Dec 22, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Bekerja dengan artefak kolonial di Rijksmuseum

Published: Mar 25, 2024

Timoteus Anggawan Kusno

English version

Pada musim semi 2019, ketika tengah menyelesaikan program residensi Asia Culture Center- Rijksakademie di Amsterdam, saya bertemu dengan Harm Stevens. Harm merupakan seorang sejarawan sekaligus kurator di Rijksmuseum Amsterdam. Kami berdiskusi tentang peran penting objek-objek kolonial yang tersimpan di berbagai institusi di Belanda. Dari penelitian besarnya terkait dengan barang rampasan perang dari pulau-pulau di Indonesia, Harm memberikan berbagai sudut pandang menarik.

Harm Stevens juga membicarakan proyek kuratorialnya yang saat itu tengah berlangsung dalam tajuk ‘Revolusi!’. Adapun proyek tersebut bertujuan untuk menyajikan beragam perspektif dan juga suara dari perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Pameran itu dirancang dengan hati-hati dalam kerangka multi-vokalitas dengan sajian berbagai koleksi dan karya seni menarik dari periode krusial antara tahun 1945 hingga 1949.

Menanggapi proyek tersebut, saya menyatakan pentingnya untuk memahami hal-hal yang tak terlihat dari periode revolusi itu sendiri. Penting bagi seseorang untuk menyelami akar-akar penindasan kolonial yang telah terjadi selama berabad-abad, hingga trauma dan perlawanan anti-kolonial yang mendasarinya. Revolusi tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia merupakan buah dari akar penindasan dan perlawanan yang begitu panjang dan kompleks. Menariknya, ada begitu banyak artefak yang berkaitan dengan perjuangan anti-kolonial ini yang tersimpan dalam berbagai institusi kebudayaan di Belanda. Perbincangan dengan Harm tersebut pun berujung pada kolaborasi saya dengan Rijksmuseum, tepatnya sebagai bagian dari pameran ‘Revolusi!’

Frames that held the portraits of former Governor Generals form part of the installation / Author

Beberapa hari setelah pertemuan di kafetaria Rijksmuseum tersebut, kami mulai membahas keterkaitan antara tampilan dan juga interpretasi terhadap artefak kolonial. Kami menggunakan lensa sosial-politik yang lebih luas, dinamika kekuasaan sejarah yang mengiringinya, hingga beragam perdebatan seputar dekolonialisasi yang belakangan kerap didiskusikan. Adapun saya menekankan pentingnya untuk mengintegrasikan penelitian sejarah, eksplorasi seni, intervensi, hingga pandangan kritis terhadap museum dan bagaimana institusi ini bekerja. Harapannya, museum bisa membentuk kembali peranan mereka dan juga menerapkan kerangka berpikir dekolonial. 

Di dalam gudang penyimpanan Rijksmuseum

Kami juga berdiskusi seputar pengetahuan dasar yang diterapkan pada artefak kolonial tersebut, hingga perlunya untuk mengevaluasi dan membayangkan kembali objek-objek kolonial itu. Kami pun mengatur perjalanan untuk melihat langsung gudang penyimpanan Rijksmuseum, yang terletak sekitar satu jam dari Amsterdam. Saya begitu terkesan dengan masifnya jumlah artefak dari berbagai wilayah di Indonesia yang tersimpan dan tertata rapi di sana. Namun pada saat bersamaan, saya juga dirundung perasaan yang campur-aduk. Di satu sisi, artefak tersebut memang menjadi sumber yang begitu berharga untuk diteliti dan dipelajari. Akan tetapi di sisi lain, mereka seperti sudah tercerabut dari konteks budaya di mana mereka pernah tumbuh dan dihidupi, lantaran pendekatan ‘ilmiah’ yang digunakan dalam pengelolaan dan upaya ‘mempertahankan’ mereka.

Pemeriksaan saya terhadap label, kategori, tabel, dan juga informasi objek, mengingatkan saya pada catatan medis kedokteran, khususnya dalam hal sterilitas, birokrasi, dan prosedur yang berbelit-belit untuk sekadar mendekati atau menyentuh koleksi tersebut. Ironisnya, beberapa informasi yang tercantum mengenai artefak tersebut juga tidak lengkap dan akurat. Oleh karenanya, sekalipun memberikan pengalaman dan juga kesan yang begitu menancap, kunjungan tersebut juga meninggalkan serangkaian endapan pertanyaan.

Pada tahun yang sama, sekembalinya ke Yogyakarta, saya pun menerima undangan resmi dari Rijksmuseum. Undangan tersebut kelak bermuara pada kontribusi saya dalam pameran ‘Revolusi!’. Pada awal 2020, saya pun berkesempatan untuk melakukan penelitian lapangan di fasilitas penyimpanan museum tersebut. Kesempatan ini pun memungkinkan saya untuk melakukan pengamatan lebih luas, memilih objek, dan menyelesaikan rencana kerja saya.

Memaknai kembali benda-benda kolonial yang dirampas

Setelah menjelajahi koleksi Rijksmuseum dari dekat, saya menyaksikan bahwa setiap benda koleksi di sana dirawat dengan begitu teliti dan penuh perhatian. Di gudang penyimpanan Rijksmuseum, saya menemukan berbagai bendera yang berasal dari kepulauan di Indonesia. Adapun sebagian besar bendera tersebut merupakan rampasan selama aksi militer pemerintah kolonial Belanda. Saat membentangkannya di Rijksmuseum, terbayang dalam benak saya, betapa bendera-bendera tersebut mengkristalisasi dan memancarkan semangat anti-kolonial yang bergema panjang dan masih relevan hingga hari ini. Namun sayangnya, Rijksmuseum tidak memiliki informasi yang lengkap terkait dengan asal dan fungsi dari bendera-bendera tersebut. Ironisnya, beberapa bendera juga berada dalam kondisi rusak justru setelah melewati serangkaian upaya pemeliharaan pada dekade-dekade sebelumnya. Fakta ini sejatinya menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam upaya pelestarian artefak-artefak tersebut.

Objek lain yang menarik perhatian saya adalah bingkai emas yang menghiasi lukisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebagai catatan, lukisan-lukisan megah ini sebelumnya dipajang di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Mereka menjadi salah satu simbol hegemoni kolonialisme Belanda yang berlangsung antara tahun 1840 hingga 1942. Melihatnya secara langsung mau tak mau turut memicu banyak pertanyaan dalam benak saya.

Ketika Jepang menginvasi Indonesia di bulan Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memerintahkan agar lukisan tersebut disembunyikan. Dengan terburu-buru, mereka dipak dan dikirim ke sebuah pabrik gula di Jawa Timur. Jepang berhasil mengendus rencana tersebut dan segera mengembalikan lagi lukisan tersebut ke Batavia. Fakta bahwa lukisan-lukisan ini menjadi perebutan, hingga kini tetap ada dan terus dijaga telah menunjukkan dinamika kekuasaan dan efek jangka panjang yang ditimbulkan oleh kolonialisme Belanda di Indonesia.

Potret dari para Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut masih menjadi monumen dari keberlangsungan kolonialisme. Mereka bahkan masih tersimpan rapi dalam gudang penyimpanan hingga lebih dari setengah abad kemudian. Bingkai lukisan tersebut tidak hanya menunjukkan nama dari para Gubernur Jenderal, melainkan juga seniman di baliknya. Keberadaan bingkai yang mengokohkan lukisan ini memang bertautan erat dengan tradisi Barat, dimana kehadirannya menunjukan otoritas, baik secara simbolis maupun eksplisit, terbaca pada detail yang tertulis di dalamnya. Ketika semata-mata bingkai-bingkai bersama lukisan monumental tersebut dikeluarkan dari gudang penyimpanan dan dipajang di dinding museum, hal ini bisa ditafsirkan sebagai gestur modernis yang mengglorifikasi hegemoni kolonial, tepat senada dengan alasan sebagaimana lukisan-lukisan tersebut awalnya diciptakan.

Guna menantang narasi ini, saya pun mengusulkan untuk melepas bingkai-bingkai dari lukisan yang akan dipamerkan. Saya juga berinisiatif untuk menaruh lukisan-lukisan tersebut di lantai, ketimbang memajangnya secara konvensional di dinding. Kurator pameran menyatakan akan mempertimbangkan usulan tersebut. Mereka mengakui bahwa pendekatan semacam itu belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Perlu diingat bahwa lukisan-lukisan tersebut memang belum pernah sekali pun dipajang di luar gudang penyimpanan. Ketika tahap perencanaan, sempat muncul kekhawatiran terhadap kondisi fisik lukisan tersebut. Rencana pameran pun dimodifikasi. Alih-alih memajang lukisan tanpa bingkai, saya pun mengusulkan sebaliknya: memamerkan ‘bingkai tanpa lukisan.'

Revolutionary Flags on display as part of the installation/ Rijksmuseum, Albertine Dijkema

Meski demikian, saya meminta agar bingkai-bingkai tersebut tetap disebar dan berserakan di lantai, layaknya kuburan yang terabaikan. Pendekatan ini tidak hanya sekadar menjadi bentuk pernyataan artistik saya, namun juga salah satu bentuk kompromi saya untuk tetap mempertahankan sikap ideologis terhadap karya tersebut.

Menangkap semangat revolusi

Dalam kunjungan yang berbeda ke Amsterdam, saya bergabung dengan tim kurator Rijksmuseum untuk mengeksplorasi koleksi arsip nasional Belanda di Den Haag. Adapun koleksi tersebut terdiri dari barang-barang pribadi beserta jimat dari para pejuang Indonesia di era Revolusi. Objek-objek tersebut disita oleh NEFIS selama periode revolusi Indonesia. Sebagai catatan, NEFIS merupakan sebuah unit intelijen Belanda dan juga unit operasi khusus yang beroperasi selama Perang Dunia II di wilayah Indonesia yang kala itu masih diduduki Jepang.

Banyak objek dalam koleksi khusus tersebut yang berhiaskan ayat-ayat suci dari Al-Qur’an. Saya pun langsung teringat pada objek serupa yang disebut ‘jimat.’ Objek ini umumnya dihiasi ukiran dalam bahasa Arab dan dibuat oleh para ulama tradisional untuk para pengikutnya. Segera ingatan saya terpelanting ke masa kecil, ketika saya masih tinggal di salah satu kampung di Bengkulu, Sumatra. Banyak teman-teman kecil saya menggunakan jimat semacam ini.

Situasi tersebut kemudian mengingatkan saya pada berbagai bendera dan juga jimat yang tersimpan di gudang penyimpanan Rijksmuseum. Beberapa di antara objek tersebut ternyata juga memiliki ukiran ayat-ayat suci Al-Qur’an. Hal ini mendorong saya untuk meneliti lebih lanjut hubungan antara objek-objek ini dengan semangat anti-kolonial. Dari sanalah saya kemudian berinisiatif untuk merekam pembacaan lantunan ayat-ayat suci itu, menghadirkan pengalaman lain atas kehadirannya. Harapannya, agar pengunjung bisa mendapatkan pengalaman yang lebih imersif, dan turut merasakan semangat anti-kolonial yang selama ini mengendap dalam artefak-artefak tersebut.

Dekolonialisasi dan refleksi pribadi

Ketika saya menjelajahi lebih dalam artefak-artefak bersejarah yang ada di Rijksmuseum, sempat muncul pertanyaan dalam benak saya mengenai hubungan dan posisi saya terhadap kompleksitas dan konteks sosio-kultural atas objek-objek ini. Asal-usul yang beragam dari objek-objek ini semakin meningkatkan kesadaran saya terhadap identitas budaya Indonesia yang begitu rumit dan berlapis dalam hubungannya dengan sejarah kolonial Belanda.

Sebagai seorang Indonesia keturunan Jawa, saya terus bergumul dengan pengaruh kuat Jawa-sentrisme, yang bertautan erat dengan warisan kolonialisme yang terus bertahan bahkan setelah Indonesia merdeka. Secara khusus saya menjadi kian tertarik dengan bagaimana kolonialisme dipandang, jauh sebelum konsep ‘Indonesia’ sebagai negara bangsa ditemukan. Ketika saya merancang instalasi dengan objek-objek ini, saya kerap merenungkan; apa yang menggerakkan orang-orang untuk sepenuhnya mengorbankan diri dan menolak tunduk, sekalipun gagasan terkait negara atau nasionalisme masih belum terkristalisasi saat itu.

/ Author

Penciptaan instalasi saya yang berjudul Luka dan Bisa Kubawa Berlari melibatkan penyelaman dan penjelajahan makna yang mungkin dibungkam, atau terselubung dalam konteks kerja museum sebagai institusi. Bekerja dengan artefak kolonial di museum memaksa saya untuk berpikir, bagaimana objek-objek ini didokumentasikan dan ditampilkan ke publik. Strategi ini kemudian membantu saya untuk menyoroti ketidakseimbangan kekuasaan dan memunculkan kisah-kisah yang selama ini bisa jadi tersembunyi di balik dinding museum. Selain bertujuan membuat yang tidak terlihat menjadi terlihat, proses artistik yang saya lakukan juga berupaya menyoroti ketidakadilan dan ketimpangan dalam penulisan sejarah. 

Selain itu, saya juga berupaya secara aktif untuk mempertanyakan kembali makna di balik benda-benda kolonial di museum seraya terus menantang simbol-simbol yang selama ini dianggap sudah mapan. Dalam pameran ini, saya berupaya menanggalkan makna penting di balik lukisan para Gubernur Jenderal dan menantang narasi yang selama ini dibangun dan dilanggengkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pendekatan-pendekatan ini bertujuan untuk mendesentralisasi narasi sejarah, menghilangkan mistifikasi kekuasaan institusi, serta memberikan ruang bagi refleksi sejarah di luar arus utama. Instalasi ini hanyalah permulaan dari diskusi yang lebih luas dan panjang mengenai sisa-sisa kolonialisme, baik dalam institusi kultural maupun dalam produksi pengetahuan.

Timoteus Anggawan Kusno (t.a.kusno@uva.nl) merupakan seorang seniman, sutradara, dan juga kandidat doktor di Universitas Amsterdam. Karyanya, 'Luka dan Bisa Kubawa Berlari', ditampilkan dalam pameran berjudul ‘Revolusi!’ di Rijksmuseum, Amsterdam, 11 Februari – 6 Juni 2022. Untuk informasi lebih lanjut mengenai karyanya, bisa diikunjungi di sini.

Artikel ini diterjemahkan oleh Ravando Lie.

Inside Indonesia 155: Jan-Mar 2024

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.