Pembatasan sosial telah mendorong tanggapan kreatif dan inovatif dari dalam industri teater
English version
Iswadi Pratama
Hantaman pandemi COVID-19 telah membawa dampak simultan dalam seluruh sektor kehidupan, salah satunya adalah keberlangsungan seni pertunjukan, di antaranya teater. Kebijakan social distance atau lockdown yang tak dapat dihindarkan, mau tidak mau berdampak langsung pada kehidupan teater yang eksistensinya sangat tergantung pada keterlibatan orang banyak dan kehadiran khalayak penonton untuk menyaksikan karya di gedung-gedung pertunjukan. Bahkan, sebelum sebuah karya pertunjukan di sajikan di panggung, proses penciptaannya telah melibatkan banyak seniman; tim produksi, tim artistik, performer, pekerja panggung, dan bidang-bidang lainnnya.
Fakta itu membuat para pelaku seni dan seniman seni pertunjukan: teater, tari, musik, total tak dapat memberlangsungkan proses kreatif mereka. Sementara di sisi lain, sektor ekonomi juga mengalami guncangan yang sangat besar.
Pemerintah Indonesia melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memang telah menetapkan berbagai kebijakan untuk membantu para seniman untuk tetap berkarya. Di antaranya dengan menyediakan dana bantuan. Namun, untuk mendapatkan dana tersebut, setiap seniman teater harus membuat sebuah karya singkat dalam bentuk monolog yang dikirimkan kepada para kurator yang ditunjuk pemerintah. Para kurator inilah yang akan menentukan karya mana yang dinyatakan layak mendapatkan ‘hadiah’ sejumlah uang. Bentuk-bentuk kegiatan semacam ini dilaksanakan pemerintah dengan berbagai variasi tema dan lembaga penyelenggaranya. Namun substansinya sama saja: memberikan bantuan dana kepada seniman teater.
Saya kira, ini bukanlah kebijakan yang tepat. Kegiatan semacam ini hanyalah seperti kegiatan perlombaan yang bisa dilaksanakan oleh siswa SMA dengan skala yang diperluas dan dukungan dana yang besar. Teater di Indonesia membutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif meliputi seluruh dimensi persoalan yang dialami para seniman di masa Pandemi ini.Di sisi lain, para seniman teater di Indonesia, dan saya kira di seantero dunia, terus berusaha bertahan dan melawan kesulitan akibat pandemi ini dengan menyiarkan kembali dokumentasi karya mereka, atau membuat karya-karya baru yang didesain dalam bentuk video agar dapat ditayangkan melalui berbagai media sosial; Instagram, YouTube, dan lain-lain. Demikaian pula kegiatan-kegiatan berupa workshop, seminar, bahkan perlombaan teater bagi pelajar dan mahasiswa telah memanfaatkan teknologi informasi sebagai media dan sarana dalam menyiarkan karya.
Rupanya, ini adalah cara yang paling masuk akal dan dapat diterima oleh setiap orang dalam merawat keberlangsungan proses kreatif mereka dalam teater.
Teater seperti ini bisa dilakukan secara lebih instan, lebih efisien, cepat dan murah. Meski untuk itu harus dibayar dengan meluruhnya intensitas dalam proses berkarya, lenyapnya daya pukau yang biasa ditemukan dalam pertunjukan teater yang bersifat langsung (live), dan semakin sulitnya bagi seniman teater memperoleh penghasilan dari penjualan tiket sebab minat menonton teater melalui media sosial adalah sesuatu yang masih asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, menonton pertunjukan teater secara langsung dengan membeli tiket, hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok teater yang sudah terkenal dan ada di pusat-pusat kota. Sementara di kota-kota kecil, pertunjukan teater biasanya dipentaskan secara gratis, atau bila menjual tiket pasti dibandrol dengan harga yang sangat murah.
Kini, pandemi COVID-19 ini, secara perlahan-lahan namun pasti, telah membawa tren teater di Indonesia menjadi ‘Teater-Dokumenter’, yakni teater yang disajikan melalui video yang diputar. Tren lain adalah menggelar pertunjukan teater dengan jumlah aktor yang sangat terbatas; 2-5 orang dengan tetap mengikuti ketentuan social-distance di atas panggung. Pertunjukan dilaksanakan di gedung pertunjukan tanpa penonton atau hanya disaksikan oleh belasan penonton lalu disiarkan melalui media sosial. Sehingga menonton teater dengan cara seperti ini seperti sedang menonton presentasi karya. Kita memang sedang ditinggalkan oleh pesona dan kekuatan interaksi langsung dalam pertunjukan teater. Teater yang merupakan sebuah bentuk seni ‘pemeristiwaan secara langsung’ amatlah berbeda dengan video atau film. Ia tak bisa dan tak boleh menjadi ‘sekadar dokumentasi’ atau presentasi karya pertunjukan.
Kreativitas berasal dari kebutuhan
Namun, di masa pandemi ini, apa yang bisa dilakukan oleh sebuah komunitas teater untuk menjaga proses kreatif mereka selain memanfaatkan sebesar-besarnya segala fasilitas yang dijanjikan teknologi?
Menjawab pertanyaan ini, saya ingin menceritakan pengalaman Teater Satu sejak pertamakali pemerintah mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi, pada April 2020.
Teater Satu adalah komunitas Teater yang terbilang cukup produktif di Indonesia. Setiap tahun tidak kurang dari tiga pertunjukan diproduksi baik dalam sekala lokal maupun nasional, dan sesekali internasional. Selain memproduksi pertunjukan, Teater Satu juga menyelenggarakan prgram-program workshop, seminar, dan diskusi mengenai seni peran secara khusus atau teater secara umum. Juga melaksanakan kegiatan-kegiatan pelatihan menulis dan kelas-kelas sastra, filsafat, antropologi, hingga spiritualisme bagi para anggotanya. Hal seperti ini telah berlangsung selama hampir 20 tahun, terhitung sejak tahun 2020.
Di penghujung tahun 2019 hingga awal tahun 2020, Teater Satu masih melaksanakan program apresiasi teater bagi para pelajar kelas menengah di Bandar Lampung dengan menggelar beberapa repertoar dan pertunjukan drama ringkas bertempat di Komunitas Teater Satu.
Setiap dua minggu sekali, ada satu pertunjukan yang dipentaskan dan dapat ditonton oleh maksimal 150 siswa dengan menjual tiket dengan harga yang cukup terjangkau oleh remaja atau pelajar. Harga tiket yang dijual jauh di bawah harga tiket yang biasa dijual di bioskop. Program ini dilaksanakan sebagai upaya Teater Satu untuk mendekatkan pertunjukan teater di kalangan remaja/pelajar yang dewasa ini makin kecanduan dengan berbagai produk hiburan semacam drama korea dan produk-produk entertaint lainnya sehingga makin kehilangan kedekatan dan kemampuan dalam mengapresiasi karya-karya sastra drama dan pertunjukan teater.
Namun, ketika kegiatan baru berjalan selama 4 bulan (sejak Desember 2019) hingga Maret 2020. Di awal April pemerintah mengumumkan wabah COVID-19 telah menjadi pandemi dan melarang semua kegiatan yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerumunan manusia.
Sejak saat itu hingga akhir April praktis seluruh kegiatan dan program yang telah direncankan, termasuk program workshop dan pertunjukan seni dari berbagai komunitas dan seniman, tidak dapat dilaksanakan.
Melewati 30 hari tanpa aktivitas apa pun – termasuk latihan rutin yang biasa dilaksanakan setiap hari – terasa amat menekan dan melahirkan perasaan depresi. Akhirnya, seluruh personil Teater Satu melakukan pertemuan via zoom, untuk mencari solusi terbaik yang bisa dilakukan agar aktivitas berteater tetap bisa dilaksanakan.
Lalu kami mendapatkan ide, agar latihan rutin tetap dilaksanakan tetapi dengan pembatasan jumlah aktor yang terlibat dalam training sebanyak 4 orang secara bergiliran setiap hari. Untuk mengikuti program training ini setiap aktor harus memeriksakan dirinya di lembaga-lembaga kesehatan untuk memastikan bebas COVID-19.
Ide lain adalah membangun training dengan membaca ulang naskah-naskah drama yang pernah kami mainkan melalui media virtual dan menayangkannya melalui instagram secara langsung atau kanal Youtube.
Selain kedua cara tersebut, menghadapi pandemi ini, Teater Satu membentuk divisi baru dalam organisasi yang kami namai Tim Media. Tim inilah yang menjadi ujung tombak Teater Satu dalam memproduksi kegiatan-kegiatan berteater melalui media sosial agar tetap bisa diikuti oleh masyarakat luas. Di antara program yang dilakukan tim media ini adalah membuat content Youtube bertitle: ‘Belajar Teater’. Melalui content ini Teater Satu secara rutin menyiarkan kelas-kelas belajar seni-peran dan teater secara umum setiap satu minggu sekali. Content ini ditujukan bagi para pelaku seni pemula serta guru-guru seni dan siswa di sekolah dalam rangka membekali pengetahuan dan keterampilan mereka di bidang drama. Selain itu, melalui kanal Youtube Teater Satu ini juga, kami membuat program belajar menulis sastra dan bincang seni dengan para aktor layar lebar dan aktor panggung di Indonesia.
Menjangkau luas
Setelah proses kreatif internal Teater Satu dapat dilaksanakan selama masa pandemi ini, kami juga membangun sebuah program yang bisa diikuti seluruh komunitas teater di lampung dengan nama ‘Backpacker Teater’.
Bacpacker Teater adalah sebuah wadah tempat seluruh komunitas teater di Provinsi Lampung berkumpul untuk bersama-sama merawat proses kreatif di tengah wabah COVID-19. Sebagai sebuah lembaga/institusi, Backpacker Teater dicanangkan akan bekerja selama 5 tahun ke depan dengan tujuan sebagai berikut:
- Menghidupkan, menyelamatkan, dan memberdayakan kembali komunitas-komunitas seni pertunjukan di Provinsi Lampung
- Membangun dan mengembangkan ekosistem seni di Lampung secara bersama-sama
- Selama lima tahun ke depan seluruh komunitas seni pertunjukan di Lampung akan melaksanakan beberapa kegiatan secara reguler dan berkala dengan pihak penyelenggara dilakukan secara bergantian
- Memanfaatkan sarana teknologi informasi dan media sosial sebagai wahana untuk menunjang proses kreatif dan menjangkau audiens yang lebih luas.
Sebagai sebuah asosiasi/perkumpulan, Backpacker Teater yang saat ini sedang dalam proses pembentukan lembaga berbadan hukum, telah menghimpun 20 komunitas/sanggar seni pertunjukan di Provinsi Lampung (kira-kira 200 pelaku seni).
Selain itu telah pula memilih; secara bermusyawarah dan berdasarkan pertimbangan tertentu 6 Komunitas yang dipercaya dan dianggap mampu melaksanakan masing-masing 1 event kesenian setiap tahun. Sehingga, dalam setiap tahun akan ada 6 event baik berupa workshop, diskusi, maupun pementasan teater, yang dilaksanakan secara reguler dan berkala (per-2 bulan sekali) selama 5 tahun, terhitung sejak tahun 2020 s.d. 2026.
Keenam event itu wajib dilaksanakan dan diikuti oleh seluruh anggota perkumpulan dengan tetap memperhatikan situasi dan perkembangan era New-Normal yang dicanangkan pemerintah.
Untuk pertamakalinya, program Backpacker telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2020 dan akan segera diikuti periode ke dua pada awal Desember 2020. Selain komunitas-komunitas teater, kini bentuk program Backpacker Teater ini telah pula dijadikan role model oleh komunitas-komunitas tari di Lampung yang akan segera melaksanakan putaran pertama mereka pada awal Desember mendatang.
Setiap kegiatan backpacker, baik teater maupun tari, hanya bisa dilaksanakan setelah mendapat izin dari pemerintah dan dalam pengawasan dari gugus tugas keamanan COVID-19 yang dibentuk pemerintah.
Demikian yang telah dilakukan Teater Satu dalam merawat proses kreatif baik bagi Teater Satu sendiri maupun bagi komunitas-komunitas seni pertunjukan lainnya di provinsi Lampung selama masa pandemi. Dengan segala upaya ini, kami berharap, selain bentuk-bentuk pertunjukan, diskusi, dan workshop yang dilaksanakan secara virtual dan bersifat dokumenter, teater tidak kehilangan ruang-ruang pertemuannya secara langsung antara seniman dan masyarakat penikmatnya atau antar para seniman sendiri. Sebab, ruang-ruang pertemuan langsung ini bukan saja berguna sebagai perjumpaan nyata, melainkan juga dapat membantu merawat energi dan kekuatan utama teater yang membedakannya dari bentuk-bentuk seni lainnya.
Iswadi Pratama (teatersatu96@gmail.com) adalah founder dan direktor, Teater Satu Lampung.