Nov 22, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

Pastur-pastur, nenek dan skizofrenia

Published: Jul 24, 2020
English version
Pastur Kamilus menjadi panutan bagi pekerja sosial dalam upaya pembebasan korban pasung di Flores

Ade W Prastyani, Diana Setiyawati & Erminia Colucci

Di suatu sore hari, di awal bulan Desember 2019, kami ikut serta Pater Andi dan Pater Alfons, pastur-pastur dari Ordo Kamilus gereja Katolik, beserta lebih dari selusi mahasiswa mereka, frater-frater Kamilus, berkelana ke Kecamatan Lela, sekitar satu jam perjalanan mobil dari ibukota Kabupaten Sikka, Pulau Flores. Sesaat setelah mobil menepi dan berhenti di lokasi tujuan kami, kedua pater lekas turun dari kendaraan dan bergegas turun ke arah rumah di tepi pantai. Dua orang perawat dari Puskesmas Kecamatan Lela telah menanti. Mereka telah mempersiapkan warga setempat untuk menyaksikan sebuah kegiatan yang cukup teatrikal – sebuah kolaborasi yang tidak lazim antara tenaga kesehatan dan pastur-pastur – yang akan dimulai.

Setelah Pater Andi bersalin pakaian ke dalam jubah putihnya dengan lambang salib merah besar di dada – simbol Ordo Kamilus – ia berjalan dengan cepat ke arah pondok bamboo yang terletak di bagian belakang rumah pantai itu. Di pondok ini, seorang pria dikurung. Pria itu masih berusia muda, baru di awal dua puluhan tahun, dan telanjang, hanya bersalutkan sebuah sarung di paruh bawah tubuhnya. Kaki kirinya terperangkap di sebuah lobang di antara dua buah balok kayu besar, yang membatasi gerak tubuhnya. Ia dipasung, walaupun untungnya, masih belum sampai setahun lamanya. Keluarganya sudah merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sehat sejak pria tersebut berusia satu tahun, yang ternyata adalah skizofrenia, sebuah kondisi gangguan kejiwaan. Pada saat kunjungan kami, kedua orangtuanya telah wafat, dan pria tersebut hanya tinggal dengan kakak perempuannya, suami sang kakak perempuan, dua orang anak mereka yang masih kecil, serta neneknya.

Banyak keluarga di Indonesia melakukan pemasungan terhadap anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa karena mereka takut akan tindakan kekerasan yang terkadang terjadi. Kadang-kadang juga, adalah para tetangga yang mendorong keluarga untuk memasung, karena menganggap penderita gangguan jiwa sebagai ancaman keselamatan di lingkungan, dan ada juga yang memasung anggota keluarganya yang sakit justru karena ingin melindungi mereka. Keseringan, segenap keluarga yang terkait telah mengalami trauma berkepanjangan, dan sudah berada di titik nadir kekuatan mereka. Hanya sebagian saja yang sejak awal memiliki akses terhadap pelayanan formal kesehatan jiwa serta pengobatannya. Lebih banyak yang bahkan tidak paham bahwa anggota keluarga mereka memiliki gangguan kejiwaan.

Kabupaten Sikka dilaporkan memiliki 688 orang yang hidup dengan gangguan jiwa (ODGJ), berdasarkan PJS Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka. Data dari Riskesdas (2018) oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 14 persen dari pasien yang didiagnosis dengan gangguan jiwa berat telah mengalami pasung dalam hidupnya. Proporsi ini di area rural (sebesar 17.7 persen) lebih tinggi daripada proporsi di area urban (10.7 persen). Sehingga, bisa diduga, kondisi pria muda yang kami saksikan, sayangnya, bukanlah pemandangan yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Di Kecamatan Lela saja, pria tersebut adalah pasien kelima yang ditangani oleh tenaga kesehatan di Puskesmas Lela, baik yang masih dalam pasung maupun pasca lepas pasung, atas kolaborasi dengan para Pastur Ordo Kamilus.

Pater Andi puts on his robes / Authors

Lebih dari dua puluh orang berkerumun mengelilingi pondok bambu di belakang rumah untuk menyaksikan kedatangan para pastur: mereka adalah keluarga, tetangga, dan sanak-saudara sang pria. Mereka semua ingin melihat para frater Kamilus mengangkat balok kayu dan membebaskan kaki sang pria. Syukurnya, karena ia belum terlalu lama dipasung, otot-ototnya belum sampai mengalami atrofi, yang banyak dialami oleh pasien-pasien lain yang dipasung lama. Pria itu masih bisa berdiri sendiri di luar pondok tempatnya dipasung, walaupun gerakannya sangat lambat. Tak pelak, dua orang Frater mengangkat dan membopongnya menuju sebuah rumah kecil dekat rumah mereka. Beberapa penonton di sana bersorak, riuh rendah sejenak.

Rumah itu, dibangun khusus untuk pasien ini, disebut rumah aman. Ukurannya hanya 3 kali 4 meter, namun terlihat bersih dan kokoh. Bilah-bilah bambu yang dicat putih merata meliputi seluruh dindingnya, luar dan dalam, serta atap seng yang meneduhkan membuat rumah itu tidak banyak berbeda dari rumah-rumah lain di pedesaan pinggir pantai di Lela. Bahkan, lantai keramiknya yang putih bersih memberikan kesan lebih cantik, bila dibandingkan rumah tetangga yang berlantaikan tanah. Namun, tampilan luar rumah itu menyarukan kenyataan bahwa seluruh bangunan rumah tersebut, termasuk pintunya, dibangun menggunakan kerangkeng baja. ‘Orangnya tidak boleh sampai melihat rumah itu saat masih dibangun, sebelum bilah-bilah bambu dipasang, karena bisa jadi mereka menganggap itu penjara untuk mereka,’ kata Pater Alfons saat berbincang-bincang dengan kami. Ternyata, hal seperti itu pernah terjadi beberapa bulan sebelumnya, saat seorang pasien yang masih dirantai melihat pembangunan rumah aman untuknya dan menolak dipindahkan.

Pelepasan yang teatrikal

Dengan disaksikan oleh sanak saudara dan tetangga, pasien tersebut berdiri di depan tempat tinggal barunya, di mana nenek sang pria sudah menunggu, sambil memegang setangkai daun serta segelas air. Nenek itu diapit oleh Pater Andi dan Pater Alfons, dan seperti cermin berhadapan dengan sang pasien yang diapit dua frater Kamilus. Saat pasien tersebut mendekat, sang nenek melafalkan mantra: ‘blatan ganu wair, blirang ganu bao’ (dingin seperti air, sejuk seperti beringin). Mantra ini adalah bagian dari Upacara Pendinginan, yang merupakan salah satu tradisi di budaya Maumere, yang biasanya diadakan untuk orang sakit, perantau yang baru pulang, atau sebagai penghormatan kepada tamu-tamu resmi dalam acara kepemerintahan. Ia berfungsi mengusir roh-roh jahat. Sang nenek lantas tidak cukup hanya memercikkan air dari gelas dengan menggunakan lembar daun yang dipegangnya, tetapi juga seluruh isi air di gelas itu dituangkan di ubun-ubun sang pria. ‘Mai tama seleboang’ (Mari masuk ke dalam), katanya.

Setelah ia berada di dalam, sang pria duduk di tempat tidurnya yang baru juga. Ia melirik ke arah kami, mungkin mencoba menerka-nerka siapa kami. Para frater pun segera mengenakan kemeja baru pada sang pria, sementara Pater Andi memulai melakukan upacara pemberkatan. Sembari Pater Andi membacakan doa-doa Kamilus, ia terpotong oleh tawa kecil sang pria. Pater Andi memberinya isyarat tubuh, memintanya untuk hening, dan kemudian para hadirin mengucapkan Doa Tobat ‘Saya Mengaku’ dengan serentak dan syahdu. Tak ikut serta dan perhatiannya teralihkan hal-hal lain, sang pria terlihat menggaruk-garuk kepalanya dan melambaikan tangan kepada keluarga dan sanaknya yang berdiri di luar rumah.

A Camillian frater opening the wooden logs that confined the patient / Authors

Setelah pembacaan doa, Pater Andi mengeluarkan sebuah botol kecil berisi air suci, dan memercikkannya ke segala arah di dalam kamar, dan dengan gerak cepat mengelilingi luar rumah sambil terus memercikkan air suci. Semua sanak saudara dan tetangga yang hadir menyaksikan dengan penuh perhatian. Sekembalinya ke dalam, Pater Andi lantas meletakkan kedua belah tangannya di atas kepala sang pasien, sembari membacakan doa, suara Pater Andi lembut tapi jelas. Tak ada seorangpun yang bersuara. Setelah rangkaian doa itu. Pater Andi duduk di samping sang pria. Para staf puskesmas pun berdiri dekat dan mengundang masuk nenek, kakak perempuan dan sepupunya, untuk duduk bersama di atas kasur. Sambil menggendong anak balitanya, sang kakak perempuan duduk terdiam, matanya nampak berkaca-kaca, begitu pula sang nenek. Pater Andi mengucapkan terima kasih pada mereka atas segala usaha yang dilakukan merawat pria tersebut selama bertahun-tahun. Keluarga itu mulai meneteskan air mata. Para staf puskesmas tersenyum penuh kasih.

Perluasan peran

Ordo Kamilus mendanai pembangunan rumah aman. Para frater Kamilus juga turun tangan dalam konstruksinya. Setiap rumah aman menghabiskan biaya sekitar 20 juta rupiah (sekitar A$ 2000). Dana ini sebagian hasil donasi para donor, dan sebagian lagi dari dana internal Ordo Kamilus. Tujuan pembangunannya sangat sederhana: agar orang yang hidup dengan gangguan jiwa dapat hidup di tempat yang terpisah, sembari mereka tetap bisa mendapatkan pengobatan, dan agar anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya dapat menjadi saksi langsung perjalanan pemulihannya. Keluarga dapat memutuskan sendiri kapan dan berapa lama pintu rumah aman dibuka, sehingga masih memberikan kesempatan pasien untuk bergerak bebas.

Program ini dimulai pada tahun 2015, saat Pater Luigi, seorang pastur asal Itali dari Ordo Kamilus, menemukan seseorang yang dipasung lebih dari satu dekade, tidak jauh dari Biara Kamilus di Nita, Kabupaten Sikka. Dia, beserta dua orang pastur asli Indonesia di atas, mulai merencanakan konsep rumah aman sebagai cara untuk membebaskan pasien dari berbagai bentuk pengekangan, namun mempertahankan kehadiran di lingkungan keluarga. Ordo Kamilus telah membangun setidaknya 14 rumah serupa, kebanyakan di Kabupaten Sikka, dan telah melepaskan hampir 30 orang dari pemasungan atau perantaian. Mereka mendapati orang-orang yang dipasung dari kabar mulut atau pelaporan langsung dari staf puskesmas terdekatnya.

Pembangunan rumah aman tidak serta merta dapat dilakukan. Terkadang, Pater Alfons dan Pater Andi harus menghabiskan berbulan-bulan untuk meyakinkan pasien dan keluarganya bahwa rumah tersebut benar-benar aman. Seseorang dengan kondisi skizofrenia, misalnya, kadang menunjukkan perilaku kasar yang merusak, yang bisa jadi justru alasan awal pemasungan, walaupun oleh keluarga yang mencintainya. Keterlibatan para pastur, serta pengadaan ritual yang cukup teatrikal saat pelepasan pasien dari pasung, merupakan langkah yang penting, dan manjur, untuk masyarakat lokal. Ritual seperti ini membuka ruang agar semua orang yang terlibat, baik sang pasien itu sendiri maupun keluarganya, bisa mendapatkan pengampunan secara publik dari segala kesalahan di masa lampau. Saat kami menyaksikan isak tangis kakak perempuan pasien yang terduduk di kasur, kami sadari, akhirnya ia bisa melepaskan beban emosinya. Keluarga mereka tidak lagi harus menghadapi kondisi ini sendirian.

Pastur-pastur Kamilus memang berusaha melampaui segala batas demi orang-orang yang mereka tolong: ‘Kami memutuskan kami akan berikan segala yang kami bisa. Kami juga berusaha untuk menyediakan KTP serta kartu jaminan sosial yang bisa diandalkan saat mereka sakit lagi. … Sebagian besar pasien kami, saat mereka sakit, mereka tidak bisa membayar, karena sebagian besar belum terdaftar,’ jelas Pater Andi dengan penuh semangat. Kartu jaminan sosial yang dia sebutkan adalah kartu untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang secara umum lebih dikenal sebagai BPJS Kesehatan. Program ini menyediakan jaminan kesehatan untuk semua warga negara Indonesia yang mendaftar.

Pater Andi blessing the rumah aman with holy water / Author

JKN mencakup pelayanan kesehatan jiwa, yang seharusnya dapat tersedia pada tingkat pelayanan primer, di puskesmas. Namun, suplai obat-obatan psikiatrik tidak selalu ada. Untungnya, para pastur Kamilus kerap mengusahakan suplai pengobatan bagi para pasien dalam perawatan mereka. Mereka telah membangun hubungan kemitraan dengan para dokter spesialis setempat – awalnya dengan seorang ahli saraf yang senior, dan sejak dua tahun lalu, dengan seorang psikiater yang baru mulai berkarya di Sikka dan satu-satunya di Pulau Flores – serta dengan para petugas kesehatan di puskesmas, untuk memastikan suplai pengobatan. Setelah para dokter itu memberikan resep yang sesuai, pastur-pastur Kamilus akan membelikan obat-obatan di apotek lokal mewakili pasien tersebut. Para pastur juga membantu keluarga pasien dengan menyediakan dukungan sumber penghidupan, seperti ternak kambing dan ayam. Hal ini tidak hanya meningkatkan keuangan keluarga, tetapi juga semangat dan moril keluarga. Dinamika keluarga yang mendukung setelah pelepasan pasung merupakan hal vital untuk pemulihan para pasien yang mereka bantu.

Pembelajaran

Ada dua pembelajaran yang dapat diambil dari misi para pastur Kamilus serta ritual yang mereka selenggarakan. Yang pertama, pengobatan saja tidaklah cukup dalam membina pasien yang dilepaskan dari pasung serta keluarga mereka. Kelompok sipil dan keagamaan dapat memberikan berbagai bentuk pendampingan yang dibutuhkan. Tenaga kesehatan jiwa harus mengetahui situasi sosial, budaya, dan kepercayaan kerohanian para pasien dan orang yang terlibat dalam perawatan mereka. Mereka juga harus akrab dengan berbagai aktor informal yang penting bagi pasien dan keluarganya. Staf puskesmas, pastur-pastur Kamilus, serta anggota keluarga, seperti dicontohkan di atas, sama-sama sepakat mengenai peran yang mereka pegang bagi sang pria muda yang mereka rawat.

Walaupun berbagai dukungan yang diselenggarakan oleh pastur-pastur Kamilus itu penting, tetapi mereka belum dapat disediakan secara konsisten oleh sistem kesejahteraan sosial dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam konteks lain, peninjauan berkala dan koordinasi bantuan dan perawatan bagi pasien dengan gangguan jiwa serta keluarga mereka dapat dijalankan oleh pekerja sosial. Saat peninjauan demikian kenal betul dengan situasi pasien dengan gangguan jiwa maupun orang-orang yang merawatnya, maka dukungan yang akan diberikan dapat lebih tepat dan terencana dalam mendukung pemulihan. Pekerja sosial harus didukung dengan pelatihan mengenai kebutuhan orang yang hidup dengan gangguan jiwa. Walaupun pekerja sosial sama pentingnya dengan tenaga kesehatan dalam pemulihan orang-orang yang hidup dengan gangguan jiwa, mereka merupakan sumber daya manusia yang masih sangat terbatas. Kewenangan pekerja sosial seharusnya dikenali juga dalam advokasi dan perencanaan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat kota/kabupaten, agar dapat mendampingi dalam penganggaran bantuan finansial bagi orang-orang dengan gangguan jiwa serta keluarga atau lingkar pemberi perawatannya.

Ade W Prastyani (ade.prastyani@gmail.com) adalah peneliti untuk Centre for Public Mental Health di Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada dengan pendanaan dari proyek penelitian di atas. Diana Setiyawati (diana@ugm.ac.id) adalah direktur untuk Center for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada. Erminia Colucci (e.colucci@mdx.ac.uk) adalah associate professor di bidang Visual and Cultural Psychology di Middlesex University London.

Observasi pada artikel ini merupakan bagian dari proyek penelitian ‘Using collaborative visual research methods to understand experiences of mental illness, coercion and restraint in Ghana and Indonesia,’ sebuah penelitian yang didanai oleh hibah penelitian dari Economic and Social Research Council GCRF, United Kingdom. Informasi lebih lanjut, bisa dilihat di sini. Gambar cuplikan dari film serta observasi lapangan diambil oleh para penulis sebagai bagian dari penelitian.

Inside Indonesia 141: Jul-Sep 2020

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.