English version
Rahmadi Fajar Himawan
Pada bulan September tahun lalu, saat saya berbincang dengan Warsiah, seorang sinden (vokalis perempuan dalam karawitan Jawa), diskusi kami tentang pentas seni sebelum pandemi membawanya bercerita tentang pengalamannya di malam tahun baru 2019. Warsiah tengah mengiringi wayangan (pertunjukan wayang) di Cengkareng, Jakarta Utara, yang digelar untuk menyambut tahun baru, ketika tiba-tiba wayangan diganggu hujan lebat. Bahkan setelah wayangan usai, hujan tidak berhenti. Di malam hari, saat Warsiah tiba di rumahnya di Kramat Jati, Jakarta Timur, dia mendapati rumahnya terendam banjir. Bencana serupa juga menimpa seniman lainnya di Jakarta yang pulang usai pentas di malam itu; sebagian besar dari mereka tiba di rumah pada malam hari dan menemukan rumah mereka sudah terendam banjir.
'Kok bisa ya?' Warsiah bertanya kepada saya tentang bencana di Malam Tahun Baru. Kami bertanya pada diri sendiri apakah bencana seperti itu merupakan pertanda, sebuah penyambutan menuju kesulitan di tahun 2020.
Warga Jakarta telah terdampak COVID-19 dalam banyak hal sejak Maret 2020 - secara sosial, finansial, dan sebagainya. Pada 14 September 2020, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Indonesia kembali diperpanjang. 'Hampir setahun tanpa satu pun pertunjukan!' kata Warsiah. Saya bisa membayangkan apa yang dia rasakan. Ketika PSBB dimulai pada April 2020, banyak pertunjukan dibatalkan atau ditunda hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Acara seperti pesta pernikahan atau wayangan dianggap terlalu berbahaya untuk digelar karena acara seperti itu mengundang keramaian. Seniman seperti Warsiah yang mendapatkan uang dari menyanyikan lagu tradisional Jawa di berbagai acara dan pertemuan kini tidak bisa melakukan pekerjaannya.
Dengan PSBB yang masih berlangsung, sebuah pertanyaan muncul di benak saya: apakah pertunjukan tradisional khususnya wayangan masih berlangsung di era COVID-19?
Wayangan di Jakarta
Sebelum COVID-19 merebak, kesenian Jawa, khususnya wayangan dan karawitan (musik tradisional gamelan Jawa), tumbuh subur di Jakarta. Karena suku Jawa adalah penduduk terbanyak di Jakarta, kesenian dan musik tradisional Jawa sangat diminati. Pertunjukan musik tradisional Jawa biasa mengiringi slametan (hajatan), sering diselenggarakan saat pernikahan, ulang tahun, khitanan, peresmian rumah atau gedung baru, hari peringatan, dan masih banyak lagi. Pihak yang mampu secara finansial akan menyewa instrumen gamelan lengkap dan grup karawitan untuk mempersembahkan pertunjukan pada slametan. Pertunjukan dengan biaya lebih banyak adalah wayangan: pertunjukan wayang kulit purwa diiringi oleh grup karawitan lengkap. Meskipun menyewa grup karawitan atau menyelenggarakan wayangan dianggap hanya dapat dilakukan oleh pihak dengan kemampuan finansial tinggi, biaya pertunjukan selalu bisa dinegosiasikan, dan kualitas serta pelaksanaan pertunjukan bervariasi berdasarkan anggaran yang disediakan. Dengan demikian, pertunjukan karawitan dan wayangan dapat ditemukan di seluruh penjuru Jakarta, mulai dari gang kecil di wilayah penduduk berpenghasilan rendah hingga istana presiden.
Sebelum berlakunya PSBB, pada Jumat malam atau Sabtu malam, tiga wayangan atau lebih dapat ditemukan di berbagai kecamatan di Jakarta atau di Bekasi, Depok, Tangerang dan daerah lain di sekitar Jakarta. Dalang populer tampil secara mingguan, begitu pula dalang yang kurang populer (seperti dalang yang dikenal hanya di komunitas atau kabupaten/kecamatannya sendiri), murid pedalangan, dan dalang yang baru memulai debutnya. Dalang ternama dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur juga rutin tampil di Jakarta; nama-nama seperti Ki Seno Nugroho, Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, Ki Sri Susilo Tengkleng, Ki Cahyo Kuntadi cukup akrab di telinga penonton di Jakarta.
Dengan padatnya jadwal wayangan dan pentas karawitan, tawaran tampil bagi dalang dan pengrawit (penabuh gamelan) sangat tinggi. Siapakah para seniman tersebut? Mayoritas dalang, sinden, dan pengrawit berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Beberapa di antaranya lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan seni, sementara beberapa orang lainnya lulusan ISI (Institut Seni Indonesia) yang bergengsi. Sebagian besar dalang, pengrawit dan sinden di Jakarta belajar secara otodidak. Mayoritas dari mereka mempelajari seni memainkan wayang dan gamelan di kampung halamannya dan banyak yang memulai karirnya setelah tiba di Jakarta. Tidak semua dari mereka merupakan seniman penuh waktu; beberapa di antaranya sehari-hari berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri, hakim, polisi, dan masih banyak lagi.
Dimulainya PSBB pada 10 April 2020 berdampak signifikan terhadap sejumlah besar dalang, pengrawit, dan sinden. Secara tiba-tiba para seniman kehilangan panggung. Semua kesempatan untuk tampil – dari ajang seni akbar hingga pesta pernikahan sederhana di gang kecil – hilang dalam upaya mengurangi penyebaran SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19. Para seniman juga kehilangan upah yang biasa mereka peroleh dalam pertunjukan; seorang siswa pedalangan, seorang sinden, atau pengrawit dapat dibayar hingga Rp.1.000.000 (A$ 94) untuk tampil di wayangan semalam suntuk. Singgih, teman saya yang bekerja sebagai pengrawit, dapat memperoleh Rp300.000 hingga Rp800.000 untuk sekali pertunjukan karawitan sehari penuh.
Ketika beberapa seniman dapat bergantung pada pekerjaan harian mereka, sebagian besar seniman terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup seperti menjual kebutuhan rumah tangga atau memulai usaha kecil. Mereka juga dapat untuk mendaftarkan diri untuk menerima bantuan keuangan sejumlah Rp1.000.000 yang dibayarkan sekali perorang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pemerintah daerah, tetapi tidak semua pihak yang mendaftarkan diri menerima bantuan tersebut.
Pertunjukan di Youtube
Dimulai pada tahun 2010-an, siaran langsung pertunjukan wayang di YouTube menjadi sangat umum. Beberapa dalang ternama seperti Ki Sri Kuncoro Brimob membuat saluran YouTube sendiri. Label multimedia yang biasa dipekerjakan untuk merekam pertunjukan di hajatan seperti pernikahan juga mulai disiarkan secara langsung. Pertunjukan dalam konteks ini terjadi di tempat umum dan disaksikan penonton secara langsung; siaran memungkinkan pihak yang tidak dapat hadir di lokasi untuk menikmati pertunjukan secara langsung dari rumah.
Usai kabar virus corona telah terdeteksi di Indonesia tersiar pada Maret 2020, semua pertunjukan seni, termasuk siaran langsung pertunjukan, dihentikan untuk sementara waktu. Peniadaan atau penundaan pentas dialami semua jenis pertunjukan, termasuk wayangan yang mempertemukan banyak orang di ruang publik. PSBB berlangsung dengan tujuan menjaga jarak antar orang di tempat umum; pada periode awal PSBB, aparat kepolisian aktif memantau kawasan permukiman dan kerap mengintervensi acara di ruang publik yang mereka temukan, termasuk pertemuan kecil. Tidak ada wayangan di ruang publik di Jakarta yang disiarkan melalui kanal YouTube selama PSBB selain siaran ulang video pertunjukan dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan ketiadaan acara baru, siaran langsung tidak mungkin dilakukan.
Akan tetapi, pada Mei 2020, saya melihat video wayangan berskala kecil berdurasi kurang lebih satu jam diunggah oleh kanal Panji Laras Art di YouTube. Dalang pertunjukan tersebut adalah Fakih Tri Sera Fil Ardi, mahasiswa S1 Program Studi Jawa Universitas Indonesia. Wayangan dalam video itu disebut sebagai Pagelaran Wayang Climen dengan lakon Jagad Kemul Pageblug (Semesta Berselimut Wabah). Wayangan yang memiliki alur cerita sederhana dan sedikit tokoh ini diiringi oleh empat orang pengrawit muda tanpa sinden. Video tersebut dilengkapi teks bahasa Indonesia.
Video tersebut rupanya merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat Universitas Indonesia. Dalam lakon Jagad Kemul Pageblug, Fakih memaknai kondisi kehidupan di masa pandemi menggunakan tokoh Mahabharata versi wayang purwa. Cerita dimulai dengan situasi alam semesta dalam cengkeraman pandemi. Situasi tersebut berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat kelas bawah. Beberapa orang memanfaatkan situasi pandemi sebagai kesempatan merampok orang lain. Kejahatan ini dihentikan oleh ketiga putra Wrekudara (tokoh ternama dalam cerita Mahabharata, salah satu anggota Pandawa bersaudara).
Realitanya, PSBB telah menghambat rutinitas masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi, terutama aktivitas yang membutuhkan interaksi tatap muka. Dengan demikian, masyarakat yang bekerja sebagai pedagang kecil, sopir angkutan umum, tukang cukur, dan seniman tidak dapat bekerja seperti biasa. Wayangan karya Fakih mengingatkan penonton bahwa jika kondisi seperti itu terus berlanjut, orang cenderung melakukan tindak kejahatan hanya untuk bertahan hidup.
Di akhir cerita, Antasena, putra bungsu Wrekudara, mengatakan kepada kedua saudaranya bahwa dunia tengah diselimuti virus dan kejahatan. Masyarakat kelas bawah adalah korban terbanyak dari wabah tersebut. Antasena juga mengangkat isu perayaan Idul Fitri di penghujung Ramadhan, bulan ketika umat Islam berpuasa. Dikarenakan mudik – kembali ke kampung halaman – saat lebaran sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia, Antasena mengingatkan penonton tentang larangan mudik yang diumumkan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada April 2020. Fakih memaknai larangan ini sebagai upaya pencegahan; karena banyak tindak kejahatan dapat terjadi di jalan raya, masyarakat disarankan untuk tidak mudik dan lebih baik tinggal ‘di rumah saja' selama alam semesta 'diselimuti wabah'. Kalimat 'tinggal di rumah saja' merupakan jargon populer selama pandemi berlangsung; kalimat tersebut dikutip berulang kali dalam propaganda pemerintah dan iklan komersial.
Wayang climen
Selain konten lakon Jagad Kemul Pageblug, satu hal yang menarik perhatian dari pertunjukan yang digelar Fakih adalah istilah 'wayang climen'. Berhubung saya tidak terlalu memahami bahasa Jawa dan penggunaannya dalam pertunjukan wayang kulit purwa, saya berkonsultasi dengan Roby, teman saya yang berkuliah di ISI Surakarta, Jawa Tengah. Roby menjelaskan bahwa dalam bahasa Jawa, climen berarti 'berukuran kecil' atau 'sederhana'. Istilah wayang climen biasa digunakan untuk menggambarkan pertunjukan wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam skala kecil atau eksekusi yang sederhana. Eksekusi ‘sederhana’ yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut: sebuah panggung pertunjukan wayang kulit purwa menggunakan layar putih sederhana yang dihiasi jejeran beberapa tokoh wayang, diiringi beberapa sinden dan pemain gamelan. Bertolak belakang dengan gambaran eksekusi tersebut, pertunjukan wayang yang disiarkan melalui kanal YouTube biasa dieksekusi dalam skala besar: layar putih panjang dihiasi dengan jejeran tokoh wayang lengkap sisi kiri dan kanan dalang di atas panggung besar, dan diiringi orkestra gamelan lengkap. Eksekusi seperti itu dipertunjukkan di ruang publik untuk disaksikan banyak orang.
Pada 13 Juni 2020, salah satu dalang ternama di Jakarta, Ki Sri Kuncoro Brimob, menggelar pertunjukan ‘wayang climen’ – sebagaimana dikutip dari poster acara. Pertunjukan berlangsung di depan rumah sang dalang di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, dan disiarkan secara langsung melalui kanal Andhika Multimedia New di YouTube. Terdapat beberapa orang penonton menghadiri pertunjukan di lokasi. Pengrawit yang mengiringi pertunjukan hanya berjumlah sepuluh orang – tiga orang di antaranya memainkan dua instrumen – dan empat sinden. Lakon yang ditampilkan menceritakan Gatotkaca (salah satu putra Wrekudara, pahlawan dari pihak keluarga Pandawa) mengalahkan raja raksasa. Saya berpikir lakon tersebut dipilih untuk melambangkan perjuangan masyarakat menghadapi pandemi. Kala Pracona mewakili kejahatan, atau dalam interpretasi saya, COVID-19 itu sendiri. Gatotkaca melambangkan tekad masyarakat untuk melawan kejahatan. Tafsir ini didukung oleh narasi sang dalang. Di awal cerita, Gatotkaca berbincang dengan masyarakat tentang kekacauan yang terjadi di negara mereka. Dalam kondisi seperti ini – dikutip dari sang dalang – hidup penuh ketidakpastian dan masyarakat kelas bawah menjadi korban pertama yang paling merasakan dampaknya. Narasi tersebut mengingatkan saya pada wayangan oleh Fakih, yang menyatakan bahwa masyarakat kelas bawah merupakan segmen masyarakat yang paling terkena dampak pandemi.
Pertunjukan wayang kulit purwa disiarkan langsung melalui YouTube bukanlah fenomena baru. Tetapi perlu dicatat bahwa selama pandemi, media daring telah menjadi satu-satunya cara bagi banyak pihak untuk menyaksikan suatu pertunjukan. Hanya segelintir orang yang dapat hadir di lokasi secara langsung – seniman, panitia, beberapa orang tetangga, dan tamu undangan – sementara penonton lainnya hadir secara virtual, yang sebagian besar terdiri dari orang Jawa yang tinggal di Jakarta dan daerah sekitarnya serta merindukan hiburan. Ketika PSBB terus berlanjut, hiburan virtual dapat mendorong lebih banyak orang untuk tetap tinggal di rumah.
Terkait pertunjukan wayang climen, penambahan tafsir baru terhadap lakon atau tokoh yang sudah ada sebelumnya sebagai respon terhadap pandemi COVID-19, serta siaran langsung sebagai alat utama untuk menarik penonton, menjadikan era COVID-19 membuka kemungkinan baru bagi pertunjukan wayang kulit purwa di Jakarta.
Pertunjukan virtual adalah pilihan satu-satunya?
Usai pementasan wayang climen oleh Ki Sri Kuncoro Brimob pada 13 Juni 2020, kanal Andika Multimedia New di YouTube menayangkan wayangan lainnya secara langsung. Kanal tersebut telah menampilkan empat pertunjukan wayang climen, terhitung hingga Agustus 2020. Semua pertunjukan dilangsungkan di sanggar di Depok dan Bekasi (Jawa Barat). Beberapa wayangan diiklankan dengan slogan seperti 'saksikan di rumah saja' atau 'ruang ekspresi di masa pandemi'.
Gagasan menyaksikan wayangan secara virtual sangat menarik. Eksekusi petunjukan semacam itu tidak mengharuskan hadirin untuk duduk di depan panggung dan mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Melalui siaran langsung, beberapa dalang, pengrawit dan sinden terbebas dari masa vakum dan mendapatkan penghasilan kembali. Mungkinkah wayangan yang disiarkan secara langsung menjadi satu-satunya pilihan di masa pandemi?
Wayangan yang ditampilkan untuk ditonton secara langsung (non-virtual) mendadak hadir kembali pada peringatan Malam 1 Sura, malam tahun baru menurut kalender Islam dan dianggap sakral oleh banyak orang Jawa. Pada malam hari tanggal 21 Agustus 2020, banyak sanggar di Jagakarsa, Depok, Ciledug dan Ciputat (tiga kota/kecamatan dekat Jakarta) merayakan Malam 1 Sura dengan menggelar pertunjukan wayang kulit purwa. Pertunjukan yang digelar dengan menarik keramaian di masa PSBB – mungkinkah hal semacam itu terjadi?
Saya pernah diundang untuk menyaksikan wayangan skala kecil di Jakarta Selatan tidak lama usai peringatan Malam 1 Sura. Wayangan tersebut bertujuan memperingati pembukaan kembali sanggar yang telah ditutup berbulan-bulan lamanya. Meskipun wayangan tersebut digelar sangat sederhana jika dibandingkan dengan wayangan di masa pra-pandemi, pertunjukan ini menarik banyak penonton yang hadir secara langsung – terutama anggota grup penggemar wayang yang mayoritas laki-laki. Duduk bersama di belakang pengrawit, mayoritas dari mereka memakai masker sembari mengisi udara dengan asap rokok dan mengobrol tanpa memperhatikan jarak fisik. Di sela-sela nyanyian sinden yang ringan dan menghibur, mereka mulai menari mengikuti irama kendang; suasana menjadi sangat meriah. Pada acara tersebut, mereka seolah tidak menyadari bahwa negara mereka masih berselimut COVID-19 dan petugas kepolisian dapat muncul kapan saja demi menegakkan peraturan.
Satu hal yang jelas bagi saya: wayangan masih dicintai masyarakat. Mereka merindukan suasana wayangan itu sendiri. Selain menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa, wayangan merupakan tempat di mana seseorang dapat berkumpul dengan teman-temannya dan bersosialisasi. Bagi pendatang dari Jawa yang tinggal di Jakarta jauh dari kampung halaman, wayangan merupakan kesempatan untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa dan mendengar musik karawitan sambil menikmati percakapan dengan sesama pendatang lainnya. Tersedianya kopi hitam dan teh manis, kacang dan ubi rebus, serta rokok, menciptakan suasana yang tidak akan bisa dirasakan secara virtual.
Kini kita memiliki wayang climen yang dapat disaksikan secara virtual. Di saat bersamaan, wayangan konvensional, meski tidak dapat dieksekusi dalam skala besar, perlahan muncul kembali di beberapa tempat di Jakarta.
Ketidaktentuan
Saya ingat satu pertanyaan khusus yang diajukan Warsiah selama percakapan kami: mungkinkah hujan lebat di awal tahun 2020 di Jakarta menjadi pertanda datangnya kesulitan bagi semua orang, termasuk seniman seni tradisional dan audiensnya? Saya tidak dapat secara pasti menjawab pertanyaan ini, tetapi jelas bagi saya bahwa masa sulit telah mendorong banyak pihak mencoba berbagai cara agar wayang tetap hidup. Wayang climen yang digelar secara virtual merupakan satu dari sekian hasil percobaan tersebut, meski wayangan yang digelar non-virtual tetap menjadi preferensi banyak orang.
'Hampir setahun tanpa satu pun pertunjukan!' – ujar Warsiah. Pernyataan itu teringat dengan jelas di benak saya. Wayang telah bertahan selama pandemi COVID-19 dalam bentuk yang disederhanakan berwujud wayang climen. Akan tetapi, para pelaku pertunjukan wayang kulit purwa masih hidup dalam ketidakpastian, menunggu saat untuk kembali menghasilkan uang dengan keterampilan kreatif seperti yang biasa mereka lakukan sebelum hadirnya virus corona.
Rahmadi Fajar Himawan (0813@gmail.com) lulus dari Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia, dengan skripsi yang berfokus pada pertunjukan wayang kulit purwa.