English version
Nicodemus Freddy Hadiyanto
‘Alam nan menghimbau, seantero pulau. Dimanakah engkau, citra nan memukau…, Hai oya he yo, kembalikan Bali ku padaku… ‘.
Meraba dan mencoba melihat wajah Bali di masa pandemic kini, telah menggiring ingatan saya pada sebuah lagu yang berjudul ‘Kembalikan Baliku’, yang ditulis oleh Guruh Soekarnoputra anak bungsu dari presiden pertama Indonesia Soekarno.
Sebuah pertanyaan terlintas sesaat setelah lagu tersebut selesai berputar, ‘mau kembali kemanakah Bali?’, ya…, mau kearah manakah Bali setelah lebih dari 2 tahun Bali terpuruk secara ekonomi akibat imbas pandemic covid terhadap dunia industry Pariwisata. Masihkah masyarakat memimpikan pariwisata Bali kembali? atau mereka sudah ‘move on’ melupakan pariwisata dan menjalani profesi yang lainnya?
‘Kanggoin’ dan lupakan pariwisata
Sebagian masyarakat di Bali masih mempunyai harapan agar pemerintah segera membuat kebijakan yang mempermudah pariwisata kembali berjalan normal, dan bahkan mereka begitu antusias menyambut program vaksin yang menjadi syarat untuk persiapan pariwisata di Bali di buka kembali. Beberapa upaya pemerintah pusat yang ingin menyelamatkan Bali dan pariwisatanya pun telah di lakukan di tahun 2021, seperti pindahnya kantor kementerian KEMENPAREKRAF di bawah Menteri Sandi Aga Uno dari Jakarta ke Bali, yang melahirkan program ‘Work From Bali’ (WFB), sebuah program yang mengajak masyarakat di luar Bali untuk pindah dan bekerja dari Bali secara online. Gagasan ini alhasil melahirkan banyaknya masyarakat Jakarta yang kemudian pindah dan bekerja dari Bali, seorang teman dari Jakarta yang ikut pindah menuturkan kepada saya ‘iya enak bekerja dari sini, harga kamar terjangkau, kamar selalu di bersihkan, ada kolam renang dan kalo mau hangout banyak pilihan’.
Seorang tetangga yang berprofesi sebagai staf di hotel di Nusa Dua bercerita bahwa sekarang sudah mulai bekerja kembali dengan sistem shift yang sudah dikurangi ‘ya lumayan mas, sudah mulai ada tamu local meski pendapatan tidak sebanyak dulu’. Menurut data BPS di tahun kedua pandemic di Bali, di 2021 angka pengangguran sedikit menurun di banding tahun awal pandemic di tahun 2020, namun angka kemiskinan tetap meningkat. ‘Sekarang gaji pokok sudah tidak seperti dulu mas, dan tamu local jarang kasih tips’, seru Jik Koplot tetangga saya.
Seorang tetangga lain di perumahan saya sudah memutuskan berangkat ke Maldives untuk bekerja sebagai chef disana, ‘Saya benar benar sudah di pecat mas, dan saya dapat tawaran kerja di Maldives untuk gaji yang lebih bagus, makanya saya berangkat’, serunya.
Di tanggal 14 Oktober 2021 melalui kebijakan Kemenparekraf dan Kementerian Luar Negeri, pariwisata di Bali mulai dibuka untuk wisatawan asing, bahkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berpendapat bahwa Pariwisata di Bali akan bisa pulih di Januari 2022. Tak perlu dikatakan, dengan varian virus baru, Omicron, yang mulai berlaku pada awal Desember, target ini tidak pernah tercapai.
‘Ya…tapi Omicron sekarang mewabah di Australia dan Eropa mas, mas lihat sendiri ini sudah februari 2022, masih sepi kan dunia pariwisata ‘Seru mas Arif seorang GM restaurant di Canggu. ‘kuat kuatan sabar sih mas sekarang ini’, serunya menambahi.
Di dalam masyarakat Bali di kenal kata ‘kanggoin’ yang berarti pasrah atau terima saja. Meski lamban industry pariwisata telah berjalan kembali dengan mengandalkan wisatawan local, masyarakat Bali yang masih dengan setia dan berharap pada suatu hari keadaan akan membaik. ‘jalani saja mas, meski gaji tidak penuh setidaknya ada pekerjaaan, kanggoin lah mas’ timpal jik Koplot.
Jika sebagian masyarakat masih mengharapkan industry pariwisata akan membaik dan pulih lagi seperti zaman sebelum pandemic, ternyata tidak untuk sebagian masyarakat lain. Marak tumbuh industry rumahan dan UMKM saat ini, mulai dari kuliner, makelar motor bekas, kopi shop, jualan arak dan tuak hingga jual beli tanaman hias.
Ketahanan dan kecerdikan
Memasuki tahun ketiga pandemic telah menghancurkan perekonomian Bali yang tergantung dari industry pariwisata, masyarakat telah banyak belajar dan beradaptasi dengan keadaan saat ini. Banyak yang masih bertahan dengan gaji pas dan berharap pariwisata segera pulih kembali, namun juga tak sedikit yang benar benar sudah beralih profesi secara mandiri, berbekal modal ketrampilan dan modal kecil yang dimiliki. Selama lebih dari dua tahun masyarakat telah berubah dan bertransformasi, learning tentang hal-hal baru dengan perubahan social ekonomi saat ini di Bali, harus diacungi jempol kemandirian masyarakat ini.
Kelompok masyarakat yang satu ini telah melewati masa adaptasi dan transformasi yang mau tidak mau bisa dibilang sangat cepat. ‘Saya dulu driver bus untuk tour wisatawan khusus dari China’ kata pak Joni. Sejak awal pandemic di tahun 2020, pak Joni telah dirumahkan dan menjadi pengangguran. ‘Akhirnya saya putuskan untuk berjualan kopi dan nasi bungkus keliling, demi keluarga, mas’ kata pak Joni sambil menunjuk pada sebuah motor yang dia rubah menjadi angkutan dagangannya. Pak Joni cukup unik dan menarik, dia berjualan di sekitar jalan pantai atau dewi sri di daerah Kuta. Sosok pak Joni gampang dikenali dan di ingat karena pada saat berjualan kopi dan nasi bungkus keliling dia berpenampilan sangat rapi dan formal, lengkap dengan dasi yang tergantung di kerah kemejanya dan bersepatu. ‘Seragam saya dulu saat menjadi driver bus tour, ya rapi begini mas, kemeja dasi dan sepatu, biar masih rasa bekerja seperti dulu mas’ tegas dia menerangkan. Pak Joni ini adalah salah satu contoh dari banyak masyarakat di Bali yang justru justru memilih ‘banting stir’ dan move on menjalani profesi barunya dan mulai melupakan pariwisata.
‘Saya tidak putus asa meski jujur cukup berdarah darah saya berusaha, namun saya punya tanggungan anak yang masih kuliah ‘seru mas Nur, sosok pria 44 tahun yang saya temui di warung nasi tempongnya yang merupakan usaha barunya untuk membiayai dan melanjutkan hidup setelah usaha travel tour miliknya gulung tikar akibat pandemic.
Ucapan senada juga di tuturkan Samuel, pria usia 34 tahun yang di berhentikan pekerjaannya sebagai desain grafis di salah satu restaurant terkenal di seminyak 2 tahun lalu. ‘Putus asa sih tidak, hanya sempat marah pada diri sendiri, namun saya sadar hidup harus berjalan dan saya focus pada warung makan saya ini, sampai sekarang’, tutur Samuel.
Pasangan mas Ary dan Mbak Vana dengan lebih arif juga menuturkan hal serupa ‘kami tidak putus asa mas, kami hanya terus berusaha, menguatkan satu sama lain dari situasi yang chaos ini dan terus berusaha semampunya ‘tutur mereka. Pasangan Ary dan Vana ini juga sudah kehilangan pekerjaan mereka dari sebuah restaurant Jepang terkenal di Bali dan kini beralih menjadi penjual tanaman hias.
Baik mas Nur, Samuel ataupun pasangan Ary dan Vana mereka sudah menyadari dari sejak awal pandemic ini berbeda dengan bencana lainnya yang pernah menimpa Bali, seperti letusan gunung Agung ataupun tragedy bom Bali, pandemic ini akan berjalan sangat lama. ‘Kondisi seperti ini akan butuh waktu yang lama pulih mas’ kata mas Nur. ‘Saya mempunyai tamu Singapore yang masih menghubungi saya, mereka berkata sangat ingin ke Bali, namun pemerintah mereka (Singapore) belum memperbolehkan mereka untuk keluar dan pergi ke Bali’ sambung mas Nur.
Kesadaran akan masih lamanya keadaan ini pulih itulah yang mendorong mereka untuk segera keluar dari zona industry pariwisata yang sudah mereka tekuni selama bertahun tahun. Dorongan untuk terus bisa bertahan dan meneruskan hidup melahirkan kemandirian mereka untuk membuka usaha dengan modal dan ketrampilan yang terbatas, tanpa bantuan otoritas setempat dan pemerintah.
‘Tidak, saya tidak pernah mengajukan bantuan social dari pemerintah di masa pandemic ini, saya percaya kepada Tuhan saja daripada pemerintah’, kata Samuel. Sementara mas Nur mempunyai alasan lain kenapa dia tidak pernah mengajukan bantuan pemerintah ‘Terlalu berbelit belit aturannya dan nilai bantuan tidak sepadan dengan yang harus di kembangkan dan jalankan’, seru mas Nur.
Pasangan Ary dan Vana pun senada mereka sudah begitu pesimis dengan menggunakan bantuan pemerintah karena tingkat pengangguran yang cukup tinggi dan konsep yang di tawarkan kurang menunjukkan solusi.
Dalam menjalankan hal atau usaha baru tantangan pasti ada, terlebih ini adalah dunia kerja baru buat mereka. Samuel, mas Nur ataupun pasangan Ary dan Vana mereka semua banyak belajar kembali dengan dunia barunya, mengatur keuangan dan mengatur promo produk melalui social media adalah salah satu cara mereka terus menggali dan belajar menjalankan dunia barunya. Tantangan terus ada dalam tiap hal baru, dan itu di sadari oleh mereka saat menjalankan dunia kerja barunya saat ini.
Pertanyaan yang terlintas di kepala saya adalah: sampai kapankah mereka bisa bertahan dan apa yang akan bisa membuat mereka bisa bertahan?
‘Ya, jangan putus asa mas, cintai pekerjaan yang saat ini kita jalani dan jangan berhenti belajar tentang hal yang baru’, jawab pasangan Ary dan Vana.
‘Kalo saya, ya mencintai pekerjaan kita saat ini mas, saat kita memasak dengan cinta, masakan yang sederhana pun terasa sangat nikmat’, sambung mas Nur.
Tidak ada yang bisa membayangkan bencana pandemic ini menghancurkan kejayaan industry wisata di Bali yang legenda, dan tidak ada yang akan tahu kapan akan selesai baik itu Samuel, mas Nur ataupun pasangan Ary dan Vana. Kini setelah dua tahun pandemic berjalan di pulau ini, mereka bertiga memilih untuk ‘banting stir’ membangun harapan dengan hal yang baru, bukan pariwisata lagi. Mereka terus mau belajar dan terus mempelajari hal yang baru, karena dunia memang sudah akan selesai jika kita berhenti belajar.
‘Tidak mau atau kangen dunia pariwisata lagi?’ tanya saya.
‘Tidak mau lagi, saya mau focus pada warung kecil saya saja yang selama dua tahun telah menyelamatkan saya dan keluarga’, jawab Samuel.
‘Tidak mas, saya mau warung saya berkembang dan punya cabang dimana mana, kalo pariwisata, ah.sudahlah, saya sudah jenuh’ jawab mas Nur.
Nicodemus Freddy Hadiyanto (nicodemusfreddyhadiyanto@gmail.com) adalah sosiolog dan musisi yang tinggal di Bali, terkenal karena perannya sebagai vokalis dan penulis lirik untuk grup post-punk Armada Racun. Fredy saat ini bekerja sebagai DJ, dan terus membuat musik elektronik adalah waktu luangnya.
Dengar audio wawancara Freddy dengan Mas Samuel dan Mas Nur.