Nov 22, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Demokrasi ekologi sosial

Published: Apr 16, 2022
English version

Eka Handriana

Saya adalah korban pengembangan perumahan. Jalanan di blok yang saya tinggali tergerus banjir dari hulu daerah aliran sungai (DAS) yang semakin padat bangunan. Beberapa pondasi rumah tetangga longsor terdesak air dari perbukitan sekitar yang terus berkurang vegetasinya. Blok ini merupakan bagian dari kompleks perumahan yang dibangun seizin Pemerintah Kota Semarang, berdasar aturan tata ruang yang telah disepakati legislator sebagai perwakilan warga kota. Tapi saat berkali-kali melaporkan persoalan lingkungan tinggal tersebut kepada pemerintah kota, disebabkan karena perusahaan pengembang tidak menjawab aduan, warga blok ini pulang dengan tangan kosong. Pemerintah kota menyatakan tidak bisa melakukan satu hal pun. Alasannya, perusahaan pengembang belum menyerahkan pengelolaan fasilitas umum kepada pemerintah. Saya dan warga blok ini tidak tahu harus bersuara kemana lagi. Selanjutnya kami harus menjalani hidup berbiaya tinggi, kerusakan-kerusakan akibat banjir harus kami benahi sendiri.

Cerita saya itu hanya satu dari teramat banyak cerita serupa. Suatu kali saya berkendara sejauh sekitar 40 kilometer dari rumah, menemui seseorang yang tinggal di Desa Gemulak, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Dia berkisah bahwa keluarganya beserta 200-an keluarga lain terpaksa pergi dari tempat tinggal lama di Kampung Mondoliko, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Rumah, tanah, sawah, tambak, hingga jalan keluar masuk kampung, sudah tenggelam di bawah air laut utara Jawa. Dalam kurun waktu kurang dari dua dekade, rumah-rumah di Mondoliko ambles.

Etnografi yang disusun oleh Koalisi Pesisir Semarang Demak (KPSD) dalam Maleh Dadi Segoro, berdasarkan wawancara dengan warga Kecamatan Sayung, menyebutkan wilayah pesisir tersebut mulai tenggelam sejak adanya proyek reklamasi di Kota Semarang, yakni; di Pantai Marina; Pelabuhan Tanjung Mas; dan Kawasan Industri Terboyo, yang berlangsung pada tahun 1990-an. Dua kampung yang lebih dekat dengan Kota Semarang, Tambaksari dan Rejosari (Senik) tenggelam lebih dulu. Warganya dua kampung itu dipindah oleh Pemerintah Kabupaten Demak ke lahan yang ada di jalur irigasi mendekati jalan raya Demak-Semarang, di Kampung Gemulak, Sidogemah dan Purwosari. Tentu saja lahan tersebut tidak bisa dimiliki, sehingga tanah, sawah, hingga tambak yang hilang tidak tergantikan. Sementara, untuk dapat melanjutkan hidup, warga Mondoliko yang kampungnya belakangan menyusul tenggelam, terpaksa pindah sendiri tanpa dukungan pemerintah.

Tetapi persoalan yang sama mengejar hingga ke tempat baru, tanah di sana pun ambles. Teras rumah, milik seseorang di Gemulak yang saya temui, sudah sejajar dengan permukaan air asin. Dia bilang, kalau rumah ditinggikan dengan cara mengurug lantainya, sampai kapanpun akan tetap ambles. Dia sudah punya pengalaman itu di Mondoliko, dimana dia berkali-kali meninggikan rumah namun tetap ambles juga. Sedangkan jalanan di tempat baru sudah jauh lebih tinggi dari lantai rumahnya. Rupanya pendanaan dari pemerintah mudah sekali mengalir untuk peninggian jalan, tapi tidak untuk memberi solusi bagi warga semacam dia. Seperti saya, dia tidak tahu lagi harus bersuara kemana dan kepada siapa. Dia pun terus menjalani hidup berbiaya tinggi, mulai dari terpaksa membeli tempat tinggal baru dan memperbaiki kerusakan-kerusakannya karena tempat baru itu juga terkena rob.

Situated knowledge

Persoalan yang kami hadapi merupakan krisis sosial ekologis, keadaan dimana penderitaan datang bertubi-tubi dalam kait kelindan unsur manusia dan non-manusia. Dalam keadaan tersebut, saya dan seorang warga di Gemulak itu, memiliki pengetahuan atas lingkungan di tempat yang kami tinggali masing-masing. Saya mengalami banjir, melihat dari mana dan kemana arah air mengalir, mendengar suara arus air yang besar. Seorang warga Gemulak melihat air laut masuk ke rumah lamanya di Mondoliko, mengalami sendiri bagaimana kaki harus diseret dan tidak bisa diangkat saat berjalan di jalan kampung yang terendam rob, menderita kerugian dari mengurug lantai rumah dan meninggikan tembok, serta merasakan sendiri kekhawatiran setiap hari karena tempat baru di Gemulak yang dia beli ternyata dilanda persoalan yang sama.

Feminis Donna Haraway menyebut istilah pengetahuan terletak (situated knowledge) yang menempatkan obyek pengetahuan sebagai aktor (yang mengalami) dan agen, bukan sebagai layar, sumber daya, atau objek di luar subjek pembelajar atau peneliti. Pengetahuan dan pengalaman saya dan seorang warga Gemulak merupakan pengetahuan terletak atau tersituasikan. Bukan pengetahuan yang terisolasi secara individual, melainkan terbentuk dalam komunitas dengan situasi tertentu.

Seorang sopir ojek perahu menunjuk bekas rumahnya di area perairan. Dahulu tempat dalam foto ini merupakan wilayah di Kampung Rejosari Senik, kampung yang tenggelam mendahului Gemulak / Eka Handriana

Namun pengetahuan seperti itu sering kali tidak mendapatkan pengakuan (recognition), misalnya dalam pengambilan keputusan-keputusan pemerintah. Dalam melihat banjir di tempat tinggal saya dan rob di Sayung, pemerintah tidak memakai pengetahuan yang terletak di sini. Pengetahuan ekologi sosial, tentang air yang mengalir dari kawasan hulu DAS yang padat dibangun perumahan, serta tentang tanah ambles yang akan tetap ambles meskipun terus diurug, tidak bisa mengejawantah menjadi solusi yang dapat mempertahankan ruang hidup. Penghentian pembangunan kawasan hulu DAS, atau penghentian pengurugan pesisir yang justru memperparah penurunan muka tanah, abrasi, dan rob, bukan pilihan keputusan pemerintah. Pengetahuan yang terletak (situated knowledge) dalam komunitas warga, tidak diserap oleh perwakilan warga yang duduk di lembaga legislative, karenanya tidak menjadi rumusan aturan untuk dilaksanakan pemerintah eksekutif. Suara warga kebanyakan seperti kami buntu tidak mendapat saluran.

Alih-alih, pemerintah menggunakan sepenuhnya pengetahuan yang datang dari luar komunitas kami, yang memandang banjir dan rob semata-mata diakibatkan oleh cuaca ekstrim turunan dari perubahan iklim. Sehingga, berbeda dengan suara warga kebanyakan, suara dari luar tempat tinggal kami justru mendapat saluran yang lancar untuk diwujudkan. Ironisnya perwujudan suara dari luar komunitas itu menjadi solusi persoalan yang terletak di tempat kami. Solusi pemerintah untuk tempat kami adalah pembangunan waduk dan normalisasi sungai untuk menampung lebatnya air hujan dalam kondisi cuaca ekstrim, serta pembangunan tanggul (ada jalan tol di dalamnya) untuk mengadang air laut yang tingginya meningkat karena perubahan iklim. 

Keadaan tersebut mencerminkan tidak berfungsinya sistem perwakilan dalam demokrasi representatif di Indonesia. Tidak ada partisipasi warga biasa kebanyakan, dalam politik lingkungan. Tidak ada emansipasi warga biasa dalam menentukan lingkungan seperti apa yang dibutuhkan untuk hidup. Politik warga dalam demokrasi perwakilan dikoloni oleh para politisi lewat partai politik, lembaga legislatif, dan pemerintah eksekutif. Tidak ada keadilan ekologi sosial, warga kebanyakan terus menerus ditimpa derita berupa krisis sosial ekologis.

Krisis sosial ekologis yang diderita warga kebanyakan merupakan dampak pembangunan maskulin, yang memisahkan sekaligus memandang non-manusia dalam derajat hierarki lebih rendah sehingga dapat ditundukkan, di bawah moda produksi kapitalisme. Selanjutnya, krisis sosial ekologis menjadi kondisi yang memungkinkan bagi ekspansi kapitalisme. Dalam kasus di atas, krisis berbentuk banjir karena vegetasi berganti kawasan terbangun, diatasi dengan proyek pembangunan waduk dimana modal dapat tumbuh di situ. Namun tempat tinggal saya tetap saja kebanjiran. Amblesnya permukiman warga karena reklamasi kawasan industri diatasi dengan proyek pembangunan tol-tanggul laut yang mempercepat sirkulasi barang industri. Seorang warga Mondoliko yang pindah karena rumahnya tenggelam, tetap terancam tenggelam di Gemulak yang dulu kering.

Demokrasi perwakilan di Indonesia tak ubahnya demokrasi elitis, dari elit, oleh elit, dan untuk elit. Ia digelar oleh elit politik yang hanya memberi ruang suara yang datang dari elit borjuis penguasa alat-alat produksi, untuk menentukan lingkungan hidup seperti apa yang menguntungkan bagi mereka, kendati merugikan warga biasa kebanyakan. Demokrasi perwakilan seperti ini bukan demokrasi yang dapat menjawab krisis warga kebanyakan, namun justru menimbulkan krisis yang tidak ada hentinya.

Demokrasi ekologi sosial

Dalam demokrasi perwakilan, ada kebuntuan jalur bagi warga biasa kebanyakan untuk menyuarakan keberatan atas keputusan-keputusan yang menimbulkan krisis bertubi-tubi. Makna demokrasi menyempit menjadi sekadar pemilihan umum lima tahunan. Makna politik menyempit menjadi sekadar politik elektoral. Berpolitik diartikan sekadar menjadi anggota partai politik dan pejabat pemerintahan, tidak ada pembicaraan mengenai politik kewargaan.

Ekolog Murray Bookchin, sebagaimana ditulis Janet Beihl, penulis ekologi sosial, dalam The Politics of Social Ecology – Libertarian Municipalism menyebutkan bahwa sebelum kemunculan negara-bangsa, politik dipahami sebagai aktivitas warga dalam lembaga publik yang dikelola bersama secara partisipatif. Pada pertengahan abad ke-V, warga polis Athena berpolitik dengan mempraktikkan demokrasi langsung lewat rapat-rapat atau majelis warga yang digelar hampir setiap minggu untuk menyelesaikan persoalan secara mandiri. Dalam keadaan tersebut, politik memiliki makna yang lebih luas, demokrasi terjadi terus-menerus dalam keseharian, bukan lima tahunan. Hanya laki-laki yang terlibat dalam majelis warga, karena itu demokrasi langsung di polis Athena belumlah ideal. Namun karena itu pula persoalan diketahui untuk terus, bagi demokrasi langsung, secara dialektis menemukan bentuk idealnya.

Pembagian bioregion usulan WALHI / Jurnal Tanah Air No 11/2001

Serikat Tani Kota Semarang (STKS), suatu perkumpulan warga yang mengembangkan pertanian dan berkegiatan pada masa krisis pandemi COVID-19 sepanjang Mei 2020 hingga awal 2021, mendiskusikan demokrasi langsung seperti yang disebut Bookchin. Demokrasi langsung dipandang sebagai kemungkinan untuk menciptakan ruang bagi warga biasa kebanyakan untuk menyalurkan suara secara politis dan demokratis, bukan terpusat dan birokratis. Ada beberapa prinsip yang dirumuskan STKS, pertama, menciptakan majelis-majelis rakyat sebagai unit ekologi sosial demokrasi langsung. Kedua, menciptakan konfederasi majelis rakyat. Ketiga, mengurangi wewenang para wakil di majelis rakyat, warga memiliki hak mencabut mandat wakil majelis yang tidak menyuarakan aspirasi. Keempat, keputusan-keputusan berada di tangan rakyat, yang mana majelis rakyat dan konfederasi majelis rakyat hanya bersifat administratif dan bukan pengambil keputusan.

Unit ekologi sosial menjadi penting di sini. Merujuk pesan yang paling fundamental dari ekologi sosial yang disampaikan Bookchin dalam The Philosophy of Social ecology: Essays on Dialectical Naturalism, bahwa persoalan-persoalan ekologi pada dasarnya berasal dari persoalan-persoalan sosial. Keduanya berdiri sendiri, sebagaimana manusia dan non-manusia yang saling terkait. Dalam ekologi sosial, relasi antar manusia dan antara manusia dengan non-manusia adalah setara. Manusia merupakan bagian dari alam, seperti halnya alam ada dalam manusia. STKS menyebut demokrasi langsung dalam unit ekologi sosial dengan relasi setara dan saling berkaitan itu sebagai demokrasi ekologi sosial. Setiap warga memiliki emansipasi, dengan demikian dapat berpartisipasi dalam politik kewargaan secara setara, tidak ada elit politik dalam unit ini.

Bioregion sebagai wilayah operasi demokrasi ekologi sosial

Bioregion merupakan wilayah atau region yang batas-batasnya ditentukan oleh fitur topografi dan biologis, seperti pegunungan atau daerah alirah sungai (DAS). Batas-batas politik dalam bioregion bukan batas-batas administratif sebagaimana ditetapkan pemerintah, melainkan disesuaikan dengan batas-batas ekologi dan budaya. Misalnya, bioregion Pegunungan Kendeng Utara yang merupakan kawasan karst dengan gua-gua dan sumber mata air yang dipakai untuk bercocok tanam oleh masyarakat di dalamnya. Pegunungan Kendeng Utara sendiri menembus batas-batas administrative, ia membentang dari Kabupaten Kudus, di Jawa Tengah hingga Kabupaten Tuban di Jawa Timur. Contoh lain, bioregion DAS Garang, tempat dimana perumahan yang saya tinggali berada. DAS Garang merupakan wilayah yang dilewati aliran Kali Garang berikut anak-anak sungainya, dari hulu di Gunung Ungaran - Kabupaten Semarang, hingga hilir di Kelurahan Panggung Lor, Kota Semarang.

Salah satu praksis para bioregionalis – mereka yang menggunakan bioregion untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi – adalah bioregion Cascadia di wilayah barat Amerika Utara. Dalam situsnya disebutnya batas-batas Cascadia ditentukan oleh DAS Columbia, Fraser, dan Snake, yang membentang dari Alaska ke sebelah utara California, sejauh yang dicapai Kaldera Yellowstone dan sejauh ikan salmon berenang. Bioregionalis Cascadia menggunakan kerangka bioregion sebagai argumentasi untuk otonomi, kebebasan, dan menentukan apa yang baik bagi komunitas dan region, sebagai alternatif dari kapitalisme dan negara bangsa.

Janet Beihl dalam tulisannya tentang ekologi-sosial memaparkan tentang seruan-seruan para bioregionalis yang bertujuan menciptakan masyarakat alternatif. Masyarakat atau komunitas alternatif yang dimaksud adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat saat ini dalam ekonomi kompetitif, komodifikasi, dan kebutuhan-kebutuhan artifisial. Bioregionalis, menurut Beihl, menyerukan desentralisasi, dimana habitat-habitat dibangun lebih sederhana di tingkat lokal menjadi seotonom mungkin, membangun pabrik lokal dengan alat sederhana, menciptakan kooperasi lokal untuk kebutuhan pangan, bercocok tanam sebanyak mungkin, dan membuang uang lalu mengadopsi barter. Bioregionalis menurut Beihl juga menyerukan penyederhanaan gaya hidup, melepas pola konsumsi yang tak pernah terpuaskan, mengurangi jumlah kepemilikan, menyusun ulang diri sebagai anggota lingkungan hidup dimana manusia merupakan bagian dari alam yang berbatasan langsung secara fisik dengan air dan tanah, membuang teknologi yang berisiko merusak alam, pemangkasan secara drastis konsumsi bagi bangsa yang lebih makmur, membongkar landasan teknologi produksi ekonomi.

Sebagian seruan tersebut tampaknya sangat sulit, atau bisa dikatakan utopis untuk dapat dikerjakan saat ini, setidaknya di Indonesia. Namun sebetulnya, konsep bioregion sendiri sudah pernah diusung oleh kelompok aktivis lingkungan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Dalam Jurnal Tanah Air Nomor 11 yang terbit pada 2001 dengan tajuk Bioregion, Kembali ke Akar Rumput, WALHI mengusulkan bioregion sebagai gagasan model pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam dengan pola yang mempertimbangkan ekologi dan sosial budaya untuk mencapai kelestarian lingkungan hidup dan kehidupan berkelanjutan. Konsep bioregion yang diusung WALHI adalah kesatuan ekosistem yang dapat diuraikan menjadi: 1) area geografis dengan karakteristik tanah, batas alam terhadap aliran air, iklim, flora, dan fauna tertentu, 2) ekosistem geografis masyarakat dan budaya untuk mendorong ikatan sosial yang dapat meningkatkan eko-budaya yang mengakar pada suatu wilayah melebihi ikatan etnis dan birokrasi, 3) batas bioregion tidak ditentukan dari atas (pemerintah pusat), karena bioregion adalah konsep ekologi dan budaya yang sudah ada beserta masyarakat di wilayah tersebut.

WALHI dalam usulannya, telah membagi wilayah Indonesia dalam konteks bioregion. Pertama, kawasan bioregion yang paling luas mengacu pada sejarah pembentukan geografi kepulauan Indonesia, yang terbagi menjadi tiga bioregion; Paparan Sunda, Walacea, dan Sahul. Kedua, kawasan bioregion yang lebih sempit, mengacu pada realita geografi yang ada yaitu pulau dan perairan di sekitarnya hingga kedalaman 200 meter, terdiri dari; bioregion Sumatera, Simeulue, Nias, Mentawai, Enggano, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Sangir Talaud, Takabone Rate, Ternate-Tidore, Ambon-Buru-Seram, Papua. Ketiga, unit manajemen bioregion mengacu pada fungsi-fungsi ekosistem dan unit-unit biogeografi seperti DAS, teluk, kawasan pasang-surut, limpasan air rawa, pegunungan, pola makan, migrasi serta perkembangbiakan satwa langka dan mamalia besar di luar ternak dan ekosistem khas (rawa, gambut, hutan karangas, hutan basal, karst).

Proposal STKS mengusulkan, pembagian bioregion yang ketiga tersebut menjadi ruang praksis demokrasi langsung. Bukan sebagai unit pembangunan yang difasilitasi negara, melainkan sebagai ruang politik bagi berlangsungnya demokrasi ekologi sosial. Majelis-majelis rakyat dapat dibentuk di dalamnya berdasarkan jumlah penduduk, kualitas atau kedekatan sosial, ekosistem, dan luas area. Setiap majelis rakyat akan memilih wakil secara langsung tanpa partai politik dengan hak pencabutan mandat yang melekat kepada warga. Bioregion kedua dibutuhkan sebagai konfederasi bagi bioregion-bioregion ketiga. Sedangkan bioregion pertama dibutuhkan sebagai konfederasi bagi bioregion-bioregion kedua. Sedangkan prinsip-prinsip operasinya adalah sebagai berikut: 1) menggali aspirasi dari bawah (bottom-up), 2) menghormati keanekaragaman hayati, 3) menggunakan pendekatan ekologi sosial, 4) didahului proses orientasi dan identifikasi, 5) menghormati tradisi dan hak masyarakat setempat, 6) melakukan perawatan, bukan mendominasi, menundukkan, atau mengeksploitasi, 7) adanya keorganisasian yang terkoneksi antar bioregion. Dengan demikian, suara saya sebagai warga dan juga seorang warga di Gemulak, akan diakui dan dipertimbangkan dalam keputusan-keputusan yang kami ambil sendiri untuk menentukan lingkungan tempat hidup kami sendiri.

Eka Handriana (handrianae@gmail.com) adalah seorang penulis, tinggal di Semarang. Penulis berterima kasih kepada STKS yang mengizinkan penulisan tentang demokrasi ekologi sosial. 

Inside Indonesia 148: Apr-Jun 2022

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.