English version
Seorang jurnalis foto merefleksikan satu dekade mendokumentasikan nasib orang-orang dengan disabilitas psikososial di Indonesia
Andrea Star Reese
Ketika saya mengunjungi Indonesia pada November 2010, saya melihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping berjalan sepanjang sebuah jalan di pedesaan Jawa. Saya bertanya kepada fixer saya (manajer lokasi, koordinator produksi/rekan investigator/rekan peneliti/translator/petugas keamanan) dari Indonesia, yang menjadi rekan saya dalam bekerja: ‘Apa yang akan terjadi pada orang-orang dengan gangguan jiwa?’ Gunawan menjawab: ‘Saya tidak tahu, tetapi sepertinya hal yang buruk.’ ‘Itu cerita kita berikutnya,’ saya jawab. Saya memutuskan, di saat itu juga, untuk mendokumentasikan nasib individu dengan gangguan jiwa di Indonesia, yang seringkali berakhir dengan sangat buruk.
Sejak itu, saya telah melakukan reportase mengenai orang dengan disabilitas psikososial, baik yang nyata maupun perceived (dirasakan), di Indonesia dan mendokumentasikan kehidupan mereka. Saya telah mengunjungi secara berulang lebih dari seratus tempat tinggal individu dengan disabilitas psikososial yang nyata dan perceived. Tempat-tempat ini termasuk panti sosial milik pemerintah, panti-panti yang terlisensi maupun tidak, fasilitas informal seperti pesantren, pusat rehabilitasi jiwa, rumah sakit dan rumah pribadi.
Pada tahun 2018, saya mengunjungi Jawa Timur. Suatu hari, saya bertemu dengan Siti, seorang mantan guru berumur 40 tahun yang dikurung di sebuah kamar kecil di rumah keluarganya. Saudara perempuannya menceritakan perilakunya sebagai ‘penuh amarah, merusak, dan antisosial.’ Ibunya, Supilah mengatakan bahwa Siti disihir oleh seorang laki-laki yang mencintainya. Siti tidak setuju. Siti berhenti mengajar di madrasah setempat dan lebih memilih untuk tinggal di rumah. Akhirnya, keluarganya merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mengurungnya.
Saya meminta Supilah untuk membuka kunci pintu sehingga saya dapat melihat sebuah sel seukuran lemari baju yang hanya berisi tempat tidur kecil. Ibunya Siti menjelaskan bahwa keluarga mereka tidak pernah memeriksakan Siti ke rumah sakit karena ‘kami tidak punya uang.’
Namun baru-baru ini, tim penjangkauan dari puskesmas setempat telah datang untuk menjenguk. Layanan kesehatan jiwa ditawarkan, dan obat diberikan. Karena sekarang pintu sel kecil telah terbuka, Siti bergeser sedikit ke depan dan melihat sekeliling. Ia menjulurkan tangan untuk menyentuh lantai dengan satu jari lalu dengan kedua tangan. Ia mengangkat tubuhnya maju. Untuk pertama kalinya, selama 12 tahun, Siti keluar dari kamarnya. Tak terduga. Spontan. Sebuah tindakan membebaskan diri. Kata-kata tidak cukup untuk menggambarkan pentingnya keputusan Siti ini. Sayangnya, ia tidak mampu untuk berdiri. Meskipun begitu, ia naik ke sebuah kursi dan memandang takjub foto-foto keluarga yang terpajang di dinding. Ia merangkak ke pintu depan dan melihat ke luar, melihat cahaya dan melihat langit, dan memutuskan untuk duduk di kursi di dekatnya. Ia tersenyum.
Saya mengambil foto keluarga mereka selama beberapa jam hari itu, dan terkadang saya mundur, berusaha sekedar menjadi pengamat untuk alasan-alasan yang tidak perlu saya jelaskan.
Di akhir 2019, saya kembali kesana. Saudara Siti telah meninggal dan ibunya, karena diliputi kesedihan dan kewalahan, mengatakan kepada saya bahwa ia tidak mampu mengawasi Siti dengan cukup tanpa adanya bantuan anggota keluarga lain. Ia takut untuk memperbolehkan tim klinik berkunjung kembali agar dapat membawa Siti ke rumah sakit untuk dirawat dengan alasan ‘Mereka meninggal di rumah sakit.’ Pada awalnya, tidak ada respon dari Siti, yang telah kembali ke penjara kecilnya, berbaring di atas tempat tidur kecil dalam kegelapan dengan muka yang menghadap tembok. Saya menaruh sebuah cheese roll (roti keju gulung) dalam tangannya. ‘Siti,’ saya panggil ia lagi. Karena mendengar saya memanggilnya, mungkin ia teringat hari itu di tahun 2018, Siti menoleh untuk melihat melalui bilah pintu yang rusak. Ia menggeserkan tubuh dan bergerak maju. Ia tersenyum dan tertawa. ‘Dia menolak untuk minum obat,’ kata ibunya.
Mendokumentasikan institusi perawatan gangguan jiwa
Saya bekerja di lingkungan institusional yang seringkali terpolusi dengan biowaste (limbah biologis). Di sana, pelanggaran hak asasi manusia merajalela dan tersembunyi di depan mata bahkan di tempat di mana pemilik panti dan para pengasuh berkomitmen untuk membantu para penghuni. Praktik-praktik tradisional yang mereka gunakan dianggap wajar untuk digunakan dalam menghadapi perilaku abnormal, sejak bertahun-tahun di seluruh Indonesia. Ketika akses saya dibatasi atau sangat dikendalikan oleh pegawai panti, saya berusaha untuk mencari kesempatan, biasanya dengan bantuan dari penghuni yang berani, untuk memfoto apa yang saya tidak diperbolehkan untuk foto. Saya datang secara tiba-tiba, tanpa memberi tahu terlebih dahulu, lalu kembali, menghabiskan sebagian besar waktu tidak mengambil foto sembari menunggu ada seseorang yang teralih perhatiannya, melihat-lihat, berjaga lebih lama daripada yang mengawasi, dan menjadi akrab dengan individu yang terlibat. Terkadang, saya menggunakan kamera ponsel saja.
Pada Oktober 2019, saya melakukan wawancara video dengan Muji, yang berumur 24 tahun. Muji telah menjadi penghuni sebuah fasilitas perawatan yang informal di Jawa Tengah selama dua bulan. Seperti penghuni lainnya, ia “sangat lapar”. Keluarganya membayar untuk perawatannya karena, ia mengatakan kepada saya, ‘Otak saya tidak baik.’ Muji menyampaikan kepada saya bahwa seorang dokter berkunjung sebulan sekali tetapi ‘tidak melakukan apa-apa.’ Saya mengatakan kepadanya bahwa ‘seorang psikiater bisa melakukan banyak hal; jika kamu bisa, tolong berbicara dengannya,’ dan ‘kamu bisa sembuh.’ Muji membalas: ‘Saya berharap semoga begitu.’ Dengan menunjuk ke arah rantai yang terpasang di pergelangan kakinya, ia mengatakan kepada saya: ‘Ini melawan hak asasi manusia.’ Ketika saya kembali sebulan setelah itu, kondisi Muji telah memburuk. Dengan kondisi terpapar dengan panas dan debu yang terus menerus, ditambah ia kelaparan, dirantai, dan dikelilingi oleh kotoran manusia, semua merupakan tantangan yang berat. ‘Tolong bertahanlah,’ Saya sampaikan, memohon, dan meminta kepadanya: ‘Ketika mulai sulit, bantulah orang lain disekitarmu.’ Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Di seluruh Indonesia, ribuan orang dengan gangguan jiwa berat ditahan tanpa batas waktu yang jelas, dalam kondisi yang menyedihkan. Situasi mereka jauh lebih buruk daripada para penghuni penjara yang paling tidak, tahu berapa lama mereka ditahan. Banyak dari mereka kelaparan, dipaksa untuk makan, tidur, dan buang air besar sembari dibelenggu atau dikunci dalam ruangan, sel, kurungan, kandang atau dipasung dengan balok kayu. Orang yang mengasuh mereka terpaksa melakukan praktik ini karena putus asa. Banyak yang tidak lagi bisa merawat anggota keluarganya, tidak memiliki waktu untuk mencari pertolongan medis, tidak percaya dengan obat-obatan, takut akan adiksi, atau takut dengan rasa malu dan stigma yang terikat pada gangguan jiwa. Kebanyakan orang yang merawat yakin bahwa mereka melakukan apa yang perlu dilakukan untuk melindungi keluarga, masyarakat dan individu dengan gangguan jiwa itu sendiri.
Upaya untuk meningkatkan standar perawatan
Pada tahun 2016, Kementerian Kesehatan memberlakukan sebuah inisiatif penjangkauan pintu ke pintu yang dilaksanakan oleh puskesmas setempat. Anggota tim penjangkauan telah mengunjungi Siti. Di banyak daerah, program terobosan ini terus meraih kesuksesan yang signifikan. Sayangnya, menyediakan layanan yang cukup untuk individu dengan gangguan jiwa seringkali rumit.
Dalam sebuah wawancara pada tahun 2017, Dr Irmansyah, mantan Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan dan sekarang terasosiasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan memperingatkan saya: ‘Tidak ada sumber daya yang dapat memastikan bahwa pasien terus mengkonsumsi obat.’ Ia menambahkan: ‘Program psikiatri komunitas yang didesain untuk mencegah kekambuhan tidak terimplementasikan dengan baik di seluruh tempat. Sehingga, tidak mengejutkan bahwa banyak orang dengan gangguan jiwa kambuh. Pada akhirnya, keluarga mereka kembali pada sikap sebelumnya, bahwa perawatan di rumah sakit jiwa adalah sia-sia, dan tidak efektif. Setelah itu, orang-orang kembali dipasung.’
Dalam panti rehabilitasi sosial, baik terlisensi maupun tidak, yang menerima orang dengan disabilitas psikososial nyata atau perceived, tidak banyak telah berubah disana meskipun Undang-Undang Disabilitas telah disahkan pada tahun 2016, yang berisi mandat mengharuskan Pemerintah Indonesia menetapkan standar perawatan minimal. ‘Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk mengatur dengan jelas layanan yang disediakan oleh institusi yang menampung penyandang disabilitas psikososial.’ Dr Irmansyah berkata. Dan Yeni Rosa Damayanti, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), yang berbasis di Jakarta, mengatakan kepada saya pada Januari 2017: ‘Hal itu (re: Undang-undang Disabilitas) tidak sempurna, tapi merupakan langkah awal. [Regulasi yang spesifik] bisa menciptakan sebuah dasar hukum yang kuat untuk menghentikan kekerasan dan perlakuan merendahkan di panti-panti.’
Di banyak kelompok masyarakat Indonesia yang tidak mendapat layanan, panti yang tidak resmi dan tak berlisensi dikelola oleh penyedia layanan yang tidak terlatih. Fasilitas-fasilitas ini bukan pengganti yang tepat untuk layanan psikiatri dan penanganan yang disediakan oleh rumah sakit dan klinik. Layanan seperti itu jarang ditemukan, tidak terdistribusi secara merata di seluruh negeri, dan seringkali sulit untuk diakses.
Setelah pejabat setempat memeriksa institusi tidak resmi seperti ini, tidak banyak yang kemudian terjadi. Pemilik fasilitas semacam ini di Jawa Tengah mengatakan kepada saya: ‘Mereka datang, mereka melihat-melihat, mereka pulang.’ Meskipun beberapa fasilitas yang telah saya dokumentasikan mendapat bantuan dari pendanaan mandiri atau donasi pribadi, selebihnya, sebagian besar pemilik dan pengelola kesulitan secara finansial, dan menyampaikan kepada saya bahwa ‘tidak banyak dukungan dari pemerintah,’ ‘tidak ada dukungan pemerintah,’ ‘hanya ada sedikit (bantuan) makanan,’ dan ‘hanya ada sedikit makanan, tapi tahun ini tidak dapat.’
Meskipun beberapa keluarga membayar untuk layanan bagi anggota keluarganya, penghuni fasilitas juga termasuk tunawisma yang diantarkan oleh polisi setempat yang tidak tahu harus membawa mereka ke mana lagi. Beberapa penghuni ditelantarkan oleh keluarga mereka setelah diantarkan kesana. Kebanyakan fasilitas informal menempatkan penghuni/pasien mereka di sel-sel, kurungan, dan kandang besar yang tertutup. Pemilik panti-panti ini melihatnya sebagai hal yang lebih baik daripada menggunakan rantai. Di mana rantai masih digunakan, saya diberitahu: ‘Saya setuju dengan hak asasi manusia, [rantai itu] hanya digunakan ketika keluarganya meminta,’ dan ‘jika saya tidak menggunakan rantai, mereka akan melawan saya. Saya butuh dinding-dinding yang tinggi dan banyak ruangan yang dapat dikunci.’
Peran fotografer
Meskipun saya sebisa mungkin mengambil foto tanpa ditemani, saya tidak bekerja sendirian atau tanpa bantuan. Cerita apapun yang berkaitan dengan isu yang berdampak terhadap orang dengan disabilitas psikososial yang nyata atau perceived di Indonesia butuh penelitian, konsultasi, dan wawancara dengan profesional kesehatan jiwa Indonesia dan aktivis hak disabilitas yang terlibat dalam pekerjaan nyata untuk mengadvokasikan perubahan. Seri saya juga membutuhkan kerjasama dengan Gunawan, asisten saya dari Indonesia, yang juga membantu saya mengidentifikasi dan menelusuri anggota masyarakat yang memiliki informasi.
Bagian terpenting dari karya saya bukanlah fotografi saya. Meskipun stigma yang persisten terus meliputi gangguan jiwa, para lelaki dan perempuan dengan disabilitas psikososial nyata atau perceived memperbolehkan saya untuk mengambil foto karena mereka ingin orang tahu apa yang terjadi pada mereka, dan karena mereka ingin orang-orang melihat apa yang harus mereka hadapi sehari-hari. Partisipasi mereka dalam karya saya sebagai jurnalis foto adalah bagian utama dari perjuangan mereka untuk diakui, dihormati, dan dibebaskan; perjuangan mereka akan hak untuk hidup.
Mungkin bagian terpenting dari karya saya adalah meminta, memohon, dan mendorong laki-laki dan perempuan dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya untuk bertahan hidup, untuk menghargai hidup, dan untuk berpegangan pada harapan di tengah kondisi buruk yang mereka terpaksa hidupi sementara mereka berjuang melawan gangguan jiwa berat yang sebetulnya bisa disembuhkan. Saya menghabiskan beberapa jam dengan mereka untuk mencapai hal ini, dengan beramunisi rasa hormat, fokus, atensi, potongan-potongan pembicaraan, dan informasi. Lalu asisten saya dan saya melakukan perjalanan selama berjam-jam, biasanya di malam hari yang gelap, sembari mendengarkan musik yang keras. Berminggu-minggu kemudian, kami kembali karena orang yang telah saya foto masih di sana.
Akhirnya, saya meninggalkan mereka pergi sementara orang yang saya foto harus tetap tinggal. Bahkan setelah sembilan tahun bekerja di Indonesia, meninggalkannya begitu sulit. Saya akan kembali. Saya bekerja pada sebuah medan tempur neurologis.
Pemberitaan jangka panjang ini menerima banyak bantuan selama tahun ke tahun dari berbagai aktivis, partner, dan para ahli, termasuk: Dr Hervita Diatri (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Dr Yuniar Sunarko (Rumah Sakit Kesehatan Jiwa Lawang), Dr Irmansyah (Litbangkes), Kriti Sharma (Human Rights Watch), Yeni Rosa Diamanti (Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia), Bagus Utomo (Komunitas peduli Skizofrenia Indonesia), Nurhamid (Komunitas Sehat Jiwa), Iin Purwanti Cox (konsultan di Outpost), Gunawan (fixer), Bokir, Anas dan semura narasumber local, juga almarhum Dr Pandu Setiawan (Jaringan Rehabilitasi Psikososial Indonesia).
Andrea Star Reese (areese1230@gmail.com) adalah seorang jurnalis foto dan fotografer documenter yang berbasis di New York. Ia memproduksi DISORDER (2011-ongoing), sebuah laporan dokumenter multi-tahun mengenai siksaan terhadap orang dengan disabilitas psikososial. Foto-fotonya telah muncul di banyak tempat, seperti artikelnya untuk Time Magazine, 3 Sept 2013 dan dalam laporan Human Rights Watch 2016 yang berjudul Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia. Saat ini ia bekerja secara jarak jauh dan pro-bono dengan PJS-IMHA untuk melaporkan kepada komite pemerintahan mengenai bahayanya fasilitas layanan untuk menjadi hotspot COVID-19. Lihat karya lainnya di website ini.