May 19, 2024 Last Updated 5:01 AM, May 8, 2024

2a. Buruh, lingkungan, dan krisis iklim

Published: May 06, 2024

Sinergy Aditya Airlangga

“Perjuangan lingkungan tanpa perjuangan kelas hanya seperti aktivitas berkebun saja!”

Chico Mendes (aktivis petani pohon karet Brazil, yang dibunuh 1988)

Acapkali kita mendengar bahwa perjuangan buruh hanya untuk mendorong hak-hak pekerja dalam ruang lingkup lingkungan kerjanya saja seperti tingkat upah, kondisi kerja layak, waktu kerja, jaminan kerja dan lainnya. Praktik industri yang bercorak kapitalisme tidak hanya memeras keringat buruh namun juga berpengaruh pada kerusakan lingkungan dan krisis iklim. Apropriasi sumber daya alam dan lingkungan yang masif demi meraup keuntungan yang besar sudah menjadi business as usual. Namun, hal yang kerap terluput adalah bahwa kita hidup dalam ruang lingkungan yang sama. Ketika terjadi krisis lingkungan dalam ruang hidup kita maka tamatlah kehidupan kita. Logika ini yang menjadi argumentasi utama artikel ini.

Sistem industri yang terus dijalankan demi meraup keuntungan sebesar-besarnya kerap kali mengesampingkan keberlanjutan lingkungan. Seolah-olah, apropriasi sumber daya alam dan lingkungan merupakan konsekuensi normal dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, pandangan ini sangat bermasalah. Eksploitasi lingkungan yang masif akan membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat. Tercatat, kerusakan lingkungan akibat aktivitas bisnis terjadi seperti pencemaran lingkungan sungai oleh limbah pabrik; reklamasi bekas tambang yang menelan korban jiwa dan perusakan permukaan tanah; praktik land clearing yang mudah dan murah oleh beberapa perusahaan sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan bencana asap.

Sementara itu, laporan-laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim), salah satu badan PBB yang memiliki fokus pada lingkungan dan perubahan iklim, sudah lama menegaskan bahwa kenaikan suhu bumi yang melebihi 1.5 °C di atas suhu bumi pra-industrial menyebabkan kerugian dan kerusakan akibat pemasan global yang sulit dikendalikan. Dalam pers rilis Laporan IPCC yang disampaikan dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB 2021 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, diingatkan lagi bahwa peningkatan suhu bumi berdampak pada perubahan cuaca yang ekstrem, curah hujan yang tidak teratur, peningkatan air laut karena pencairan lapisan gunung es (gletser) terutama di wilayah Greenland dan Antartika, dan masih banyak lagi. Di Asia Tenggara, sedang terjadi gelombang punahnya ragam spesies burung.

Dalam sebuah pertemuan internasional baru-baru ini, Berkeley Earth 2024 melaporkan dalam Global Temperature Report 2023 bahwa di tahun 2023 lalu kenaikan suhu bumi sudah ada pada 1.54 ± 0.06 °C (2.77 ± 0.11 °F). Capaian tersebut diatas rata-rata periode 1850-1900 yang mana dijadikan referensi ambang batas periode revolusi industri.

Kapitalisme

Faktor paling penting dalam kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini adalah: aktivitas produksi korporasi. Kapitalisme menjadi ruh dalam logika sistem produksi industri untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan cara melakukan eksploitasi terhadap buruh dan juga apropriasi lingkungan. Kapitalisme ini menjadi sumber krisis sosial-ekologis. Dari sisi krisis sosial, praktik kapitalisme yang mengambil nilai lebih yang dihasilkan buruh dalam proses produksi, tidak memperhitungkan secara adil atas upah yang diberikan. Justru nilai lebih tersebut yang dijadikan sumber keuntungan perusahaan. Kacamata sederhana ini yang menyebabkan ketimpangan sosial dari distribusi hasil produksi, yakni antara upah yang diterima oleh para buruh dan keuntungan yang didapatkan pemilik modal.

Sementara itu, krisis ekologis disebabkan oleh sistem kapitalisme yang mendorong untuk melakukan apropriasi lingkungkan demi berjalannya sistem produksi untuk meraih keuntungan. Pengambilan sumber daya alam yang masif ini yang kerap kali mengesampingkan pelestarian alam atas nama ekonomi. Hal ini yang disebut Jason Moore (2017) sebagai Capitalocene: Accumulation by Appropriation. Logika demikian yang menyebabkan fenomena seperti kerusakan lingkungan, kelangkaan dan krisis iklim.

Tidak sedikit, praktik kapitalisme juga difasilitasi oleh pemerintahan negara baik global maupun nasional. Kondisi ini diperkuat dengan konsep neoliberalisme yang menjadikan negara sebagai alat untuk perluasan pasar. Beragam proyek-proyek pembangunan lingkungan dipromosikan oleh negara dan rezim internasional untuk penyelamatan lingkungan. Padahal, terselip kepentingan ekonomi kapitalis dibaliknya. Proyek-proyek tersebut seperti Green Economy, Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dan lainnya. Green economy merupakan konsep pembangunan ekonomi dengan mempertimbangkan aspek dampak lingkungan. Alih-alih indikator lingkungan digunakan untuk melegitimasi proyek-proyek pembangunan ekonomi besar adalah kepentingan korporasi. Sementara itu, REDD+ memiliki tujuan untuk melakukan konservasi hutan di negara-negara selatan untuk menjaga suhu bumi, namun abai terhadap eksploitasi hutan di negara-negara industrial yang masif berjalan. REDD+ juga membuka pasar karbon dengan menjual dan memberikan pajak karbon sebagai penuntasan tanggung jawab lingkungan yang dilakukan oleh negara industrial.

Ragam proyek pembangunan lingkungan diatas belum cukup secara memadai dalam menyelesaikan akar permasalahan kerusakan lingkungan hidup dan ancaman perubahan iklim. Justru, proyek pembangunan lingkungan tersebut memiliki agenda terselubung untuk korporasi. Mengutip pengacara lingkungan hidup J. G. Speth (2008): “Ciri-ciri kapitalisme ini, sebagaimana terbangun sekarang, bekerjasama satu dengan yang lain untuk menciptakan kenyataan ekonomis dan politis yang bersifat amat merusak terhadap lingkungan hidup.” Ini membuktikan perlunya pembangunan kritik pada sistem dan membentuk perubahan sistem alternatif terkait penanganan permasalahan lingkungan hidup. Kritik sistem tersebut ada pada logika kapitalisme yang merupakan sistem produksi ekonomi dan realitas politik yang mendorong tingginya penghancuran lingkungan.

Siapa saja yang mengkritik permasalahan krisis lingkungan dan perubahan iklim secara fundamental berhadapan dengan ideologi sistem sosial-ekonomi yang fundamental pula, di mana kapitalisme hanya mengejar profit dan mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata. Jurnalis Kanada Naomi Klein (2014) menulis secara ironis tentang kesulitan orang mencernakan kritik ini: “Dengan kata lain, mengubah iklim bumi dengan cara yang kacau dan membawa malapetaka rupanya lebih mudah kita terima daripada kemungkinan untuk mengubah logika kapitalisme yang dasarnya adalah pertumbuhan dan pengejaran profit.”

Logika produksi

Beberapa catatan menunjukkan bahwa salah satu penyumbang dominan pencemaran lingkungan dan krisis iklim adalah aktivitas bisnis dan industri yang bercorak kapitalistik. Ditambah lagi, praktik manipulasi dan kecurangan pada dokumen dan regulasi yang mengatur tata kelola lingkungan seperti dokumen perizinan lingkungan dan lainnya sudah menjadi rahasia umum. Kegiatan tersebut dilakukan demi memuluskan bisnis dan meraup keuntungan yang lebih besar. Tidak sedikit dari praktik tersebut mendapatkan resistensi dari warga dan juga organisasi masyarakat sipil karena merugikan masyarakat dan lingkungan.

Apabila lingkungan hidup tercemar dan perekonomian sakit, maka virus yang menyebabkan dua-duanya dapat ditemukan dalam sistem produksi.

Barry Commoner

Kutipan dari biolog dan peletak dasar pergerakan lingkungan hidup Barry Commoner ini menjelaskan bahwa ketika terjadi kerusakan lingkungan dan masalah ekonomi, hal yang perlu diperhatikan ada pada praktik bisnis dan sistem produksi yang berjalan. Tulisan ini tidak mengajak para pembaca untuk benci terhadap bisnis dan menjadi anti-industrialisasi, melainkan menaruh perhatian pada konsekuensi kontrol dominan ideologi kapitalisme dalam sistem industri dan logika produksi.

Kapitalisme membentuk akses kontrol terhadap logika produksi yang terbatas hanya untuk pemilik modal saja. Hal demikian menjadikan proses produksi terus beroperasi guna memaksimalkan keuntungan bagi pemilik modal. Faktor sosial-lingkungan tidak secara serius menjadi pertimbangan yang mendalam demi mengejar keuntungan maksimal. Sistem bisnis dan industri demikian yang menjadi salah satu skema analisis kerusakan lingkungan. Fenomena demikian ditegaskan oleh Fred Magdoff & J. B. Foster (2018) dengan menyebut bahwa ”‘business as usual’ is the path to global disaster”, yakni praktik bisnis yang dijalankan seperti biasa menjadi bagian dari bencana global. Kapitalisme seakan sudah menjadi pandangan yang dinormalisasikan dalam menjalankan praktik ekonomi dan bisnis. Secara umum, penguasaan kontrol dan sistem inti dalam usaha bisnis dikuasai oleh pemilik modal, yang jumlahnya hanya segelintir orang saja. Hal ini membuat keputusan strategis dan penting hanya dibuat oleh ‘elit’ pemilik modal.

Lantas, bagaimana hubungannya dengan kelas pekerja atau dalam hal ini adalah buruh? Secara sederhana, buruh memang hanya menjalankan kerja-kerja teknis dan manajerial dalam skema bisnis pada umumnya.

Peran buruh

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana buruh dapat memiliki peran dalam penyelamatan lingkungan dan krisis iklim? Jika diperhatikan, pada umumnya para buruh hidup dan tinggal di daerah sekitar perusahaan atau industri tempat mereka bekerja. Jika aktivitas produksi perusahaan memiliki dampak kerusakan lingkungan seperti limbah dan pencemaran alam di sekitar perusahaan, maka para pekerja perlu menyadari perannya untuk andil dalam mengontrol logika produksi dari industri tersebut.

Logika produksi merupakan inti dari berjalannya sistem produksi dalam sebuah industri. Logika produksi umumnya hanya dapat diakses oleh elit pemilik modal. Hal tersebut dikarenakan logika produksi merupakan domain yang penting dalam pengelolaan bisnis. Ketika logika produksi disetir untuk menghasilkan keuntungan pemilik modal tanpa batas maka kerusakan lingkungan dan krisis iklim akan semakin massif tanpa mempertimbangkan secara serius dampak sosial-lingkungan secara luas. Hal demikian akan berbeda jika buruh yang mengontrol logika produksi.

Kontrol terhadap sistem produksi menjadi hal penting dalam penyelamatan ruang hidup terhadap kiris sosial-ekologis yang terjadi. Fred Magdoff & J. B. Foster (2010) dalam bukunya What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism (2018 diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) menjelaskan perlunya perbaikan tata kelola lingkungan secara sistemik. Langkah tersebut diaktualisasikan dengan mendorong para buruh untuk dapat memiliki kontrol terhadap sistem dan logika produksi.

Buruh, sebagai bagian dari masyarakat yang juga tinggal di sekitar kawasan industri, akan memiliki pertimbangan besar tentang dampak sosial-ekologis jika ruang hidupnya tercemar akibat aktivitas produksi korporasi. Jika di daerah sekitar kawasan industri rusak dan tercemar maka ruang hidup para buruh juga terancam. Melalui konsekuensi inilah, rasa tanggung jawab atas keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup para buruh muncul. Pola demikian yang dianggap sebagai suatu sistem alternatif untuk dapat mengontrol logika produksi yang sebelumnya bercorak kapitalistik. Lebih lanjut, logika produksi alternatif yang diajukan akan memberikan ruang bagi para buruh dalam mengontrol logika produksi dan aktivitas bisnis. Hal ini yang mendorong logika produksi untuk membentuk keseimbangan tata kelola lingkungan dan produksi yang dijalankan tidak hanya untuk memenuhi keuntungan kapitalis saja.

Pemikiran baru

Hubungan antara buruh dan isu lingkungan telah menjadi diskursus akademik yang belum banyak dielaborasi. Stevis, Uzzel dan Räthzel (2018) membangun konsep Nature-Labour Relationship. Gagasan tersebut merupakan pendekatan hubungan antara tenaga kerja dan dampaknya pada lingkungan alam, bukan hanya di lingkungan kerja industri saja. Mereka juga menyoroti pentingnya pelibatan buruh dalam perdebatan tentang kebijakan lingkungan, serta perlunya memperkuat hubungan antara gerakan buruh dan gerakan lingkungan dalam rangka mencapai solusi yang berkelanjutan terhadap masalah-masalah lingkungan.

Konsep demikian sejalan dengan Wissen & Brand (2021) yang mempertimbangkan peran serikat pekerja dalam merespon tantangan lingkungan. Mereka menekankan pentingnya memperkuat gerakan buruh dan gerakan lingkungan. Kondisi demikian sebenarnya sudah digagas oleh Barca (2015) yang menekankan pembentukan kesadaran kelas dan kesadaran ekologis untuk menciptakan transformasi sosial yang mendorong keadilan lingkungan dan sosial. Hal demikian senada dengan kutipan dari Chico Mendes di awal artikel ini, yang menyatakan bahwa perjuangan lingkungan tanpa perjuangan kelas hanya seperti aktivitas berkebun saja. Penekanan pada kesadaran kelas menjadi hal penting dalam perjuangan lingkungan. 

Strategi dan taktik

Lebih lanjut, ada beberapa hal taktis yang dapat digunakan sebagai langkah alternatif untuk mendorong gerakan buruh dapat memiliki kontrol lebih terhadap logika dan sistem produksi guna misi penyelamatan lingkungan.

Pertama, Membangun komunitas dengan sistem produksi yang memiliki corak inklusifisme dan egalitarianisme (kesetaraan). Inklusifisme diartikan bahwa siapapun baik dari kalangan manapun dapat berpartisipasi serta terlibat dalam sistem yang hendak dibangun. Sementara, egalitarianisme dimaksudkan bahwa semua anggota memiliki akses dan hak yang setara dalam melakukan intervensi terhadap logika dan sistem produksi. Meskipun cukup kompleks untuk diimplementasikan di zaman sekarang, namun ada contoh skala kecil di Spanyol, yakni Mondragon Cooperativa. Gabungan kooperasi ini sudah berdiri sejak tahun 1950an dan kini menjadi kelompok bisnis ke-7 besar di negeri itu, dengan lebih dari 40.000 buruh-pemilik-anggota. Sistem demikian diyakini penulis dapat mendorong pada titik keseimbangan pengelolaan lingkungan dan ekonomi.

Sistem demikian sebagian besar menyadur pada pandangan ekologi sosial dari pemikir radikal Amerika Murray Bookchin (1991). Komunitas yang dibayangkan Bookchin adalah Bio-regionalisme, dimana setiap wilayah dapat tumbuh dan bertahan hidup dengan coraknya masing-masing. Tiap komunitas memiliki sifat otonom, dengan karakter lingkungan yang berbeda. Sehingga tiap wilayah memiliki peran yang berbeda. Bookchin berpandangan, sistem Bio-Regionalisme dalam konsep ekologi sosial ini dapat menjadi salah satu langkah alternatif untuk memutus rantai dominasi, eksploitasi dan hirarki sosial yang terjadi di dalam struktur masyarakat yang didominasi kapitalisme. Konsep ini berbeda dengan pemusatan wilayah yang memiliki karakter urban sebagai wilayah pusat pengolahan alam, dan pinggiran sebagai pemasok bahan olahan.

Menurut Bookchin dan Biehl (1998), ide mengenai ekologi sosial bukan menekankan pada logika primitivisme dan penghematan, melainkan terciptanya masyarakat rasional dimana produksi yang dihasilkan sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan komunitas. Pandangan demikian menghindari pengejaran keuntungan semata, kelebihan produksi, over-exploitation, dan ketergantungan akut diantara satu wilayah dengan yang lainnya. Sistem ini mendorong pada titik keseimbangan pengelolaan lingkungan dengan bijak. Pemakaian sumber daya alam dapat dikontrol dengan seksama, dengan konsumsi kebutuhan dalam batas wajar dan tidak dieksplorasi secara eksploitatif.

Kedua, pemberian wawasan serikat serta buruh terkait relasi dan peran buruh dalam pelestarian lingkungan. Dengan demikian, isu yang diangkat dalam serikat dan gerakan buruh dianggap perlu untuk melebarkan isu advokasi pada aspek lingkungan hidup. Hal ini membuat wacana dalam serikat dan gerakan buruh tidak hanya berkutat membicarakan isu dalam pabrik yang notabene hanya menyangkut kesejahteraan buruh dalam pabrik saja, namun juga dampak sosial-lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik. Pandangan ini mendorong perjuangan para buruh tidak hanya dalam ruang lingkup satu sektor saja, melainkan lebih kompleks ke segala lini seperti lingkungan, perempuan dan lainnya.

Ketiga, menggunakan cara yang paling klasik, yakni membangun kekuatan politik alternatif dan terjun dalam ranah elektoral. Pembangunan kekuatan politik alternatif diyakini menjadi perlu dikarenakan beragam keputusan politik yang menjadi salah satu faktor dari ketidakadilan sosial dan pengelolaan lingkungan. Kekuatan politik alternatif dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk melakukan intervensi dalam mendorong wacana kebijakan industri hijau yang ramah terhadap buruh, gender dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Ketiga taktik alternatif diatas merupakan beberapa pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan sebagai langkah pencapaian keadilan sosial dan lingkungan hidup. Ketiganya tidak memiliki tahapan atau hirarki untuk dilakukan. Ketiganya dapat dipilih salah satu, mana yang dapat secara aplikatif dilakukan dengan situasi dan kondisi yang ada saat ini.

Sinergy Aditya Airlangga (sinergyadityaa@ub.ac.id) adalah Associate Researcher di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, dan Dosen Departemen Ilmu Politik, Pemerintahan dan Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis

Latest Articles

Labouring in vain?

May 03, 2024 - HASNA A. FADHILAH

The Labour Party (Partai Buruh) was revived in the wake of opposition to the Omnibus Law on Job Creation, but failure in the 2024 election shows they failed to connect...

Book review: Uncovering Suharto's Cold War

Apr 19, 2024 - VIRDIKA RIZKY UTAMA

Film review: Inheriting collective memories through 'Eksil'

Apr 12, 2024 - WAHYUDI AKMALIAH

A documentary embraced by TikTokers is changing how young people understand Indonesia’s past

Indonesians call for climate action through music

Apr 11, 2024 - JULIA WINTERFLOOD

Self-education and lived experience of the impacts of climate change, are driving a grassroots environmental movement

Book review: Clive of Indonesia

Apr 05, 2024 - DUNCAN GRAHAM

Subscribe to Inside Indonesia

Receive Inside Indonesia's latest articles and quarterly editions in your inbox.

Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis – sebuah suplemen Inside Indonesia

Lontar Modern Indonesia

Lontar-Logo-Ok

 

A selection of stories from the Indonesian classics and modern writers, periodically published free for Inside Indonesia readers, courtesy of Lontar.