English version
Tele-mental health sebagai solusi yang menjanjikan untuk terbatasnya jumlah ahli kesehatan mental di Indonesia
Retha Arjadi
Indonesia memiliki jumlah individu dengan masalah kesehatan jiwa yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tenaga kesehatan jiwa yang tersedia. Hal ini membuat Indonesia menghadapi tantangan yang besar dalam memberikan layanan kesehatan jiwa untuk penduduknya yang membutuhkan. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) menyebut hal ini sebagai kesenjangan kesehatan jiwa (mental health gap), yang mencerminkan persentase individu dengan masalah kesehatan jiwa yang tidak mendapatkan penanganan. Kesenjangan kesehatan jiwa ini tidak hanya ditemui di Indonesia. Banyak negara berkembang lainnya yang menghadapi masalah serupa, tetapi kondisi spesifik untuk tiap negara berbeda-beda, Dengan demikian, setiap negara juga membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk mengurangi kesenjangan tersebut.
Sebelum melanjutkan, pertama-tama coba kita lihat, apa yang kita ketahui tentang kesehatan jiwa di Indonesia? Kepulauan Indonesia terdiri dari lima pulau besar dan ribuan pulau-pulau kecil. Di Indonesia, masalah tidak hanya terletak pada keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, tetapi juga pada isu akses. Mayoritas tenaga kesehatan jiwa bekerja di pusat perkotaan besar, sementara akses terhadap layanan kesehatan jiwa di daerah pedesaan dan tempat terpencil terbilang sulit. Indonesia menghadapi tantangan yang besar dalam mendistribusikan layanan kesehatan jiwa agar merata di seluruh penjuru negeri.
Diskusi mengenai aksesibilitas layanan kesehatan jiwa perlu ikut memikirkan tentang berbagai sarana dan metode penyampaian. Sarana yang paling umum digunakan dalam menyediakan layanan kesehatan jiwa adalah berupa pertemuan tatap muka di ruang konsultasi. Namun demikian, tele-mental health telah banyak digunakan dalam berbagai konteks dan perlu dipertimbangkan sebagai cara untuk meningkatkan akses. Tele-mental health merupakan layanan kesehatan jiwa yang diberikan melalui sarana digital, salah satunya internet. Sekarang pertanyaannya, apakah layanan kesehatan jiwa benar-benar bisa diberikan melalui komputer atau ponsel pintar?
Hingga tahun 2017, belum ada penelitian mengenai tele-mental health yang dilakukan di Indonesia meskipun penggunaan internet di seluruh negeri telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir. Ide menggunakan internet untuk memberikan layanan kesehatan jiwa terbilang menarik dan menjanjikan karena dapat mengatasi rintangan-rintangan yang disebabkan oleh jarak. Namun demikian, kita harus terlebih dahulu mencari tahu ketertarikan orang-orang Indonesia untuk mengakses tele-mental health. Sebuah survei yang dilakukan untuk mengetahui penerimaan partisipan Indonesia terhadap intervensi kesehatan jiwa daring, terutama untuk depresi, menunjukkan bahwa kebanyakan partisipan terbuka untuk layanan kesehatan jiwa yang diberikan melalui internet. Partisipan mengindikasikan bahwa mereka tertarik untuk mencoba menggunakan layanan tersebut apabila tersedia di Indonesia (73.7 persen), termasuk menggunakannya sebagai pengganti (73.7 persen) atau sebagai pelengkap (73 persen) intervensi tatap muka. Hasil penelitian ini jelas menunjukkan bahwa ada ketertarikan akan tele-mental health di Indonesia.
Banyak partisipan menyukai kemudahan dan privasi dari tele-mental health; mereka menjadi tidak perlu pergi ke klinik atau rumah sakit – termasuk rumah sakit jiwa – untuk mendapatkan penanganan.
Penelitian pertama
Mengingat belum ada penelitian untuk tele-mental health sampai sejauh ini, kami melakukan penelitian uji efektivitas intervensi aktivasi perilaku berbasis daring di Indonesia pada tahun 2017. Penelitian kami secara spesifik berfokus pada depresi, yang merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa paling umum di dunia. Tujuan dari intervensi aktivasi perilaku adalah untuk meningkatkan keterlibatan pasien dalam aktivitas menyenangkan agar dapat memperbaiki suasana hati. Kami mengembangkan sebuah program daring untuk tipe intervensi ini. Intervensi ini terdiri dari delapan modul, lengkap dengan instruksi langkah demi langkah pada setiap modul. Instruksi-instruksi ini pada dasarnya dapat memfasilitasi partisipan untuk dapat berpartisipasi dalam program secara mandiri. Akan tetapi, kami juga menyediakan tenaga pendukung untuk memastikan partisipan menjalani program sesuai jadwal setiap minggunya dan mendiskusikan kemajuan pada setiap modul. Kami juga melayani pertanyaan partisipan jika mereka mengalami kesulitan untuk mengakses atau menyelesaikan program.
Untuk dapat menyediakan tenaga pendukung ini, kami melatih beberapa orang awam dan menjelaskan tujuan intervensi aktivasi perilaku kepada mereka, sehingga mereka dapat melakukan pendampingan kepada partisipan ketika mengakses program tersebut. Semua dukungan diberikan secara daring; tidak ada kontak tatap muka. Tenaga pendamping ini kami sebut konselor awam, dan mereka disupervisi oleh psikolog klinis dalam melakukan pendampingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi aktivasi perilaku daring efektif dalam menurukan depresi pada sampel di Indonesia. Ini adalah kabar baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tele-mental health yang disampaikan melalui internet memiliki masa depan yang menjanjikan di Indonesia. Tidak hanya itu, kami juga menemukan beberapa tilikan berharga terkait bagaimana penggunaan internet dapat mendukung tele-mental health di Indonesia.
Pembagian tugas
Bagian penting dari isu kesenjangan kesehatan jiwa adalah keterbatasan sumber daya manusia. Oleh karena itu, prinsip pembagian tugas atau task sharing rasanya perlu dipertimbangkan dengan serius. Prinsip pembagian tugas dapat menanggulangi keterbatasan tenaga kesehatan jiwa melalui upaya mendelegasikan tugas tertentu kepada orang-orang awam atau non-profesional yang telah dilatih untuk memberikan penanganan dasar terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa tertentu.
Dalam penelitian kami, terlihat bahwa prinsip pembagian tugas dapat berjalan dengan baik. Ke depannya, tentu menarik juga jika prinsip ini dapat digunakan di fasilitas kesehatan primer, seperti di puskesmas dan rumah sakit, sebagai bagian dari upaya mengelola masalah kesehatan jiwa di seluruh Indonesia. Penelitian kami telah menunjukkan bahwa pembagian tugas dapat dilakukan dari jarak jauh dan melalui internet. Dalam mengembangkan inisiatif tele-mental health yang berkelanjutan, akan dibutuhkan sistem untuk menerapkan prinsip pembagian tugas ini.
Lebih lanjut, program komputer atau aplikasi ponsel pintar dapat digunakan untuk memberikan informasi atau untuk mendukung kegiatan self-help (menolong diri). Dalam penelitian kami, kami menemukan sejumlah partisipan dapat mengakses program intervensi secara mandiri tanpa pendampingan dari konselor awam. Hal ini dimungkinkan karena, seperti telah dijelaskan sebelumnya, program daring kami menyediakan instruksi langkah demi langkah yang rinci. Untuk sejumlah partisipan, instruksi seperti ini sudah dirasa cukup, sehingga pendampingan tidak diperlukan. Akan tetapi, pendampingan tetap dibutuhkan oleh partisipan lainnya, terutama ketika mengakses modul yang isinya terbilang rumit.
Sampai batasan tertentu, internet itu sendiri dapat menjadi bagian dari sistem pembagian tugas. Program daring tanpa pendampingan manusia dapat digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai isu kesehatan jiwa, yang ditujukan untuk psikoedukasi. Selain itu, informasi berupa intervensi untuk self-help dapat disampaikan lengkap dengan instruksi langkah demi langkah yang rinci. Ini merupakan bagian penting dari tele-mental health dan bisa membawa manfaat jika diaplikasikan dengan cara yang tepat.
Kami menyimpulkan bahwa tele-mental health yang disampaikan melalui internet dapat menjadi pendekatan yang menjanjikan untuk mengurangi kesenjangan kesehatan jiwa di Indonesia. Namun demikian, kita perlu memperhatikan beberapa isu penting sebelum melangkah lebih lanjut. Tele-mental health mungkin dirasa asing oleh sejumlah orang, terutama oleh mereka yang tidak menggunakan internet setiap harinya. Untuk itu, perlu dilakukan kampanye mengenai penggunaan tele-mental health, bersamaan dengan upaya untuk memperbaiki infrastruktur daring Indonesia. Selain itu, isu etika juga sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Tele-mental health adalah hal yang relatif baru jika dibandingkan dengan layanan kesehatan jiwa tatap muka. Semua diskusi mengenai etika yang berkaitan dengan layanan kesehatan jiwa sejauh ini mengasumsikan bahwa layanan diberikan secara tatap muka, sehingga rasanya perlu ditinjau kembali untuk konteks tele-mental health. Paling tidak, penting untuk menginformasikan kepada klien, konselor, psikolog, dan terapis mengenai perbedaan antara layanan kesehatan jiwa tatap muka dengan tele-mental health. Ini dimaksudkan agar seluruh pihak menyadari risiko-risiko yang mungkin bisa muncul dalam penggunaan tele-mental health.
Retha Arjadi (retha.arjadi@atmajaya.ac.id) adalah dosen di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta. Ia memperoleh gelar S3 pada tahun 2018 dari University of Groningen untuk penelitiannya mengenai efektivitas intervensi berbasis internet untuk depresi.