Dec 26, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Warisan industri kolonial dan kenangan di baliknya

Published: Mar 25, 2024

Katharine McGregor

Berdasarkan keterangan dari penduduk setempat, Om Nono Muma, sebagian besar penduduk Sawahlunto - sebuah kota kecil di Sumatra Barat - adalah keturunan imigran dari berbagai wilayah di Indonesia, terutama Jawa. Mereka datang ke Sawahlunto untuk bekerja di tambang batu bara. Kota Sawahlunto didirikan setelah penemuan cadangan batu bara yang signifikan oleh seorang ahli geologi Belanda, Willem Hendrik de Greve. Pada masa itu, permintaan global yang tinggi akan batu bara, yang dipicu oleh revolusi industri, mendorong pemerintah Belanda membuka tambang batu bara pertamanya di Sawahlunto pada tahun 1891. Hasil tambang tersebut digunakan untuk memasok operasional kapal-kapal dan kereta api di Hindia Belanda.

Tambang ini beroperasi selama lebih dari seratus tahun dan sempat berpindah kepemilikan dari Belanda ke Indonesia pasca berakhirnua revolusi Indonesia pada tahun 1949. Namun, pada tahun 1998, seiring dengan penurunan harga pasar global dan cadangan batu bara yang semakin menipis di Sawahlunto, Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin akhirnya ditutup. Beberapa pihak khawatir bahwa Sawahlunto akan menjadi kota hantu.

Pada tahun 2001, Wali Kota Amran Nur merumuskan visi dan misi baru untuk Sawahlunto, yang menitikberatkan pada pelestarian dan pemanfaatan warisan pertambangan kota dalam konteks komersial dan pariwisata. Tujuannya adalah mengubah Sawahlunto menjadi destinasi wisata yang menarik. Pemerintah Sawahlunto kemudian memulai upaya restorasi terhadap bangunan-bangunan era kolonial dan mendirikan beberapa museum baru. Delapan belas tahun kemudian, tepatnya pada 2019, UNESCO memberikan pengakuan kepada Sawahlunto dan wilayah sekitarnya dengan status warisan dunia yang diberi nama resmi: Warisan Pertambangan Batu Bara Ombilin Sawahlunto (Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto). Pengakuan ini mencakup kota Sawahlunto dan beberapa situs utama yang terkait dengan sejarah pertambangan, serta enam museum. Ini juga meliputi fasilitas dan infrastruktur yang terkait dengan kereta api dan gudang penyimpanan batu bara di Pelabuhan Emmahaven di Padang.

Melalui analisis naratif utama terhadap salah satu museum yang terkait dengan warisan yang direnovasi, artikel ini mengeksplorasi bagaimana pendekatan dekolonial terhadap sejarah kota pertambangan batu bara ini? Sejauh mana museum ini menantang atau justru memperkuat narasi kolonial dalam konteks industrialisasi dan ekstraksi sumber daya alam serta tenaga kerja?

Warisan colonial sebagai teknologi yang maju

Museum Goedang Ransoem dibuka pertama kali pada tahun 2005. Terletak di beberapa bangunan yang dulunya berfungsi sebagai dapur utama, dapur tersebut sempat beroperasi dari tahun 1918 hingga 1942, menyediakan makanan bagi para pekerja tambang dan rumah sakit lokal. Proses pembuatan museum melibatkan konsultasi dengan masyarakat setempat guna memperoleh informasi lebih lanjut tentang sejarah dapur tersebut, cara kerjanya, serta untuk melacak keberadaan berbagai barang dan peralatan asli terkait. Penelusuran ini kemudian menghasilkan penemuan berbagai objek yang hilang, termasuk tujuh panci masak raksasa yang kini dipajang di tengah museum.

Panci masak yang dipajang di Museum Goedang Ransoem/ foto oleh penulis

Kisah-kisah yang disampaikan oleh masyarakat terkait museum ini, seperti penggunaan topi penambang untuk mengumpulkan bahan makanan bagi keluarga, yang kemudian dipamerkan di museum, menunjukkan pergeseran paradigma terkait konsepsi museum. Museum, yang biasanya dianggap sebagai institusi yang beroperasi secara otoritatif dan cenderung menyajikan narasi yang didaktis, kini mengalami transformasi dengan melibatkan masyarakat. Ini merupakan perkembangan yang signifikan dalam konteks museum.

Isi dari museum tersebut mencerminkan ketegangan dalam praktik museum dan juga terkait dengan pedoman UNESCO mengenai penyajian warisan kolonial. Dalam dua dekade terakhir, terjadi renovasi besar-besaran terhadap warisan kolonial di Indonesia, khususnya terhadap bangunan bergaya kolonial dan ‘kota tua’ di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Malang. Tujuan dari renovasi ini adalah untuk mengkomersialisasi ruang-ruang tersebut sebagai bagian dari promosi pariwisata. Dalam proses ini, ada kecenderungan untuk memberikan penilaian yang tinggi terhadap arsitektur kolonial dan mengagungkan perkembangan teknologi pada masa penjajahan Belanda.

Museum Goedang Ransoem mencerminkan suatu pola besar, terutama dalam hal pengagungan terhadap penggunaan teknologi modern. Pembangkit tenaga uap batu bara yang menggerakkan dapur tersebut dijelaskan dalam panel museum dengan brosur bertuliskan ‘sangat modern pada saat dapur tersebut dibangun.’ Sebagai catatan, pembangkit ini diimpor dari perusahaan Jerman bernama Senking.

Kekaguman terhadap kemajuan kolonial tersebut diungkapkan dengan menekankan ukuran dapur tersebut sebagai yang ‘terbesar’ di Hindia Belanda. Brosur museum bahkan menyebutkan bahwa ‘struktur yang luar biasa ini mampu memberi makan hingga 7000 pekerja.’ Melalui narasi-narasi semacam itu, diskursus kolonial yang menyatakan bahwa Belanda-lah yang membawa kemajuan dan modernitas ke Indonesia, direplikasi. Dampaknya adalah pandangan yang sebagian besar positif terhadap kolonisasi.

Teknologi mesin uap yang dipamerkan di Museum Goedang Ransoem/ foto oleh penulis

Penekanan pada inovasi teknologi dan mesin industri sebagian juga didorong oleh pemberian status warisan dunia ‘industri’ oleh UNESCO kepada Sawahlunto. Salah satu alasan yang diberikan di situs web UNESCO terkait penunjukan Sawahlunto sebagai warisan dunia adalah karena kota ini mampu menunjukkan ‘interaksi sosial dan budaya antara Timur dan Barat dan telah mengubah sebuah daerah yang terisolasi menjadi serangkaian kota yang dinamis dan terintegrasi.’ Narasi mengenai transformasi Sawahlunto tersebut sejatinya terkait erat dengan konsep kolonialisme yang mengusung gagasan membawa kemajuan ke daerah-daerah terpencil, serta mereplikasi konsep orientalis yang memandang Timur sebagai terbelakang dan Barat sebagai modern.

Namun, dalam konteks ini, degradasi lingkungan, baik tanah maupun sungai, di mana penambangan batu bara berlangsung, sering diabaikan. Begitu juga keterkaitan antara penambangan batu bara dengan perubahan iklim. Saat dunia sedang berupaya meninggalkan batu bara, pengagungan terhadap warisan industri yang terkait dengan mineral ini ternyata masih menimbulkan disonansi yang signifikan.

Eksploitasi buruh colonial

Meskipun UNESCO mensyaratkan agar museum-museum baru di Sawahlunto berfokus pada warisan industri, namun pendekatan yang lebih kritis dipilih dengan menyoroti praktik kolonial dalam hal eksploitasi tenaga kerja.

Di seluruh Museum Goedang Ransoem, tampak serangkaian foto dari era kolonial yang dipajang. Foto-foto ini dulu sengaja diambil dan digunakan pejabat kolonial untuk menonjolkan kemajuan kolonial. Namun, pada saat yang sama, ia juga menggambarkan eksploitasi kolonial. Sebagai contoh, sebuah foto dapur massal dari tahun 1940 menunjukkan anak-anak Indonesia yang tengah membungkuk di depan ketika makan.

 

Seorang pegawai museum menjelaskan bahwa mereka adalah anak-anak dari pekerja tambang yang pernah bekerja di dapur dengan imbalan sesuap nasi. Fakta ini menggambarkan bahwa ketersediaan makanan bagi keluarga pekerja sangatlah terbatas. Dari panel museum yang ada, para pengunjung bisa mengetahui bahwa ransum bagi para pekerja hanya terdiri dari 1375 gram beras, 125 gram ikan asin, 250 gram sayuran, dan 125 gram lepeh-lepeh atau makanan tradisional, per hari.

Foto dari era kolonial yang dipajang di museum dan memperlihatkan anak-anak di dapur / foto oleh Mega, salah satu petugas museum

Kritik paling keras terhadap kolonialisme dalam museum ini muncul melalui diskusi tentang posisi ‘orang rantai’ atau narapidana. Istilah ‘orang rantai’ mengacu pada pekerja narapidana yang dipaksa bekerja dengan leher, tangan, dan kaki terikat untuk mencegah mereka melarikan diri. Museum tersebut menampilkan plakat dari batu nisan para pekerja ini yang menunjukkan nomor dari setiap narapidana yang meninggal.

Dalam keterangan yang menyertainya, dijelaskan bahwa ‘angka-angka tersebut mencerminkan nomor yang menandai tubuh setiap narapidana oleh kolonialis Belanda.’ Keterangan ini tidak hanya menggambarkan perlakuan ‘tidak manusiawi’ dari pihak Belanda terhadap mereka, tetapi juga memberi legitimasi pada stigma yang telanjur dilekatkan pada mereka oleh Belanda terhadap orang-orang ini ‘sebagai penjahat atau orang yang menyimpang.’

Foto nisan bernomor dari orang rantai yang tak dikenal yang dipajang di Museum Goedang Ransoem / foto oleh penulis

Sikap penduduk lokal terhadap para pekerja ini juga mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Plakat museum bahkan mencatat beberapa di antara mereka sebagai ‘pahlawan di sektor pertambangan’ karena dianggap turut berkontribusi dalam pembangunan kota tersebut. Berkembang juga asumsi bahwa para pekerja ini dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena berbagai alasan, termasuk alasan politis.

Subjek dekolonial dan pendekatan dekolonial

Perhatian yang diberikan museum terhadap orang rantai mengungkap sisi gelap kolonialisme: para pekerja kolonial yang sering kali tidak terlihat dan berada dalam posisi sangat subaltern. Perhatian terhadap mereka dan juga kondisi kerja mereka, yang berupaya memenuhi permintaan ekspor dan juga terlibat dalam berbagai pembangunan infrastruktur terkait, jarang sekali dimunculkan dalam konteks situs warisan kolonial.

Berkembangnya cerita mengenai orang rantai dalam situs warisan Sawahlunto sejatinya tidak dapat dipisahkan dari riset awal yang diinisiasi oleh Erwiza Erman (1999). Erman meneliti sejarah sosial dari kawasan tambang tersebut dan menjadi peneliti pertama yang memberikan perhatian khusus kepada para pekerja di dalamnya. Dia juga terlibat secara aktif dalam pelestarian warisan kota Sawahlunto. Narasi kritis tentang para pekerja ini menantang narasi warisan industri kolonial yang selama ini sering dipandang tanpa masalah, khususnya dalam konteks kemajuan dan modernitas di Indonesia.

Pada 2013, sejarah sosial kota Sawahlunto juga diangkat dalam sebuah pameran sementara berjudul ‘Cerita dari Ombilin.’ Pameran tersebut menyoroti sejarah lisan dan warisan takbenda, seperti beragam praktik budaya unik di Sawahlunto. Fokus utama diberikan bagi kisah migrasi para pekerja tambang yang berkontribusi dalam pembentukan komunitas multi-etnis di Sawahlunto. Para orang rantai, contohnya, berasal dari berbagai latar belakang etnis, seperti Jawa, Batak, Sunda, Madura, Tionghoa, dan Minangkabau. Fenomena ini juga mendorong perkembangan bahasa baru yang dikenal sebagai bahasa tangsi atau bahasa barak, yang memfasilitasi komunikasi di antara para pekerja.

Dengan berfokus pada proses pembentukan budaya tersebut, para kurator museum berupaya untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berorientasi pada masyarakat dan cara pandang mereka terhadap sejarah. Alih-alih menekankan pada agensi Belanda dan perubahan yang mereka bawa, para kurator lebih memilih untuk mengisahkan narasi-narasi tentang adaptasi masyarakat lokal dan ketangguhan mereka dalam menghadapi pemerintah kolonial serta pengusiran. Ini menjadi aspek penting dari konsep dekolonial yang dihadirkan oleh museum tersebut.

Secara keseluruhan, Museum Goedang Ransoem menampilkan beberapa aspek menarik yang dapat dijadikan pelajaran bagi museum-museum lain di masa depan. Salah satunya adalah penekanan pada evaluasi sejarah kolonial dengan sudut pandang yang lebih kritis, serta pemahaman yang lebih mendalam terhadap sejarah dan perspektif lokal, daripada sekadar mengandalkan narasi sejarah yang diwariskan dari atas.

Pendekatan dekolonial terhadap sejarah juga menuntut evaluasi kritis terhadap pengagungan suatu warisan industri dan teknologi kolonial yang sering dianggap berjalan beriringan sebagai simbol kemajuan dan perkembangan, terutama dalam konteks kesadaran baru akan hubungan antara industrialisasi dengan perubahan iklim.

Katharine McGregor (k.mcgregor@unimelb.edu.au) adalah sejarawan Asia Tenggara modern di University of Melbourne.

Artikel ini diterjemahkan oleh Ravando Lie.

Inside Indonesia 155: Jan-Mar 2024

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.