Nov 22, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Dana untuk kelompok dukungan keswa

Published: Jul 24, 2020
English version
Kelompok dukungan kesehatan jiwa (keswa) tidak seharusnya dibiarkan tanpa dukungan dana dalam sistem kesehatan di Indonesia

Agus Sugianto

Hidup dan besar di Indonesia tidaklah mudah, saya merasakan pengalaman pahit dan sangat traumatis sebagai akibat dari stigmatisasi terhadap masalah kejiwaan dan gangguan jiwa.

Pada tahun 1999, saya sedang menjalani perkuliahan di sebuah perguruan tinggi dekat Tulungagung, Jawa Timur, kota dimana saya dibesarkan. Saat itu, saya juga bekerja penuh waktu sambil kuliah. Oleh karena itu, saya hampir tidak memiliki waktu untuk tidur. Ternyata saya tidak mampu untuk mempertahakan kuliah sambil bekerja. Saya menjadi sangat kelelahan, jatuh sakit, terpaksa berhenti bekerja, dan tidak dapat meneruskan kuliah. Setelah kehilangan semua hal yang selama ini menjadi cita-cita saya, saya mengalami depresi berat. Saya tidak bisa melanjutkan hidup dan menerima semua itu. Mimpi saya untuk lulus dari kuliah rasanya tak akan mungkin tercapai.

Beberapa orang tetangga telah mengatakan kepada orang tua saya bahwa orang miskin seperti keluarga kami tak seharusnya memiliki keinginan yang terlampau tinggi dan tidak realistis seperti mimpi saya untuk meraih gelar sarjana, ‘Tidak heran, dia jadi depresi,’ mereka pikir. Hal yang menyakitkan adalah ketika mereka memandang saya sebagai orang yang ‘gila’. Semua orang di desa, menjauhi saya – tidak lagi melihat saya sebagai manusia utuh. Salah satu tetangga mengatai saya ‘gila’ langsung di depan wajah saya. Saya merasa sangat terhina, malu sekali. Saya minggat, melarikan diri diri dari desa saya, untuk menghindari semua rasa malu. Begitulah saya benar-benar putus asa dan tidak tahu lagi harus ke mana atau harus berbuat apa, singkat cerita, saya menghubungi orang tua saya yang kemudian datang untuk menjemput saya pulang.

Saya kemudian dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan. Di tempat-tempat terpencil di Indonesia, individu dengan gangguan jiwa berat terkadang dipasung, seperti dengan rantai, atau kakinya dijepit dengan balok kayu besar. Di puskesmas tersebut, saya dirantai ke tempat tidur selama satu bulan. Saya merasa sungguh hancur – seluruh harga diri saya telah dirampas dari saya. Peristiwa tersebut merupakan pengalaman yang sangat memalukan dan menyakitkan hati dan harga diri saya.

Agus menerima diploma sebagai guru Bahasa Inggris di Tulungagung / Agus Sugianto

Syukurlah, saya berhasil selamat dari berbagai pengalaman pahit yang sangat traumatis itu. Setelah saya pulih, saya bertekad utnuk menjadi aktivis kesehatan jiwa. Tidak ada seorangpun yang layak mengalami hal yang serupa. Awalnya, saya bergabung dengan dua kelompok konsumen layanan kesehatan jiwa. Yang pertama adalah Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI). Meskipun KPSI mengacu pada skizofrenia dalam namanya, organisasi ini menyediakan dukungan untuk individu dengan berbagai macam masalah kesehatan jiwa.

Advokasi

Bagus Utomo pertama mendirikan KPSI pada tahun 2001, dan ia membuat grup Facebook KPSI pada tahun 2009. Ia bertujuan agar dapat menyediakan informasi yang akurat mengenai gangguan jiwa, dan membantu pasien untuk terhubung dengan profesional kesehatan jiwa. Grup ini menyediakan dukungan untuk semua individu dengan gangguan jiwa, keluarga mereka, dan orang-orang yang merawat mereka. Selama lebih dari satu decade ini, KPSI telah berkembang hingga memiliki banyak cabang di beberapa kota di Indonesia. Saat ini kelompok ini adalah organisasi kesehatan jiwa yang terbesar di Indonesia dan memiliki lebih dari 50,000 anggota.

Kampanye kesehatn jiwa KPSI pertama kali yang saya ikuti adalah sebuah pameran seni, yang dilaksanakan di Jakarta pada tahun 2011. Melalui lukisan dan berbagai bentuk seni lainnya, kami menyampaikan pesan bahwa penting untuk menghapus stigma seputar orang dengan gangguan jiwa. Pameran tersebut sukses. Setelah seorang psikiater mendiagnosis saya dengan gangguan bipolar tipe ringan, saya kemudian juga bergabung dengan komunitas yang kedua, Bipolar Care Indonesia (BCI). Anggota BCI mempromosikan kesehatan jiwa untuk semua orang yang memiliki gangguan bipolar. Saya sering berpartisipasi dalam kegiatan KPSI dan BCI sebagai advokat kesehatan jiwa. Saya sering mengisi kuliah umum atau seminar kesehatan jiwa, mengenai perjalanan saya menuju kesembuhan dan perjuangan melawan stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa.

Di kelompok dukungan konsumen seperti ini, orang saling mendapatkan dukungan, pertemanan yang tulus dan penerimaan sepenuh hati. Anggota grup tidak ada yang menghakimi sesama anggota yang lain berdasarkan diagnosis atau pengalaman masa lalunya. Adalah sebuah anugerah bahwa saya bergabung dengan kedua kelompok ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menemukan rasa percaya, pertemanan, dan dukungan yang tulus. Dalam kelompok-kelompok ini, kami saling mendukung, saling menghormati, dan saling memperhatikan satu sama lain.

Saya menemukan arti yang baru dalam hidup saya ketika saya bisa memberi dukungan kepada orang lain yang juga mengalami kesulitan yang sama seperti yang pernah saya lalui, serta dapat membimbing mereka menuju kepulihan. Saya berkomitmen penuh untuk menjadi advokat dalam isu yang berkaitan dengan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, dan stigma. Saya sering berbicara dengan individu yang pernah dipasung, dan saya melawan stigma yang melekat pada gangguan jiwa.

Agus berbicara kepada sekelompok mahasiswa psikologi di Universitas Gadjah Mada / Center for Public Mental Health

Lebih dari satu dekade terakhir, saya telah banyak berbicara dalam berbagai seminar dan kuliah umum kepada mahasiswa, masyarakat awam, dokter, psikiater, dan pejabat pemerintah. Bagaimanapun, seseorang harus menyuarakan isu kesehatan jiwa, untuk menghentikan praktek pasung, menghapus stigma dan kurangnya layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Karena masih ada stigma terhadap isu kesehatan jiwa, maka menjadi aktivis kesehatan jiwa itu tidaklah mudah. Namun, saya akan terus bertahan membela orang dengan gangguan jiwa.

Mengakhiri stigma dan menghilangkan pasung bukan hanya tugas dokter dan profesional kesehatan jiwa. Setiap orang Indonesia harus berpartisipasi dalam tujuan ini. Kelompok masyarakat, dokter, pemerintah, Kementerian Kesehatan dan Sosial, dan pemangku kepentingan lain harus berkolaborasi dan melakukan aksi. Di Indonesia, kebanyakan individu dengan gangguan jiwa masih terstigma, terhakimi, dan termarginalisasi. Sudah terlalu sering, koran memberitakan individu dengan gangguan jiwa yang meninggal karena ketidakpahaman, salah penanganan, perlakuan kejam, atau penelantaran.

Membangun kesadaran masyarakat

Kebanyakan orang Indonesia tidak paham tentang gangguan jiwa. Individu dengan gangguan jiwa disalahpahami dan dipinggirkan. Masih banyak jumlah individu yang masih di pasung meskipun telah dilakukan berbagai program dan inisiatif untuk menghapus pasung.

Menurut saya, Indonesia sudah mulai mengembangkan dukungan untuk kesehatan jiwa. Beberapa komunitas dukungan untuk kesehatan jiwa mulai bermunculan, yang tentunya hal itu memberikan secercah harapan. Contohnya, orang semakin sadar dengan isu-isu kesehatan jiwa dan dengan bertambahnya jumlah kelompok dukungan konsumen semakin meningkat. Banyak individu juga telah mulai mengorganisir sendiri kelompok untuk saling mendukung dalam perjuangan mereka dengan kesehatan jiwanya. Contohnya, Into the Light Indonesia berfokus pada pencegahan bunuh diri pada pemuda, dan Mother Hope Indonesia memberi dukungan untuk perempuan yang mengalami depresi pasca melahirkan atau post-partum depression.

Pemerintah Indonesia telah mulai mengakui usaha kami. Kelompok konsumen menjadi semakin memiliki dampak dan pengaruh. KPSI salah satunya, berperan penting dalam menetapkan Undang-Undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014.

Kelompok konsumen sangat penting di Indonesia. Dengan minimnya jumlah tenaga kesehatan jiwa dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan jiwa, komunitas kesehatan jiwa mengisi kebutuhan masyarakat. Kelompok konsumen memberi dukungan untuk pasien dan keluarganya. Mereka berkumpul secara rutin dan melakukan berbagai kegiatan. Mereka memiliki interaksi dan sangat aktif berjejaring secara online. Dengan pendanaan terbatas, mereka bias secara rutin menyelenggarakan pelatihan untuk pelaku rawat orang dengan gangguan jiwa dan memberi dukungan untuk orang dengan gangguan jiwa.

Agus di kampus Deakin University, Melbourne / Agus Sugianto

Di Indonesia, kelompok konsumen berkolaborasi dengan profesional kesehatan jiwa. Psikiater, psikolog, perawat jiwa, pekerja sosial dan lainnya, semua rela membantu kelompok-kelompok konsumen ini. Mereka menyediakan keahlian mereka untuk mendukung anggota yang sedang berusaha mengatasi masalah kesehatan jiwa mereka dan memastikan bahwa semua memiliki akses terhadap informasi yang benar dan terbaru. Mereka juga membantu anggota untuk menavigasi sistem kesehatan yang berlaku.

Kementerian Kesehatan Indonesia mengikutsertakan komunitas konsumen ini dalam kegiatan-kegiatan mereka dan berkonsultasi dengan mereka ketika menentukan kebijakan kesehatan jiwa. Komunitas-komunitas ini mengikuti berbagai lokakarya, kegiatan pelatihan, dan rapat resmi, yang memberikan kesempatan untuk memberikan opini mereka. Sayangnya, pemerintah Indonesia tidak menyediakan dukungan finansial untuk kelompok konsumen ini. Mereka terpaksa mengumpulkan dana secara mandiri dari sumbangan anggota yang tidak seberapa. Sehingga, biaya operasional sehari hari , masih menjadi masalah kendala terbesar. Di banyak negara Barat, kelompok dukungan kesehatan jiwa biasanya didanai oleh pemerintah dengan baik.

Saya berharap bahwa pemerintah Indonesia segera menyadari akan pentingnya kelompok dukungan kesehatan jiwa sehingga pemerintah melanjutkan dukungan upaya pemberdayaan kelompok tersebut dan bagi masyarakat yang membutuhkan.

Agus Sugianto adalah advokat kesehatan jiwa di Indonesia. Pada tahun 2018, ia melanjutkan perkuliahan MA dalam bidang Health Promotion di Deakin University, Melbourne, Australia, meraih beasiswa Australia Awards Scholarship dari pemerintah Australia. View a short documentary about his mental health journey here.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.