Pamela Pattynama
Pada tahun 2019, novel luar biasa karya Dido Michielsen yang berjudul Lichter dan Ik (Lighter than Me, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Lebih Putih Dariku), pertama kali diterbitkan. Novel ini menceritakan kisah fiktif seorang perempuan Indonesia bernama Isah yang tumbuh-besar di kraton, sebuah istana kerajaan di Yogyakarta. Namun Isah memilih jalan hidup menjadi nyai (pembantu rumah tangga/gundik) dari seorang tentara Belanda, dengan siapa kelak ia memiliki dua anak perempuan. Isah pun berharap pria tersebut akan menikahinya. Namun, sang tentara justru memilih kembali ke Belanda dan menikahi wanita kulit putih, menelantarkan Isah dan kedua putrinya. Sebagai janda tanpa penghasilan, Isah terpaksa menerima tawaran salah satu keluarga Indo-Eropa yang ingin mengadopsi kedua putrinya. Ironisnya, Isah kelak menjadi babu (pembantu) bagi anak-anaknua sendiri, yang tak pernah mengetahui bahwa Isah adalah ibu kandung mereka.
Lebih Putih Dariku merupakan bagian gerakan intervensi poskolonial baru, yang meliputi produksi budaya lisan maupun visual. Sekalipun bervariasi dalam hal topik maupun bentuk, intervensi ini memiliki elemen penting yang serupa. Melalui cara tertentu, ia mampu mengemukakan pandangan kritis terhadap gagasan kolonial Belanda di masa lalu, yang kerap digambarkan (baik dalam hal waktu maupun tempat) eksotis, sarat nostalgia, dan harmonis; gagasan semacam ini telah tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat Belanda selama berabad-abad.
Nostalgia poskolonial dan nyai/babu
Indonesia merupakan koloni Belanda tertua dan paling berpengaruh secara ekonomi. Sekalipun Indonesia telah meraih kemerdekaannya lebih dari tujuh puluh tujuh tahun silam, tradisi cerita ingatan dan juga penggambaran nostalgia tentang Hindia Belanda masih meresap dan mengakar dalam memori kolektif serta imajinasi Belanda. Saat ini, memori kolonialisme justru diwarnai oleh narasi yang dibentuk oleh orang-orang yang tidak pernah tinggal di koloni atau mengalami periode kolonial itu sendiri. Memori ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari karya sastra, podcast, buku sejarah, hingga buku masak, serta dalam bentuk visual, seperti film, foto, pertunjukan teater, dan monumen publik.
Arsip Belanda yang berisi gambar-gambar dari era kolonial pun sering kali dimunculkan ke publik dengan tujuan membangkitkan nostalgia akan ‘masa lalu yang indah.’ Banyak dari gambar tersebut menampilkan hubungan erat antara penjajah kulit putih dengan kawula yang terjajah, seolah-olah ingin menunjukkan periode tersebut sebagai masa yang layak dikenang dan penuh dengan harmoni. Pemandangan ini pun berperan dalam melanggengkan mitos tentang harmoni antar ras yang dianggap terjalin erat selama periode kolonial.
Maka, tidak mengherankan bila puncak harmoni pada masa tersebut, sering kali digambarkan dengan seorang anak kecil berkulit putih bersandingan dengan babunya, seorang pembantu Indonesia berkulit gelap. Narasi kenangan dan penggambaran yang intim tersebut bertujuan mengaburkan realitas dari sistem negara kolonial di masa lalu yang kelam, sarat dengan ketidakadilan, seksisme, dan rasisme.
Lebih Putih Dariku menyoroti pergeseran baru dalam ingatan kolektif poskolonial Belanda. Novel ini mengisahkan tentang dua tokoh perempuan ikonis Indonesia, ‘babu’ dan ‘nyai,’ yang sering muncul dalam berbagai kisah sastra maupun memori pribadi seseorang tentang Hindia Belanda. Di Hindia, keluarga Eropa sering mempekerjakan perempuan atau gadis Indonesia untuk merawat anak-anak mereka. Banyak anak ini yang kemudian membawa kenangan manis tentang babu mereka ke dalam kehidupan dewasanya. Sebagai sosok ibu pengganti, babu sering dianggap memiliki ikatan emosional lebih kuat dengan anak-anak ini bila dibandingkan dengan ibu kandung mereka. Namun, di dalam rumah, mereka kerap diperlakukan sebagaimana pekerja rumah tangga lainnya, yakni hanya sebagai bagian dari staf yang melayani keluarga Eropa.
Mengingat kedekatan antara para babu dengan anak-anak kulit putih yang mereka asuh, tidak mengherankan bila figur babu menjadi begitu menonjol dalam memori (pos)kolonial Belanda. Namun, situasi ini justru berkebalikan dengan sosok nyai yang kerap dipandang kontroversial. Di Indonesia masa kolonial, tidak jarang bagi pria lajang berkulit putih tinggal bersama perempuan setempat, atau nyai, dan memiliki anak. Sebagai sosok ibu dari anak tersebut, nyai seharusnya diakui dan diintegrasikan dalam keluarga. Namun kenyataannya, keberadaan mereka justru sering diabaikan.
Perubahan dalam ingatan poskolonial
Lebih Putih Dariku lahir dalam konteks kritik yang semakin tajam terhadap kolonialisme Belanda, yang mengakar dalam berbagai gerakan anti-kolonial di negara-negara seperti Indonesia. Selain itu, kritik terhadap kolonialisme juga didorong oleh kecaman dunia internasional yang semakin masif. Salah satu upaya untuk menantang nostalgia masa lalu tersebut, muncul dari sebuah riset besar berjudul ‘Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950.’ Hasil investigasi riset tersebut, yang diumumkan pada tahun 2022, menyimpulkan bahwa:
'Pemerintah dan militer Belanda dengan sengaja mentolerir penggunaan kekerasan ekstrem secara sistematis dan luas oleh tentara Belanda dalam perang melawan Republik Indonesia.'
Debat publik mengenai bagaimana Belanda beroperasi di bekas koloninya yang berharga tersebut, telah menimbulkan kontroversi dan memicu perdebatan sengit di berbagai lapisan masyarakat. Masing-masing kelompok memiliki perspektif yang beragam terhadap periode kolonial tersebut, mulai dari veteran militer, orang-orang keturunan Belanda yang lahir di Hindia, sejarawan, hingga politisi. Berbagai penyelidikan kritis, penemuan fakta baru yang meresahkan, bahkan tuntutan hukum, telah memberikan tekanan pada budaya ingatan poskolonial Belanda. Memori nostalgia terkait Indonesia yang sebelumnya dianggap indah, mendadak menjadi begitu ternodai.
Bagi banyak orang Belanda, kenangan akan periode kolonial kini menjadi memalukan. Mereka merasa terbebani oleh rasa bersalah dan penyesalan. Namun, penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh masyarakat Belanda malah merasa bangga dengan memori kolonial tersebut. Bisa dibilang, romantisasi klise dan kuno dari periode kolonial itu masih bertahan, berdampingan dengan argumen-argumen kritis anti-kolonial seputar Hindia Belanda. Novel Lebih Putih Dariku muncul di tengah perdebatan poskolonial untuk memahami dan merepresentasikan sejarah tersebut.
Penekanan baru pada perempuan Indonesia subaltern
Novel ini menggambarkan Isah, seorang nyai, sebagai sosok yang penuh dengan martabat. Hal ini tentu berkebalikan dengan penggambaran sebagian besar sastra kolonial Belanda yang kerap menampilkan nyai dengan citra sangat negatif. Nyai sering kali hanya dijadikan perlambang dari eksotisme dan seksualitas yang berbahaya, dilihat sebagai ancaman bagi keberadaan wanita kulit putih, dan sering kali dianggap hanya sebagai penggoda atau pengecoh bagi pria kulit putih yang naif. Penggambaran yang negatif tersebut sejatinya digunakan sebagai peringatan terhadap proses sosial dari percampuran ras, yang sudah menjadi fenomena umum di Hindia Belanda selama berabad-abad. Di bawah pengaruh gagasan eugenika yang muncul sejak akhir abad ke-19, percampuran ras dan hubungan seksual antar ras dianggap sebagai hal yang menjijikkan dan tabu, terutama jika melibatkan salah satu pihak yang berkulit putih. Beberapa pihak bahkan meyakini hal tersebut bisa menurunkan derajat orang Eropa. Oleh karena itu, dalam konteks pernikahan resmi, sering kali pria Belanda akan ‘membuang’ atau mengganti nyai mereka dengan perempuan kulit putih. Anak dari hubungan tersebut pun acap kali diambil paksa. Kisah Isah sejatinya mewakili nasib banyak perempuan dan gadis Indonesia lainnya di koloni tersebut.
Dalam memori kolektif Belanda, babu di Indonesia sering dianggap sebagai sosok ibu yang peduli dan penyayang, sementara figur nyai dihormati sebagai ‘nenek moyang’ dari komunitas Indo-Eropa, baik di Indonesia maupun Belanda. Namun dalam memori kolektif tersebut, hanya segelintir saja upaya untuk menjelaskan kehidupan sesungguhnya dari para perempuan ini. Lebih Putih Dariku menjadi novel pertama yang menyoroti kerentanan dan tercerabutnya hak perempuan Indonesia yang bekerja di rumah orang Eropa. Alih-alih sekadar mengulangi, meromantisasi, dan/atau mendemonisasi cerita mereka, novel ini justru menempatkan kehidupan pribadi nyai dan babu dalam konteks politik dan sejarah yang lebih luas. Penulisnya, Michielsen, seorang Indo-Eropa yang juga keturunan nyai, menggunakan arsip keluarganya sebagai sumber penelitian, menjadikannya sebagai landasan kontekstual untuk kisah fiksinya.
Meskipun nyai dan babu sering muncul dalam berbagai cerita berbahasa Belanda tentang Hindia, jarang sekali mereka memiliki suara sendiri. Salah satu pengecualian tentu saja penggambaran karakter Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia. Novel ini, yang merupakan buku pertama dari tetralogi Buru terkemuka karya Pramoedya Ananta Toer, menggambarkan karakter Nyai Ontosoroh sebagai sosok perempuan yang tegar dan berani. Pramoedya melukiskan bagaimana Nyai Ontosoroh berjuang untuk bertahan dari rezim kolonial yang pada akhirnya menghancurkannya.
Tidak seperti memoar-memoar Belanda pada umumnya, Lebih Putih Dariku tidak berfokus pada narasi orang Belanda mengenai babu atau gundik mereka. Sebaliknya, Isah menjadi karakter utama yang menceritakan pengalaman pribadinya. Intinya, Lebih Putih Dariku mampu mengekspresikan kritik poskolonial dengan menempatkan karakter perempuan Indonesia sebagai pusat cerita. Novel ini mampu memberikan ruang bagi tokoh yang selama ini kerap diabaikan dan dianggap tidak penting dalam sejarah kolonial yang resmi.
Michielsen menggambarkan Isah sebagai seorang perempuan pemberontak dan menderita di bawah konvensi gender dan aturan kolonial. Isah pun memilih jalan hidupnya sendiri, mengeksplorasi seksualitasnya, dan menghadapi konsekuensi dari keputusannya yang terkadang buruk. Sekalipun kisah dalam buku ini tidak berakhir bahagia, Isah tetap mempertahankan martabatnya sampai akhir, yang tercermin dalam konstruksi narasi novel tersebut. Meskipun buta huruf, Isah berupaya menceritakan kisah hidupnya kepada seorang penulis bayangan (ghostwriter) agar ceritanya dapat tercatat dan tersimpan. Dengan cara demikian, ia berhasil mengambil tempat dalam sejarah bagi nyai dan babu.
Lebih Putih Dariku menghadirkan sebuah ingatan budaya baru yang penting. Novel ini menjadi semacam representasi publik tentang masa lalu kolonial yang belakangan kembali menjadi sorotan di Belanda. Ini merupakan upaya poskolonial untuk mendekolonisasi usaha memorialisasi Hindia Belanda. Dengan cara demikian, novel ini turut berkontribusi dalam mendekolonisasi memori kuno yang sarat nostalgia, sering kali rasialis, dan masih tertanam kuat dalam budaya Belanda.
Pamela Pattynama (pattynama1@gmail.com) merupakan Profesor Emeritus di Bidang Literatur Kolonial dan Poskolonial di University of Amsterdam.
Artikel ini diterjemahkan oleh Ravando Lie.