Nicholas J. Long
English version
Pak Iwan adalah salah satu kawan lama saya di Indonesia. Beliau seorang dosen politik di sebuah perguruan tinggi swasta kecil di Kepulauan Riau yang pertama kali saya temui ketika saya masih seorang mahasiswa doktoral. Sejak itu, kami sering menghabiskan waktu menyenangkan bersama, mulai dari mengobrol panjang-lebar tentang politik, agama, dan jati diri, hingga berburu tas wanita ketika beliau datang ke London dan ingin membelikan hadiah untuk istrinya. Beliau telah menjadi mitra saya selama penelitian pascadoktoral saya, bagian dari kolaborasi yang membuat saya memberikan kuliah tamu, pidato kelulusan, lokakarya peningkatan kapasitas, dan bahkan peluncuran buku saya. Bagi saya, tanpa pikir panjang lagi, saat saya kembali ke Indonesia, saya pasti akan kembali bekerja sama dengan Pak Iwan untuk meneruskan jaringan dan hubungan yang sudah ada tersebut. Namun, yang saya temukan adalah adanya peraturan terbaru Indonesia untuk peneliti asing yang meletakkan hubungan kemitraan di bawah tekanan baru – hubungan yang tegang dan bahkan berubah sama sekali.
Agensi baru
Sejalan dengan langkah Indonesia yang mulai membuka kembali perbatasannya setelah pandemi COVID-19, para peneliti asing dikejutkan dengan berita yang dramatis. RISTEK, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, yang telah menangani permohonan izin penelitian kami selama 15 tahun terakhir, tidak akan menanganinya lagi. Kementerian tersebut telah dibubarkan. Kami sekarang harus bekerja dengan lembaga baru dengan aturannya sendiri: Badan Riset dan Inovasi Nasional, alias BRIN.
Pergeseran dari RISTEK ke BRIN telah menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan peneliti. Birokrasi Indonesia sendiri tidak memiliki reputasi ramah pengguna dan undang-undang yang menghukum peneliti dengan denda, penjara, atau daftar hitam menjadikan taruhan untuk mendapatkan hak proses izin penelitian yang baru semakin tinggi. Situs web yang terus diperbarui dan persyaratan yang dinyatakan dengan blak-blakan (seperti perlunya menyimpan data dalam sebuah arsip nasional, dengan hanya sedikit pertimbangan mengenai rumitnya proses tersebut terlebih bagi peneliti ilmu sosial ketimbang bagi peneliti ilmu alam) menambah rasa panik.
Sebagian besar ketakutan ini – sejauh ini – terbukti tidak berdasar, karena BRIN mengambil pendekatan yang masuk akal terhadap muatan etis dari masing-masing proyek individu. Memang, perbedaan utama dari pendekatan yang diambil oleh kedua otoritas adalah BRIN menyetujui proyek berdasarkan tinjauan etika, sementara RISTEK melakukannya berdasarkan tinjauan ‘ilmiah.’ Perbedaan ini penting karena BRIN diberi jauh lebih sedikit ruang untuk menginterupsi rincian desain proyek yang dulu sering terjadi di bawah wewenang RISTEK.
Saya sendiri sudah merasakan manfaat dari perubahan ini. Penelitian saya saat ini mengenai sirkuit hipnosis Indonesia awalnya direncanakan untuk tahun 2020 dan awalnya saya mengajukan proyek tersebut ke RISTEK. Saya memilih untuk tetap bermitra dengan Pak Iwan, dengan pertimbangan adanya hubungan kolaboratif yang telah kami jalin sewaktu pascadoktoral saya. Banyak alasan bagus untuk tetap bekerja dengan beliau. Beliau orang lokal di lokasi lapangan utama saya dan dapat memfasilitasi akses ke para responden kunci. Kepakaran beliau dalam politik Indonesia dan birokrasi negara dapat membantu saya memahami lebih lanjut bagaimana hipnoterapi diregulasi, sehingga tercipta kemungkinan kolaborasi interdisipliner yang dapat menawarkan rekomendasi kebijakan. Dan saya ingin terus bekerja sama dengan mitra di Kepulauan Riau, sebuah provinsi dengan budaya penelitian dan pendidikan tinggi yang relatif belum berkembang. Saya tahu bahwa saya dapat membuat perbedaan yang lebih besar dalam hal peningkatan kapasitas ketimbang jika saya bermitra dengan universitas yang sudah mapan di wilayah lain di Indonesia. Saya jelaskan semua ini dalam proposal penelitian saya. Akan tetapi, RISTEK menolak, dengan pertimbangan ‘ilmiah.’ Karena Pak Iwan bukan seorang antropolog, beliau dipandang tidak cocok untuk proyek saya. Alternatif – atau tambahan – mitra diperlukan. Mereka bahkan mengusulkan agar saya bermitra dengan universitas terkenal di sebuah kota yang tidak terkait dengan penelitian saya. Ketika saya mencoba menolak pemaksaan yang tidak diinginkan ini, dengan saran tambahan bahwa kami bisa menambahkan dosen sosiologi yang memiliki latar belakang antropologi di lembaga Pak Iwan, RISTEK tidak menanggapi.
Sebaliknya, tidak ada upaya untuk menginterupsi konten atau personel proyek penelitian saya ketika saya mempresentasikan proposal saya kepada BRIN. Tentu saja, prosesnya bisa menjadi lebih rumit seandainya komite peninjau menganggap aspek-aspek penelitian saya tidak etis. Saya beruntung, mungkin, karena proyek saya tidak melibatkan penelitian tentang topik atau bersama kelompok yang ditandai oleh BRIN sebagai ‘sangat sensitif’ (termasuk, yang sangat saya prihatinkan, individu-individu LGBT+). Namun, BRIN telah menekankan bahwa tujuan mereka adalah untuk mencoba dan membantu para peneliti melakukan penelitian yang diinginkan, dan adalah baik untuk mempercayai kata-kata mereka sampai ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Terlalu lepas tangan?
Pendekatan BRIN yang lebih memfasilitasi dan lepas tangan secara umum adalah hal yang baik. Secara khusus, hal ini semakin meyakinkan peneliti Indonesia bahwa mereka dapat membangun kemitraan dengan peneliti asing dan mereka tidak perlu mengkhawatirkan rencana mereka kemudian digagalkan oleh badan penelitian nasional mereka sendiri. Namun, mungkin BRIN sedikit terlalu lepas tangan, sehingga menimbulkan tantangan baru bagi peneliti Indonesia dan asing yang bekerja sama dengan mereka.
Mitra Indonesia sekarang bertanggung jawab langsung atas beberapa aspek kunci dari proses aplikasi yang sebelumnya ditangani oleh RISTEK atau peneliti asing. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada hubungan kolaboratif – terutama jika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai keinginan, kecepatan, dan kebutuhan peneliti asing. Yang paling terlihat, sekarang mitralah yang harus mengajukan visa C315 untuk peneliti asing. Untuk universitas yang secara teratur menampung pelajar bahasa Indonesia dari luar negeri dan pertukaran pelajar dan yang memiliki Kantor Internasional yang memadai, hal ini bukan tantangan berarti. Namun, universitas-universitas yang lebih kecil di tempat-tempat terpencil mungkin harus meraba dalam gelap. Universitas Pak Iwan, misalnya, tidak memiliki Kantor Internasional. Universitas beliau tidak pernah mensponsori pengunjung luar negeri sebelumnya. Universitas beliau bahkan tidak terdaftar sebagai sponsor visa. Usaha untuk masuk ke dalam sistem ternyata melibatkan proses yang berbelit-belit, yang menyebabkan penundaan selama lebih dari empat bulan. Situasi ini sangat runyam sehingga Pak Iwan membatalkan rencananya untuk mensponsori pembimbing doktoral beliau dari Malaysia. Beliau akhirnya mengarahkan sang pembimbing ke universitas lain di provinsi lain. Banyak akademisi asing pasti akan menggunakan pertimbangan yang sama, yaitu lebih memilih untuk bermitra dengan institusi yang telah teruji daripada menghadapi risiko penundaan. Manfaat dari kerja sama internasional dengan demikian cenderung tidak proporsional dan mengerucut kepada universitas yang telah atau pernah menjalankan kerja sama internasional. Institusi lain tidak akan mendapat manfaat tersebut.
Ekonomi utang budi
Di samping penanganan visa, mitra sekarang harus memberikan lebih banyak dukungan kepada peneliti asing selama proses aplikasi dibandingkan dengan situasi ketika masih di bawah RISTEK. Mitra mungkin harus membayar visa dan izin peneliti, membantu menerjemahkan proposal ke dalam Bahasa Indonesia (saya diizinkan untuk menyerahkan proposal saya dalam Bahasa Inggris), dan harus membimbing peneliti asing melalui proses kedatangan. Bahkan untuk hal-hal sederhana, seperti cara melampirkan ‘e-materai’ pada surat izin penelitian saya, BRIN menyarankan saya untuk meminta bantuan mitra saya daripada menjelaskan sendiri prosesnya.
Dengan semua bantuan yang diberikan secara cuma-cuma ini, wajar jika mitra mungkin merasa bahwa mereka diutangi sesuatu sebagai balasannya. Banyak bantuan yang mungkin akan diminta oleh akademisi Indonesia dari seorang kolega pengunjung, yang tidak sepenuhnya terkait dengan pekerjaan yang harus dilakukan kolega tersebut di Indonesia. Dan meskipun tidak ada salahnya untuk bermurah hati dan mendukung tuan rumah kita, proses aplikasi izin penelitian yang tertanam dalam ekonomi utang budi membuat kita sekarang ini lebih sulit untuk mengatakan tidak. Bukan hanya kekuatan moral yang bermain di sini: sebagai sponsor visa, mitra memiliki kekuatan struktural yang cukup besar atas peneliti, terutama jika visa perlu diperpanjang.
Tanpa pedoman mengenai hal-hal masuk akal yang rekan dapat harapkan dari peneliti asing dan tanpa proses yang jelas tentang cara mengubah mitra seandainya di tengah jalan kemitraan kita rusak, kemitraan berpotensi menjadi masalah baru. Terkait masalah pengalaman berurusan dengan imigrasi, sangat mudah ditebak bahwa peneliti akan berbondong-bondong memilih mitra dengan rekam jejak perlakuan terhadap pengunjung yang baik – daripada mengambil risiko bekerja dengan sosok yang kurang terkenal yang mungkin justru lebih cocok dalam kepakaran penelitian.
Mengarungi penulisan bersama (co-authorship)
Salah satu perubahan terbaru yang paling penting dalam hubungan kemitraan timbul dari adanya persyaratan bahwa peneliti asing akan menulis bersama sponsor Indonesia mereka setidaknya beberapa publikasi. Hal ini sudah ada sebelum BRIN – aplikasi saya ke RISTEK pada tahun 2019 juga mensyaratkan ‘surat pernyataan tentang publikasi hasil bersama,’ meskipun hal ini tidak pernah diminta dalam aplikasi izin penelitian saya sebelumnya. BRIN sendiri pun menerapkan persyaratan tersebut, meskipun BRIN menyerahkan kepada para peneliti dan mitra mereka untuk menegosiasikan bentuk penulisan bersama tersebut. Masalah ini kompleks karena berbagai disiplin ilmu dan proyek penelitian memiliki praktik pengumpulan dan analisis data yang berbeda, dan berbagai jurnal memiliki kriteria berbeda dalam menentukan siapa yang dapat mengklaim diri sebagai ‘penulis.’ Oleh karena itu, keberadaan panduan yang overgeneral tidak memungkinkan. Namun, keterbukaan ini juga menciptakan ruang untuk kesalahpahaman dan kekecewaan.
Pada awal 2023, saya diundang menghadiri sebuah pertemuan di mana sebuah universitas menyatakan minat untuk menjadi mitra saya. Kesepakatan yang ditawarkan adalah bahwa staf mereka akan menemani saya dalam penelitian lapangan saya (saya anggap dalam aspek pengumpulan data, meskipun hal ini tidak diperjelas). Saya kemudian akan menulis hasilnya dan mengirimkan makalah ke jurnal terindeks Scopus dengan mitra saya dari Indonesia sebagai penulis pertama. Permintaan yang terus terang tidak etis ini justru membongkar kondisi kerja menyedihkan yang dihadapi oleh banyak akademisi Indonesia. Ketika prospek promosi dan akreditasi departemen tergantung pada metrik kinerja publikasi yang sempit, seorang peneliti asing yang aktif dalam debat internasional dan fasih berbahasa Inggris akademik tampaknya merupakan sumber daya yang berharga untuk diakses dan dimanfaatkan. Dalam keputusasaan mereka menemukan cara untuk maju, universitas ini membuat kesalahan dengan meminta terlalu banyak. Mengapa saya harus menyepakati pengaturan seperti itu ketika saya dapat terus bekerja dengan Pak Iwan, yang memberi saya kebebasan untuk menulis sendiri sebagian besar karya dan juga orang yang saya harap akan bersedia menerbitkan beberapa karya tentang topik-topik pilihan yang kami minati bersama? Tentu saja, saya beruntung karena sudah memiliki hubungan kemitraan yang cocok dengan saya.
Peneliti pemula dan mereka yang belum memikirkan secara matang syarat dan ketentuan MoU mereka berisiko menghadapi kendala serius. Pada praktiknya, sangat mungkin bagi peneliti asing untuk lebih mempertimbangkan institusi dan individu yang sudah terkenal fleksibel dan masuk akal – yang sebaliknya akan menuai manfaat dari penulisan bersama. Universitas yang tidak memiliki hubungan kemitraan yang mapan berisiko kalah saing, dan peneliti Indonesia yang berharap dapat bermitra dengan peneliti asing akan mendapati dirinya harus melepaskan ambisi pribadi demi bisa bekerja dengan persyaratan yang ditentukan oleh peneliti asing.
Harapan untuk masa depan?
Ada banyak hal yang saya sukai tentang penekanan pada etika, otonomi, dan desentralisasi yang mendasari prosedur baru bagi peneliti asing yang bekerja di Indonesia. Namun, ada juga bahaya nyata yang didorong oleh peraturan ini, yaitu perilaku tidak etis dalam hubungan kolaboratif dan masalah kepenulisan (authorship). Ada juga risiko bahwa akses ke kolaborasi penelitian asing menjadi terpusat di tangan segelintir institusi elit dan mitra super dengan rekam jejak yang telah teruji dan tepercaya.
Tanggung jawab untuk menghindari hal-hal tersebut dipikul oleh semua pihak yang terlibat. Institusi-institusi Indonesia perlu memastikan bahwa mereka telah menguasai proses izin penelitian dan aplikasi visa, sehingga mereka dapat memberikan bantuan sesuai yang dibutuhkan dan pada saat dibutuhkan. BRIN memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Mereka harus menjelaskan proses aplikasi dengan jelas kepada calon mitra, dan bahkan mungkin mempertimbangkan untuk mengambil alih beberapa beban administratif, seperti yang dulu dilakukan oleh RISTEK. Kode praktik terbaik untuk mitra harus disusun, sehingga mereka dapat memberikan saran tentang cara mengembangkan MoU yang efektif. Kanal yang jelas untuk pengaduan dan perubahan kemitraan juga harus disediakan untuk kepentingan pengamanan dan akuntabilitas. Di lain pihak, peneliti asing perlu memikirkan dengan hati-hati tentang politik keilmuan yang lebih luas yang melingkupi kolaborasi mereka. Kadang kala mungkin ada baiknya mengambil rute yang jarang dilalui daripada melalui rute yang paling sedikit hambatannya. Dan kita perlu memikirkan dengan hati-hati tentang apakah berbagai kebutuhan (yang dibedakan) dari mitra Indonesia kita terpenuhi dengan baik dalam ketentuan MoU kita, bahkan pada saat kita meminta mereka untuk mencurahkan waktu dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri.
Nicholas J. Long (N.J.Long@lse.ac.uk) adalah seorang Associate Professor bidang Antropologi di London School of Economics and Political Science.