Oct 18, 2024 Last Updated 4:30 AM, Oct 7, 2024

4b. Strategi penelitian Marx (I)

Published: Jul 27, 2024

Fathun Karib

The first category in which bourgeois wealth presents itself is that of the commodity. The commodity itself appears as unity of two aspects…

(Marx 2005: 881-2)

He discovered that capital is not a thing, but a social relation between persons, established by the instrumentality of thing…

(Marx 2004: bab 33)

Sebuah film Filosofi Kopi (2015) garapan Angga Dwimas Sasongko menceritakan komoditas kopi yang dikonsumsi sebagai gaya hidup masa kini. Diawal terasa film ini seperti layaknya film populer pada umumnya mengenai cerita persahabatan dan gaya hidup kelas menengah urban. Namun, dalam perkembangan cerita bermunculan konflik antara Ben, seorang yang handal dan punya rasa dan selera yang bagus dalam kopi, dengan temannya Jodi yang jago dalam manajemen bisnis kopi. Mereka berdua memulai usaha bersama.

Dalam perjalanan cerita terungkap bahwa Ben berasal dari keluarga petani kopi dan mengalami trauma kekerasan di masa lalu. Ayahnya melarang Ben serta keluarganya untuk berhubungan dengan segala sesuatu yang terkait kopi. Ternyata hal ini disebabkan bahwa keluarga Ben menjadi korban kekerasan dari transformasi agraria yang memaksakan perubahan komoditas di wilayah perkebunan kopi tempat Ben hidup menjadi perkebunan kelapa sawit.

Penelitian

Film yang dikembangkan dari kumpulan cerpen Dee Lestari ini (2006) mengungkap konteks sosio-ekologis yang relevan untuk penelitian. Konteks perubahan agraria didalam film tersebut membawa kita pada sebuah pertanyaan: Bagaimana menempatkan film Filosofi Kopi dalam sebuah penelitian sosio-ekologis? Berbagai studi kontemporer misalnya menggunakan film dan medium audio-visual sebagai alat pengambilan sumber data (etnografi visual dalam bentuk dokumenter) atau objek analisis terhadap film, foto, layar digital, media sosial dan berbagai medium audio-visual lainnya. Esai ini berusaha mengulas muatan potensi konseptual dan strategi penelitian yang dapat dikembangkan dari film Filosofi Kopi untuk studi lebih lanjut terkait dengan perubahan sosio-ekologis.

Film Filosofi Kopi membawa kita kepada imajinasi Marx tentang komoditas. Bahwa dibalik sederhananya komoditas yang kita konsumsi, mulai dari kebutuhan pangan, sandang sampai papan terdapat relasi sosio-ekologis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam yang kompleks. Relasi sosial-ekologis ini menurut Marx tidak pernah terlepas dari tindakan kekerasan dan ketidakadilan. Dia mengatakan bahwa Kapital bukanlah benda semata tetapi sebuah relasi sosial kompleks. Dalam konteks ini, komoditas sebagai salah satu bentuk tampilan dari Kapital juga dapat dipahami bukan sebagai benda, tetapi merupakan relasi sosial-ekologis.

Apa yang dimaksud relasi sosial atau relasi sosio-ekologis disini? Bahwa dibalik kopi (sebuah benda) yang kita minum ada sebuah proses panjang yang melibatkan hubungan antara manusia dengan manusia (relasi sosial) dan manusia dengan alam (relasi ekologis). Disini sebuah kopi bukanlah benda semata, karena untuk dapat dijual dan dikonsumsi ada sebuah proses panjang melalui rangkaian produksi komoditas: dari produk mentah sampai menjadi produk jadi, dan hubungan produksi antara pemilik perkebunan dengan pekerja.

Hubungan antara manusia dalam sebuah komoditas seperti kopi tidak hanya antara pemilik modal dan pekerja tetapi juga terkait dengan dimensi ras, jender dan umur. Sebuah komoditas seperti kopi melibatkan berbagai peristiwa yang terkait dengan proses perubahan sosio-ekologis disuatu wilayah dan seringkali perubahan ini melibatkan kekerasan dan ketidakadilan. Suatu wilayah pedesaan baik itu di pengunungan maupun di pantai akan mengalami perubahan alam karena mengalami proses pembangunan situs produksi di wilayahnya tersebut.

Terkait dengan ini, film Filosofi Kopi tidak hanya menjadi film populer pada umumnya. Film ini memberikan konteks situasi lokal. Dinamika khas terkait komoditas kopi dan kelapa sawit menyebabkan Ben, sebagai protagonis film ini, memiliki trauma dan karakter yang keras dan sulit kompromi. Bisa jadi dari secangkir kopi yang kita minum tersimpan kisah konflik perampasan tanah atau eksploitasi pekerja perkebunan kopi dibaliknya.

Esai ini menawarkan cara membaca kaitan antara realitas keseharian dengan dimensi sosio-ekologis melalui karya Karl Marx (1818-1883). Strategi penelitian Marx dapat dikembangkan dari karya-karyanya. Salah satunya, kini berjudul Ideologi Jerman (Marx dan Engels 1970), berupa sejumlah naskah tulisan Marx dan Engels dari tahun 1846 yang baru sempat terbit setelah mereka dua-duanya meninggal. Satu lagi, kini judul singkatnya Grundrisse (Marx 2005), yaitu tujuh buku catatan Marx dari tahun 1857-1858 yang juga baru terbit setelah meninggal. Dan yang paling utama adalah Kapital (Marx 2004), karya besarnya yang hanya Jilid I terbit semasa hidupnya pada tahun 1867 (terjemahan Bahasa Indonesia - Marx, terj Hay Djoen Oey 2007).

Film Filosofi Kopi memberikan kita pintu masuk untuk memahami komoditas yang melekat pada diri kita dalam kehidupan sehari-sehari. Komoditas tersebut ternyata terikat dan terkait dalam sebuah proses perubahan sosio-ekologis. Bila selama ini Kapital dipahami sebagai karya teoritis Marx tentang kapitalisme, teori nilai dan hubungan kapital – pekerja, maka esai ini menawarkan apa yang bisa dikembangkan dari karya Marx terkait dengan dimensi metode dan strategi penelitian yang hendak kita lakukan. Salah satu bentuk pengembangan strategi penelitian yang bisa dilakukan adalah dengan memfokuskan pada isu komoditas.

Esai ini mengajak para peneliti (baik yang berpengalaman maupun yang baru akan memulai) untuk memikirkan ulang karya-karya Marx dari sudut pandang metode dan strategi dalam memulai dan menyelesaikan sebuah penelitian. Ini termasuk bagaimana mempresentasikan hasil penelitian dalam alur naratif tertentu. Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari dua tulisan terkait strategi penelitian yang dikembangkan dari karya-karya Marx. Tulisan pertama akan memfokuskan pada Grundrisse dan Kapital, sedangkan tulisan kedua akan memfokuskan pada Ideologi Jerman.

Komoditas sebagai strategi penelitian

Komoditas memiliki peranan sentral dalam pembahasan mengenai sistem kapitalisme. Sambil duduk di perpustakaan London, Marx menulis 800 halaman dalam catatan coretan yang kemudian dikumpulkan dan dinamakan Grundrisse. Catatan tersebut dimaksud untuk menjernihkan pikiran sendiri sebelum memulai karya besarnya Kapital. Ia lalu menyadari bahwa bagian mengenai komoditas sebaiknya dibahas pada bagian awal karyanya Kapital. Setelah menulis kalimat Grundrisse yang dikutip di atas, 'The first category in which bourgeois wealth presents itself is that of the commodity' (yakni 'kategori pertama di mana kekayaan borjuis menjadi kelihatan adalah kategori komoditas'), ia menambahkan catatan bagi dirinya: 'This section to be brought forward' ('Bagian ini agar digeser ke atas'). Yang dimaksud adalah, pernyataan tentang komoditas ini ingin dinomor-satukan nanti dalam penulisan Kapital. Banyak Marxist yang telah mengupas hubungan antara Grundrisse dan Kapital dari berbagai segi. Namun, tulisan ini menempatkan hubungan antara kedua tulisan tersebut dari sudut pandang strategi penelitian. Di mana Grundrisse merupakan eksposisi dan catatan laporan berbagai hasil penelitiannya, sedangkan Kapital merupakan produk akhir dari proses panjang penelitian dan penulisan. Marx sebagai peneliti kualitatif meniti proses panjang penelitian dan penulisan draft. Ia selalu terbuka akan perubahan dalam formasi pemikirannya disaat menemukan berbagai data dan ide baru yang bermunculan. Bagi mereka yang pernah menjalankan penelitian, mungkin sekali sering mengalami hal yang sama: penulisan berkembang seiring dengan pemikiran.

Menempatkan dan membicarakan komoditas di bab pertama Kapital mempunyai implikasi tiga hal.

Pertama, ini merupakan langkah strategis menulis yang jitu mengingat semua orang, terlepas dari kelas, ras, jender, pasti bersentuhan dengan berbagai macam komoditas dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, strategi menulis ini memiliki implikasi metode dengan membuka kemungkinan bagi para peneliti setelah Marx untuk memilih strategi titik awal memulai (point of departure) penelitian yang melekat didalam karya Kapital. Titik awalnya yaitu: mulailah memperhatikan relasi sosio-ekologis dari hal yang kecil dan sederhana untuk penelitian yang akan kita lakukan! Dari aras yang mikroskopik perlahan analisa berkembang mengurai kompleksitas kerumitan makro struktural. Inilah yang dibilang sebagai metode berpikir from simple to complex dan from the ground observation to abstract conceptualisation.

Ketiga, di balik apa yang nampak (appearance) dalam bentuk sebuah komoditas ternyata tersembunyi sebuah relasi sosio-ekologis diantara kapital, populasi manusia dan alam yang kompleks dan menyejarah didalamnya (essence). Masyarakat secara awam menilai seseorang itu memiliki kekayaan dari komoditas atau harta yang dimiliki. Persepsi awam dari apa yang nampak (appearance) inilah yang menjadi titik awal penelitian dan diskusi kepada apa yang sebenarnya ada dan terjadi dibalik kekayaan atau kepemilikan komoditas yang nampak tersebut (essence).

Pilihan Marx membicarakan komoditas adalah pilihan strategi penulisan yang jitu, karena kita semua mengkonsumsi komoditas dalam kehidupan sehari-hari. Ini artinya kita semua baik sadar maupun tidak berada dalam relasi sosial-ekologis kapital yang kompleks sebagai konsumen dalam sistem kapitalisme. Selain sebagai strategi penulisan, ia juga dapat ditempatkan sebagai strategi memulai penelitian. Seringkali peneliti politik ekonomi dan lingkungan memiliki kesulitan dan bertanya 'darimana memulai penelitian?' George Marcus, salah satu etnografer pionir multi-sited ethnography, menawarkan strategi: 'Ikuti komoditas (follow the commodity).' Ia menyarankan memulai penelitian dengan mengikuti komoditas tertentu. Seorang peneliti dengan mengikuti logika bahwa komoditas bukanlah benda akan selalu timbul rasa penasaran didalam dirinya. Dia akan bertanya: Apakah relasi sosio-ekologis yang terjadi dibalik komoditas tersebut? Ia akan mulai mengikuti jejak relasi kompleks yang ada. Pertanyaan lanjutannya dalam benak peneliti adalah: Perubahan dan dampak lingkungan apa saja yang terjadi akibat dari munculnya komoditas tersebut?

Sebelum Marcus, Terence Hopkins dan Immanuel Wallerstein menawarkan pendekatan rantai komoditas (Commodity Chains - CC) sebagai pengembangan bab satu Kapital dalam memahami gerak historis kapitalisme sebagai sistem dunia. Disini Hopkins dan Wallerstein menawarkan pelacakan komoditas dimulai dari produk jadi yang dikonsumsi, seperti salah satu kopi merk internasional atau mobil elektrik yang sekarang banyak digunakan. Berbagai komponen dari produk jadi tersebut dilacak asal usulnya dari berbagai penjuru dunia, lalu dikumpulkan untuk dirakit atau dibuat dalam tahap akhir produksi barang jadi. Melalui strategi penelitian ini pendekatan sistem dunia dapat membangun konsepsinya tentang kapitalisme skala global berdasarkan pembagian kerja internasional lintas negara yang membentuk rantai komoditas dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Jason W. Moore menawarkan strategi berbeda dari CC dengan memfokuskan bukan pada barang jadi yang ditelusuri kebelakang rerantai komponen-komponennya, tetapi memulainya justru dari situs produksi diwilayah bahan mentah. Strategi penelitian ini memfokuskan pada apa yang disebut sebagai Commodity Frontier (CF). Pendekatan CF memilih untuk fokus pada proses produksi transformasi agraria sosio-ekologis yang terjadi di situs-situs produksi komoditas lokal yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Peta-peta di bawah menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ke-19 kopi ditanam di wilayah 'pinggiran' yang kolonial, termasuk Jawa, untuk dikonsumsi di 'pusat' yaitu Eropa. Banyak sekali rumah tangga di Jawa terlibat dalam perkebunan kopi.

Produksi kopi sedunia/Clarence-Smith and Topik 2003
Produksi kopi di Jawa/Clarence-Smith and Topik 2003

Dalam konteks film Filosofi Kopi, pergeseran perkebunan kopi menjadi perkebunan kelapa sawit dapat dibaca melalui perubahan commodity frontier dari produksi kopi ke sawit. Perubahan suatu wilayah terkait booming-nya suatu komoditas tertentu pada waktu tertentu sangat erat kaitannya dengan kebutuhan konsumsi yang berasal dari wilayah negara lain. Ini artinya perubahan di satu wilayah lokasi seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi atau Indonesia bagian Timur sangatlah terkait dengan dinamika relasi antar negara secara global.

Baik CC dan CF sebaiknya ditempatkan sebagai strategi penelitian yang saling melengkapi. Mengikuti Marx, penelitian adalah sebuah 'movement', gerak bolak-balik dalam formasi berpikir kita disaat melihat dan menelusuri komoditas sebagai sebuah fenomena. Gerak berpikir ini bisa bermula dari produk akhir ke situs produksi awal (CC), atau dari produksi bahan mentah ke produk jadi (CF). Inilah yang Marx tawarkan sebagai strategi relasi 'part-whole', dimana bagian-bagian yang berserakan membentuk kesatuan totalitas dari sistem kapitalisme. Dalam konteks komoditas, berbagai komponen yang berasal dari wilayah-wilayah yang tersebar di dunia (parts) membentuk satu kesatuan barang jadi tertentu (whole). Pada saat yang bersamaan, satu komoditas sebagai produk akhir adalah bagian (parts) dari berbagai komoditas-komoditas lainnya yang diproduksi dalam sistem pembagian kerja secara internasional dalam sistem kapitalisme berskala global (whole). Ini artinya kita dapat memulai langkah awal penelitian darimanapun yang kita suka, atau dari bagian tertentu yang kita anggap menarik, selama kita tidak berhenti disatu titik dan fokus pada pergerakan komoditas yang kita teliti. Semua kembali kepada persoalan teknis penelitian terkait, seperti waktu yang terbatas dan keadaan finansial seorang peneliti dalam menelusuri komoditas yang ada.

Akumulasi primitif

Jika diawal Kapital Marx secara konseptual mengupas komponen-komponen yang menjadikan suatu komoditas, maka dibagian akhir, mengenai akumulasi primitif, dia mencoba menempatkan studi komoditas dalam konteks narasi historis awal mula perkembangan kapitalisme disuatu wilayah tertentu. Meski Marx tidak membicarakan komoditas spesifik dalam bagian akumulasi primitif, kita dapat mengambil asumsi sebagai bagian dari strategi penelitian. Asumsi yaitu: setiap saat komoditas baru hendak diproduksi disuatu wilayah, maka dibutuhkan proses reorganisasi produksi yang mendorong terjadinya perubahan hubungan manusia dengan alam. Proses awal reorganisasi inilah yang disebut sebagai akumulasi primitif. Jika di bab awal Marx memfokuskan pada membongkar dimensi yang dianggap sederhana dari komoditas, di bab-bab akhir dia memperlihatkan apa yang terjadi jika komoditas A, B, C sampai Z diproduksi dalam konteks ruang wilayah dan waktu historis tertentu. Dibalik komoditas yang kita anggap sederhana dan kita temui sehari-hari terdapat proses kompleks perubahan sosio-ekologis, dimulai dari tahap akumulasi primitif.

Akumulasi primitif dapat dipahami sebagai proses pemisahan manusia dengan alam tempat manusia hidup di ruang–waktu tertentu, dengan tujuan membangun sebuah situs produksi komoditas tertentu. Produksi komoditas membutuhkan manusia sebagai tenaga kerja, dan alam sebagai bahan produksi. Untuk hal ini dapat berjalan, pemisahan secara paksa atas hubungan manusia dan alam menjadi pra-kondisi yang dibutuhkan. Dan dalam tahap perkembangannya, kondisi-kondisi ini terus dipertahankan.

Ben didalam film Filosofi Kopi pada masa kecilnya mengalami kekerasan. Dengan bantuan analisa Marx, kita dapat melihat bahwa kekerasan itu dalam konteks film Filososfi Kopi merupakan akibat dari proses akumulasi primitif, yang telah bergeser dari komoditas kopi menjadi kelapa sawit. Dengan latar yang berbeda dengan di Inggris, apa yang dialami oleh Ben menjelaskan perubahan komoditas mendorong terjadinya reorganisasi situs produksi.

Dalam bagian ini Marx memulai narasi cerita mengenai akumulasi primitif dengan memfokuskan, pertama, pada isu perampasan lahan yang terjadi di Inggris terutama pada abad ke-16 dan ke-17 (bab 26 dan bab 27). Fokus berikut adalah pembentukan kelas pekerja akibat tergusurnya para petani dari kehidupan di wilayah pedesaan (bab 28). Ketiga, munculnya kelas petani kapitalis di pedesaan. Revolusi agraria mendorong terjadinya industri rumahan (home-market) yang mensuplai kebutuhan pangan bagi pekerja industri di Inggris pada saat revolusi industri (bab 29 dan bab 30).

Secara runut dan historis, strategi narasi dimulai dari peristiwa perampasan sampai perubahan sistem produksi dari feodalisme menuju kapitalisme pertanian. Lima bab ini memfokuskan pada satu wilayah tertentu yaitu Inggris sebagai pusat terjadinya perubahan agraria mulai pada abad ke-14 dan ke-15 sampai berkembangnya Industri abad ke-19.

Sesuai fokus esai, jika kita gunakan ini sebagai dasar strategi penelitian baik sebagai awal mula penelitian dan analisis maka ada beberapa hal yang dapat dikembangkan.

Pertama, strategi mengambil pilihan fokus pada satu komoditas spesifik di suatu daerah tertentu seperti misalnya di industri minyak bumi di sebuah desa di Jawa, perkebunan sawit di Kalimantan atau industri nikel di Sulawesi.

Kedua, implikasi awal narasi akumulasi primitif memperlihatkan bahwa studi mengenai perubahan agraria yang terjadi diwilayah produksi komoditas tertentu menjadi dasar dan awal titik mula. Inilah suatu opsi strategi penelitian terkait wilayah yang akan kita geluti sebagai 'ground observation' atau penelitian lapangan.

Ketiga, meskipun Marx mengambil data terkait pedesaan melalui bahan-bahan sekunder, kita dapat mengembangkan ini menjadi studi lapangan di wilayah pedesaan atau situs produksi komoditas tertentu.

Keempat, kelima bab ini menginspirasi dan membuka lapangan studi bagi para peneliti setelah Marx yaitu kajian studi agraria (agrarian studies). Salah satu pengembangannya adalah apa yang dikenal oleh para peneliti sebagai 'agrarian questions' atau pertanyaan agraria terkait penetrasi kapitalisme dalam produksi komoditas, dan bagaimana hal ini mendorong terjadinya transformasi di pedesaan.

Dengan kata lain, keempat hal diatas dapat menjadi pertimbangan dalam strategi penelitian mengikuti komoditas, dan mengarahkan kita kepada lokasi spesifik tertentu di suatu wilayah yang menjadi situs dari produksi dan perubahan sosio-ekologis.

Memasuki bagian asal mula Industri (bab 31), terjadi sebuah pergeseran atau titik perubahan dalam narasi dan analisis Marx. Di satu sisi, jika kita berhenti membaca sampai bab 30, maka asal mula industri terbatas pada hubungan historis perubahan agraria yang terjadi hanya di Inggris. Dalam konteks ini sebagian Marxist berasumsi bahwa unit analisis dari kajian Marx adalah negara-bangsa, dengan klaim Inggris sebagai pusat analisis. Bagi sosiolog Inggris bernama Henry Bernstein ini adalah asumsi yang dikatakan sebagai Tyranny of the English Path! Dari segi metode dan strategi penelitian kita menyebutnya sebagai “methodological nationalism” atau metodologi nasionalis dengan mengandaikan suatu negara-bangsa sebagai kategori unit kajian level paling makro.

Namun, jika kita menempatkan bagian asal mula industri (bab 31) sebagai titik jembatan maka kita akan melihat bahwa Marx sedang tidak membicarakan Inggris semata, melainkan kapitalisme skala global atau kapitalisme sistem dunia! Salah satu dasarnya adalah bahwa strategi Marx membicarakan kapitalisme skala global adalah dengan memulai dari unit terkecil pedesaan Inggris, lalu berkembang secara historis dengan kaitannya dengan industri nasional Inggris. Inilah yang dipahami sebagai gerak strategi penelitian dan narasi “dari yang sederhana menuju yang kompleks.”

Dengan memulai narasi dari Inggris, Marx membawa kita pada hubungan negara ini dengan negara-negara imperial lainnya seperti Spanyol dan Belanda, serta hubungan Inggris dengan negara koloni yaitu Australia. Bagian asal-usul industri sebagai jembatan menghubungkan keadaan politik ekonomi Inggris dengan dunia global.

Posisi asal-usul industrial mengalami pergeseran, dimana industri Inggris tidak hanya bergantung dari industri rumahan yang muncul dari proses perubahan agraria pedesaan Inggris semata, tetapi juga mendapatkan berbagai bahan mentah dari Amerika, India, dan Australia. Hubungan antara Inggris dan negara-negara lainnya dapat dipahami sebagai pertarungan antar-imperium dalam memperebutkan bumi sebagai pusat sumber daya alam. Gejala atau tendensi persaingan dan perang antar-imperium adalah konsekuensi historis dari kecenderungan konsentrasi dan sentralisasi Kapital nasional yang membutuhkan bumi dan negara lain untuk ditaklukan. Tendensi historis kapitalisme ini menjadi bagian pembahasan dari bab 32. Perebutan terhadap sumber daya bumi dapat dilihat dari contoh kasus kolonisasi Australia yang menjadi perhatian Marx di bab akhir.

Pembahasan alur dan hubungan tiap bab ini berguna untuk memperlihatkan bahwa fokus Marx sejak dari awal adalah kapitalisme sebagai gejala global.

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi.

Pertama, perhatikan bagaimana strategi narasi Marx dalam menceritakan kapitalisme sebagai sistem dunia dengan memulainya dari kisah komoditas dan lokasi paling mikro yaitu daerah pedesaan Inggris. Diskusi ini menjadi penting mengingat banyak studi agraria di Indonesia hanya berhenti pada narasi nasional tanpa menghubungkannya dengan perubahan yang didorong oleh sistem kapitalisme global. Bisa saja faktor waktu yang terbatas dan masalah finansial menjadi kendala. Namun, persoalan mendasar adalah pada jebakan pandangan unit analisa makro terbesar adalah negara-bangsa.

Kedua, tiga bab terakhir Kapital (bab 31-33) membuka kemungkinan narasi sejarah pembangunan dan lintasan perkembangan kapitalisme yang dapat berasal dari negara-negara seperti Belanda, Spanyol, Portugal, Perancis dan Amerika. Kita dapat membayangkan, dalam kurun waktu yang sama sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, proses perubahan agraria lokal dan transformasi nasional seperti apa yang dialami oleh Belanda, Spanyol, Portugal, Perancis dan Amerika.

Ketiga, pada abad ke-19 disaat Marx menulis Kapital, Imperium Inggris dikenal sebagai hegemon yang menguasai dunia saat itu. Ini menjadi penting karena jika Marx menulis di abad ke-16 tentu dia akan menulis mengenai Belanda sebagai hegemon. Dan jika dia hidup di abad ke-20 dia akan menulis Imperium Amerika.

Terakhir, kita dapat membalik awal-mula strategi penelitian dengan memulainya bukan dari Inggris atau negara Barat lainnya tetapi dari wilayah Indonesia, negara kita sendiri. Saya akan menyebut dua buku penting yang menggunakan strategi ini. Pertama, adalah karya terbaru Amitav Ghosh yaitu The Nutmeg’s Curse (2022) yang menggunakan pulau Banda dan komoditas pala sebagai titik awal membicarakan krisis iklim global. Kedua, karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Arus Balik (1995) yang menempatkan perubahan lokal di pedesaan Tuban dalam menghadapi arus balik kekuatan penetrasi kapital Eropa.

Keempat hal ini menjadi pertimbangan kita dalam memahami strategi penelitian dan penulisan narasi yang bisa dikembangkan dari karya Marx dalam membicarakan komoditas dan perubahan sosio-ekologis.

Pertimbangan terakhir

Esai ini mencoba mengkaitkan fokus Marx pada komoditas di awal bab Kapital dengan bagian akhir akumulasi primitif dalam karya tersebut. Selama ini, bab pertama mengenai komoditas dibahas terkait dengan pembentukan nilai dalam proses produksi yang dilakukan kelas pekerja. Salah satu kontribusi terbesar Marx adalah memperlihatkan bahwa komoditas yang paling berharga bukanlah benda yang lahir dari proses produksi melainkan “tenaga kerja” manusia yang diperjual-belikan dalam transaksi antara pemberi kerja dan penerima kerja. Sudah banyak uraian dari para pemikir yang membahas dan memperdebatkan ini. Namun sebagai penutup, saya ingin mengajukan pertanyaan yang dapat memandu kita dalam penelitian terkait tema hubungan manusia dengan alam. Dimana dimensi alam dalam pembahasan mengenai komoditas? Marx misalnya menurut sebagian orang baru membahas hubungan manusia dengan alam di bab ketujuh Kapital terkait proses bekerja (labor) dalam menciptakan komoditas.

Saya ingin menutup esai ini dengan mengatakan bahwa dibawah kapitalisme hubungan pokok bukanlah hanya antara pemodal – pekerja, tetapi antara pemodal – pekerja – alam. Dalam sebuah frase terkenal “Trinity Formula”, Marx di akhir Kapital jilid tiga (1993) mengatakan bahwa “Kapital – keuntungan, tanah – ground rent, kerja – upah inilah rumusan trinitas yang memuat seluruh rahasia proses produksi sosial”. Ijinkan saya menafsirkan bahwa dalam produksi komoditas atau menempatkan komoditas sebagai strategi penelitian, sang peneliti sejak awal dalam konsepsi dikepalanya sudah menyadari bahwa alam dan kerja manusia adalah satu kesatuan dalam wujud komoditas (appearance). Dan kesatuan ini tetap menjadi sentral dalam penelitian dan awal bagi mulainya analisa kritis. Ini artinya membaca Bacaan Bumi adalah suatu kewajiban!

Semoga bermanfaat.

Fathun Karib (fathunkarib.13@gmail.com) adalah Dosen Sosiologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Peneliti Pascadoktoral, ARI-NUS, Singapura. Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari dua tulisan terkait strategi penelitian yang dikembangkan dari karya-karya Marx. Tulisan pertama memfokuskan pada Grundrisse dan Kapital, sedangkan tulisan kedua memfokuskan pada Ideologi Jerman.

Acuan

Clarence-Smith, W. G., and Steven Topik, eds. 2003. The global coffee economy in Africa, Asia and Latin America, 1500-1989. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Ghosh, Amitav. 2022. The nutmeg’s curse: parables for a planet in crisis. London: John Murray.

Lestari, Dewi Puji. Filosofi Kopi. Jakarta: Trudee Books & GagasMedia, 2006.

Marx, Karl (intro Ernest Mandel, trans Ben Fowkes). 2004. Capital: a critique of political economy. Vol. I. London: Penguin Classics.

Marx, Karl (trans David Fernbach, intro Ernest Mandel). 1993. Capital: a critique of political economy. Vol. 3. London: Penguin Classics.

Marx, Karl (terj Hay Djoen Oey). 2007. Kapital: sebuah kritik ekonomi politik. 3 vols. Jakarta: Hasta Mitra.

Marx, Karl (trans Martin Nicolaus). 2005. Grundrisse: foundations of the critique of political economy. London: Penguin Classics.

Marx, Karl, and Frederick Engels (ed C. J. Arthur). 1970 [orig Germ 1846]. The German Ideology. New York: International Publishers.

Sasongko, Angga Dwimas. 2015. “Filosofi Kopi”. Film (1 jam 57 menit).

Toer, Pramoedya Ananta. 1995. Arus balik: sebuah novel sejarah. Jakarta: Hasta Mitra.

Download pdf artikel ini

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Book review: The Sun in His Eyes

Oct 07, 2024 - RON WITTON

Elusive promises of the Yogyakarta International Airport’s aerotropolis

Oct 02, 2024 - KHIDIR M PRAWIROSUSANTO & ELIESTA HANDITYA

Yogyakarta's new international airport and aerotropolis embody national aspirations, but at what cost to the locals it has displaced?

Book review: Beauty within tragedy

Sep 09, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Strong ties

Sep 02, 2024 - RIKA FEBRIANI

Tradition helps Minangkabau protect the land from foreign investors

Essay: The life of H.W. Emanuels (1916-1966)

Aug 14, 2024 - RON WITTON

More than six decades after being inspired as an undergraduate in Sydney, Ron Witton retraces his Indonesian language teacher's journey back to Suriname

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.