Ariane Utomo, Iwu Utomo, Peter McDonald
Diterjemahkan oleh Dimas Fauzi
Seiring dengan mendekatnya pemilihan umum (pemilu), masyarakat Indonesia secara terus menerus diingatkan akan besarnya ‘kekuatan’ generasi muda. Dalam pidatonya awal Agustus 2018, Agus Yudhoyono, yang yakin untuk maju sebagai calon wakil presiden, menyampaikan visinya terhadap Indonesia dengan menggunakan tagar #MudaAdalahKekuatan. Agus menyatakan bahwa generasi muda berusia 17-35 tahun akan berjumlah 100 juta atau 51 persen dari total pemilih pada Pemilu 2019. Senada dengan Agus, sebagai upaya untuk menarik pendukung, seluruh kandidat – Jokowi, Prabowo, Sandiaga Uno, dan bahkan Ma’ruf Amin yang telah berusia 75 tahun – digambarkan oleh pendukung mereka sebagai pilihan yang tepat untuk mewakili generasi milenial.
Akan tetapi, siapakah yang disebut sebagai pemilih milenial, dan apakah politisi memiliki terkaan yang jeli terkait isu apa yang paling relevan dengan keseharian mereka?
Berdasarkan liputan media, beberapa kandidat ini akan meyakinkan kita bahwa rata-rata pemilih milenial di Indonesia adalah penduduk kelas menengah ke atas dengan pendidikan tersier (kemungkinan besar tinggal di Jakarta); tengah mencari pekerjaan dengan penghasilan awal yang relatif tinggi di industri kreatif dan digital; berganti pekerjaan tiap tahun karena mereka ingin berjalan-jalan; dan menghabiskan hari-hari mereka dengan bersantai sambil meminum latte artisan di sebuah kafe yang layak untuk diunggah ke Instagram; mengkhayal untuk mengikuti maraton di Tokyo sembari memainkan telepon genggam mereka. Tak ada yang lebih jauh dari kenyataan.
Meskipun gaya hidup milenial tersebut berlaku di sebagian kecil golongan, hal ini tidak serta merta mewakili realita bagi sebagian besar golongan milenial. Berdasarkan sebuah penelitian longitudinal, hal tersebut bahkan tidak sesuai dengan fakta terkait golongan milenial di Jakarta di mana tingkat pendidikan rata-rata pemudanya menjadi yang tertinggi di Indonesia.
Sebuah bonus demografi?
Pada tahun 2009, sekelompok peneliti dari Indonesia dan Australia memulai sebuah penelitian dengan skala besar terhadap pemuda di Jakarta, Bekasi dan Tangerang, atau yang juga dikenal sebagai Jakarta Raya. Penelitian ini mencoba memahami pengalaman-pengalaman pemuda tersebut dalam proses transisi menuju kedewasaan. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2010, terdapat sekitar 61 juta orang yang berusia 20-34 tahun di Indonesia pada tahun tersebut. Dengan pencapaian tingkat literasi dan pendidikan dibanding dengan generasi terdahulu, kelompok pemuda tersebut diyakini membawa apa yang disebut sebagai bonus demografi.
Bonus demografi, atau dividen demografi, merujuk pada percepatan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari perubahan struktur usia populasi di sebuah negara. Penurunan tingkat kesuburan dan kematian akan mengarah kepada periode di mana porsi populasi usia kerja yang lebih besar dibanding porsi populasi usia muda dan senja. Untuk Indonesia, kesempatan demografi ini diprediksi akan terjadi antara tahun 2020 dan 2030, terutama dikarenakan oleh beberapa kondisi dan kebijakan terkait investasi di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja.
Di tahun 2010, sepertiga penduduk Jakarta berusia antara 20 hingga 34 tahun (Grafik 1). Oleh karena itu, mendokumentasikan perjalanan yang kompleks menuju kedewasaan di antara kelompok populasi tersebut menjadi penting.
Penelitian longitudinal
Pada periode 2009/2010, tim peneliti melakukan survei kepada 3006 laki-laki dan perempuan berusia 20-34 tahun yang tinggal di Jakarta dan kota-kota lainnya yang berbatasan, seperti Bekasi dan Tangerang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan mereka menjadi individu dewasa yang percaya diri dan mandiri. Dengan perpaduan antara survei langsung dan wawancara mendalam, serta kuesioner yang diisi sendiri oleh responden untuk pertanyaan yang sifatnya sensitif (seperti perilaku seksual dan penggunaan obat), penelitian ini dapat mengumpulkan informasi yang cukup luas.
Survei yang dilakukan mencakup informasi sosio-demografi, pendidikan dan pengalaman kerja, kesehatan dan kesejahteraan, dan perilaku terkait dengan isu sosial, politik dan keluarga. Para responden terdiri dari pemuda dengan latar belakang yang beragam di Jakarta Raya, mulai dari seorang pilot laki-laki berusia 34 tahun yang berpenghasilan Rp.30 juta per bulan (A$3000) hingga ibu rumah tangga berusia 25 tahun yang mendapat kiriman uang bulanan sebesar Rp.1,5 juta dari suaminya yang bekerja di Malaysia. Seperangkat data ini menjadi data rona awal dan rangkaian pertama dari penelitian longitudinal ‘Transisi Menuju Kedewasaan di Jakarta Raya’.
Selama delapan tahun, peneliti mendokumentasikan pengalaman-pengalaman para pemuda tersebut yang tengah menjalani transisi kehidupan yang penting, seperti menyelesaikan pendidikan formal, mencari pekerjaan pertama, tinggal jauh dari rumah orang tua, menikah dan memiliki anak. Tiga rangkaian penelitian dilakukan pada tahun 2009/2010, 2013/2014 dan 2017/2018 dengan rangkaian penelitan terakhir yang baru saja diselesaikan dan belum dianalisa.
Para individu pada kelompok usia ini sering berpindah sehingga membuat pencarian lokasi responden secara berkala sebuah tantangan. Sebanyak 41 persen dari 3006 responden di pengambilan data pertama adalah pendatang di Jakarta Raya, dan lebih dari setengah responden, atau 1508 orang, dapat ditemukan untuk diwawancarai yang kedua kalinya. Lebih lanjut, selain migrasi, banyaknya perubahan yang terjadi dalam kelompok longitudinal ini selama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa para politisi dan kebijakan mereka belum siap untuk memetik manfaat dari bonus demografi tersebut.
Pendidikan dan pekerjaan
Ketika berbicara mengenai pekerjaan, Penelitian Transisi Menuju Kedewasaan di Jakarta Raya menunjukkan perbedaan tajam terkait dengan gambaran dari milenial di perkotaan yang digadang-gadang oleh para politisi. Kami menemukan sangat sedikit responden yang bekerja di sektor teknologi ataupun miliarder muda dengan usaha rintisan mereka (start up) yang sukses. Faktanya, sebagian besar responden kami tidak mengenyam pendidikan tersier dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Berdasarkan rangkaian penelitian yang pertama, 38 persen laki-laki dengan ijazah sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA) bekerja dengan penghasilan rendah, misalnya menjadi pekerja pabrik, operator mesin, dan perangkai. Selain itu, persentase perempuan yang bekerja di sektor tersebut lebih rendah, yaitu 22 persen, karena perempuan dengan kualifikasi setara SMA memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja di sektor ritel.
Tingkat setengah pengangguran di antara laki-laki dengan kualifikasi SMA di Jakarta Raya tidak tersebar selama periode tiga tahun antara kedua rangkaian penelitian pertama. Untuk responden laki-laki, baik tingkat volatilitas pekerjaan (perubahan status pekerjaan) dan tingkat setengah pengangguran selama tiga tahun tersebut berada pada angka yang cukup tinggi bagi mereka yang memiliki kualifikasi sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK) daripada mereka dengan kualifikasi SMA/MA.
Selain itu, hanya sedikit dari responden dengan kualifikasi SMA/MA dan berpenghasilan rendah saat awal penelitian yang mendapatkan kualifikasi pendidikan tersier dalam periode tiga tahun hingga pengumpulan data periode kedua dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan lanjutan bukan menjadi cara yang memungkinkan untuk keluar dari belenggu pengangguran.
Di antara responden yang berhasil diwawancarai pada periode kedua penelitian, hanya terjadi sedikit peningkatan jumlah responden dengan tingkat pendidikan tersier selama periode tiga tahun, yaitu kurang dari empat persen responden laki-laki dan satu persen untuk perempuan – diperkirakan hanya satu persen dari perempuan berusia 20-34 tahun di Jakarta yang menempuh pendidikan tersier dalam tiga tahun terakhir (Grafik 2). Meskipun mayoritas responden pada periode kedua telah menyelesaikan pendidikan SMA atau sederajat (55 persen laki-laki dan 44 persen perempuan), sekitar seperempat dari laki-laki dan 38 persen perempuan hanya menyelesaikan pendidikan setara sekolah menengah pertama (SMP) atau lebih rendah.
Statistik terkait tingkat pendidikan responden tercatat cukup stabil selama dua periode pertama penelitian. Hanya sebagian kecil dari responden dengan kualifikasi SMA pada periode tersebut yang memperoleh kualifikasi tersier, sedangkan hampir tidak ada responden yang menyelesaikan pendidikan setingkat SMP pada periode pertama memperoleh pendidikan yang lebih tinggi saat periode kedua. Dengan kata lain, bagi sebagian besar responden, jalan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi akan hilang ketika mereka keluar dari sekolah. Dengan kata lain, hampir tidak mungkin bagi mereka untuk memperoleh kualifikasi setara SMA atau bahkan pendidikan tersier saat mereka dewasa. Apa yang dibutuhkan oleh banyak lulusan SMA adalah jalan untuk memperoleh pendidikan pascasekolah yang mudah diakses, terjangkau, dan relevan dengan pasar tenaga kerja.
Perubahan taraf hidup
Pendidikan memiliki peran penting dalam membawa pemuda keluar dari kemiskinan dan menghentikan siklus kemiskinan antargenerasi, sesuai dengan pola perubahan taraf hidup yang ditunjukkan dalam penelitian. Untuk memahami perubahan tersebut, penelitian ini menghitung tingkat ketidakberuntungan dan kemiskinan pada tiap periode.
Ketidakberuntungan atau persepsi kemiskinan terjadi ketika setidaknya enam dari 13 kriteria ketidakberuntungan pada Tabel 1 terpenuhi. Seiring bertambahnya tiga tahun usia, taraf hidup responden meningkat. Terdapat penurunan jumlah yang cukup signifikan terhadap orang yang merasa tidak puas dengan jumlah tabungan yang mereka miliki. Selain itu juga terdapat penurunan drastis jumlah orang yang mengalami kesulitan dalam membeli pakaian dan makanan. Meskipun demikian, beberapa kondisi mengalami penurunan di antara kedua periode, terutama terkait dengan rasio jumlah orang yang menempati tiap kamar (kemungkinan karena kelahiran anak), kepemilikan rumah (karena beberapa orang masih tinggal bersama orang tua), dan sumber air minum. Kepadatan menjadi masalah perumahan bagi keluarga muda yang memiliki anak sehingga berpotensi untuk meningkatkan risiko penurunan kualitas kesehatan anak.
Akan tetapi, meskipun data agregat menunjukkan bahwa jumlah orang yang tergolong miskin mengalami penurunan dari 11 persen menjadi 8,5 persen di antara dua periode pertama penelitian, hal ini mengaburkan perubahan pengalaman kemiskinan. Secara umum, terdapat lebih banyak orang yang keluar-masuk ke dalam kategori miskin dibandingkan mereka yang selalu berada dalam kategori miskin selama dua periode pertama penelitian.
Kemiskinan dan perubahan kategori kemiskinan tersebut berkorelasi signifikan dengan taraf hidup orang tua responden ketika mereka tumbuh, dan dengan tingkat pendidikan mereka masing-masing. Di antara responden laki-laki yang tumbuh di keluarga miskin, hanya delapan persen yang telah mengenyam pendidikan tersier, 44 persen telah menyelesaikan pendidikan setara SMA, dan 48 persen tidak menyelesaikan pendidikan sekunder saat periode penelitian kedua dilakukan.
Sedangkan laki-laki yang tumbuh dalam kemiskinan dan berhasil mengenyam pendidikan tersier tidak ada yang masuk ke dalam kategori miskin di kedua periode. Hal ini berbeda dengan responden laki-laki yang tumbuh di kondisi ekonomi yang serupa tetapi tidak mengenyam pendidikan tinggi. Di antara mereka yang menyelesaikan pendidikan setara SMA, jumlah yang masuk ke dalam kategori miskin turun dari 29 persen menjadi 13 persen. Sebaliknya, di antara mereka yang tidak mengenyam pendidikan setara SMA, jumlah yang masuk ke dalam kategori miskin meningkat dari 68 persen menjadi 72 persen. Pola yang sama juga ditemui di responden perempuan meskipun tidak sekental responden laki-laki. Dalam konteks kebijakan, hal pertama yang perlu dilakukan untuk melawan siklus kemiskinan antargenerasi adalah dengan melawan siklus pendidikan rendah antargenerasi.
Kesehatan dan kesejahteraan
Kemiskinan, pekerjaan dan pendidikan bukan hanya isu kebijakan yang perlu diselesaikan ketika membantu generasi muda dalam berkembang menunju kedewasaan. Memetik keuntungan dari bonus demografi membutuhkan populasi yang sehat. Akan tetapi, beberapa indikator dalam penelitian – dalam hal makanan dan kebiasaan olahraga, pola tidur, stres dari tekanan waktu, dan kesehatan reproduktif – menunjukkan pola yang cukup mengkhawatirkan terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan pemuda di Jakarta Raya.
Pada permukaan, Jakarta telah mengalami perkembangan pesat dalam hal industri makanan yang salah satunya dicirkan oleh mudahnya akses terhadap makanan dengan menggunakan ‘Go-Food’ dan makan di pusat perbelanjaan, restoran dan kafe. Toko-toko yang menyediakan makanan siap saji dapat ditemukan di setiap sudut jalanan dan gang-gang sempit di kawasan perkampungan yang padat penduduk. Meskipun demikian, sebagian besar pemuda di Jakarta Raya hanya memakan makanan dasar, seperti nasi atau mie dan sedikit protein dari tempe, tahu, ayam, dan terkadang daging merah. Minuman yang paling populer di kalangan responden adalah air putih dan teh, dan mereka sangat jarang meminum susu.
Hampir setengah dari responden hanya makan paling banyak dua kali sehari yang menunjukkan bahwa melewatkan makanan merupakan hal yang cukup umum. Terbatasnya variasi makanan dan minuman serta kebiasaan melewatkan makanan pada dasarnya bukanlah pilihan bagi mereka, melainkan dikarenakan oleh keterbatasan uang dan waktu. Kampanye edukatif untuk mengubah pola makan dinilai cukup efektif, tetapi tingkat penghasilan akan tetap menjadi masalah bagi banyak orang.
Bagaimana dengan mengesampingkan waktu untuk kesehatan? Terlepas dari kondisi sosio-ekonomi, setiap orang memiliki waktu yang sama dalam satu hari, tetapi pemuda tidak mengalokasikan waktu untuk berolahraga (meskipun sebagian telah melakukan pekerjaan fisik setiap harinya). Laki-laki hanya menghabiskan 56 menit sedangkan perempuan menghabiskan 30 menit per minggu untuk berolahraga. Mereka juga tidak tidur secara cukup, yaitu dengan rata-rata durasi tidur selama enam jam. Durasi ini masih di bawah durasi tidur yang direkomendasikan untuk kesehatan, yaitu tujuh hingga sembilan jam per malam.
Bagi banyak orang, pekerjaan mengurangi waktu untuk bersosialisasi di mana 15,5 persen pemuda di Jakarta Raya meninggalkan rumah untuk bekerja antara tengah malam hingga pukul 1 pagi, termasuk bagi perempuan, sedangkan 37 persen sampai di rumah saat larut malam, antara jam 8 malam hingga 1 pagi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa orang tua kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak mereka yang telah tidur ketika mereka pulang.
Di sisi lain, dua per tiga ibu yang terlibat dalam penelitian tidak bekerja. Sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk bekerja tetapi tidak mampu untuk menemukan atau membayar orang untuk menjaga anaknya. Akan tetapi, program terkait pendidikan dan pelayanan anak usia dini di kawasan miskin tidak tersedia, dan dilema untuk bekerja dan mengurus keluarga bukan menjadi permasalahan yang dilihat relevan di kalangan konstituen pemuda oleh para politisi.
Selain buruknya pola makan, kurangnya waktu tidur dan olahraga, generasi muda juga terlibat dalam perilaku yang berisiko, seperti merokok, mengonsumsi alkohol dan narkoba, terutama di antara kaum laki-laki. Sekitar 67 persen laki-laki menyatakan telah merokok, 15 persen telah mengonsumsi alkohol, dan 19 persen telah mengonsumsi narkoba. Di antara laki-laki, tingkat religiositas tidak berpengaruh terhadap perilaku berisiko. Akan tetapi, laki-laki yang lebih tua, memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja penuh waktu lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku berisiko bagi kesehatan dibandingkan yang lain.
Lebih lanjut, hal lain yang patut diperhatikan adalah kesehatan reproduksi. Penduduk Jakarta usia muda yang masih sendiri dan menjalani hubungan seksual tidak mempraktikkan hubungan seks yang aman, di mana hanya 32 persen yang menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual pertama mereka. Hasil survei juga mengindikasikan bahwa kehamilan 15 persen anak pertama terjadi sebelum pernikahan walaupun mereka dilahirkan setelah pernikahan. Hal ini berarti bahwa banyak pernikahan usia muda terjadi karena desakan dari kehamilan pasangan perempuan.
Pemuda dan politik
Hasil survei menunjukkan bahwa terdapat kekecewaan yang cukup mendalam di antara generasi muda terdahap politik dan politisi. Pada tahun 2014, tahun di mana pemilu presiden antara Jokowi dan Prabowo diselenggarakan, 86 persen menyatakan mereka tidak tertarik dalam politik; 50 persen setuju bahwa pemerintah Indonesia tidak lagi dapat dipercaya; dan 23 persen merasa tidak yakin. Rendahnya tingkat kepedulian terhadap politik dan kecurigaan terhadap politisi merefleksikan fakta bahwa politisi tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap perjuangan sehari-hari para pemuda.
Terlepas dari beberapa tantangan tersebut, sebagian besar pemuda dalam penelitian kami memiliki gambaran yang baik untuk menghadapi tantangan pekerjaan, kehidupan, dan keluarga. Beberapa telah berkembang dan memiliki penghidupan yang lebih baik dibanding saat mereka baru datang ke Jakarta. Salah satunya adalah Afdhal (nama samaran) yang merupakan seorang pendatang dari Sumatera Barat tanpa kualifikasi pendidikan dasar. Pada saat survei, Afdhal memiliki dan mengelola sebuah restoran Padang kecil-kecilan, sebuah toko sepatu dan tas, serta bisnis penyewaan mobil. Afdhal menyatakan bahwa pendapatan kotornya adalah sebesar Rp.40 juta (A$4000) per bulan, dan ia mampu mempekerjakan empat orang pegawai dalam bisnisnya.
Seorang responden lain adalah seorang perempuan dengan kualifikasi pendidikan setara SMA yang memiliki 11 gerobak soto mie, dan sebuah toko kelontong kecil di dekat rumah sewaannya. Dia telah mampu untuk menabung sebanyak Rp.6 juta tiap bulannya dari beberapa usaha informal yang dimilikinya. Beberapa studi kasus ini merefleksikan gambaran cita-cita milenial yang sukses dalam hal finansial melalui kewirausahaan dan start up. Gambaran inilah yang selama ini dipahami oleh para politisi meskipun cerita terkait perubahan ekonomi semacam ini bukan merupakan hal yang umum terjadi di kalangan milenial.
Di sisi lain, lebih banyak pemuda melihat kemiskinan dan risiko untuk masuk ke dalam jurang kemiskinan menjadi kehawatiran terbesar mereka. Bagi mereka, gambaran milenial a la media yang dicirikan dengan kebebasan ekonomi dan seringnya pergantian pekerjaan karena kebosanan, atau keinginan untuk berkunjung ke tempat-tempat eksotis adalah sebuah fantasi. Pada kenyataannya, mendapatkan pekerjaan yang bermakna, stabil, dan menjanjikan secara finansial masih menjadi tantangan bagi mereka. Kelompok yang notabene merupakan mayoritas namun rentan ini sering kali dilupakan dalam narasi tentang milenial dalam politik.
Memang, narasi-narasi yang berkembang saat ini sebagian didorong oleh media sosial seperti Instagram yang menampilkan pengalaman generasi muda urban Indonesia yang secara teliti dikurasi dan disaring. Dengan tingginya tingkat setengah pengangguran, tantangan untuk merangkak menaiki tangga sosial adalah cerita yang tidak terdengar dalam berbagai gambaran inspiratif dari transisi menuju kedewasaan. Bonus demografi yang mulai muncul dan pemilihan umum yang mulai membayangi telah membuat pertaruhan semakin berisiko. Akan tetapi, politisi masih belum mampu untuk merangkul perjuangan sehari-hari dari banyak pemuda urban Indonesia.
Ariane Utomo (ariane.utomo@unimelb.edu.au) adalah seorang dosen di School of Geography, The University of Melbourne.
Iwu Utomo (iwu.utomo@anu.edu.au) adalah seorang fellow di School of Demography, The Australian National University.
Peter McDonald (mcdonald.p@unimelb.edu.au) adalah seorang profesor dalam bidang Demografi di Melbourne School of Population and Global Health, The University of Melbourne.