Nov 02, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Layanan kesehatan jiwa di rumah sakit

Published: Jul 24, 2020
English version
Memulihkan atau memudarkan harapan?

Hervita Diatri

Perjalanan pemahaman saya tentang perlunya upaya untuk peningkatan mutu dan keselamatan dimulai sejak 14 tahun yang lalu, saat saya ditempatkan menjadi psikiater selama 6 bulan di Pulau Samosir, Sumatera Utara, Indonesia. Saya mendapatkan laporan kasus pemasungan pertama, Tn. M, 56 tahun yang telah menjalani pemasungan selama 21 tahun. Tn. M menjalani pemasungan karena perilaku kekerasan yang dilakukan akibat delusi dan halusinasi yang dialami.

Tn. M menjalani perawatan di rumah sakit jiwa provinsi (7 jam perjalanan dari tempat tinggalnya) selama satu bulan dan mengalami kekambuhan tidak lama setelah pulang dari rumah sakit akibat ketidakpahaman akan penyakit dan proses perawatan pasien di rumah. Kakak Tn. M juga menyatakan bahwa pemasungan dilakukan karena pengalamannya melihat Tn. M dalam pengekangan (restraint) saat perawatan di rumah sakit dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Tidak cukup makan dan minum, kondisi kotor, dan bau kotoran serta air kencing. Keluarga merasa bahwa bila praktik itu yang dilakukan, mereka dapat melakukannya dengan lebih baik pada Tn. M.

Pengalaman itu membawa saya pada memori proses pendidikan dan pendampingan yang saya jalani saat berada di rumah sakit-rumah sakit yang menerapkan sistem jeruji, kondisi bangsal yang kotor dan terkesan tidak layak, mengunci ruangan agar pasien tidak keluar, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh petugas, hingga proses perawatan yang berlangsung berbulan-bulan tanpa perencanaan yang jelas. Apakah memang rumah sakit ditujukan untuk membuat orang semakin sakit?

Pengalaman masa pendidikan, tidak sedikit membuat saya berpikir bahwa semua praktik yang saya lihat tentang bangsal psikiatri, tentang pendekatan petugas rumah sakit, dan berbagai teknik manajemen gaduh gelisah yang dilaksanakan adalah praktik yang dianggap wajar dan biasa, seperti regulasi dan standard operating procedure (SOP) memang menyatakan demikian, karena kita berbicara tentang populasi khusus yang harus dikontrol karena tidak mampu mengontrol dirinya, sehingga membutuhkan tindakan keras dan tegas sebagai “terapi perilaku”.

Beruntung saya mendapat kesempatan untuk belajar dari negara lain baik di Asia maupun di Australia, pengalaman yang membuat saya melihat ada kemungkinan pendekatan lain yang lebih manusiawi, lebih bermartabat, dan mengarah pada pemulihan. Saya pun belajar bahwa begitu banyak regulasi dan standar yang dapat digunakan untuk mengubah mutu layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Pembelajaran saya terus berlanjut karena kesempatan saya bekerja di Komite Mutu dan Keselamatan sebuah rumah sakit pusat rujukan nasional di Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo; rumah sakit pendidikan utama dari fakultas kedokteran tertua Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Menjalani perawatan di rumah sakit, baik rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa, seringkali tidak dapat dihindari karena orang dengan gangguan jiwa dapat membawa risiko bagi dirinya (tidak melakukan perawatan diri, menyakiti atau bunuh diri) dan membawa risiko bagi orang lain. Karena ketersediaan dan letaknya yang seringkali hanya di kota besar, keluarga yang harus mengeluarkan upaya yang sangat besar untuk membawa anggota keluarganya ke rumah sakit. Hal tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengurangi risiko kedaruratan yang ada, namun juga untuk memulihkan kondisi agar dapat kembali produktif.

Besarnya harapan pasien dan keluarga akan layanan kesehatan jiwa yang memulihkan disertai dengan keharusan bagi rumah sakit-rumah sakit di Indonesia untuk terakreditasi menyebabkan layanan kesehatan jiwa harus melakukan perbaikan mutu dan keselamatan secara terus menerus. Hal tersebut berarti melibatkan 48 rumah sakit jiwa di 26 provinsi dan 181 rumah sakit umum yang menyelenggarakan layanan kesehatan jiwa di Indonesia (Riset Fasilitas Kesehatan/Rifaskes, 2011). Layanan kesehatan jiwa yang tidak bermutu dapat mengakibatkan pasien menolak untuk menjalani proses terapi pasca perawatan di rumah sakit, memengaruhi hubungan pasien dengan keluarga, mengembangkan rasa tidak berharga yang berujung pada risiko bunuh diri, atau pemasungan akibat praktik pengekangan (restraint) dan isolasi

Menimbang dampak yang ada, berbagai regulasi dan kebijakan yang berlaku di tingkat nasional maupun internasional seharusnya dapat dijadikan dasar bagi rumah sakit untuk menyelenggarakan layanan kesehatan jiwa yang baik. Regulasi, kebijakan, dan dokumen penting lain tersebut terdiri atas:

  • Hasil evaluasi dari Human Rights Watch, 2016: Living in Hell - Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia;
  • Dokumen WHO QualityRights, 2017;
  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
  • UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
  • UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
  • UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas;
  • UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa;
  • UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;
  • Standar akreditasi baik yang dikembangkan oleh Joint Commission International (dalam standar Care of Patient) maupun Komisi Akreditasi Rumah Sakit (dalam standar Pelayanan Asuhan Pasien) yang memberikan perhatian pada kelompok khusus dan rentan dengan risiko gaduh gelisah, perlukaan dan bunuh diri;

Regulasi, kebijakan, dan dokumen-dokumen penting tersebut secara garis besar mengatur layanan rumah sakit untuk memperhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Fasilitas layanan kesehatan jiwa yang membantu proses pemulihan. Fasilitas tersebut mengandung syarat aman, layanan custodial namun tetap memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas yang disenangi, ruang dan alat yang membantu untuk menenangkan diri dan untuk kegiatan rehabilitasi;
  2. Budaya, pola pendekatan dan komunikasi yang lebih menghargai hak asasi manusia (termasuk menghargai privasi), melibatkan dan memberdayakan untuk dapat mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai dengan prinsip pendekatan berbasis pemulihan (recovery approach);
  3. Staf yang terampil untuk melakukan manajemen krisis, pendekatan interpersonal dengan mengutamakan empati, penghargaan pada martabat dan hak asasi, serta kapasitas teknis dan klinis untuk mengidentifikasi masalah dan melakukan tatalaksana berbasis kebutuhan;
  4. Kolaborasi antara profesional, pasien, keluarga/pelaku rawat lainnya, dan kelompok konsumer dalam perencanaan dan evaluasi program terapi;
  5. Mengembangkan dan mendorong pelaksanaan sistem evaluasi kepuasan pelanggan, pelaporan insiden, dan komplain;
  6. Menghargai perbedaan gender, nilai, suku, dan agama.

Upaya peningkatan mutu layanan sesuai dengan regulasi dan kebijakan yang berlaku tersebut tentu saja membutuhkan tatakelola yang baik (good governance) dari pimpinan maupun tenaga kesehatan yang terlibat. Tata kelola tersebut dapat diterapkan dalam bentuk, di tingkat rumah sakit dan tingkat individu, para tenaga kesehatan.

Untuk melepaskan Tn. M dari pasung, balok kayu pasung harus digergaji (Foto dokumentasi pribadi penulis)

Rumah Sakit

Untuk tingkat rumah sakit, manajemen rumah sakit dapat melakukannya dengan cara: Mengembangkan standar dan prosedur layanan yang baku. Manajemen rumah sakit perlu mengembangkan berbagai kebijakan, panduan, standard operating procedure (SOP) atau algoritma yang ditujukan untuk menyediakan layanan yang konsisten, seragam, dilakukan secara kolaboratif oleh tenaga yang kompeten. Panduan tersebut akan berisikan:

  1. prosedur melakukan identifikasi risiko (sangat disarankan menggunakan instrumen yang bersifat objektif terutama untuk kondisi gaduh gelisah, risiko perlukaan diri, maupun bunuh diri);
  2. prosedur dokumentasi yang menunjukkan proses kolaborasi dan komunikasi antar penyedia layanan kesehatan;
  3. prosedur persetujuan khusus (informed consent untuk tindakan yang berisiko termasuk restrain);
  4. proses pemantauan berkala yang perlu dilakukan, termasuk penanda-penanda khusus;
  5. kualifikasi dan keterampilan staf yang terlibat;
  6. ketersediaan dan penggunaan obat dan peralatan medis khusus;
  7. identifikasi risiko dan upaya mitigasinya, misalnya cedera neurologis dan gangguan perfusi;
  8. indikator mutu dan keselamatan (termasuk sistem pelaporan insiden).
  1. Mengembangkan kemudahan akses bagi kelompok disabilitas termasuk orang dengan gangguan jiwa. Hal tersebut dipertimbangkan mengingat orang dengan gangguan jiwa memiliki kecenderungan untuk tidak nyaman bila harus berada dalam situasi yang padat di ruang tunggu, bertemu dengan banyak orang dalam waktu yang lama. Sama dengan kelompok disabilitas lainnya, layanan khusus dalam bentuk pendaftaran online, jalur fast track, maupun loket khusus dirasakan akan sangat membantu;
  1. Menciptakan budaya kerja yang berorientasi pada keselamatan pasien dan staf sangat diperlukan agar staf dapat memberikan layanan pada populasi berisiko dengan perasaan aman. Demikian pula pasien dan keluarga dapat berpartisipasi dalam upaya peningkatan mutu layanan. Upaya menciptakan budaya kerja dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut ini:
  2. Pemenuhan kebutuhan staf dalam hal jumlah yang memadai, kapasitas (dalam hal klinis maupun kinerja ekselen), dan perlengkapan kerja sehingga staf dapat menjalankan peran dan tugasnya secara optimal;
  3. Manajemen laporan insiden dan komplain yang tidak menyalahkan (no blaming culture) serta mendorong perubahan yang lebih baik.
  1. Melibatkan pemangku kepentingan lain (stakeholders) dalam upaya pemenuhan kebutuhan layanan dan peningkatan mutu layanan. Pemangku kepentingan lain dapat dilibatkan dalam bentuk layanan dukungan mitra bestari (peer support group), evaluasi dan pengembangan layanan.

Individu, Para Tenaga Kesehatan

Fokus utama pengembangan mutu dan keselamatan oleh para tenaga kesehatan, khususnya tenaga kesehatan jiwa berhubungan dengan kapasitas untuk:

  1. Mengembangkan hubungan yang empatik, saling percaya sehingga dapat terbangun hubungan terapeutik yang adekuat, setara, konsisten meskipun berganti-ganti petugas;
  1. Mengembangkan perencanaan layanan yang melibatkan pasien, keluarga, maupun mitra kerja agar dapat berpartisipasi secara proaktif, terbuka dalam proses mengidentifikasi kebutuhan (termasuk menyampaikan kekhawatiran dan harapan), mengembangkan tujuan bersama dan melakukan terminasi untuk mencapai kemandirian dalam proses pemulihan;
  2. Mendorong suasana yang memungkinkan terciptanya aktivitas yang dinamis, kreatif, dan inovatif bagi manfaat semua;
  3. Secara aktif melakukan komunikasi dan edukasi dua arah untuk menjamin pemantapan pengetahuan dan perubahan sikap serta perilaku yang menuju kemandirian. Konsep ini sesuai dengan prinsip chronic care model untuk gangguan jiwa kronis;
  4. Secara berkala dan terbuka menetapkan waktu layanan baik yang berupa interval layanan, waktu untuk pemantauan dan follow up, perlunya tambahan waktu bila diperlukan (misalnya saat kritis) sehingga terbina hubungan saling percaya, konsisten untuk dapat dihandalkan. Kondisi ini tentu saja dipengaruhi oleh pekerjaan klinis dan non klinis yang ditanggung oleh tenaga kesehatan tersebut terutama saat jumlah staf kurang memadai. Manajemen waktu dari masing-masing individu adalah faktor penting untuk mempercepat proses pemulihan pasien;
  5. Secara terbuka membangun kerja sama dengan berbagai pihak termasuk keluarga dan organisasi konsumer untuk mempercepat proses dan memantapkan pencapaian tujuan terapi;
  6. Melakukan debriefing setiap kali selesai periode perawatan sehingga semua orang yang terlibat dapat belajar dan mengambil manfaat dari proses dan pencapaian tujuan layanan. Proses debriefing juga dianggap sebagai jalan untuk memantapkan hubungan terapi yang sangat diperlukan untuk keberlanjutan proses layanan.

Praktik layanan kesehatan jiwa yang lebih baik di fasilitas kesehatan terutama rumah sakit di Indonesia sangat mungkin untuk diupayakan. Berbagai regulasi, kebijakan, dan arahan telah dimiliki untuk dijadikan dasar perubahan. Perubahan dapat dilakukan dari tingkat manajemen ke individu tenaga kesehatan, namun perubahan dapat pula dimulai dari komitmen masing-masing individu tenaga kesehatan yang selanjutnya mendorong perubahan dalam skala besar.

Keberhasilan upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien seharusnya tidak hanya dirasakan oleh pihak penyedia layanan kesehatan saja namun lebih penting manfaat yang dirasakan oleh pasien dan keluarganya dalam proses pemulihan. Keinginan penyedia layanan kesehatan untuk terus meningkatkan mutu layanannya menumbuhkan harapan baik bagi semua pemangku kepentingan. Harapan merupakan elemen dasar dan penting untuk proses pemulihan.

Hervita Diatri (hervita94@yahoo.com) adalah psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ia adalah spesialis psikiatrik komunitas dan terlibat dalam sistem akreditasi rumah sakit di Indonesia.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.