Nov 21, 2024 Last Updated 2:20 AM, Oct 31, 2024

4d. Komunisme degrowth

Published: Jul 27, 2024

Kerja adalah bapak dari kekayaan material, sementara bumi adalah ibunya.

(Marx 2007: I, Bab 1, seksi 2)

Gerry van Klinken

Kebanyakan orang mengenal Marx karena analisanya yang tajam mengenai penindasan manusia oleh pemodal. Marxisme 'merah' ini kemudian memotori revolusi di Russia dan Cina. Sosialisme konvensional tidak mempersoalkan dampak ekologis dari produksi industrial sendiri. Maka, ketika pergerakan ekologis mulai bangun tahun 1970an, muncullah jurang pemisah antara 'hijau' dan 'merah'. Kini sebuah buku dari peneliti Jepang Kohei Saito menunjukkan bahwa Marx pada umur 50 tahun mulai sadar tentang dampak merusak dari industri terhadap bumi. Bab dewasa ini mengeksplorasi pemikiran Marx yang belum banyak diketahui. Kapitalisme ternyata menguras tidak hanya kekuatan manusia untuk berkarya, tetapi juga kekuatan alam yang terkandung di dalam tanah. Paling berdampak adalah komitmen kapitalisme untuk selalu bertumbuh terus. Seorang kapitalis yang bisnisnya tidak tumbuh telah gagal, drop-out. Sejak kita menyadari betapa merusaklah kapitalisme terhadap bumi, maka kinilah saatnya membaca kembali Marx, dengan pertanyaan yang segar di benak. Masa depan yang baik membutuhkan solidaritas dengan alam juga. Sekarang, pemikiran itu disebut eko-sosialisme – 'hijau' dan 'merah' berangkulan.

Marx tentang kapitalisme

Karl Marx tetap menarik 140 tahun setelah meninggal. Seorang jenius yang pemikirannya mengubah sejarah. S3nya mengenai dua filsuf Yunani Klasik. Dia dan keluarganya tiap hari membaca Shakespeare. Tiap hari! Ilmuwan besar yang tak pernah bekerja di universitas. Seluruh bacaannya - ekonomi dan sosiologi, sejarah dan antropologi, kimia dan fisika - diarahkan untuk membayangkan masa depan yang emansipatoris. Marxisme adalah aliran intelektual yang mengembangkan gagasannya secara kritis. Arus ini berpengaruh di bidang ilmu sosial beserta humaniora hingga kini.

Sumbangan Marx yang terbesar adalah analisanya terhadap kapitalisme. Di sini alat-alat produksi - means of production, yaitu seluruh tanah, karya buruh serta uang yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang – berada di tangan swasta. Sistem ini lahir di Eropa antara abad ke-16 hingga ke-18, kemudian menyebar ke setiap penjuru bumi. Kapitalisme berbeda dalam segala aspeknya dengan cara mengurus aktivitas ekonomis sebelumnya. Di tengah kerusakan alam yang disebabkan kapitalisme, kinilah saat yang baik untuk kembali membaca Marx.

Untuk menghasilkan suatu barang – katakanlah mesin uap – dibutuhkan kerjasama antara (a) bumi di mana bahan mentah seperti bijih besi digali, (b) insinyur beserta buruh yang merakit barang tersebut. Di samping itu akan dibutuhkan uang. Sejak awal abad ke-19 uang itu umumnya disediakan (c) kapitalis, yang tentu berupaya agar pembuatan mesin uap itu menguntungkan.

Bagi Karl Marx yang muda, hanya (b) dan (c) dianggap bermasalah. Persoalan kapitalisme dianggap bersifat sosial. Buruh diperas oleh pemilik modal untuk menghasilkan laba bagi dirinya. Proses (a) - proses industrial yang mengorek kekayaan bumi - dianggapnya tidak bermasalah. Bahkan ia bergembira mengenai potensinya untuk menciptakan kekayaan yang fantastis. Marx bersikap 'Promethean' (mengacu kepada dewa yang memberikan manusia api penguasa alam). Kebanyakan orang abad ke-19 bersikap demikian. Tidak, masalah paling besar hanyalah pemerasan sosial oleh kaum pemodal terhadap buruh.

Marx tahu kapitalisme tidak stabil, melainkan ganti-ganti boom-and-bust. Menurut Marx muda, ketegangan sosial antara buruh dan pemodal akan semakin parah tiap kali kapitalisme mengalami boom-and-bust. Akhirnya ketegangan akan meledak; revolusi menjungkirbalikkan seluruhnya. Kaum buruh akan mengambil alih alat-alat produksi. Kesejahteraan yang dihasilkannya akan dibagi secara samarata dengan semua. Zaman firdaus-sosialis di tengah kemakmuran material yang berlimpah adalah tujuan akhir dari proses yang disebutnya materialisme historis.

Hampir setiap pergerakan sosial besar di abad ke-20 dimotori oleh pengharapan kembar ini: pergolakan revolusioner yang akan membebaskan kaum tertindas di satu pihak, dan di pihak lain janji kemakmuran fantastis hasil produktivisme Promethean (dengan catatan: produktivisme yang dikuasai rakyat). Uni Soviet yang lahir lima tahun setelah Revolusi Oktober 1917 tergerak mimpi itu. Demikian juga Repubik Rakyat Cina yang diproklamir tahun 1949. Setelah Perang Dunia ke-2, hampir seluruh negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika dijiwai utopia Marxis ini (tentu Marx yang ditafsir oleh Engels, Lenin, Stalin, Trotsky, Mao Tsetung dll).

Di Indonesiapun, kebanyakan kaum nasionalis mulai menganut gagasan yang sama pada dasawarsa 1920an. Buku Lenin Imperialisme ilhamnya (Lenin 1999 [asli Russia 1917]). Bukan lagi keterbelakangan budaya adalah masalah utama Indonesia, melainkan modal asing. Dalam pleidoi yang termasyur tahun 1930, Sukarno bicara bak Lenin Indonesia (Soekarno 1998 [1930]). Perjuangan ditujukan untuk memecat penguasa asing dan kapitalis asing. Di dalam tangan orang Indonesia, kemajuan industrial akan segera membawa kesejahteraan bagi seluruh bangsa. Pabrik baja Krakatau yang dibuka di Cilegon tahun 1962 pertama digagaskan oleh Presiden Sukarno. Seluruh negara baru merdeka di Afrika, tanpa menghiraukan kemiskinannya, meminjam uang yang berlebihan untuk membangun pabrik.

Lingkungan

Sementara itu, setiap insan dengan jiwa lingkungan hidup sekecil apapun menyadari bahwa produksi Promethean telah melukai Ibu Bumi secara parah. Kerusakan di Uni Soviet yang komunis (seperti bencana Chernobyl tahun 1986) menyamai atau bahkan melebihi kerusakan di Amerika yang kapitalis (misalnya 'Musim Bunga Yang Bisu' - Silent Spring karya Rachel Carson tentang kematian burung akibat pestisida DDT (Carson 1990 [asli Inggeris 1962])). Protes terhadap situasi ini jelas tidak datang dari sudut yang ngotot kapitalis. Tetapi mula-mula juga tidak dari pihak Marxist yang Merah. Protes datang dari ilmuwan ekologis yang Hijau seperti Rachel Carson, dan dari pecinta alam 'deep ecology' a la Arne Naess (lihat bab lain buku dewasa ini). Akibatnya, sebuah jurang telah menganga antara aktivis Hijau dan Merah.

Karena merasa Marx tidak pernah memikirkan dampak buruk industrialisme pada lingkungan hidup, maka sejumlah pemikir kiri mengembangkan sendiri pemikiran ekologis yang mempersoalkan proses industrial. Di antaranya, Herbert Marcuse, pemikir di Frankfurt School yang banyak menginspirasi generasi pengunjuk rasa muda di Eropa dan Amerika Utara akhir tahun 1960an (Marcuse 1992 [asli 1979]). Setelah buku-buku catatan Marx tentang keretakan metabolik mulai diketahui, muncullah tulisan yang membuka wawasan eko-marxis baru. Perintisnya termasuk pemikir Hongaria István Mészáros, yang sudah mempresentasikan konsep-konsep dasarnya di negeri Jerman mulai tahun 1971 (Mészáros 1995). Penulis lain yang ikut menemukan kembali pemikiran ekologis Karl Marx termasuk James O’Connor (1998), Paul Burkett (1999), dan John Bellamy Foster (2000).

Buku Kohei Saito (2023) adalah studi mutakhir topik ini, dan Saitolah pembimbing utama bab dewasa ini. Ia sekaligus sumber yang baik untuk apa yang disebut Eko-Marxisme atau Eko-Sosialisme, yang dibahas lengkap di bab lain buku dewasa ini. Bab ini memfokus pada pemikiran ekologis Marx. Temuan-temuan dalam buku Kohei Saito diharapkan telah menutupi jurang Merah-Hijau di atas. Apabila kaum Marxis sudah lama memiliki pandangan emansipatoris sejauh menyangkut urusan manusia dengan sesama manusia, maka temuan ini memperluas visi tersebut hingga juga merangkul relasi manusia dengan non-manusia.

Marx yang muda adalah Marx yang menerbitkan Manifesto Komunis pada tahun penuh gejolak 1848 (ketika ia berumur 30); dan yang menerbitkan Das Kapital jilid I pada tahun 1867 (umur 49). Ini hanya dua karya termasyur dari sejumlah besar tulisan lain. Namun, mengapa Marx tidak pernah menerbitkan Das Kapital Jilid II dan III sebelum akhirnya meninggal, meskipun didesak terus oleh sahabat karib dan editornya Friedrich Engels? Menurut Kohei Saito, alasannya adalah: Marx merasakan dirinya berada di persimpangan jalan. Ia tak mampu menyelesaikan Das Kapital hingga ia memikirkan kembali seluruh kerangka teoretisnya.

Sambil menulis disertasinya di Heidelberg, Kohei Saito mempelajari buku catatan Marx yang jumlahnya banyak, tersimpan di Berlin dan Amsterdam. Buku-buku catatan ini lama sekali diabaikan oleh peneliti. Yang ia temukan di situ, ia tulis dalam buku ini. Buku asli Bahasa Jepang telah terjual setengah juta eksemplar - best seller. Saito berkesimpulan bahwa pembaca muda Jepang sudah jenuh dengan janji-janji kapitalisme yang gagal. Mereka mencari masa depan yang lain.

Ada yang bilang Marx berubah pikiran karena sudah sakit-sakitan, bahkan sudah mulai pikun. Orang lain merasa inteleknya yang tajam melembek menjadi romantis menjelang masa tuanya. Saito menolak argument minor itu semua. Justru intelek Marx semakin kaya gagasan, kata Saito. Marx mulai membaca buku-buku ilmu alam, di samping pembacaan intensif di humaniora dan ilmu sosial. Bacaan ini mengakibatkan pergeseran paradigmatik (paradigmatic shift) di kepala Karl Marx. Ia meninggal sebelum sempat menuangkan gagasan final dalam bentuk buku. Saito telah berjasa dengan menyelesaikan karya Marx. (Saya membiarkan orang lain menilai apakah Saito telah jujur menangani sumbernya; saya merasa terkesan, namun bukan ahli Karl Marx.)

Tekno-optimisme

Kalau Marx telah mengubah pikirannya, mengapa warisannya yang 'Promethean' berlangsung begitu lama bahkan hingga saat ini? Sebagian alasan adalah karena Engels tidak pernah mengubah pikirannya seirama dengan Marx. Adalah Engels yang mengejawantahkan tulisan-tulisan sahabatnya – karya yang luas jangkauannya dan tinggi kompleksitasnya– menjadi buku yang dapat menjiwai pergerakan politis. Saat Marx mulai cemas bahwa jangan-jangan produktivisme industrial telah menjadi problem tersendiri lepas dari peranannya di tangan kaum kapitalis, maka Engels tetap meyakini pandangan yang lama. Pandangan itu pernah dipegang juga oleh Marx muda, dan oleh hampir semua orang di pertengahan abad ke-19. Teknologi industrial dianggap membuktikan kehebatan manusia menguasai alam. Itu perlu dirayakan. Yang menentang sikap Promethean pada abad ke-19 hanyalah pecinta puisi dan musik Pergerakan Romantis. (William Blake pernah menulis syair tentang 'pabrik-pabrik gelap milik Setan' – 'dark Satanic mills' – yang merusak keindahan lanskap Inggeris).

Sikap tidak kritis terhadap industri modern kemudian dipegang baik oleh kaum kapitalis penganut pasar bebas maupun oleh kaum komunis. Bahkan, 'tekno-optimisme' tetap berpengaruh di kalangan kiri hingga kini. Ada penganut Marxis yang yakin krisis ekologis akan dapat diatasi dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence), robotika, nanoteknologi atau bioteknologi. Bahkan oleh Saito 'eko-modernisme' dinilai kini bersifat hegemonik di kalangan kiri. Salah satu aliran pemikirannya disebut 'Production of Nature'. Di sini teknologi buatan manusia dilihat telah demikian maju hingga tak lagi tepat berkata bahwa manusia 'mempengaruhi' alam. Daripada itu, manusia telah menjadi Tuan di dalam kesatuan Manusia-Alam. Majalah radikal kiri Jacobin tahun 2017 menerbitkan sebuah edisi khusus yang antara lain menolak aktivisme Greenpeace, yang menurutnya berciri 'katastrofism'. Daripada itu, Jacobin menjunjung tinggi penyelesaian tekno-optimistis berdasarkan energi nuklir dan perekayasaan kebumian (geo-engineering). 'Campur tangan manusia dalam dunia alamiah kini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya,' kata salah seorang penulis edisi tersebut. Kaum kiri tekno-optimist jelas khawatir pilihan lain tak akan populer di kotak suara.

Kohei Saito menghabiskan satu bab penuh (Bab 5) untuk berargumentasi bahwa eko-modernisme tidak lain berusaha menghidupkan kembali Prometheanisme abad ke-19. Optimisme akan teknologi untuk menciptakan kemakmuran material yang hampir tak terhingga, menurut Saito, telah berulangkali terbukti gagal. Alasannya sederhana: Prometheanisme berbenturan dengan hukum-hukum alam. Kini kita dapat melihat musibah ekologis disebabkan oleh pandangan itu di mana-mana.

Marx sendiri mulai mengubah sikap sekitar tahun 1868. Ia berumur 50 tahun. Das Kapital jilid I pas terbit. Pemikiran baru ini kemudian menyibukkannya selama 15 tahun terakhir hidupnya. Ia membuang produktivisme Prometheannya karena terbatasnya bumi. Ia juga membuang materialisme historisnya karena bersifat Eurosentris. Ia mulai memikirkan kemungkinan masyarakat non-kapitalis di luar Eropa Barat Laut, yang melawan kapitalisme. Seperti Irlandia jajahan Inggeris. Atau Rusia, saat itu masih feodal. Ia membaca tentang masyarakat pra-kapitalis. Di antaranya suku Jerman Teutonik yang mempraktekkan Markgenossenschaft – desa-desa komunal yang swadaya dalam segala hal.

Ia terkesan ketika membaca buku jenderal Romawi Yulius Kaisar tentang suku-suku Jerman yang melawannya kira-kira 55 BCE. Orang Jerman sengaja tidak mencari uang semakin banyak, karena hal itu akan memperburuk kesenjangan dan menciptakan kecemburuan. Yulius Kaisar menulis tentang suku Jerman sebagai berikut:

Tak seorangpun memiliki tanah sebagai milik pribadi… Mereka memberikan banyak alasan untuk adat ini: misalnya… agar orang tidak menjadi serakah akan properti yang luas, dengan akibat yang kuat tergoda untuk mengusir yang lemah; agar menghindari… mereka terlalu mencintai uang – yang sering menjadi penyebab perselisihan; dan agar orang biasa tetap merasa puas dan tenteram karena setiap orang dapat melihat sendiri bahwa orang yang paling kuat sekalipun tidak lebih kaya dari dia sendiri. (Caesar 1982: 143-4)

Marx juga membaca tentang sejarah desa rural di India jauh hari sebelum kedatangan Inggeris. Bab 6 dalam buku Saito yang membicarakan pembacaan ini bisa menjadi sangat inspiratif bagi sejarawan lingkungan hidup Indonesia.

Lalu bagaimanakah tempat Alam di dalam analisis Marx yang final ini? Dan bagaimana rupanya sebuah dunia pasca-kapitalis?

Metabolisme

Temuan kuncinya adalah proses pertukaran material bernama Metabolisme. Tiap makhluk hidup secara terus-menerus menyerap materi ke dalam tubuhnya dan mengeluarkannya dalam bentuk lain. Binatang menarik nafas dan menghembuskannya; ia makan dan kembali mengeluarkannya sebagai tinja. Pada skala yang lebih luas, tanah yang hidup juga menyerap cahaya dan gizi dari lingkungannya, dan mengeluarkan tumbuhan. Pecahlah siklus metabolik ini, matilah makhluk organik.

Dari ahli kimia Justus von Liebig ia belajar bahwa pertanian modern justru melakukan itu – memecahkan siklus metabolik tanah. Liebig menamakannya Keretakan Metabolik (Metabolic Rift). Pangan yang dihasilkan di daerah pertanian di Inggeris, misalnya, kemudian dibawa jauh-jauh ke kota besar London. Kota terisi penuh dengan buruh pabrik mantan petani (yang telah kehilangan tanahnya karena dipagari oleh kaum kapitalis awal). Buruh memakan kentang, roti, sayur dan sebagainya, lalu berak ke dalam Sungai Thames. Tinjanya tidak kembali ke tanah sebagaimana mestinya, melainkan dihanyutkan ke laut. Keretakan Metabolik ini menguras tanah di daerah pertanian. Ini pantas disebut perampasan alam. Seluruh produksi industrial telah melakukan dosa perampasan terhadap alam, kata Liebig. Lebih parah lagi, kapitalisme memiliki ciri bertumbuh terus. Ia berlayar jauh ke negeri lain, mencari tanah yang masih perawan. Bila tanah itupun kemudian terkuras habis, ia mencari wilayah perampasan baru lagi, hingga akhirnya seluruh bumi menjadi korban. Ini adalah konsekwensi anti-ekologis dari kapitalisme.

Pertumbuhan terus-menerus di bumi yang besarnya terbatas memang tidak mungkin. Ekonom Amerika Kenneth E. Boulding tahun 1973 berkelakar setengah serius: 'Siapa saja yang percaya bahwa pertumbuhan eksponensial dapat berlangsung untuk selamanya di bumi yang terbatas adalah orang gila atau seorang ekonom.' Kesadaran inilah menghentakkan hati Marx 100 tahun sebelumnya sehingga mendorong pergeseran paradigmatiknya. Ekonom perintis John Stuart Mill pada saat yang hampir sama menyadari hal itu juga, tetapi beda dengan Marx ia tidak menindaklanjutinya. Marx lalu mengaitkan keretakan metabolik dengan keretakan sosial, yang dua-duanya disebabkan kapitalisme. Ia sudah tulis dalam Das Kapital jilid I:

Kerja adalah, terutama, suatu proses antara manusia dan alam, suatu proses yang dengannya manusia, melalui tindakan-tindakannya sendiri, mengantarai, mengatur dan mengontrol metabolisme alam sebagai suatu kekuatan alam. (Marx 2007: I, Bab 7)

[K]erja adalah bapak dari kekayaan material, sementara bumi adalah ibunya. (Marx 2007: I, Bab 1, seksi 2)

Marx menyimpulkan bahwa sumber asli seluruh kekayaan adalah tanah dan buruh. Kapitalisme menguras tidak hanya kekuatan manusia untuk berkarya, tetapi juga kekuatan alam yang terkandung di dalam tanah.

Salah satu pemisahan analitis paling penting yang dibuat oleh Marx menyangkut 'nilai' sesuatu benda. Sebuah kursi, misalnya, memiliki 'nilai guna' – kursi berguna sebagai tempat duduk. Kursi juga memiliki 'nilai tukar' – harga saat membelinya. Kedua jenis nilai ini sangat berlainan. Dalam kehidupan kita sehari-hari, adalah nilai guna yang paling berperan. Masyarakat pra-kapitalis ingin memproduksi barang yang memiliki nilai guna tinggi, agar kehidupan menjadi lebih nyaman. Kapitalisme, pada sisi lain, hanya mempertimbangkan nilai tukar sesuatu benda. Kepercayaan akan pentingnya nilai tukar dan peremehan terhadap nilai guna menjurus kepada ide-ide palsu tentang kekayaan, seolah-olah hanya ditentukan oleh nilai uangnya dan tidak lagi oleh kebahagiaan seseorang.

Saito(2023: 220) meringkas pemikiran Marx sbb:

Kalau ingin mengatakannya secara kasar, maka 'kekayaan' masyarakat dan kekayaan alam telah mengalami pemiskinan yang berat di bawah kapitalisme.

Mungkin terasa aneh bahwa di sini 'kekayaan' malah mengalami pemiskinan di bawah kapitalisme. Namun, menurut Saito (2023: 222), hal itu dapat diterangkan dengan konsep kekayaan yang jauh lebih bermakna daripada hanya sekedar konsumerisme:

Marx beranggapan bahwa kekayaan sebuah masyarakat ditemukan di dalam kayanya budaya, ketrampilan, waktu luang serta pengetahuan yang dipertunjukkan masyarakat tersebut.

Lalu apa visinya Marx yang tua mengenai gaya hidup bahagia yang ideal? Bab terakhir buku Saito menggambarkan wawasan Marx yang final tentang masyarakat pasca-kapitalis. Ini adalah sebuah masyarakat yang berhasil mengatasi baik keterasingan antara manusia (buruh lawan kapitalis) dan juga keterasingan antara manusia dan alam (kehancuran yang ditimpakan kepada bumi melalui pengurasan tanah). Emansipasi pertama disebut sosialisme dan sudah lama kita kenal. Yang kedua disebut ekologi. Jika digabung, hasilnya adalah eko-sosialisme.

Salah seorang penulis eko-Marxist yang dikutip oleh Saito (Stefania Barca) telah menyatukan di dalam satu kalimat baik keterasingan antara manusia dengan manusia maupun antara manusia dengan alam. Ia menulis (2023: 220):

Dari perspektif materialist-historis, maka baik kelas buruh, yaitu proletariat, maupun keretakan metabolik, lahir dari sebuah proses global yang unik dan berdarah yang mengasingkan orang dari sumber penghidupan di tanah, dan yang juga mengganggu seluruh biosfer. Maka krisis ekologis adalah hasil langsung dari pembuatan kelas.

Kapitalisme telah menghancurkan kekayaan sosial bagi kaum buruh. Dan ia menghancurkan kekayaan alam yang sebelumnya telah leluasa tersedia ketika manusia masih hidup secara subsisten dekat dengan tanah: udara bersih, air bersih dan ikan di dalam sungai, kelimpahan tanaman dalam tanah yang subur. Setelah kaum buruh pindah ke kota, satu demi satu bentuk kekayaan alam ini telah dicaplok pihak swasta. Hari ini kita bahkan harus beli air dalam botol plastik – air minum telah diswastanisasi. Udarapun telah diswastanisasi – perusahaan bahan bakar fosil menganggap normal kalau CO2 dibuang begitu saja di udara tanpa membayar.

Kaum kapitalis berasumsi Ibu Bumi akan nrimanya tanpa mengeluh. Bumi memang berpuluh-puluh tahun tidak mengeluh – ia bersifat amat elastis - tetapi elastisitasnya kini sudah menemui batas maksimal. Pangan adalah komoditas yang dibeli di supermarket. Perusahaan global menciptakan kekurangan-kekurangan global di pasar komoditas ini semua, dengan maksud menaikkan laba. Bahkan kapitalisme telah berhasil mendapat keuntungan dari kehancuran alam bikinan sendiri – misalnya dengan meyakinkan kita untuk beli AC yang lebih kuat.

Masyarakat pasca-kapitalis berusaha memulihkan kembali kekayaan alam yang dapat diakses oleh setiap insan secara umum, baik manusia maupun non-manusia. Ini adalah kelimpahan yang ditemukan dalam masyarakat pra-kapitalis seperti di antar suku-suku Jerman atau desa India sebelum kedatangan Inggeris. Pemuasan nilai gunalah yang menjadi tujuan masyarakat saat itu dan ke depan, bukan pemuasan nilai tukar yang maksimal.

Sebagian pembaca mungkin merasa terkejut bahwa masyarakat pra-kapitalislah yang diagungkan di sini. Apakah ingin 'mengembalikan manusia ke dalam gua mengenakan kulit beruang'? Sindiran ini dijawab dengan temuan yang tak diduga. Ternyata adalah kekeliruan membayangkan masyarakat pra-kapitalis bersifat 'miskin'. Mereka hidup irit, tetapi sambil memenuhi kebutuhan dasar. Antropolog Marshall Sahlins 50 tahun yang lalu (Sahlins 1974) menghebohkan dunia ilmiah dengan temuannya bahwa masyarakat adat pemburu-pengumpul, kini dan di masa lampau, cukup bekerja kira-kira 15 jam per minggu saja. Sisanya libur: istirahat di tempat tinggal, bergaul, ngobrol, dan dansa.

Sahlins menyimpulkan bahwa kelaparan adalah justru gejala modern, bukan ciri kehidupan pra-kapitalis:

Bagaimana dengan dunia sekarang ini? Sepertiga sampai separoh umat manusia katanya tiap malam pergi tidur lapar. Pada Zaman Batu, pecahannya pasti jauh lebih kecil. Dewasa inilah zaman kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kini, pada masa kekuatan teknis yang paling hebat, kelaparan telah menjadi sebuah lembaga. Balikkanlah rumusan terkenal yang lain: jumlah kelaparan bertumbuh secara relatif maupun secara mutlak seiring dengan evolusi budaya.

Marx sadar betul bahwa sosialisme tak dapat menghilangkan segala macam kekurangan. Ada bentuk-bentuk kekurangan yang ditetapkan oleh batasan bumi itu sendiri. Kekurangan semacam ini akan selalu ada, tidak terelakkan. Satu-satunya jenis kekurangan yang dapat ditangani oleh eko-sosialisme adalah kekurangan yang diciptakan secara sosial. Kekurangan macam ini lahir melalui bertumbuhnya kekayaan swasta yang sangat berlebihan, yang dibayar mahal dari dana kekayaan yang tadinya dapat diakses secara umum. Kekurangan buatan manusia ini dapat dilihat dari ketidakberdayaan orang Sudan dan Yemen sementara jumlah milyarder bertumbuh terus. Kekurangan berupa kelaparan itu tidak bersifat alami. Pemiskinan diciptakan kapitalisme.

Mengatasi kekurangan buatan ini hanya bisa sukses dengan menggabungkan dua upaya. Satu, mensosialisasikan penguasaan terhadap alat-alat produksi (komunisme). Dua, mengurangi dampak produksi industrial terhadap bumi (degrowth). Dari sinilah muncul istilah 'komunisme degrowth' dalam subjudul buku Kohei Saito.

Implikasinya tetap seradikal ketika Marx muda menerbitkan Manifesto Komunis. Sebuah proletariat lingkungan hidup global mungkin sedang menyadarkan diri, disebabkan antara lain oleh: udara terkotor di dunia di Jakarta; kebakaran hutan Kalimantan tiap saat bisa terulang a la Kanada atau Yunani; kesadaran bahwa pemerintah telah gagal melindungi rakyat. Kesadaran ini menuju kepada ekososialisme Marx tua.

Untuk penelitian lebih jauh

  • Dalam hal manakah analisis eko-Marxis sama atau berbeda dengan tujuan program lingkungan hidup yang lebih biasa dibaca di media massa, misalnya seperti yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG) yang dijunjung secara formal? Apa implikasinya untuk aktivisme ke depan?
  • Bukalah diskusi lintas-disipliner di kampus anda tentang apa yang disebut 'tekno-optimisme', dengan tujuan bertukar pikiran dan mencari konsensus baru (seyogyanya tanpa tersedot faksionalisme intelektual!).
  • Apakah 'Komunisme Degrowth' dapat dijadikan program aktivisme baru? Di manakah sekutu-sekutu program sejenis di Indonesia?

Gerry van Klinken (bacaanbumi@gmail.com), adalah pemimpin redaksi Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia dan guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara di KITLV (Leiden), Universitas Amsterdam, dan Universitas Queensland. Ia menetap di Brisbane. (Versi awal tulisan ini terbit di majalah Mongabay).

Acuan

Burkett, Paul. 1999. Marx and Nature: a red and green perspective. New York: St Martin's Press.

Caesar [terj S. A. Handford]. 1982. The conquest of Gaul, Penguin Classics. Harmondsworth, UK: Penguin.

Carson, Rachel [terj Buahy Kusworo]. 1990 [asli Inggeris 1962]. Musim bunga yang bisu. Jakarta: Yayasan Obor Indodnesia.

Foster, John Bellamy. 2000. Marx’s ecology: materialism and nature. New York: Monthly Review Press

Lenin, Vladimir. 1999 [asli Russia 1917]. Imperialism: the highest stage of capitalism. Sydney: Resistance Books.

Marcuse, Herbert. 1992 [asli 1979]. 'Ecology and the critique of modern society.' Capitalism Nature Socialism 3 (3):29–37.

Marx, Karl [terj Hay Djoen Oey]. 2007. Kapital: sebuah kritik ekonomi politik. 3 vols. Jakarta: Hasta Mitra.

Mészáros, István. 1995. Beyond capital: towards a theory of transition. New York: Monthly Review Press.

O'Connor, James. 1998. Natural causes: essays in ecological Marxism. New York: Guilford Press.

Sahlins, Marshall. 1974. 'The Original Affluent Society.' In Stone Age Economics. London: Tavistock.

Saito, Kohei. 2023 [asli Jepang 2020]. Marx in the Anthropocene: towards the idea of degrowth communism. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Soekarno. 1998 [1930]. Indonesia menggugat: pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial Bandung, 1930. 4 ed. Jakarta: Laonma.

Download pdf artikel ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Tetangga: These are the stories of our neighbours

Oct 23, 2024 - ASHLYNN HANNAH & SOFIA JAYNE

Introducing a new podcast series

Obit: Adrian Horridge, 1927-2024

Oct 22, 2024 - JEFFREY MELLEFONT

From distinguished neurophysiologist to maritime historian

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.