Di Maumere, Flores, di tengah tantangan pembatasan karena pandemi, kelompok teater lokal menemukan peluang baru untuk mengembangkan praktik seni mereka
English version
Eka Putra Nggalu
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak akhir tahun 2019 hingga saat ini memiliki pengaruh yang sangat besar pada teater sebagai sebuah disiplin maupun praktik kesenian. Secara estetika, pandemi seolah merongrong dan menghadapkan teater pada kritik-kritik yang sangat fundamental, terutama pada definisi-definisi konvensional teater. Pandemi dan segala konsekuensinya menuntut adanya telaah lebih jauh tentang karakter teater, kebutuhan interaksi fisik antar pemain dan penonton, persoalan keaktoran, ruang dan logika empat dinding, serta kemungkinan-kemungkinan dan problematika intermediasi antara teater dengan logika performatif dari film, sinematografi, internet dan ruang serta realitas virtual lainnya. Secara praktis, pandemi membatasi proses penciptaan dan produksi teater secara konvensional. Pada saat bersamaan ia menawarkan pembacaan ulang dan progresif atas skala, modus, agenda penciptaan serta dialog antara kebutuhan-kebutuhan serta modal-modal penciptaan dan produksi teater.
Di Indonesia, penciptaan dan produksi teater di berbagai tempat bisa jadi berbeda-beda, terlepas dari ada atau tidaknya pandemi COVID-19. Problem itu bisa mengenai hal-hal seperti pengetahuan atas teater sebagai sebuah disiplin, keterampilan dan kecakapan para pelaku mulai dari keaktoran hingga pekerjaan-pekerjaan teknis, infrastruktur kesenian hingga modus dan modal produksi, serta persoalan apresiasi penonton. Situasi dan kenyataan penciptaan dan produksi teater di Jawa bisa jadi lebih kompleks dari pada yang dialami oleh para pegiat teater di wilayah Indonesia timur, atau sebaliknya. Ukurannya tidak bisa tunggal, disebabkan karena konteks kultural dan kesenian, juga situasi sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda-beda dan bervariasi.
Artistic encounters
Sebagai contoh, saya dan teman-teman di Maumere, salah satu kota kecil di Indonesia timur, masih berusaha mengembangkan forum studio teater yang kami proyeksikan sebagai ruang untuk secara serius dan konsisten mempelajari teater sebagai sebuah disiplin. Forum ini semacam bengkel terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar keterampilan-keterampilan dasar teater, melakukan penciptaan bersama, menyiapkan produksi dan mementaskannya kepada penonton. Modus kerja kami adalah kolektif dan interdisipliner. Kami memberi nama forum itu Studio Teater KAHE. Forum ini sebenarnya baru berjalan selama tiga tahun dan menjadi sub aktivitas dari Komunitas KAHE, komunitas seni budaya yang didirikan pada 23 Oktober 2015. Komunitas KAHE sendiri berawal dari kegelisahan beberapa mahasiswa akan minimnya ruang apresiasi karya sastra dan forum-forum diskusi pengetahuan di kalangan anak muda di kota Maumere. Dalam perjalanan waktu, komunitas ini kemudian berkembang. Partisipan-partisipan dari berbagai disiplin seni dan ilmu bergabung. Komunitas ini kemudian tidak hanya menyelenggarakan diskusi dan apresiasi sastra, tetapi berbagai forum artistic encounter seturut kemampuan para anggota, mulai dari pameran, pertunjukan musik, klub buku, parade mural dan festival teater. Teater sendiri belakangan menjadi yang paling aktif dan serius dilakukan. Alasannya bisa jadi berhubungan dengan karakter teater yang kolektif dan membuka banyak sekali kemungkinan untuk praktik-praktik kerja lintas disiplin.
Kendala yang kami hadapi dalam usaha mempelajari teater adalah perihal referensi, baik soal wacana maupun praktik estetika teater. Latihan dan pola belajar kami lakukan sangat otodidak, minim perbandingan, dan dilakukan oleh kalangan terbatas. Produksi-produksi teater yang kami lakukan harus berhadapan dengan kendala infrastruktur yang amat terbatas dan persoalan-persoalan primer yang dialami masyarakat semisal upah minimum yang rendah, harga barang kebutuhan pokok yang mahal, ketiadaan sponsor dan dukungan pemerintah, hingga literasi yang lemah di berbagai bidang. Modus produksi teater kami bersumber dari modal sosial yang ada di sekitar kami, dari keluarga, pertemanan, juga orang-orang dekat, dan kepada mereka pula pementasan teater itu diproyeksikan. Di Jawa, wacana-wacana teater boleh jadi sudah merambah perihal pengembangan estetika, kemungkinan kerja intermediasi dan interdisiplin antara teater dengan ilmu dan praktik kesenian lain, media baru, atau perkara online dan offline. Sementara dalam konteks lokal yang berbeda, kami masih berjuang dalam tahap memperkuat disiplin dan kepengrajinan kami atas teater, masih berusaha membangun ekosistem di antara para penggiat teater dan masyarakat yang bisa kami jangkau, yang tidak lain adalah komunitas teater di sekitar kami, teman-teman dekat, sekolah-sekolah, dan para sponsor lokal. Dalam segala situasi itu, pandemi membuat usaha kami mendekati teater menjadi lebih sulit. Kami dituntut untuk bekerja ekstra keras. Ketika kami belum maksimal dalam mencerna dan mempraktikkan disiplin-disiplin dasar dari teater konvensional, kami harus dihadapkan dengan berbagai kritik fundamental atas disiplin teater yang diakibatkan oleh pergeseran modus dan pola interaksi manusia dan sistem-sistem sosial serta hal-hal lain yang diakibatkan oleh pandemi global.
‘Portal-portal’ baru
Di Indonesia, pandemi memberikan efek kejut, tapi juga menimbulkan repons yang menarik dari para pelaku teater. Respons atas pandemi jadi bermacam-macam. Ketika semua ruang dan interaksi langsung serta fisikal dibatasi, platform sosial media melalui jaringan internet menjadi pilihan bagi para pelaku teater untuk melakukan berbagai hal. Ada yang dengan sigap menginisiasi berbagai pertunjukan melalui platform-platform digital dan memulai obrolan mengenai teater virtual/online, ada juga yang berhenti sejenak untuk merefleksikan kembali kerja-kerja mereka dan melakukan diseminasi pengetahuan melalui sosial media.
Pandemi di satu sisi menantang kreativitas para seniman di tengah segala keterbatasan, di sisi lain mengkritisi satu rezim tak terlihat, yang seolah-olah menuntut siapapun, termasuk seniman untuk terus bergerak dan produktif dalam situasi apapun. Apapun motif dan modusnya, penggunaan sosial media dan platform-platform digital untuk melangsungkan produksi teater, diseminasi pengetahuan, festival, hingga upaya advokasi bagi profesi-profesi (sutradara, aktor, stage manager) dalam kerja teater telah melibatkan banyak sekali penggiat teater dari seluruh Indonesia. Dalam konteks ini pandemi bisa jadi satu ‘portal’. Di satu sisi ia adalah batasan, di sisi lain ia membuka peluang interaksi dan kreasi yang lain, yang lebih luas dan menjangkau berbagai kalangan yang bisa jadi tidak akan dijumpai dalam situasi biasa, tanpa pandemi. Bagi saya dan teman-teman di Maumere, tren ini adalah kesempatan yang baik untuk mengalami obrolan mengenai teater, dan melihat bentuk-bentuk estetika dalam komumitas teater yang lebih luas dan maju.
Saya mencermati dan terlibat (sebagai publik) dalam berbagai inisiatif baru para seniman, kelompok, maupun institusi seni di Indonesia selama pandemi, yang tidak berorientasi terutama pada produksi pertunjukan, melainkan diseminasi pengetahuan dan sharing pengalaman atas praktik penciptaan maupun produksi teater. Inisiatif itu bisa dijumpai dalam forum-forum percakapan dua arah antara sesama seniman/kritikus teater dan seni pertunjukan lainnya, semisal yang dilakukan oleh Teater Garasi dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dalam forum Garasi dari Dekat Sekali, seniman-seniman Teater Garasi membentangkan sejarah Garasi, proses latihan hingga persoalan pengelolaan kolektif Teater Garasi yang sudah mencapai usia 27 tahun, pada 2020 ini. Sementara dalam diskusi yang diinisiasi oleh Dewan Kesenian Jakarta, obrolan membahas wacana-wacana kontemporer teater Indonesia dari berbagai sudut pandang, terutama pada masa pandemi. Platform-platform ini mengambil format live instagram dan berlangsung rata-rata selama dua jam. Meski menekankan dialog dua arah, percakapan dalam platform-platform ini juga membuka kesempatan kepada para penonton untuk bertanya melalui fitur live chat.
Selain produksi pengetahuan dan pementasan teater, forum virtual lain yang menarik dan turut saya ikuti tidak banyak membahas teater dari sudut pandang estetika, melainkan dari sisi manajemen dan kerja-kerja produserial. Forum ini yang melibatkan banyak sekali kelompok maupun individu, penggiat teater di Indonesia adalah semacam lembaga yang memayungi usaha-usaha advokasi bagi pekerja-pekerja teater, baik yang berhubungan dengan profesi, maupun yang lebih luas mengenai kebijakan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesenian di Indonesia.
Platform-platform digital yang diinisiasi dan dilangsungkan selama masa pandemi tersebut memiliki signifikansi penting bagi saya dan teman-teman di Maumere dan mungkin wilayah lain di Indonesia bagian timur, setidak-tidaknya dalam beberapa hal.
Pertama, selama masa pandemi ada kebutuhan di kalangan para seniman dan kelompok teater serta institusi-institusi kesenian untuk belajar, merunut proses kreatif, dan mengecek kembali praktik serta ideologi yang telah lama dihidupi dan dipraktikkan. Hal ini kerap terjadi di kelompok-kelompok teater yang sudah cukup mapan dan telah lama bergiat dalam skala nasional maupun internasional. Forum-forum publik yang mereka inisiasi dalam proses replikasi dan diseminasi pengetahuan yang mereka lakukan serentak menjadi ruang belajar dan sumber referensi bagi kelompok-kelompok teater masa kini dan bagi kami, kelompok teater di daerah. Melalui forum-forum itu, kami bisa belajar perihal konteks dan dialektika yang dilalui para praktisi teater dalam sejarah sosial politik, maupun sejarah kesenian di Indonesia. Forum-forum ini juga memberikan perspektif yang kaya bagi kami yang sedang berusaha bernegosiasi dengan keterbatasan referensi dan informasi mengenai teater sebagai disiplin.
Pengetahuan dan referensi mengenai teater pun dapat diperoleh dari pengalaman menonton dan menyaksikan pertunjukan-pertunjukan yang dilangsungkan secara virtual, yang bisa berwujud apa saja, mengusung gagasan apapun, dan dipentaskan oleh kelompok/seniman dari manapun. Pengalaman menonton dan melihat karya-karya teater dari berbagai genre dan gagasan, dari berbagai latar belakang tradisi dan konteks sosial seperti ini bisa saja tidak bisa kami dapat dalam masa-masa normal, tanpa pandemi. Lebih jauh, pengalaman mengikuti diskursus seputar teater dalam berbagai ruang virtual semasa pandemi memberi perspektif baru bagi kami untuk memanfaatkan internet secara maksimal sebagai saluran pembelajaran sekaligus diseminasi pengetahuan.
Kedua, ada kecenderungan/inisiatif penggiat teater di Indonesia untuk membuka tatapan yang kian lebar mengenai koomunitas teater di Indonesia. Tatapan yang lebar itu berjalan beriringan dengan kebutuhan pengorganisasian diri dari para penggiat teater untuk tujuan belajar, pendefinisian ulang konsep profesionalisme dalam kerja-kerja teater di Indonesia, maupun usaha-usaha advokasi bagi kelompok maupun individu pelaku teater di Indonesia berhadapan dengan berbagai regulasi dan undang-undang yang ditetapkan negara. Imaji tentang komunitas teater Indonesia seolah semakin jelas di masa pandemi, setelah berbagai pertemuan para penggiat teater dari berbagai daerah di Indonesia semakin mungkin diupayakan melalui platform-platform digital dan online. Harapan yang turut mengiringi inisiatif-inisiatif ini adalah imaji terhadap komunitas teater yang berskala nasional ini tidak ditopang oleh representasi-representasi yang sifatnya simbolik semata, tetapi bagaimana komunitas yang besar ini, yang juga diwakili oleh perserikatan maupun perkumpulan yang telah diinisiasi, menjadi jejaring yang saling menguntungkan dan memenuhi kebutuhan satu sama lain, antar individu dan kelompok teater di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu yang bisa diupayakan adalah diseminasi pengetahuan yang lebih luas dan komprehensif, untuk meningkatkan profesionalitas dan kualitas para pekerja teater di berbagai daerah di Indonesia, bertolak dari konteks sosial-ekonomi-politiknya masing-masing.
Ketiga, saya dan teman-teman Komunitas KAHE memutuskan untuk belajar lebih banyak selama masa pandemi karena kesadaran-kesadaran yang berasal dari refleksi kami atas konteks lokal saat ini dan pertemuan kami dengan forum-forum teater yang lebih besar selama masa pandemi. Kami menyadari ada kesenjangan yang besar dalam diseminasi pengetahuan dan wacana soal teater di berbagai tempat di Indonesia, dalam hal estetika maupun kerja-kerja manajerial dan produserial. Jika sebelum masa pandemi salah satu problem para pelaku teater di Maumere adalah mengenai keterbatasan referensi baik praktik maupun wacana teater, pada masa pandemi, melalui berbagai forum dalam platform-platform digital, referensi-referensi dan komunikasi dengan komuitas-komunitas teater yang lebih luas di Indonesia menjadi lebih mudah diakses. Pengalaman-pengalaman ini menjadi berharga bagi saya dan teman-teman, karena paling tidak pandemi telah menjadi jendela untuk kami melihat persebaran komunitas-komunitas teater di Indonesia, dan sekurang-kurangnya mengalami obrolan-obrolan mereka, baik soal estetika, agenda sosial politis, maupun kenyataan-kenyataan produksi di berbagai konteks dan berbagai tempat.
Lebih jauh dari pada itu, masa pandemi membuat kami memilih untuk tetap mengupayakan modus produksi yang kami lakukan selama ini: melakukan produksi teater berbasis komunitas, mengelola modal sosial dan kultural yang dekat dengan kami, mengaktifkan potensi-potensi yang ada dan berusaha membangun komunitas teater dari lingkungan di sekitar kami, dari keluarga, kerabat, teman-teman dekat dan masyarakat sekitar. Hal ini coba kami upayakan misalnya ketika kami diundang dalam Indonesia Dramatic Reading Festival tahun 2020.
Saat itu kami membuat dua kali pementasan. Sekali untuk proses rekaman dan disiarkan secara langsung oleh kanal YouTube IDRF, yang lain dilakukan secara langsung bersama 20 orang penonton dari lingkungan dekat kami, dengan harga tiket yang relatif terjangkau bagi mereka. Masing-masing dari dua model pementasan ini bisa jadi pilihan di masa pandemi. Yang satu melalui platform digital, yang lain secara langsung dengan publik tertentu yang disasar dengan agenda dan kesadaran tertentu.
Dari pada membatasi, pandemi sebenarnya membuka peluang jelajah yang besar bagi pengetahuan dan praktik penciptaan serta produksi teater. Di satu sisi ia mengkritik secara fundamental konvensi teater yang sudah berlangsung berabad-abad dan menawarkan gagasan-gagasan yang lebih progresif dengan menawarkan kemungkinan kerja interdisipliner dan intermediasi antara teater dengan teknologi, realitas virtual, serta media-media baru. Di lain sisi, ia menawarkan refleksi yang lebih kritis dan kontekstual antara kerja teater dengan modal-modal dan kenyataan produksi yang ada di konteks tertentu, dengan pendekatan yang lebih intim dan dekat dengan lingkungan sekitarnya. Teater virtual bisa jadi pilihan yang menarik untuk dijelajahi. Meski demikian, modus produksi yang terakhir, yang langsung, dengan penonton tertentu yang terbatas bisa jadi relevan dan menjadi alternatif pilihan presentasi karya untuk agenda khusus yang sesuai, atau di lingkungan masyarakat dalam konteks khusus, yang masih memiliki kendala infrastruktur (keterbatasan jaringan internet, misalnya). Modus produksi ini pun bisa jadi jalan untuk inisiatif-inisiatif kecil untuk membangun komuitas teater yang minimal bisa dibayangkan dan terus dirawat dari waktu ke waktu.
Sebagai Ben Anderson dalam bukunya Imagined Community menggambarkan caranya orang Indonesia dari golongan sosial dan daerah berbeda dipertemukan dalam 'imagined community' dari bangsa Indonesia melalui perjuangan bersama terhadap kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang, mungkin sekarang sebagai akibat tantangan pandemik kita melihat komunitas teater Indonesia yang sedang menjadi lebih kuat dan bersemangat, diimaginasikan dengan lebih jelas.
Eka Putra Nggalu (eckamarley@gmail.com) adalah penelitian teater dan pemimpin Komunitas KAHE, Maumere, Flores, NTT.