Eni Puji Utami
English version
Setidaknya, ini babak baru bagi saya, terlibat dalam sebuah penelitian yang dirancang melampaui konsep penelitian pada umumnya. Sebagai individu yang mengenal etnografi dari konstruksi umum, pun menjadi acuan dalam jamak ruang akademis, proses penelitian ini membawa saya pada definisi baru tentang etnografi. Kini, saya selalu ‘dihantui’ oleh definisi-definisi atas partisipasi, kontribusi, dan intervensi pada setiap riset yang akan saya jajaki. Ada ragam kekhawatiran tentang pewujudan keadilan. Juga, saya terus memikirkan, siapa yang memiliki hak atas pengetahuan dan pengalaman yang dibagi sebagai produksi pengetahuan dalam temuan penelitian? Apakah sepenuhnya milik peneliti? Lantas, siapa yang akan didudukkan sebagai peneliti, ketika semua partisipan di dalamnya saling mengurai gagasan?
Khususnya bagi saya sendiri, perjalanan satu setengah tahun bersama penyintas KBGO adalah kali pertama konsep tentang objek itu melebur. Sepanjang melakukan penelitian, kami tidak hendak menjadi representasi kelompok tertentu, atau secara sepihak menyematkan nilai, bahkan ‘mempertontonkan’ alih-alih memberi ruang. Kami percaya bahwa keterlibatan semua pihak dalam penelitian ini adalah upaya merebut ruang, tidak ada yang memberi dan menerima. Oleh karena itu, pada proses sebelum, sepanjang, dan setelah penelitian dilakukan, bahkan ketika hasil penelitian ini direspons oleh para pekerja seni perempuan, kami selalu menimbang untuk menghindari eksploitasi dan eksotisasi.
Tulisan ini mungkin juga tidak sesuai dengan kaidah penulisan akademis, apalagi ilmiah. Saya hanya merefleksikan proses penelitian sederhana. Tetapi, pada prosesnya, kami saling bertukar makna satu sama lain, mengisi energi agar sama gembiranya, melipur trauma bersama, mewujudkan persaudarian yang setara.
Rancang bangun bersama: Etnografi sebagai metodologi feminis
Pada pertengahan awal 2021, PurpleCode Collective memulai sebuah penelitian tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sebagai satu-satuya platform media sosial yang kami miliki, Instagram bekerja selama sembilan hari, membantu kami memanggil para penyintas untuk berpartisipasi. Dari 22 penyintas yang menyediakan diri, kami mengajak sembilan di antaranya untuk melakukan penelitian ini bersama. Pemilihan ini berbasis batasan dan cakupan penelitian, serta kemampuan dan energi kami untuk membersamai, karena kami tidak hendak mengambil data dan informasi penyintas lalu pergi begitu saja.
Sembilan penyintas ini kelak pada prosesnya kami sebut sebagai rekan penelitian. Kami merancang-bangun bersama. Kerangka dan rencana penelitian yang kami susun sebelumnya hanya sebuah mula untuk memantik gagasan lain, berbasis kebutuhan dan pengalaman rekan penelitian. Sebagaimana rekan, sembilan penyintas terlibat dalam keseluruhan proses; perancangan, penyusunan, dan distribusi hasil penelitian, serta aktivitas lain yang bertaut dengan diri mereka, di luar proses penelitian, pemulihan misalnya. Kami ingin sepanjang penelitian ini tidak ada batas hierarkis dengan rekan penelitian. Harapannya, kami duduk sama tinggi, berdiri pun tak ada yang lebih tinggi. Karena kami yakin bahwa pengetahuan dan pengalaman rekan penelitian justru berperan sangat penting dalam upaya menamai kekerasan dan merawat pemulihan kolektif. Bagasi pengetahuan dari masing-masing tim kerja penelitian ini saling dipertukarkan, kadang-kadang membentuk sebuah kompleksitas baru, dan kami melihatnya sebagai bentuk kekayaan atas proses penelitian ini.
Sembilan penyintas mendedikasikan diri, waktu, dan energi. Segala rencana yang akan dilakukan telah disepakati bersama. Kami mengirimkan satu buku kosong sebagai media bercerita dan ruang perjumpaan, yang kelak sebagian dari mereka menyebutnya sebagai ruang pemulihan melalui buku harian. Buku ini akan menghimpum cerita dari rekan penelitian. Kami memiliki beberapa poin capaian, tetapi kami tidak hendak menanyakannya secara terang-terangan. Sebisa mungkin, jawaban atas poin-poin tersebut kami dapatkan secara natural dari buku harian rekan penelitian. Bahkan, lebih banyak hal muncul dari catatan-catatan tersebut, melampaui dugaan kami sebelumnya.
Kami berjumpa dua kali dalam sepekan, sebuah perjumpaan yang difasilitasi oleh tulisan tangan mereka pada buku harian. Cerita yang mereka bagikan dalam catatan harian dimulai dengan mengurai perasaan, kondisi, dan situasi yang sedang dikelola oleh masing-masing rekan penelitian. Pertanyaan atas itu selalu kami sampaikan setiap awal minggu, sebelum membincang persoalan lainnya, meski terkadang persoalan lain muncul begitu saja dalam proses bercerita mengurai kabar. Menuliskan kabar dan mengurai persoalan lainnya berlangsung tidak sekali duduk. Kami meminta rekan penelitian untuk mengirimkan hasil catatannya dalam bentuk foto di akhir pekan. Kami membacanya, memantik dengan pertanyaan lain di awal minggu setelahnya, bukan hanya berbasis pada acuan penelitian melaikan kondisi rekan penelitian yang perlu ditindaklanjuti.
Dalam membangun batas, kami sempat berdiskusi, dua dari sepuluh penyintas memerlukan bantuan lebih lanjut. Sekilas, mungkin bukan bagian dari penelitian. Namun, kami merasa punya tanggung jawab untuk membersamai mereka, apalagi kebutuhan yang muncul pada waktu itu sangat terkait dengan kondisi mental serta fisik, yang kami sebut sebagai kontinum kekerasan. Bukan karena kontinum adalah bagian dari pisau bedah penelitian ini, bahkan istilah kontinum baru kami temukan setelah proses journaling selesai, melainkan jauh daripada kerja-kerja analisis dan penulisan hasil penelitian, hubungan antar manusia dengan rekan penelitian adalah yang utama.
Sebagaimana etnografi berjalan, penelitian ini diprediksi akan selesai lebih cepat, tetapi kami tidak boleh tunduk pada ketepatan rencana. Jikapun harus lebih lambat, kami harus memeriksa dan menerimanya, terlebih jika bertaut dengan kondisi rekan penelitian. Rancangan proses pengumpulan data dan informasi akan genap dalam delapan minggu. Kenyataannya, lebih dari itu. Dalam prosesnya, beberapa rekan penelitian perlu mengambil jeda, satu di antara sepuluh rekan penelitian merasa cukup di sepertiga akhir proses journaling. Setiap saat kami saling mengingatkan, bahwa penelitian ini adalah perjalanan bersama, energi yang berlebih akan mendukung yang memerlukan. Langkah ini akan panjang dan butuh keseimbangan, pun bukan tanggungjawab satu orang untuk menjadi motor, melainkan ketersalingan untuk memastikan langkah ini tidak berhenti. Jikapun jeda, kelak akan berjalan lagi, tak perlu berlari.
Dalam rancang bangun bersama, kami menghadapi banyak ketidakpastian, dan mendudukkannya sebagai sebuah kewajaran yang harus dilalui. Sejak awal, kami bersepakat untuk patuh pada metologi feminis, yang di antaranya mencakup delapan prinsip berikut ini; Meyadari adanya ketimpangan kuasa; Memeperluas pertanyaan penelitian; Mendengarkan suara dan pengalaman perempuan; Menggabungkan pendekatan yang menyadari adanya keragaman dan interseksionalitas; Menggunakan metode penelitian yang multidisiplin; Reflektif; Membangun relasi sosial dalam proses penelitian; Menggunakan/memanfaatkan hasil penelitian yang telah disusun.
Tentunya kami juga memerlukan rekan sejawat untuk membaca temuan dan analisis penelitian ini, karena kami tidak ingin terlampau percaya diri. Dalam prosesnya juga bukan tanpa kritik, kami menerima masukan agar tetap dalam koridor penelitian yang berperspektif, berpihak, dan bermetodologi feminis. Proses journaling pun berkembang, kami menempuh perjumpaan dengan beberapa rekan penelitian, dan tersambung melalui telepon dengan beberapa lainnya. Bukan sekadar untuk konfirmasi, melainkan kebutuhan itu benar-benar harus kami penuhi sebagai rekan, dan sebagai saudari.
Penelitian ini berlangsung saat pandemi COVID-19, perjumpaan fisik sangat dibatasi, kekerasan yang ditransmisikan oleh teknologi (salah satunya adalah KBGO) hampir tak terbendung lagi. Teknologi yang sejak awal tidak netral, menjadi salah satu pemantik kekerasan berbasis gender, juga menjadi alat yang menghubugkan kami dengan rekan penelitian. Etnografi sebagai metodologi feminis, kenyataannya berkembang sangat dinamis.
Terus bermula, kini dan banyak hari
Proses yang semula dilakukan bersama sepuluh rekan penelitian, pada akhirnya hanya sembilan yang kami sertakan ceritanya. Setiap langkah yang akan ditempuh harus mendapatkan persetujuan dari semua rekan penelitian, termasuk dari penyusunan hasil penelitian, distribusi, dan segala aktivitas yang menyertai. Berapapun waktu yang dibutuhkan oleh rekan penelitian untuk meninjau kembali hingga memberikan persetujuan, kami menghormatinya. Kami menunggu hingga mendapat persetujuan, dan tidak melanjutkan langkah lebih lanjut jika memang tidak disetujui, meski barang oleh satu di antara selurh partisipan.
Kami mengembalikan naskah ini kepada rekan penelitian, dan mendiskusikan apa yang menjadikan keinginan mereka. Hampir seluruhnya menginginkan cerita ini dibagi kepada sebanyak-banyaknya perempuan agar KBGO semakin dikenal da nada upaya preventif, bahkan jika ada korban yang membaca, mereka berharap naskah hasil penelitian ini bisa menguatkan, memeluk tanpa perjumpaan fisik.
Sepuluh pekerja seni perempuan kemudian merespons hasil penelitian ini, utamanya bagian cerita dari rekan penelitian. Kami juga sengaja untuk tidak banyak mengubah bagian cerita, yang kami lakukan hanya merapikan ejaan dan tata bahasa. Selebihnya, membaca naskah ini seperti mendengarkan suara penyintas.
Sebelum para penyintas menentukan bentuk responsnya, kami meminta ijin kepada rekan penelitian. Begitu pula saat para pekerja seni perempuan sudah merancang, produksi, hingga siap menunjukkan karyanya, kami kembalikan kepada rekan penelitian untuk diperiksa kembali. Kami berharap, dengan merespons cerita ini, harapan mereka tentang distribusi energi akan lebih cepat mewujud. Rekan penelitian pun menyetujui.
Proses ini cukup jauh dari rencana awal, karena kami tidak menduga akan berkolaborasi dengan pihak-pihak selain rekan penelitian. Tapi menyaksikan satu demi satu karya tersebut, saya pribadi merasa haru, sedih, dan penuh harapan. Para perempuan pekerja seni memperkuat rantai solidaritas ini dengan merancang pameran bersama. Bahkan dalam prosesnya, tidak hanya satu kali mereka menyampaikan bahwa membaca cerita rekan penelitian memunculkan dorongan untuk berkolaborasi, menguatkan penyintas di luar sana, dan meretas KBGO bersama-sama. Pameran ini digelar satu kali secara daring, pun setelahnya mereka membuat inisiatif sendiri untuk berpameran luring, di Yogyakarta dan Ambon. Sampai hari ini, kami masih berkomunikasi dengan sebagian rekan penelitian. Tentu, kami sama-sama mengelola energi, tetapi bahwa ranta solidaritas ini tidak akan pernah mati.
Eni Puji Utami merupakan bagian dari PurpleCode Collective. Sehari-hari ia menyediakan energinya untuk menangani kasus KBGO bersama TaskForce KBGO. Hasil penelitian dapat diunduh di: bit.ly/RekoleksiPersaudarian. Zine karya pekerja seni perempuan merespons penelitian dapat diakses di: bit.ly/RantaiSolidaritas. Instagram: @purplecode_id