah mencoba menghubungi Amnesty International, BBC, ABC dan organisasi serupa, dengan sia-sia. ‘Mereka pasti peduli.’ Saya berbisik …
Paling tidak, pemerintah Indonesia akhirnya terpaksa untuk peduli, sebagian karena dokumenter pendek yang saya dan Dr. Lesmana buat tentang ini, berjudul The Dark Side of Paradise: Mental Illness in Bali (2008). Film tersebut menimbulkan protes setelah dipublikasikan di YouTube dan berbagai layanan media online lainnya. Pemerintah Indonesia telah menjanjikan dana sekitar $A150,000 per tahun untuk proyek ini. Dengan dana ini, institut dapat memberikan pengobatan untuk sekitar 300-an individu per tahun. Meskipun ada potensi bahwa ribuan orang lainnya akan tetap tak terobati, kami tetap menganggap ini sebuah kesuksesan. Sebelum isu ini diketahui publik, pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan bahwa gangguan jiwa di Bali hampir tidak ada. Sehingga, tidak mengherankan bahwa jumlah psikoterapis di pulau ini hanya berjumlah 20, bahkan lebih sedikit daripada jumlah psikoterapis yang bekerja di University of Sydney! Kami menghabiskan sisa waktu pagi untuk mendistribusikan dana dan mendiskusikan bagaimana cara memprioritaskan pengobatan.
Ketika sampai di penghujung sore, Profesor Suryani kembali ke institut untuk memulai sesi terapi beliau, Dr. Lesmana dan saya pergi melewati Denpasar untuk bertemu dengan pekerja lapangan yang baru saja direkrut. Mereka adalah mahasiswa sarjana kedokteran dari Universitas Udayana yang akan melakukan bagian pertama survei kesehatan jiwa di Denpasar. Dengan sumber daya dan waktu yang tersedia, mereka memiliki waktu kurang dari satu minggu untuk mewawancarai kurang lebih 120,000 individu! Betul-betul sebuah usaha yang sangat besar, yang membutuhkan perencanaan yang hati-hati dan pelaksanaan yang tepat. Tugas Dr. Lesmana hari ini adalah untuk menjelaskan kepada mereka mengenai konsep di balik asesmen klinis atau asesmen lainnya yang akan mereka gunakan, dan untuk menunjukkan kepada mereka bagaimana cara merekam dan menginterpretasi jawaban. Tugas saya adalah untuk membimbing mereka terkait berbagai kejanggalan prosedural dalam pelaksanaan survei medis dan wawancara lapangan, untuk mengatasi masalah yang mungkin akan mereka hadapi di lapangan.
Di suatu titik pertemuan kami, salah satu mahasiswa bertanya: ‘Saya tidak melihat manfaat dari semua ini. Anda menggerakkan semua sumber daya dan petugas untuk sebuah pekerjaan yang jelas tidak akan terlengkapi sepenuhnya. Kenapa kita harus melakukannya?’ ‘Pertanyaan yang bagus!’ saya membalas. ‘Akan tetapi, jika melalui proses yang tidak lengkap ini, kita berhasil … Anda berhasil untuk mengidentifikasi bahkan satu saja individu yang segera membutuhkan perawatan psikiatri … kita … Anda akan menyelamatkan seorang jiwa dari hukuman seumur hidup tinggal di neraka dunia (dipasung). Dan itu yang membuat semua ini layak dilakukan!’ Sehingga, esok harinya mereka menjalankan dan melakukan survei yang tidak lengkap itu, di mana hampir 200 orang teridentifikasi mengalami masalah kesehatan jiwa berat yang tidak tertangani. Dua ratus jiwa yang tersesat sekarang memiliki kesempatan untuk terlindung dari neraka penderitaan mereka. Sebuah pekerjaan yang sangat bermanfaat, bahkan menurut standar mahasiswa tersebut.
Dalam perjalanan kembali ke institut, suara Profesor Suryani menemani kami ketika beliau mendebatkan ide-idenya di radio. Pada salah satu proyek beliau yang sedang berjalan, beliau berusaha untuk memahami penyebab meningkatnya kejadian bunuh diri di pulau Bali. Dugaan utama beliau adalah gangguan komunikasi dalam keluarga yang beliau amati. Akan tetapi, penyebab kondisi ini di tahun-tahun belakangan masih sukar dipahami: Apakah karena arus masuknya orang Barat dengan moralitas turis yang rendah? Atau semakin meningkatnya jumlah komunitas Muslim dan Kristen di pulau dengan nilai budaya yang asing? Atau krisis ekonomi berat yang muncul pasca serangan teroris yang melawan segala macam moralitas? Belum ada yang tahu, tetapi Sang Profesor bertekad untuk mencari tahu dan mengembangkan strategi dan intervensi untuk menghilangkan gangguan ini dari masyarakatnya.
Kembalinya di institut, kami disapa oleh seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun, salah satu dari kasus yang teridentifikasi, terdiagnosis oleh tim dengan skizofrenia kronis dan menderita pengecilan otot akibat sindrom Guillain-Barre. Beliau benar-benar digendong ke sana oleh anggota keluarganya karena menderita kelumpuhan parah pada tangan dan kaki, yang semakin diperparah akibat pemasungan selama tujuh tahun terakhir. Melalui sebuah seri intervensi yang sukses, Profesor Suryani telah berhasil mengembalikan beliau kepada kondisi fungsional, dan kemudian mendapatkan dana untuk membelikannya sebuah laptop untuk membantu melatih jari-jarinya dan mengejar ketertinggalan beliau akan informasi tentang peristiwa di dunia dalam tujuh tahun terakhir. Dr. Lesmana dan saya menunjukkan kepadanya bagaimana cara menggunakannya dan menjelaskan mengapa beliau perlu berusaha menggunakan semua jari-jarinya ketika mengetik. Beliau tidak dapat menahan rasa terima kasihnya. Mukanya berseri penuh dengan ketakjuban, optimisme dan kegembiraan. Hari-harinya di neraka telah berakhir. Beliau sekarang bisa mulai hidup lagi. Saya merasa terbanjiri oleh emosi dan harus pamit untuk menahan diri. Saya berpindah ke ruangan lain, di mana Sang Profesor sedang bernegosiasi di TV mengenai ide-idenya tentang keluarga berencana dengan kebijaksanaan yang bersemangat namun tenang. Saya melihatnya; saya melihat beliau menerawang; saya bisa melihat orang-orang ini di sekelilingnya, mereka yang bernasib buruk; jiwa-jiwa yang tersiksa menatapnya; meraih-raihnya; meminta belas kasihnya. Mereka tahu bahwa hanya beliau yang bisa membantu mereka; mereka tahu bahwa hanya beliau yang benar-benar peduli. ‘Terima kasih’ hanya itu yang bisa saya katakan.
Pada malam pertama tahun 2009, saya, sekali lagi, sedang duduk di samping Professor Suryani. Sebuah hari yang sangat intens bagi saya, sebuah hari yang biasa untuk Sang Profesor; sebuah hari yang sejujurnya, berharga bagi kami berdua. Beliau mengaduk tehnya, saya menyeruput bir Bintang, kami berdua terlalu larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba beliau berkata:
‘Jika itu membantu orang untuk bahagia dan membuat bahagia orang di sekeliling mereka, maka saya menyambutnya.’
‘Maaf?’
‘Kelahiran agama baru, yang kamu sebut tadi pagi’.
Beliau memberi saya senyum yang ramah dan terus menunjukkannya selama sesi meditasi malamnya. Semakin beliau menghilang ditelan bayangan, saya kembali larut dalam pikiran saya. Bagaimana saya bisa mengambil makna dari tragedi yang sedang berlangsung ini? Bagaimana saya bisa menyampaikan mengenai upaya berani, tulus, dan luar biasa dari Profesor Suryani dan timnya? Bagaimana saya bisa menceritakan kisah orang-orang ini kepada orang-orang yang begitu terpisah dari semua ini seperti Anda?
Izinkan saya memberi tahu Anda tentang sebuah hari dalam kehidupan mereka …
Niko Tiliopoulos (niko.tiliopoulos@sydney.edu.au) adalah seorang dosen senior bidang Psikologi di University of Sydney. Beliau merupakan anggota badan direksi The Suryani Institute for Mental Health.