Annisa R. Beta
English version
Kaum muda Indonesia, seperti yang digambarkan dalam reportase Inside Indonesia selama empat dekade ini, sungguh spektakuler. Mereka menunjukkan perpaduan kualitas unik yang menjadikannya kelompok yang memikat banyak pihak. Mereka kritis dan revolusioner, mendorong batas-batas norma dan ekspektasi sosial. Kaum muda Indonesia juga kreatif: banyak yang kini tidak ragu untuk mendukung cita-cita dan inisiatif yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Pengaruh mereka meresap dan membentuk budaya kontemporer Indonesia. Sayangnya, mereka harus terus menjalani kehidupan yang dipenuhi ketidakpastian.
Esai ini meninjau kembali sebagian dari liputan mendalam Inside Indonesia tentang kehidupan kaum muda Indonesia. Tulisan ini memikirkan kembali relevansi analisis Inside Indonesia dan mendorong keterlibatan orang muda yang lebih bermakna.
Revolusioner
Eksplorasi terkait kaum muda Indonesia tidak dapat dimulai tanpa memperhatikan peran penting mereka dalam perubahan politik di negeri ini. Tekad dan pergerakan kaum muda di Indonesia lebih dari sekedar kecenderungan untuk memberontak, terlihat jelas dari keinginan kuat mereka akan perubahan. Orang muda tidak hanya menantang berbagai batasan yang diberlakukan oleh masyarakat. Mereka juga mempertanyakan batasan-batasan yang ada dalam hidup mereka sendiri.
Laporan khusus Inside Indonesia tentang 'Mahasiswa Bergerak' (Students on the move) yang diterbitkan pada tahun 1989 menandai masa ketika sentimen anti-Suharto meningkat di kalangan muda. Hal ini terlihat dari menjamurnya kelompok diskusi dan organisasi sosial, yang secara perlahan membentuk apa yang Max Lane sebut sebagai “proses membangun kembali alternatif politik yang berbasis rakyat.” Dan, seperti yang kita ketahui sekarang, pembangunan kembali masyarakat sipil ini berperan dalam menurunkan Orde Baru dari kekuasaan dan berujung pada Reformasi.
Momen ketika generasi muda turun ke jalan, menuntut perubahan, bergema sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di luar analisis tentang protes jalanan kaum muda yang spektakuler (yang sudah dilakukan dengan sangat baik oleh Inside Indonesia ), saya ingin menyoroti kerja luar biasa majalah ini dalam menampilkan bagaimana generasi muda menghadapi situasi sulit dalam kehidupan sehari-hari.
Hidup tanpa kepastian
Dalam artikel 'Wanita Pekerja' (Working Women) yang diterbit dalam edisi pertama Inside Indonesia pada tahun 1983, Barbara Martin-Schiller menceritakan kisah Riati, seorang perempuan muda dari Rembah Randu, sebuah desa di Jawa, yang pindah ke Jakarta. Langkah Riati mencerminkan perubahan sosial yang lebih besar yang didorong oleh masuknya teknologi dan modal baru. Dia awalnya mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Kemudian, karena terdorong oleh pengalaman temannya yang bekerja di pabrik pakaian, ia kembali ke desanya untuk belajar menjahit. Daya tarik akan gaji yang lebih baik dan kebebasan yang lebih besar sangatlah kuat. Riati membayangkan untuk kembali ke Jakarta, mungkin mencari pekerjaan di pabrik pakaian, atau mendirikan usaha menjahit sendiri.
Empat dekade sejak artikel tersebut diterbitkan, banyak aspek aspirasi generasi muda untuk masa depan yang lebih cerah, seperti yang dicontohkan oleh kisah Riati, masih bertahan. Semakin kencangnya aliran teknologi dan modal baru telah membuat kisah-kisah generasi muda Indonesia semakin menarik dan kompleks.
Ariane Utomo, Iwu Utomo, dan Peter McDonald menuliskan (134: Oct-Dec 2018) bahwa saat ini banyak orang ingin kita percaya bahwa rata-rata anak muda “adalah penduduk kelas menengah ke atas dengan pendidikan tersier (kemungkinan besar tinggal di Jakarta); tengah mencari pekerjaan dengan penghasilan awal yang relatif tinggi di industri kreatif dan digital; berganti pekerjaan tiap tahun karena mereka ingin berjalan-jalan; dan menghabiskan hari-hari mereka dengan bersantai sambil meminum latte artisan di sebuah kafe yang layak untuk diunggah ke Instagram; mengkhayal untuk mengikuti maraton di Tokyo sembari memainkan telepon genggam mereka. Tak ada yang lebih jauh dari kenyataan.” Para peneliti justru memperlihatkan bahwa banyak orang muda menghadapi kesulitan keuangan, dan hanya sebagian kecil yang mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Sayangnya, masih banyak yang percaya bahwa tingginya jumlah penduduk Indonesia yang muda dapat diartikan sebagai tingginya kapasitas individual muda untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri. Pemilu 2024 mendatang menandai daya tarik lima tahunan generasi muda sebagai populasi potensial bagi mereka yang ingin berkuasa. Gen-Z kini disertakan dalam strategi setiap tim kampanye. Masih ada keyakinan bahwa generasi muda pasti paham teknologi dan pasti memiliki akses yang lebih mudah terhadap pendidikan dan pekerjaan, dan karena itu mereka pasti mampu mengangkat diri mereka sendiri tanpa banyak bantuan.
Pembuatan ulang yang kreatif
Hal ini tidak berarti generasi muda Indonesia tidak kreatif atau tidak mampu bertahan di tengah ketidakstabilan ekonomi, ketidakpastian politik, dan tantangan lingkungan hidup yang secara struktural menimpa mereka. Menanggapi minimnya dukungan pemerintah, para wirausaha muda menciptakan Bagi Rata. Memahami bahwa Pemilu mendatang akan dipenuhi dengan informasi yang salah, pihak lain mendirikan Bijak Memilih.
Terlepas dari itu, generasi muda Indonesia terus bergulat dengan kerentanan dan kurangnya dukungan. Mungkin inilah saatnya kita memberikan perhatian lebih besar terhadap apa yang kaum muda butuhkan dan apa yang mereka lakukan untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik dengan cara mereka sendiri.
Saya merekomendasikan untuk menghargai dan mendukung peran aktif kaum muda dalam membentuk dan berkontribusi terhadap produksi pengetahuan, khususnya dalam lanskap politik dan pengetahuan digital dan alternatif yang terus berkembang di Indonesia.
Meskipun Instagram dan Twitter dipenuhi hoaks dan kampanye disinformasi, kedua media sosial ini juga penting bagi puluhan, bahkan ratusan, kelompok dan kolektif yang dipimpin dan berfokus pada kaum muda yang mengadakan acara, pelatihan, dan kelas bagi sesama. Hampir setiap hari mereka mengunggah pemaparan ide-ide kritis tentang masa depan Indonesia. Akun media sosial feminis mungkin adalah contoh yang paling jelas, seperti Lingkar Studi Feminis, Be With You, PurpleCode, Magdalene, Konde, dan masih banyak lagi. Popularitas Proyek Multatuli, Lingkar Studi Filsafat Cogito, dan IndoPROGRESS menandakan momen meningkatnya minat terhadap ide-ide progresif. Kebiasaan berpikir kalau yang lebih tua pasti lebih paham (adultism) dalam dunia akademik dan banyak diskusi publik sering kali mengabaikan peran media sosial. Orang yang lebih tua yang merasa mereka lebih tahu cenderung menganggap bahwa media sosial memang populer namun tidak dapat mendorong terjadinya perubahan sosial yang 'nyata' dan 'serius'. Inilah sebabnya saya merasa setidaknya kita (yang berusia lebih tua) harus mengakui peran aktif generasi muda dalam memikirkan kembali produksi dan penyebaran pengetahuan.
Inside Indonesia dapat memfasilitasi hal ini lebih lanjut dengan mendorong kolaborasi antargenerasi. Pengaruh signifikan majalah ini di kalangan pembaca di Australia, Indonesia, dan negara-negara lain berpotensi menghubungkan generasi yang lebih tua (yang mungkin mengabaikan perspektif generasi muda) dengan kaum muda yang mengadvokasikan perubahan. Dengan ini, Inside Indonesia dapat mendorong dialog, pemahaman yang lebih mendalam, dan kolaborasi, sehingga menciptakan ruang untuk produksi pengetahuan yang lebih inklusif. Inside Indonesia bahkan mungkin dapat membuat bagian khusus di majalah atau website untuk kontributor muda dan memberikan ruang bagi hasil kreatif mereka.
Sangatlah penting untuk membuka lebih banyak ruang untuk kaum muda berbagi ide, dengan mediasi minimal orang yang lebih tua. Kita perlu ingat bahwa ada perbedaan berlapis di antara kaum muda – dalam hal gender, seksualitas, etnis, kelas, lokasi, latar belakang pendidikan, dan banyak lainnya. Inside Indonesia dapat mengakui hal tersebut dan tetap memfasilitasi (dan merayakan!) kerjasama kaum muda Indonesia dengan satu sama lain. Harapannya, hal ini juga dapat meningkatkan standar penelitian tentang kaum muda (youth studies) di Indonesia.
Annisa R. Beta (annisa.beta@unimelb.edu.au) adalah ARC DECRA Fellow di The University of Melbourne.