Dec 24, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Petikan buku: Sarongge

Lontar Modern Indonesia: ‘Siapa yang pegang kuasa, akan paksakan pandangannya tentang bagaimana cara mengatur aset alam itu.’

Lontar Modern Indonesia: ‘Siapa yang pegang kuasa, akan paksakan pandangannya tentang bagaimana cara mengatur aset alam itu.’

baca terjemahan bahasa Inggris oleh Tessa Piper di sini

 

Sarongge merupakan sebuah cerita cinta yang dilatarbelakangi oleh sejarah nyata Indonesia seputar lingkungan. Setiap bab dimulai dengan deskripsi flora lokal, dan buku ini telah ditanami dengan semangat sang penulis bagi kekayaan lingkungan negara serta pentingnya perlindungan lingkungan. Melalui aktivisme seorang protagonis perempuan, Karen, para pembaca ikut melintasi negara dan mendapatkan pengertian soal kerusakan yang disebabkan oleh penggundulan beberapa hutan-hutan tropis terakhir di dunia, dan juga tentang dampak negatif pengembangan pada sumber daya alam serta hak-hak orang asli. Perjuangan kehidupan di dusun kecil Sarongge, lokasi novel ini, diceritakan melalui mata Husin, kekasih Karen, dan kurang lebih berdasarkan pada pengalaman kerja penulis dengan komunitas petani di Sarongge. Dua karakter tersebut masing-masing bertarung untuk memelihara alam, menawarkan dirinya sebagai panutan untuk siapa saja yang ingin membuat perubahan di hadapan hambatan yang tampak mustahil.

 

Petikan dari Bab 13, ‘Hipere’

 

Kapal Kesatria Pelangi bergerak perlahan. Meninggalkan Yamdena, dengan mengarahkan kompas ke Timur Laut. Langit bersih tak berawan. Perjalanan akan cukup lama di atas kapal. Dari Yamdena, mereka akan singgah sebentar, mengisi air bersih di Dobo. Sebelum menuntaskan pelayaran tahap pertama di Pelabuhan Timika. 

Karen ingin mengoptimalkan sarana itu, untuk mengenal Papua lebih dalam. Juga tentang hutan tropis terakhir yang mesti diselamatkan. Kapal Kesatria Pelangi dilengkapi dengan sambungan satelit, dan berarti sarana internet yang tanpa putus. Meski ketika mereka sedang di tengah laut. Berbagai jurnal, laporan dan berita terbaru tentang apa yang terjadi di pulau itu dapat diunduhnya.  

Karen mendapat informasi tentang banyaknya investor yang tampak berlomba-lomba bergerak ke Timur. Terutama bisnis yang berbasis pada pengolahan hutan dan pertambangan. Dua jenis usaha yang biasanya bertabrakan dengan misi Kesatria Pelangi. Karen menyadari kaki tangan para pemodal besar sudah lebih dulu mencengkeramkan kuku hitam mereka ke Papua. Ia merasa Kesatria Pelangi seperti berpacu di arena balap, tetapi dengan pesaing yang lebih dulu melaju di arena. 

Dia baca kalau buat investor, Papua terlihat berkilau: tanah harapan baru. Setelah hutan-hutan Jawa habis pada era pendudukan Belanda, dan masa Soekarno. Dan hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan dibabat oleh keserakahan masa Soeharto, pengusaha dari generasi yang lebih baru, tinggal melihat Papua sebagai peluang. “Ini adalah saatnya ke Timur,” dikutip seorang juru bicara konglomerat dalam sebuah majalah bisnis. 

Jutaan hektar tanah Papua, dikapling-kapling untuk para pengusaha. Seolah tanah itu tak bertuan. Seolah pulau itu tak berpenghuni. “Kan sayang kalau tanah kosong tidak digunakan. Mubazir, menyia-nyiakan anugerah Tuhan,” kata seorang menteri, ketika menanggapi protes tentang pembangunan kebun-kebun sawit, tebu dan jagung di Papua Selatan.

Karen membaca itu dengan rasa prihatin mendalam, juga kesal. Tanah kosong yang disebutkan menteri itu, buat orang Papua adalah tempat hidup yang menyeluruh. Penuh makna. Bukan hanya tempat mereka mencari makan, tetapi juga tempat mengaitkan hidup dengan sejarah asal-usul dan hari depan setelah mati. Tanah adalah tempat mereka  menemukan identitas diri. Tanpa tanah, orang Papua seperti dicerabut dari akar keberadaan mereka. Dan, itu lebih buruk dari kondisi orang mati.

Tetapi memang begitulah relasi tanah dan kuasa, direnungkan Karen. Siapa yang pegang kuasa, akan paksakan pandangannya tentang bagaimana cara mengatur aset alam itu. Bahkan dari cara menamai sebuah tempat, kita bisa melihat pertarungan politik yang tiada henti. Orang Amungme, sejak berabad-abad silam, menamakan puncak gunung bersalju di Utara tempat tinggal mereka itu sebagai Nemangkawi Ningok (puncak anak panah berwarna putih). Ketika pelaut Jan Cartens melihat puncak itu tahun 1623, ia sempat tak percaya. Bagaimana mungkin salju ada di tempat yang begitu dekat dengan katulistiwa. Tetapi nama Cartens diabadikan untuk menyebut gunung bersalju setinggi 4.884 mdpl itu. Peta-peta dunia masih menyebutnya begitu. Dan, ketika Indonesia masuk, ia menerakan nama baru untuk gunung yang sama: Puncak Jaya. Politik penamaan menjadi cara untuk memastikan pengaruh dari pihak yang berkuasa. Seperti kebiasaan anjing mengencingi tempat-tempat yang dilewati, untuk menandai wilayah kekuasaannya. 

“Tanah ini bukan milik gubernur atau bupati. Tetapi milik masyarakat adat. Siapapun yang ingin menggunakan tanah, mesti minta izin ke masyarakat adat,” ujar seorang tetua adat Papua. Ketegasan, sikap mempertahankan diri itu, dikutip Karen dari berbagai terbitan lokal. 

Karen temukan banyak cerita tentang Amungme, suku yang dihantam krisis keberadaan, karena tanah moyang mereka diserbu penambang tembaga. Amung berarti utama. Me maknanya orang. Amungme, berarti orang-orang utama. Orang-orang pertama yang keluar dari goa di pegunungan, asal orang Papua. Suku Amungme hidup di sebelah Selatan Pegunungan Tengah. Di ketinggian 1.000-3.000 mdpl. Di Selatannya lagi, di daerah yang lebih rendah, orang Amungme bertetangga dengan suku Kamoro. Sebagai orang pegunungan, Amungme punya kepercayaan kuat tentang tanah dan gunung-gunung keramat. Duku-duku adalah sebutan untuk gunung-gunung suci. Tempat mereka berasal. Sekaligus juga tempat untuk kembalinya arwah setelah mati. Duku-duku menjadi tempat semayam arwah leluhur yang lebih dulu meninggal. Gunung-gunung suci itulah – termasuk Grasberg dan Erstberg – yang kemudian digali perusahaan pencari tembaga. Gunung suci itu hilang dari dunia; dan mengacaukan orientasi berpikir manusia Amungme.  Gunung yang dibongkar itu, buat orang Amungme seperti sorga yang digusur paksa. Orang Amungme ketika mati, inginnya dikubur di pegunungan. Sebab gunung adalah kawasan kepala, tempat yang memudahkan arwah mencapai hari bahagia. Tetapi, karena gunung sudah hilang, kemana arwah mereka akan pergi?

Kepercayaan orang Amungme diingkari begitu saja. Orang Amungme yang hanya belasan ribu, tanpa deking kekuasaan politik dan modal, tentulah mudah dilindas. Suara mereka hilang ditelan keserakahan yang menggerus gunung-gunung mereka. Karen berandai-andai. Misalnya tambang tembaga itu ditemukan di bawah Tembok Ratapan Yerusalem, apakah orang Yahudi akan membiarkan tempat suci mereka digusur buldoser penambang? Kalau tambang emas ada di bawah kabah di Mekkah, apa ada yang berani menambang di sana? Atau kalau sumber uranium ada di bawah bait Allah di Yerusalem, siapa yang akan membongkar tempat suci itu tanpa membangkitkan perlawanan orang Kristen? Agama-agama besar punya pembelanya sendiri. Sedangkan kepercayaan Amungme akan lenyap.

 

             

Sarongge diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Dian Rakyat pada tahun 2012. Edisi kedua ini akan diterbitkan di 2017 oleh Indie Book Corner. Terjemahan bahasa Inggris akan diterbitkan dalam seri Lontar Modern Indonesian Fiction, 2017.



Tosca Santoso adalah seorang jurnalis dari Indonesia. Ia mendirikan KBR, yaitu kantor berita radio independen pertama dalam negeri, dan telah menerima berbagai penghargaan untuk komitmennya terhadap jurnalisme serta perubahan sosial. Sarongge merupakan karya fiksi pertama milik Tosca Santoso.

Tessa Piper, penerjemah bahasa Inggris untuk Sarongge, adalah seorang warga Inggris yang telah hidup dan bekerja di Indonesia selama dua puluh tahun. Edisi bahasa Inggris Sarongge diedit oleh Juliana Wilson.

 

Artikel lain dari Seri Lontar Modern Indonesian Fiction
     

Feb 12, 2015
The Longan Tree by Hanna Rambe
"You see, Mother, even this here longan tree shares our concern. It’s dropped a leaf in my cup as a sign."

 

Jun 13, 2016
They Say I'm Not A Muslim by Gadis Ariva
Two poems on identity and the politics of choice in religion by Gadis Ariva

 

Jun 13, 2016
The Earth Dance by Oka Rusmini
"But I’m serious, Mum. I’m going to prove that we can live without men. I’m going to prove it."

 

 

Inside Indonesia 127: Jan-Mar 2017{jcomments on}

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.